Fenitoin merupakan obat antiepilepsi nonsedatif tertua, dikenal sejak tahun 1938 (Harknee,
Kimiawi Fenitoin
Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada ataom C5 penting untuk efek pengendalian
bangkitan tonik klonik. Sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang
terdapat pada mefenitoin (turunan fenitoin) dan barbiturat tapi tidak pada fenitoin. Adanya
gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktifitas misalnya mefenitoin, dan hasil
N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif (Ganiswara,1995;
Gilman, 2001).
antiepileptik tetapi tidak menyebabkan depresi umum pada susunan saraf pusat. Dosis
toksiknya dapat menimbulkan gejala eksitasi, sedangkan dosis letalis menimbulkan rigiditas
penyebaran proses serangan dari fokus aktifnya. Dapat menimbulkan remisi sempurna pada
serangan umum tonik klonik dan serangan parsial tertentu.Tidak secara sempurna
fenitoin tidak menaikkan nilai ambang serangan yang ditimbulkan oleh obat konvulsan
seperti striknin, pikrotoksin atau pentil entetrazol.Hanya memiliki kemampuan yang terbatas
untuk menaikkan nilai ambang serangan electroshock.Fenitoin memulihkan ekstabilitas pola
memodifikasi pola serangan elekrtoshock maksimal. Fase tonik dapat dihilangkan secara
sempurna, akan tetapi sisa serangan yang klonik mungkin ditingkatkan dan dapat
diperpanjang.
Mekanisme Kerja
Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer
dan mungkin pada membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel.
Obat ini juga dapat menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion yang
mengalir selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses kimia. Dapat juga dengan
pemasukan ion kalsium selama depolarisasi berkurang, secara bebas atau sebagai akibat
berkurangnya kadar ion natrium intraseluler. Fenitoin juga dapat menunda aktifasi aliran ion
menurunnya cetusan ulangan.Obat ini juga dapat mengubah konduktan dan potensi membran
berulang frekuensi tinggi yang mantap dari aksi potensial. Efek tersebut sangat bergantung
pada konsentrasi.Ini merupakan efek dari konduksi ion natrium, muncul dari ikatannya dan
berinteraksi dengan lipid membran, ikatan ini mungkin akan menstabilkan membran. Fenitoin
menyebabkan eksitasi pada beberapa saraf serebral. Reduksi permeabilitas kalsium dengan
menghambat influks kalsium melewati membran sel dapat menjelaskan kemampuan fenitoin
dalam menghambat berbagai proses sekresi yang diransang kalsium, termasuk pelepasan
utama fenitoin adalah menghambat saluran natrium dan terjadinya aksi potensial yang
Farmakokinetik
Fenitoin adalah asam lemah dengan pKa 8.3 (Evans, 1990). Literatur lain
menyatakan pKa nya 9. Fenitoin sangat sukar larut dalam air, hanya kira-kira 4 mg fenitoin
larut dalam 10 ml air pada 37o C, tapi larutannya bersifat alkali. Fenitoin-Na lebih larut dalam
air panas dan berubah cepat menjadi asam fenitoin dalam asam lambung dengan
utama bahwa faktor formulasi yang berbeda akan mempengaruhi bioavailabilitas produk
fenitoin yang dihasilkan oleh produsen berbeda (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).
Fenitoin dapat membentuk khelat dengan logam tembaga dan garam kobalt, tapi
tidak ada indikasi adanya pembentukan khelat dengan Ca, Mg, Fe.Fenitoin mempunyai
indeks terapetik sempit yaitu 10-20 mg/L (obat bebas dan obat terikat).Selain itu fenitoin juga
absorpsinya agak lambat dan bervariasi tergantung konsentrasi. Absorpsi hampir sempurna
setelah diberikan dosis oral 400, 800, 1600 mg dari fenitoin-Na dalam bentuk kapsul, tapi
waktu mencapai konsentrasi serum maksimum memerlukan waktu 8.4 jam untuk dosis 400
mg, 13.2 jam untuk dosis 800 mg, dan 31.5 jam untuk dosis 1600 mg (Gibaldi, 1983).
Fenitoin mengalami metabolisme lintas pertama di hati.Bioavailabilitas setelah
pemberian oral cukup sempurna yaitu sekitar 80-95%, hal ini terjadi pada produk fenitoin
berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda (Ganiswara, 1995; Katzung, 1995).
Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih
rendah daripada dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah (Gibaldi, 1983;Ganiswara, 1995).
Fenitoin dalam tubuh terikat dengan protein yaitu albumin plasma kira-kira
90%.Pada orang sehat termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral,
fraksi bebas kira-kira 10% (Evans, 1990; Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Sedangkan pasien
dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas
kira-kira di atas 15%.Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antra 5.8-12.6%.Fenitoin
terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama, tapi mula kerja lebih
lambat dari fenobarbital (Ganiswara, 1995). Hal yang berpengaruh pada absorpsi fenitoin dari
aspek formulasinya adalah ukuran partikel dan jenis eksipien yang digunakan (Gibaldi, 1983;
Katzung, 1995).
mikrosom hati yaitu sitokrom P450 (Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Metabolitnya adalah
glukoronat dan dikeluarkan melalaui urin (Wibowo, 2001). Bitransformasi oleh enzim
mikrosom hati dapat mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan
sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional (Gibaldi, 1983;
Ganiswara, 1995). Oksidasi pada satu gugus dapat menghilangkan efek antikonvulsinya
(Ganiswara, 1995).
reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekresikan melalui ginjal.Di ginjal metabolit
utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi
bioavailabilitas pada fenitoin (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).Fenitoin mempunyai waktu paruh
12-36 jam (Katzung, 1995).Waktu untuk mencapai konsentrasi yang tetap dalam serum
Interaksi Obat
Pemakaian fenitoin dengan obat lain sangat perlu diperhatikan, karena interaksi
fenitoin dengan obat lain dapat menyebabkan efek toksik atau sebaliknya tidak tercapai efek
terapetik optimum. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan hati-hati, sebaiknya diikuti
dengan pengukuran kadar obat dalam plasma. Obat-obat yang digunakan bersama fenitoin
biotransformasi hati dengan mempengaruhi enzim mikrosomal hati (Gibaldi, 1983; Evans,
Ganiswara, 1995)
1. Antasid, apabila diberikan 2-3 jam setelah pemberian fenitoin, maka konsentrasi
plasma fenitoin meningkat 2-3 kali lipat, karena antasid mempercepat absorpsi
fenitoin.
2. Arang aktif, konsentrasi plama fenitoin menurun karena arang aktif mencegah
Obat-obat yang dapat mnyebabkan hal ini antara lain azapropazon, diazoksid,
Harknee, 1989)
influenza, oksasiklin.
Beberapa obat yang dipengaruhi oleh fenitoin
yang lebih kecil daripada furosemid yang diberikan tanpa adanya fenitoin,
baik diberikan oral atau IV. Sensitifitas tubula renal untuk memberikan respon
1990)
lebih aman pada kelompoknya (Ganiswara, 1995). Pada pemakaian kronis dapat
menimbulkan (Wibowo,2001) :
1. Gangguan fungsi serebeler dan efek lain pada susunan saraf pusat
2. Perubahan perilaku
4. Hiperplasi gingival
5. Osteomalasia
6. Anemia megaloblastik
7. Hirsutisme
Gejala ringan biasanya timbul pada hari ke 3-10, seperti gangguan sistem saraf
pusat, saluran cerna, gusi dan kulit.Sedangkan yang lebih berat terjadi setelah 40 hari seperti
gangguan kulit, sumsum tulang.Hirsutisme jarang terjadi, tapi bagi wanita muda hal ini dapat
Gangguan pada sistem saraf pusat. Efek samping tersering adalah diplopia,
ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain seperti
tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang berat, ilusi, halusinasi sampai
psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam
terjadinya gangguan mental.Efek samping sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada dosis
Saluran cerna, seperti nyeri ulu hati, anoreksia, mual, muntah, terjadi karena
fenitoin bersifat alkali.Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbagi, dapat mencegah
menghambat sekresi insulin sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuri.Ia juga mengubah
metabolisme vitamin D dan menghambat absorpsi intestinal kalsium sehingga terjadi
osteomalasia dengan hipokalsemia dan kenaikan kadar fosfatase alkali. Pemakaian jangka
panjang fenitoin juga dapat menimbulkan efek samping pada anak-anak yaitu terjadi
insufisiensi osifikasi pada metafisis tulang panjang, kenaikan ambilan tiroid, efek koagulasi
Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada penggunaan kronik dan
menyebabkan hiperplasia pada 20% pasien.Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama
bila kebersihan mulut tidak terjaga.Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan gusi,
Efek samping pada kulit terjadi pada 2-5% pasien, lebih sering pada anak dan
eusinofilia, limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih berat dan dapat
berakibat fatal, karena itu bila terjadi ruam kulit sebaiknya pembeian obat dihentikan dan
diteruskan kembali dengan hati-hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada wanita muda
lupus eritematosus, kerusakan serebeler yang permanen, perubahan perilaku dan pengurangan
fungsi intelektual.Bahkan fenitoin menyebabkan efek teratogen seperti bayi yang lahir
dengan cacat kongenital, bila ibu diberi fenitoin pada trismester I kehamilan (Wibowo, 2001;
Ganiswara, 1995).
limfadenopati, seperti Hodgkin disease dan limfoma maligna.Sementara ibu hamil yang
pemberian vitamin K. Pemakaian fenitoin jangka lama menyebabkan kelainan fungsi hati dan
kerusakan jaringan hati.Fenitoin mempengaruhi aktifitas sistem enzim mikrosomal hati,
menaikkan sintesa protein lipid hepar. Di samping itu berbagai reaksi hematologik
(Wibowo, 2001).
Indikasi
parsial atau fokal (Ganiswara, 1995). Tapi tidak digunakan untuk bangkitan petit mal karena
dapat memprovokasi bangkitan absences (Tjai, 1986; 2002).Banyak ahli penyakit saraf di
keamanan yang lebih sempit.Efek samping dan efek toksik sekalipun ringan tapi tetap
Indikasi lain fenitoin adalah untuk neuralgia trigeminal dan aritmia jantung (Evan,
1986; 1990;Ganiswara, 1995). Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT),
iatrogenik (Ganiswara, 1995). Untuk pengobatan aritmia jantung fenitoin bekerja dengan
menghambat transport natrium (Hickey, 2003). Lebih kurang 90% pasien yang mengalami
aritmia jantung berhasil diobati dengan nenggunakan fenitoin, dimana konsentrasi plasma di
Fenitoin tersedia dalam bentuk garam natrium yaitu berupa kapsul 100 mg dan
tablet kunyah 30 mg untuk pemberian oral, sedangkan sediaan suntik 100 mg/ 2 ml. Di
samping itu juga tersedia bentuk sirup dengan takaran 125 mg/5 ml.
Kadar plasma optimalharus diperhatikan, yaitu berkisar antara 10-20 mg/L. Kadar
di bawahnya kurang efektif untuk pengendalian konvulsi, sedangkan kadar lebih tinggi
hampir selalu disertai gejala toksik. Dosis fenitoin harus selalu disesuaikan untuk masing-
masing individu. Patokan kadar terapi antara 10-20 mg/L bukan merupakan angka mutlak,
karena beberapa pasien menunjukkan efektifitas fenitoin yang baik pada kadar 8 mg/L,
sedangkan pada pasien lain, nistagmus sudah terjadi pada kadar 15 mg/L.
Rute pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan dosis
penunjang antara 300-400 mg, maksimum 600 mg sehari. Anak diatas 6 tahun, dosis awal
sama dengan dosis dewasa, sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun, dosis awal 1/3 dosis
dewasa, dosis penunjang adalah 4-8 mg/kg BB sehari, maksimum 300 mg. Dosis awal
dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis penunjang dapat diberikan dalam dosis tunggal
harian tanpa mengurangi efektifitasnya, karena masa paruh fenitoin cukup panjang, tetapi
pemberian dengan dosis terbagi akan menghasilkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah yang
minimal.
Pasien yang baru pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh efek,
karena adanya tenggang waktu (time lag).Untuk mengganti terapi epilepsi dari fenobarbital
menjadi fenitoin, harus dilakukan secara berangsur-angsur, sebab penghentian secara tiba-