Anda di halaman 1dari 11

Fenitoin

Fenitoin merupakan obat dari golongnan hidantoin yang mempunyai sinonim

Difenilhidantoin (DPH) atau berdasarkan nama IUPAC 5,5-Difenilimidazolidin-2,4-dion.

Fenitoin merupakan obat antiepilepsi nonsedatif tertua, dikenal sejak tahun 1938 (Harknee,

1989; Yuen 1989).

Kimiawi Fenitoin

Fenitoin merupakan hidantoin dengan substitusi difenil dengan struktur seperti di


bawah.Sifat sedatif lebih kecil dibandingkan senyawa substitusi alkil pada posisi 5 (Katzung,
1995).

Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada ataom C5 penting untuk efek pengendalian

bangkitan tonik klonik. Sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang

terdapat pada mefenitoin (turunan fenitoin) dan barbiturat tapi tidak pada fenitoin. Adanya

gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktifitas misalnya mefenitoin, dan hasil

N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit tidak aktif (Ganiswara,1995;

Gilman, 2001).

Efek Farmakologis (Wibowo, 2001; Ganiswara,1995)

Fenitoin menunjukkan efek farmakologis sebagai berikut : Fenitoin berefek

antiepileptik tetapi tidak menyebabkan depresi umum pada susunan saraf pusat. Dosis

toksiknya dapat menimbulkan gejala eksitasi, sedangkan dosis letalis menimbulkan rigiditas

decerebrate. Mampu membatasi perkembangan aktifitas serangan maksimal dan menurunkan

penyebaran proses serangan dari fokus aktifnya. Dapat menimbulkan remisi sempurna pada

serangan umum tonik klonik dan serangan parsial tertentu.Tidak secara sempurna

menghilangkan aura sensorik atau gejala prodormal lainnya.Tidak seperti fenobarbital,

fenitoin tidak menaikkan nilai ambang serangan yang ditimbulkan oleh obat konvulsan

seperti striknin, pikrotoksin atau pentil entetrazol.Hanya memiliki kemampuan yang terbatas
untuk menaikkan nilai ambang serangan electroshock.Fenitoin memulihkan ekstabilitas pola

serangan secara abnormal untuk kembali pada keadaan normal.Fenitoin mampu

memodifikasi pola serangan elekrtoshock maksimal. Fase tonik dapat dihilangkan secara

sempurna, akan tetapi sisa serangan yang klonik mungkin ditingkatkan dan dapat

diperpanjang.

Mekanisme Kerja

Fenitoin berefek stabilisasi pada semua membran neuronal, termasuk saraf perifer

dan mungkin pada membran yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel.

Obat ini juga dapat menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion yang

mengalir selama aksi potensial atau depolarisasi karena proses kimia. Dapat juga dengan

pemasukan ion kalsium selama depolarisasi berkurang, secara bebas atau sebagai akibat

berkurangnya kadar ion natrium intraseluler. Fenitoin juga dapat menunda aktifasi aliran ion

kalium keluar.Selama aksi potensial menyebabkan kenaikan periode refractory dan

menurunnya cetusan ulangan.Obat ini juga dapat mengubah konduktan dan potensi membran

dan konsentrasi asam amino dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin danaminobutirat

(GABA) (Wibowo, 2001).

Penelitian dengan saraf kultur sel menunjukkan fenitoin menghambat pelepasan

berulang frekuensi tinggi yang mantap dari aksi potensial. Efek tersebut sangat bergantung

pada konsentrasi.Ini merupakan efek dari konduksi ion natrium, muncul dari ikatannya dan

perpanjangan keadaan inaktif dari saluran Natrium.

Dalam konsentrasi tinggi, fenitoin juga menghambat pelepasan serotonin dan

norepinefrin, memacu ambilan dopamin dan menghambat kerja monoaminoksidase. Obat

berinteraksi dengan lipid membran, ikatan ini mungkin akan menstabilkan membran. Fenitoin

menyebabkan eksitasi pada beberapa saraf serebral. Reduksi permeabilitas kalsium dengan

menghambat influks kalsium melewati membran sel dapat menjelaskan kemampuan fenitoin
dalam menghambat berbagai proses sekresi yang diransang kalsium, termasuk pelepasan

hormon neurotransmiter. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada konsentrasi terapetik, kerja

utama fenitoin adalah menghambat saluran natrium dan terjadinya aksi potensial yang

berulang (Katzung, 1995).

Farmakokinetik

Sifat Kimiawi Fenitoin

Fenitoin adalah asam lemah dengan pKa 8.3 (Evans, 1990). Literatur lain

menyatakan pKa nya 9. Fenitoin sangat sukar larut dalam air, hanya kira-kira 4 mg fenitoin

larut dalam 10 ml air pada 37o C, tapi larutannya bersifat alkali. Fenitoin-Na lebih larut dalam

air panas dan berubah cepat menjadi asam fenitoin dalam asam lambung dengan

menghasilkan presipitat (Gibaldi, 1983).

Kelarutanfenitoin yang kecil dalam cairan gastrointestinal memperlihatkan alasan

utama bahwa faktor formulasi yang berbeda akan mempengaruhi bioavailabilitas produk

fenitoin yang dihasilkan oleh produsen berbeda (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).

Fenitoin dapat membentuk khelat dengan logam tembaga dan garam kobalt, tapi

tidak ada indikasi adanya pembentukan khelat dengan Ca, Mg, Fe.Fenitoin mempunyai

indeks terapetik sempit yaitu 10-20 mg/L (obat bebas dan obat terikat).Selain itu fenitoin juga

mempunyai kinetika eliminasi non-linier (Gibaldi, 1983).

Absorpsi dan Distribusi

Fenitoin diserap terutama dari bagian proksimal saluran intestinal, tapi

absorpsinya agak lambat dan bervariasi tergantung konsentrasi. Absorpsi hampir sempurna

setelah diberikan dosis oral 400, 800, 1600 mg dari fenitoin-Na dalam bentuk kapsul, tapi

waktu mencapai konsentrasi serum maksimum memerlukan waktu 8.4 jam untuk dosis 400

mg, 13.2 jam untuk dosis 800 mg, dan 31.5 jam untuk dosis 1600 mg (Gibaldi, 1983).
Fenitoin mengalami metabolisme lintas pertama di hati.Bioavailabilitas setelah

pemberian oral cukup sempurna yaitu sekitar 80-95%, hal ini terjadi pada produk fenitoin

dengan kualitas yang tinggi (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).

Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat

suntikan kira-kira 5 hari dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin didistribusikan ke

berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda (Ganiswara, 1995; Katzung, 1995).

Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih

rendah daripada dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah (Gibaldi, 1983;Ganiswara, 1995).

Fenitoin dalam tubuh terikat dengan protein yaitu albumin plasma kira-kira

90%.Pada orang sehat termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral,

fraksi bebas kira-kira 10% (Evans, 1990; Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Sedangkan pasien

dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas

kira-kira di atas 15%.Pada pasien epilepsi, fraksi bebas berkisar antra 5.8-12.6%.Fenitoin

terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama, tapi mula kerja lebih

lambat dari fenobarbital (Ganiswara, 1995). Hal yang berpengaruh pada absorpsi fenitoin dari

aspek formulasinya adalah ukuran partikel dan jenis eksipien yang digunakan (Gibaldi, 1983;

Katzung, 1995).

Biotransformasi dan Eliminasi

Biotransformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim

mikrosom hati yaitu sitokrom P450 (Ganiswara, 1995; Gilman, 2001). Metabolitnya adalah

derivat parahidroksifenol, derifat 3-metoksi dihidrokhol.Selanjutnya digabung dengan

glukoronat dan dikeluarkan melalaui urin (Wibowo, 2001). Bitransformasi oleh enzim

mikrosom hati dapat mengalami kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan

sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum secara tidak proporsional (Gibaldi, 1983;
Ganiswara, 1995). Oksidasi pada satu gugus dapat menghilangkan efek antikonvulsinya

(Ganiswara, 1995).

Sebagian metabolit fenitoin diekresikan bersama empedu, kemudian mengalami

reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekresikan melalui ginjal.Di ginjal metabolit

utamanya mengalami sekresi oleh tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi

(Ganiswara, 1995).Eliminasi fenitoin mengikuti kinetika tergantung dosis pada konsentrasi

mencapai rentang terapetik.Kinetika eliminasi seperti ini menyebabkan masalah

bioavailabilitas pada fenitoin (Gibaldi, 1983; Evans, 1990).Fenitoin mempunyai waktu paruh

12-36 jam (Katzung, 1995).Waktu untuk mencapai konsentrasi yang tetap dalam serum

(steady-state) dibutuhkan waktu 5-10 hari (Watts, 1984).

Interaksi Obat

Pemakaian fenitoin dengan obat lain sangat perlu diperhatikan, karena interaksi

fenitoin dengan obat lain dapat menyebabkan efek toksik atau sebaliknya tidak tercapai efek

terapetik optimum. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan hati-hati, sebaiknya diikuti

dengan pengukuran kadar obat dalam plasma. Obat-obat yang digunakan bersama fenitoin

dapat mempengaruhi farmakokinetiknya seperti absorpsi, ikatan dengan protein plasma,

biotransformasi hati dengan mempengaruhi enzim mikrosomal hati (Gibaldi, 1983; Evans,

1990; Ganiswara, 1995).

Beberapa Obat yang Dapat Berinteraksi dengan Fenitoin

I. Obat yang dapat mempengaruhi absorpsi fenitoin (Evans, 1990;

Ganiswara, 1995)

1. Antasid, apabila diberikan 2-3 jam setelah pemberian fenitoin, maka konsentrasi

plasma fenitoin meningkat 2-3 kali lipat, karena antasid mempercepat absorpsi

fenitoin.
2. Arang aktif, konsentrasi plama fenitoin menurun karena arang aktif mencegah

absorbsi fenitoin di gastrointestinal.

3. Formula nutrisi, menurunkan absorpsi fenitoin

4. Teofilin, menurunkan absorpsi fenitoin

5. Sukralfat, menurunkan absorpsi fenitoin.

II. Obat-obat yang menggantikan ikatan fenitoin dengan protein plasma

(Evans, 1990; Harknee, 1989)

Obat-obat yang dapat mnyebabkan hal ini antara lain azapropazon, diazoksid,

halofenat, heparin, ibuprofen, fenilbutason, asam salisilat, sulfadiazin, sulfadimetosin,

sulfafurazol, sulfametizol, sulfametoksipiridazin, tolbutamid, asam valproat.

III. Obat-obat yang mempengaruhi metabolisme (Evans, 1990; Harknee, 1989)

1. Obat yang meningkatkan metabolisme yaitu asam folat, alkohol, deksametason,

fenobarbital, klonazepam, diazepam, klordiazepoksida, dikloralfenazon,

rifampisin, nitrofurantoin, teofilin.

2. Obat yang menurunkan metabolisme fenitoin yaitu asam valproat, karbamazepin,

sultiam, progabid, dikumarol, isoniazid, para amino salisilat (PAS), amiodaron,

allopurinol, simetidin, ranitidin, famotidin, omeprazol, azapropazon, fenilbutazon,

ibuprofen, disulfiram, metronidazol, sulfonamid, kloramfenikol.

IV. Obat yang mempengaruhi konsentrasi plasma fenitoin (Evans, 1990;

Harknee, 1989)

1. Obat yang meningkatkan konsentrasi plasma fenitoin yaitu dekstropropoksifen,

felbamat, flukonazol, imipramin, metosuksimid, metilfenidat, mikonazol,

nafimidon, nifedipin, kontrasepsi oral, feniramidol, pindolol, tikrinafen, trazadon.

2. Obat yang nenurunkan konsentrasi protein plasma yaitu diazoksid, vaksin

influenza, oksasiklin.
Beberapa obat yang dipengaruhi oleh fenitoin

I. Absorpsi gastrointestinal (Evans, 1990; Harknee, 1989)

1. Furosemid, pemberian fenitoin memperlihatkan dengan jelas respon diuretik

yang lebih kecil daripada furosemid yang diberikan tanpa adanya fenitoin,

baik diberikan oral atau IV. Sensitifitas tubula renal untuk memberikan respon

diuretik dari furosemid menurun oleh adanya fenitoin.

2. Tiroksin, asam folat dan siklosporin, absorpsi gastrointestinalnya diturunkan

oleh adanya fenitoin.

3. Isoksikam, absorpsinya meningkat dengan adanya fenitoin, baik diberikan

oral atau dosis tunggal.

II. Ikatan protein plasma (Evans, 1990; Harknee, 1989)

1. Fenitoin meningkatkan fraksi bebas asam valproat, dikumarol, klonazepam,

tolbutamid secara tidak berarti.

2. Fenitoin meningkatkan konsentrasi plasma 1-acid glycoprotein.

3. Fenitoin menurunkan fraksi bebas lidokain.

4. Fenitoin meningkatkan fraksi bebas plasma sejumlah antidepresan trisiklik,

pengujian dilakukan secara in vitro, tapi belum jelas secara in vivo.

5. Konsentrasi plasma hormon seks dan kontraseptik steroid yang berkaitan

dengan globulin ditingkatkan oleh fenitoin.

III. Obat-obat yang metabolismenya ditingkatkan oleh fenitoin (Evan,

1990)

Fenitoin berpotensi menginduksi enzim mikrosomal hati, obat yang dipengaruhi

antara lain : teofilin, misonidazol, metadon, meksiletin, disopiramid,

karbamazepin, klonazepam, primidon, asam valproat, asetanilid dan metabolitnya

parasetamol, metadon, petidin.


Toksisitas dan Efek Samping

Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, walaupun relatif

lebih aman pada kelompoknya (Ganiswara, 1995). Pada pemakaian kronis dapat

menimbulkan (Wibowo,2001) :

1. Gangguan fungsi serebeler dan efek lain pada susunan saraf pusat

2. Perubahan perilaku

3. Gejala gangguan gastrointestinal

4. Hiperplasi gingival

5. Osteomalasia

6. Anemia megaloblastik

7. Hirsutisme

Gejala ringan biasanya timbul pada hari ke 3-10, seperti gangguan sistem saraf

pusat, saluran cerna, gusi dan kulit.Sedangkan yang lebih berat terjadi setelah 40 hari seperti

gangguan kulit, sumsum tulang.Hirsutisme jarang terjadi, tapi bagi wanita muda hal ini dapat

sangat mengganggu (Wibowo, 2001; Ganiswara, 1995).

Gangguan pada sistem saraf pusat. Efek samping tersering adalah diplopia,

ataksia, vertigo, nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain seperti

tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang berat, ilusi, halusinasi sampai

psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan faktor yang turut berperan dalam

terjadinya gangguan mental.Efek samping sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada dosis

melebihi 0.5 mg sehari (Katzung, 1995;Wibowo, 2001; Ganiswara, 1995).

Saluran cerna, seperti nyeri ulu hati, anoreksia, mual, muntah, terjadi karena

fenitoin bersifat alkali.Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbagi, dapat mencegah

atau mengurangi gangguan saluran cerna (Ganiswara, 1995).Fenitoin juga mampu

menghambat sekresi insulin sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuri.Ia juga mengubah
metabolisme vitamin D dan menghambat absorpsi intestinal kalsium sehingga terjadi

osteomalasia dengan hipokalsemia dan kenaikan kadar fosfatase alkali. Pemakaian jangka

panjang fenitoin juga dapat menimbulkan efek samping pada anak-anak yaitu terjadi

insufisiensi osifikasi pada metafisis tulang panjang, kenaikan ambilan tiroid, efek koagulasi

darah karena gangguan vitamin K dependent clotting factor (Wibowo, 2001).

Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada penggunaan kronik dan

menyebabkan hiperplasia pada 20% pasien.Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama

bila kebersihan mulut tidak terjaga.Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan gusi,

dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara (Ganiswara, 1995).

Efek samping pada kulit terjadi pada 2-5% pasien, lebih sering pada anak dan

remaja yaitu berupa ruam morbiliform.Beberapa kasus diantaranya disertai hiperpireksia,

eusinofilia, limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih berat dan dapat

berakibat fatal, karena itu bila terjadi ruam kulit sebaiknya pembeian obat dihentikan dan

diteruskan kembali dengan hati-hati bila kelainan kulit telah hilang. Pada wanita muda

pengobatan fenitoin secara kronik menyebabkan keratosis dan hirsutisme, karena

meningkatnya aktifitas korteks suprarenalis.(Ganiswara, 1995).

Selain itu tercatat juga adanya pseudolimfoma, limfoma maligna, agranulositosis,

lupus eritematosus, kerusakan serebeler yang permanen, perubahan perilaku dan pengurangan

fungsi intelektual.Bahkan fenitoin menyebabkan efek teratogen seperti bayi yang lahir

dengan cacat kongenital, bila ibu diberi fenitoin pada trismester I kehamilan (Wibowo, 2001;

Ganiswara, 1995).

Fenitoin mengurangi produksi imunoglobulin A (IgA) dan ini yang menimbulkan

limfadenopati, seperti Hodgkin disease dan limfoma maligna.Sementara ibu hamil yang

mendapat fenitoin mempunyai resiko mendapat hipoprotrombinemia, untuk itu dianjurkan

pemberian vitamin K. Pemakaian fenitoin jangka lama menyebabkan kelainan fungsi hati dan
kerusakan jaringan hati.Fenitoin mempengaruhi aktifitas sistem enzim mikrosomal hati,

menaikkan sintesa protein lipid hepar. Di samping itu berbagai reaksi hematologik

dikhawatirkan akan timbul pada pemakaian obat antiepilepsi seperti : neutropenia,

leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia megaloblastik

(Wibowo, 2001).

Indikasi

Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik klonik dan bangkitan

parsial atau fokal (Ganiswara, 1995). Tapi tidak digunakan untuk bangkitan petit mal karena

dapat memprovokasi bangkitan absences (Tjai, 1986; 2002).Banyak ahli penyakit saraf di

Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin mempunyai batas

keamanan yang lebih sempit.Efek samping dan efek toksik sekalipun ringan tapi tetap

mengganggu terutama pada anak-anak.Fenitoin juga digunakan untuk bangkitan parsial

komplek (Ganiswara, 1995).

Indikasi lain fenitoin adalah untuk neuralgia trigeminal dan aritmia jantung (Evan,

1986; 1990;Ganiswara, 1995). Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT),

untuk meringankan konvulsinya dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal

iatrogenik (Ganiswara, 1995). Untuk pengobatan aritmia jantung fenitoin bekerja dengan

menghambat transport natrium (Hickey, 2003). Lebih kurang 90% pasien yang mengalami

aritmia jantung berhasil diobati dengan nenggunakan fenitoin, dimana konsentrasi plasma di

bawah 18 mg/L, atau antara 10-18 mg/L (Evans, 1986).

Sediaan dan Posologi (Evan, 1990; Hickey, 2003)

Fenitoin tersedia dalam bentuk garam natrium yaitu berupa kapsul 100 mg dan

tablet kunyah 30 mg untuk pemberian oral, sedangkan sediaan suntik 100 mg/ 2 ml. Di

samping itu juga tersedia bentuk sirup dengan takaran 125 mg/5 ml.
Kadar plasma optimalharus diperhatikan, yaitu berkisar antara 10-20 mg/L. Kadar

di bawahnya kurang efektif untuk pengendalian konvulsi, sedangkan kadar lebih tinggi

hampir selalu disertai gejala toksik. Dosis fenitoin harus selalu disesuaikan untuk masing-

masing individu. Patokan kadar terapi antara 10-20 mg/L bukan merupakan angka mutlak,

karena beberapa pasien menunjukkan efektifitas fenitoin yang baik pada kadar 8 mg/L,

sedangkan pada pasien lain, nistagmus sudah terjadi pada kadar 15 mg/L.

Rute pemberian oral, dosis awal untuk dewasa 300 mg, dilanjutkan dengan dosis

penunjang antara 300-400 mg, maksimum 600 mg sehari. Anak diatas 6 tahun, dosis awal

sama dengan dosis dewasa, sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun, dosis awal 1/3 dosis

dewasa, dosis penunjang adalah 4-8 mg/kg BB sehari, maksimum 300 mg. Dosis awal

dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis penunjang dapat diberikan dalam dosis tunggal

harian tanpa mengurangi efektifitasnya, karena masa paruh fenitoin cukup panjang, tetapi

pemberian dengan dosis terbagi akan menghasilkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah yang

minimal.

Pasien yang baru pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh efek,

karena adanya tenggang waktu (time lag).Untuk mengganti terapi epilepsi dari fenobarbital

menjadi fenitoin, harus dilakukan secara berangsur-angsur, sebab penghentian secara tiba-

tiba dapat menyebabkan bangkitan status epileptikus yang berbahaya.

Anda mungkin juga menyukai