Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Selalu ada resiko kegagalan (risk of failures) pada setiap aktivitas


pekerjaan. Saat kecelakaan kerja (work accident) terjadi, seberapapun kecilnya,
akan mengakibatkan efek kerugian (loss). Karena itu sebisa mungkin dan sedini
mungkin, potensi kecelakaan kerja harus dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi
dampaknya. Penanganan masalah keselamatan kerja di dalam sebuah perusahaan
harus dilakukan secara serius oleh seluruh komponen pelaku usaha, tidak bisa secara
parsial dan diperlakukan sebagai bahasan-bahasan marginal dalam perusahaan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat melindungi dan bebas dari kecelakaan kerja pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja
tidak saja menimbulkan korban jiwa tetapi juga kerugian materi bagi pekerja dan
pengusaha, tetapi dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Visi
Pembangunan Kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan adalah Indonesia Sehat
dimana penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2002).
Kesehatan kerja dapat tercapai secara optimal jika tiga komponen
berupa kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja dapat berinteraksi baik
dan serasi (Sumamur P.K, 2009).
Kecelakaan ditempat kerja merupakan penyebab utama penderita
perorangan dan penurunan produktivitas. Menurut ILO (2003), setiap hari rata-rata
6000 orang meninggal akibat sakit dan kecelakaan kerja atau 2,2 juta orang
pertahun sebanyak 300.000 orang pertahun, diantaranya meninggal akibat sakit
atau kecelakaan kerja.
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku
tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu

1
prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa
antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa
Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan
masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu
gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian
materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi
secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak
pada masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan
peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.
Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-
alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor
23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat
kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Kelelahan kerja merupakan masalah yang sangat penting perlu
ditanggulangi secara baik. Kelelahan kerja ditandai oleh adanya
penurunan kekuatan otot, rasa lelah yang merupakan gejala subjektif dan
penurunan kesiagaan (Sumamur P.K, 2009).

2
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan
hidupnya. Dalam bekerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor
yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit
atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan
lingkungannya. Untuk itulah penting bagi kita sebgai tenaga kesehatan untuk
mengetahui bagaiman penilaian risiko terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Secara filosofis, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diartikan sebagai
suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan jasmani maupun rohani
tenaga kerjapada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya
menuju masyarakat adil dan makmur.Sedangkan, secara keilmuan K3 diartikan
sebagai suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk pencegahan kecelakaan
seperti cacat dan kematian akibat kecelakaan kerja.Keselamatan kerja dalam
hubungannya dengan perlindungan tenaga kerja adalah salah satu segi penting
dari perlindungan tenaga kerja.(Sumamur, 2009). Keselamatan kerja yang
dilaksanakan sebaik-baiknya akan membawa iklim yang aman dan tenang dalam
bekerja sehingga sangat membantu hubungan kerja dan manajemen. (Sumamur,
2009).
Menurut Mangkunegara (2011) K3 adalah suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun
rohaniah.Keutuhan dan kesempurnaan tersebut ditujukan secara khusus terhadap
tenaga kerja, sehingga menghasilkan suatu hasil karya dan budaya untuk menuju
masyarakat yang adil dan makmur.

2.2 Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Sehat merupakan hak asasi setiap manusia.United Nations Declaration on
Human Rights yang dirumuskan pada tahun 1948 di Helzinki menyebutkan bahwa
setiap orang mempunyai hak asasi untuk bekerja, bebas memilih jenis pekerjaan
dan mendapatkan kondisi pekerjaan yang adil dan membuatnya sejahtera. Pada
tahun 1976, dalam United Nations International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights kembali disebutkan tentang perlunya kondisi kerja yang

4
selamat dan sehat sebagai hak asasi setiap orang. ILO sebagai organisasi pekerja
sedunia merumuskan pentingnya tempat kerja yang produktif dan layak
(productive and decent work place).
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan masalah dunia. Estimasi
Global yang dilaporkan ILO pada tahun 2002 menyebutkan, dari 2,8 milyar
tenaga kerja di dunia, dalam satu tahun terjadi 2,2 juta kematian terkait pekerjaan,
270 juta kecelakan kerja, 160 juta penyakit terkait kerjadengan kerugian sekitar
4% dari GDP global (30 triliun US dolar).
Pada awalnya pelaksanaan K3 mengacu kepada Veiligheidsreglement
tahun 1919 (Stbl.No.406), namun sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 14
tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Pekerja, maka disusun
undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan
kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan
teknologi. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, yang mengatur dengan jelas tentang kewajiban
pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
Mengingat faktor keselamatan sangat terkait dengan kesehatan maka pada tahap
selanjutnya kegiatan keselamatan kerja menjadi keselamatan dan kesehatan kerja
atau disingkat dengan K3.Sebagai penjabaran dan kelengkapan Undang-undang,
Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan
Presiden terkait penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja.
Undang-undang RI No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja memuat
tentang kewajiban pimpinan tempat kerja, kewajiban dan hak pekerj serta
ancaman pidana atas pelanggaran peraturan ini dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000, (seratus
ribu rupiah). Bahkan, secara khusus perusahaan berkewajiban memeriksakan
kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun
yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan
yang diberikan kepada pekerja serta pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD)

5
dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan.
Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 tentang
Kesehatan Kerja menekankan pentingnya kesehatan kerja agar setiap pekerja
dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya sehingga diperoleh produktifitas kerja yang optimal. Karena itu,
kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat
kerja dan syarat kesehatan kerja.Undang-undang ini pun memuat ancaman pidana
kurungan paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000.
(lima belas juta rupiah) bagi yang tidak menjalankan ketentuan undang-undang
tersebut.
Menaker juga secara khusus mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No.Per.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Kerja
(SMK3). Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai tujuan dan sasaran sistem
manajemen K3, penerapan sistem manajemen K3, audit sistem manajemen K3,
mekanisme pelaksanaan audit dan sertifikasi K3. Dalam lampiran peraturan
tersebut diuraikan mengenai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3 Yang
terdiri dari: Komitmen dan kebijakan, Perencanaan, Penerapan serta Pengukuran
dan Evaluasi.

2.3 Peranan dan Tujuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Beberapa pendapat para ahli tentang tujuan dari keselamatan dan
kesehatan kerja antara lain :
Menurut Gary J. Dessler (2005), peranan dan tujuan kesehatan dan
keselamatan kerja adalah Untuk sedapat mungkin memberikan jaminan kondisi
kerja yang aman dan sehat kepada setiap pekerja dan untuk melindungi sumber
daya manusia. Menurut Sumamur (2009), tujuan dari keselamatan dan
kesehatan kerja adalah :
a) Melindungi tenaga kerja atas hak dan keselamatannya dalam
melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan
kinerja

6
b) Menjamin keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja
c) Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan
efisien.
Menurut pendapat Sumamur (2009), menyebutkan bahwa dalam aneka
pendekatan keselamatan dan kesehatan kerja antara lain akan diuraikan
pentingnya perencanaan yang tepat, pakaian kerja yang tepat, penggunaan alat-
alat perlindungan diri, pengaturan warna, tanda-tanda petunjuk, label-label,
pengaturan pertukaran udara dan suhu serta usaha-usaha terhadap kebisingan.
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.Kep. 463/MEN/1993,
tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah mewujudkan masyarakat dan
lingkungan kerja yang aman, sehat dan sejahtera, sehingga akan tercapai ; suasana
lingkungan kerja yang aman, sehat dan nyaman dengan keadaan tenaga kerja yang
sehat fisik, mental, sosial dan bebas kecelakaan.

2.4 Strategi Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Setiap perusahaan sewajarnya memiliki strategi memperkecil atau bahkan
menghilangkan kejadian kecelakaan dan penyakit kerja di kalangan karyawan
sesuai dengan kondisi perusahaan (Ibrahim J.K., 2010).
Strategi yang perlu diterapkan perusahaan meliputi:
1. Pihak manajemen perlu menetapkan bentuk perlindungan bagi
karyawan dalam menghadapi kejadian kecelakaan dan penyakit kerja.
Misalnya terlihat keadaan finansial perusahaan, kesadaran karyawan
tentang keselamatan dan kesehatan kerja, serta tanggung jawab
perusahaan dan karyawan, maka perusahaan bisa jadi memiliki
tingkat perlindungan yang minimum bahkan maksimum.
2. Pihak manajemen dapat menentukan apakah peraturan tentang
keselamatan dan kesehatan kerja bersifat formal ataukah informal.
Secara formal di maksudkan setiap peraturan dinyatakan secara
tertulis, dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan. Sementara
secara informal dinyatakan tidak tertulis atau konvensi dan dilakukan
melalui pelatihan dan kesepakatan kesepakatan.

7
3. Pihak manajemen perlu proaktif dan reaktif dalam pengembangan
prosedur dan rencana tentang keselamtan dan kesehatan kerja
karyawan. Proaktif berarti pihak manajemen perlu memperbaiki terus
menerus prosedur dan rencana sesuai dengan kebutuhan perusahaan
dan karyawan. Sementara reaktif, pihak manajemen perlu segera
mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja setelah suatu
kejadian timbul.
4. Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat derajat keselamatan
dan kesehatan kerja yang tinggi sebagai faktor promosi perusahaan ke
khalayak luas. Artinya perusahaan sangat peduli dengan keselamatan
dan kesehatan kerja para karyawannya.
Untuk menentukan apakah suatu strategi efektif atau tidak, perusahaan
dapat membandingkan insiden, kegawatan dan frekuensi penyakit penyakit dan
kecelakaan sebelum dan sesudah strategi tersebut diberlakukan.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Anoraga (2005) mengemukakan aspek-aspek Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) meliputi:
a. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan tempat dimana seseorang atau karyawan
dalam beraktifitas bekerja. Lingkungan kerja dalam hal ini menyangkut
kondisi kerja, seperti ventilasi, suhu, penerangan dan situasinya.
b. Alat kerja dan bahan
Alat kerja dan bahan merupakan suatu hal yang pokok dibutuhkan oleh
perusahaan untuk memproduksi barang. Dalam memproduksi barang, alat-
alat kerja sangatlah vital yang digunakan oleh para pekerja dalam
melakukan kegiatan proses produksi dan disamping itu adalah bahan-
bahan utama yang akan dijadikan barang.
c. Cara melakukan pekerjaan
Setiap bagian-bagian produksi memiliki cara- cara melakukan pekerjaan
yang berbeda-beda yang dimiliki oleh karyawan. Cara-cara yang

8
biasanya dilakukan oleh karyawan dalam melakukan semua aktifitas
pekerjaan, misalnya menggunakan peralatan yang sudah tersedia dan
pelindung diri secara tepat dan mematuhi peraturan penggunaan peralatan
tersebut dan memahami cara mengoperasionalkan mesin.
Menurut Budiono dkk (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara lain:
a. Beban kerja
Beban kerja berupa beban fisik, mental dan sosial, sehingga upaya
penempatan pekerja yang sesuai dengan kemampuannya perlu
diperhatikan.
b. Kapasitas kerja
Kapasitas kerja yang banyak tergantung pada pendidikan, keterampilan,
kesegaran jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan sebagainya.
c. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja yang berupa faktor fisik, kimia, biologik, ergonomik,
maupun psikososial.Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa Aspek dan Faktor yang mempengaruhi Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) antara lain lingkungan kerja, alat kerja dan bahan, cara
melakukan pekerjaan,beban kerja, kapasitas kerja, dan lingkungan kerja.

2.6 Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Manajemen sebagai satu ilmu perilaku yang mencakup aspek sosial dan
eksak tidak terlepas dari tanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja, baik
dari segi perencanaan maupun pengambilan keputusan dan organisasi. Manajemen
seharusnya menyadari (Silalahi, 1995):
1. Adanya biaya pencegahan
2. Kerugian akibat kecelakaan menimpa karyawan dan peralatan
3. Antara biaya pencegahan dan kerugian akibat kecelakaan terdapat selisih
yang sukar ditetapkan
4. Kecelakaan kerja selalu menyangkut manusia, peralatan, dan proses.
5. Manusia merupakan faktor dominan dalam setiap kecelakaan.

9
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu masalah penting dalam
setiap masalah operasional, baik di sektor tradisional maupun sektor modern. Masalah
yang terjadi khususnya dalam masyarakat yang sedang beralih dari satu kebiasaan
kepada kebiasaan lain, perubahan-perubahan pada umumnya menimbulkan beberapa
permasalahan yang jika tidak ditanggulangi secara cermat dapat membawa berbagai
akibat buruk bahkan fatal.
Permasalahan yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja memerlukan
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja komprehensif antara lain dengan
(Simajuntak, 1994):
a. Menghimpun informasi dan data kasus kecelakaan secara periodik
b. Mengidentifikasi sebab-sebab kasus kecelakaan kerja
c. Menganalisa dampak kecelakaan kerja bagi pekerja sendiri, bagi pengusaha
dan bagi masyarakat pada umumnya.
d. Merumuskan saran-saran bagi pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk
menghindari kecelakaan kerja.
e. Memberikan saran mengenai sistem kompensasi atau santunan bagi mereka
yang menderita kecelakaan kerja.
f. Merumuskan sistem dan sarana pengawasan, pengaman lingkungan kerja,
pengukuran tingkat bahaya, serta kampanye menumbuhkan kesadaran dan
penyuluhan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pemerintah mengajak pengusaha dan serikat pekerja untuk menyusun
kebijaksanaan dan program yang melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan
dari kecelakaan kerja. Pengusaha diwajibkan menyusun sistem pencegahan
kecelakaan kerja termasuk identifikasi dan analisis sumber kecelakaan, cara
mengurangi akibat kecelakaan, perencanaan dan pemasangan instalasi pengaman,
penugasan tenaga khusus dan ahli di bidang keselamatan kerja, melaksanakan
inspeksi secara regular, serta menyusun program penyelamatan darurat bila terjadi
bencana atau kecelakaan kerja. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja: PER. 05/MEN/1996,
penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dibagi menjadi tiga tingkatan
yang kemudian akan digunakan sebagai dasar audit internal perusahaan yaitu:

10
a. Tingkat awal adalah perusahaan kecil atau perusahaan dengan tingkat
resiko rendah harus menetapkan sebanyak 64 kriteria.
b. Tingkat transisi adalah perusahaan sedang atau perusahaan dengan tingkat
resiko menengah harus menetapkan sebanyak 122 kriteria
c. Tingkat lanjutan adalah perusahaan besar atau perusahaan dengan tingkat
resiko tinggi harus menetapkan sebanyak 166 kriteria.
Dalam penentuan kriteria perusahaan juga dapat ditentukan melalui
kriteria kebakaran suatu perusahaan, sebagai contoh apabila perusahaan tersebut
berhubungandengan logam maka perusahaan tersebut dapat dikategorikan sebagai
perusahaan dengan kategori sedang dua, dan disimpulkaan bahwa perusahaan tersebut
perusahaan menengah.
Manajemen resiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko untuk
mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,
terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Sehingga
memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasildengan cara
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang ada.Pendekatan manajemen risiko
yang terstruktur dapat meningkatkan perbaikan berkelanjutan.
Manfaat dalam menerapkan manajemen risiko antara lain :
a. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dari setiap
kegiatan yang mengandung bahaya
b. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan
c. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai
kelangsungan dan keamanan investasinya
d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi
setiap unsur dalam organisasi/ perusahaan
e. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku
(Ramli, Soehatman.Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam Perspektif K3
OHS Risk Management - hal 4. Jakarta : PT.Dian Rakyat.2010)

Dalam menerapkan Manajemen Risiko K3, ada beberapa tahapan/langkah


yang perlu dilakukan. Hal ini bertujuan agar proses manajemen risiko K3 dapat

11
berjalan dengan tepat dan sesuai. Tahapan yang perlu dilakukan dalam
menerapkan manajemen risiko K3 adalah :
a. Menentukan Konteks
b. Melakukan Identifikasi Risiko
c. Penilaian Risiko
d. Pengendalian Risiko
e. Komunikasi dan Konsultasi
f. Pemantauan dan Tinjauan Ulang

Gambar 1. Proses Manajemen Risiko AS/NZS 4360:2004


Sumber : http://saiglobal.com, diunduh : 20 Januari 2016

2.6.1. Menentukan Konteks


Dalam menentukan konteks dilakukan dengan cara melihat visi
misi perusahaan, ruang lingkup bisnis perusahaan mulai dari proses
kerja awal sampai akhir. Hal ini dilakukan karena konteks risiko
disetiap perusahaan berbeda-beda sesuai dengan kegiatan bisnis yang
dilakukan. Kemudian langkah selanjutnya adalah menetapkan kriteria
risiko yang berlaku untuk perusahaan berdasarkan aspek nilai kerugian
yang dapat ditanggulangi oleh perusahaan. Kriteria risiko didapat dari

12
kombinasi kriteria tingkat kemungkinan dan keparahan. Dalam
menentukan tingkatan tersebut dapat digambarkan pada beberapa tabel
berikut :

Tabel 1. Nilai Tingkat Kemungkinan


Likelihood/Pro Rating Deskripsi
bability
Frequent 5 Selalu terjadi
Probable 4 Sering terjadi
Occasional 3 Kadang-kadang dapat
terjadi
Unlikely 2 Mungkin dapat terjadi
Improbable 1 Sangat jarang terjadi

Untuk menentukan nilai tingkat keparahan, dapat


digunakan tabel tersebut. Sehingga setiap kegiatan dapat dinilai
tingkatan kemungkinannya dalam menimbulkan incident atau
kerugian.

Tabel 2. Nilai Tingkat Keparahan


Severity Rating Deskripsi
Catastrophic 5 Meninggal dunia, cacat permanen/ serius,
kerusakan lingkungan yang parah, kebocoran B3,
kerugian finansial yang sangat besar, biaya
pengobatan > 50 juta.
Major 4 Hilang hari kerja, cacat permanen/ sebagian,
kerusakan lingkungan yang sedang, kerugian
finansial yang besar, biaya pengobatan < 50 juta.
Moderate/ 3 Membutuhkan perawatan medis, terganggunya
Serious pekerjaan, kerugian finansial cukup besar, perlu
bantuan pihak luar, biaya pengobatan < 10 juta.
Minor 2 Penanganan P3K, tidak terlalu memerlukan
bantuan dari luar, biaya finansial sedang, biaya
pengobatan < 1 juta
Negligible 1 Tidak mengganggu proses pekerjaan, tidak ada
cidera/ luka, kerugian financial kecil, biaya
pengobatan < 100 ribu.

Untuk menentukan tingkatan nilai keparahan yang terjadi


dari kegiatan yang dilakukan, dapat menggunakan tabel 2.

13
Kemudian kriteria risiko dapat digambarkan seperti pada
tabel berikut :

Tabel 3. Skala Tingkatan Risiko


Risk Rank Deskripsi
17 25 Extreme High Risk Risiko Sangat Tinggi
10 16 High Risk Risiko Tinggi
59 Medium Risk Risiko Sedang
14 Low Risk Risiko Rendah

Konteks manajemen risiko ini akan dijalankan dalam


organisasi atau perusahaan untuk acuan langkah manajemen risiko
k3 yang selanjutnya.

2.6.2 Identifikasi Risiko


Identifikasi bahaya adalah salah satu tahapan dari manajemen
risiko k3 yang bertujuan untuk mengetahui semua potensi bahaya yang
ada pada suatu kegiatan kerja/ proses kerja tertentu. Identifikasi
bahayamemberikan berbagai manfaat antara lain :
a. Mengurangi peluang kecelakaan karena dengan melakukan
identifikasi dapat diketahui faktor penyebab terjadinya keceakaan,
b. Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai
potensi bahaya yang ada dari setiap aktivitas perusahaan, sehingga
dapat meningkatkan pengetahuan karyawan untuk meningkatkan
kewaspadaan dan kesadaran akan safety saat bekerja,
c. Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi
pencegahan dan penanganan yang tepat, selain itu perusahaan dapat
memprioritaskan tindakan pengendalian berdasarkan potensi
bahaya tertinggi.
d. Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber
bahaya dalam perusahaan.

14
(Ramli, Soehatman.Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam
Perspektif K3 OHS Risk Management - hal 54-55. Jakarta :
PT.Dian Rakyat. 2010)

Cara melakukan identifikasi bahaya adalah :


a. Tentukan pekerjaan yang akan diidentifikasi
b. Urutkan langkah kerja mulai dari tahapan awal sampai pada tahap
akhir pekerjaan.
c. Kemudian tentukan jenis bahaya apa saja yang terkandung pada
setiap tahapan tersebut, dilihat dari bahaya fisik, kimia, mekanik,
biologi, ergonomic, psikologi, listrik dan kebakaran.
d. Setelah potensi bahaya diketahui, maka tentukan dampak/kerugian
yang dapat ditimbulkan dari potensi bahaya tersebut. Dapat
menggunakan metode What-If.
e. Kemudian catat dalam tabel, semua keterangan yang didapat.
f. Salah satu metoda yang dapat digunakan dalam melakukan
identifikasi bahaya adalah dengan membuat Job Safety
Analysis/Job Hazard Analysis. Selain JSA, ada beberapa teknik
yang dapat dipakai seperti(Fault Tree Analysis) FTA, (Event Tree
Analysis) ETA, (Failure Mode and Effect Analysis) FMEA,
(Hazards and Operability Study) Hazop, (Preliminary Hazards
Analysis) PHA, dll.

2.6.3. Penilaian Risiko


Setelah semua tahapan kerja diidentifikasi, langkah selanjutnya
adalah melakukan penilaian risiko untuk menentukan besarnya
tingkatan risiko yang ada. Tahapan ini dilakukan melalui proses analisa
risiko dan evaluasi risiko.
Analisa Risiko :
Analisa risiko dilakukan untuk menentukan besarnya suatu risiko
dengan mempertimbangkan tingkat keparahan dan kemungkinan yang

15
mungkin terjadi. Analisa ini dilakukan berdasarkan konteks yang telah
ditentukan oleh perusahaan, seperti tingkat kemungkinan tabel 1.,
tingkat keparahan 2. dan tingkat risiko tabel 3. Cara melakukan analisa
adalah :
a. Lakukan analisa dari setiap langkah kerja yang telah diidentifikasi
pada tahapan identifikasi bahaya.
b. Mengukur tingkat kemungkinan terjadinya incident dari setiap
tahapan kegiatan yang dilakukan berdasarkan acuan konteks yang
telah ditentukan pada tabel 1.
c. Mengukur tingkat keparahan yang dapat ditimbulkan dari setiap
potensi bahaya pada setiap tahapan kerja yang telah diidentifikasi.
Ukuran tingkat keparahan ditentukan berdasarkan acuan konteks
yang telah dibuat pada tabel 2.
d. Setelah tingkatan kemungkinan dan keparahan diketahui, lakukan
perhitungan menggunakan rumus berikut untuk mengetahui nilai
risikonya :
e. Membuat matriks risiko.

Tabel 4. Matriks Risiko

Sumber : http://saiglobal.com, diunduh : 20 Januari 2016

16
Evaluasi Risiko :
Setelah setiap tahapan kerja diidentifikasi dan dianalisa tingkat
risikonya, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi risiko.
Evaluasi risiko dilakukan untuk menentukan apakah risiko dari setiap
tahapan kerja dapat diterima atau tidak. Cara melakukan evaluasi
adalah:
a. Perusahaan/organisasi membuat kriteria risiko yang dapat diterima
(tingkat risiko low), tidak dapat diterima (tingkat
risiko high dan very high) dan dapat ditolerir (tingkat
risiko medium).
b. Setiap tahapan kerja yang telah dianalisa dan diketahui tingkat
risikonya, maka lakukan evaluasi apakah tingkatan risiko tersebut
dapat diterima, tidak dapat diterima atau dapat ditolerir.
c. Jika tingkatan risiko yang ada tidak dapat diterima, maka perlu
dilakukan tindakan pengendalian risiko guna menurunkan tingkatan
risiko tersebut sampai tingkatan rendah atau dapat ditolerir.

2.6.4. Pengendalian Risiko


Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan
menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. (Ramli,
Soehatman.Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam Perspektif K3
OHS Risk Management - hal 103. Jakarta : PT.Dian
Rakyat. 2010)Pengendalian risiko berperandalam meminimalisir/
mengurangi tingkat risiko yang ada sampai tingkat terendah atau
sampai tingkatan yang dapat ditolerir.
Cara pengendalian risiko dilakukan melalui :
1. Eliminasi : pengendalian ini dilakukan dengan cara
menghilangkan sumber bahaya (hazard).
2. Substitusi : mengurangi risiko dari bahaya dengan cara
mengganti proses, mengganti input dengan yang lebih rendah
risikonya.

17
3. Engineering : mengurangi risiko dari bahaya dengan metode
rekayasa teknik pada alat, mesin, Infrastruktur, lingkungan, dan
atau bangunan.
4. Administratif : mengurangi risiko bahaya dengan cera
melakukanpembuatan prosedur, aturan, pemasangan rambu (safety
sign), tanda peringatan, training dan seleksi terhadap kontraktor,
material serta mesin, cara pengatasan, penyimpanan dan pelabelan.
5. APD : mengurangi risiko bahaya dengan cara menggunakan alat
perlindungan diri misalnya safety helmet, masker, sepatu
safety, coverall, kacamata keselamatan,dan alat pelindung diri
lainnya yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan

2.7 Kecelakaan Kerja


Kecelakaan kerja adalah kecelakaan atau penyakit yang diderita oleh
seseorang akibat melakukan suatu pekerjaan atau ditimbulkan oleh lingkungan
kerja (Simajuntak, 1994).
Terdapat banyak faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit kerja.
Kecelakaan dan penyakit kerja dapat terjadi pada saat seseorang mengoperasikan
alat kerja atau produksi, antara lain karena:
1. Pekerja yang bersangkutan tidak terampil atau tidak mengetahui cara
mengoperasikan alat-alat tersebut.
2. Pekerja tidak hati-hati, lalai, terlalu lelah atau dalam keadaan sakit.
3. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
4. Alat kerja atau produksi yang digunakan dalam kesedaan tidak baik atau
tidak layak pakai lagi.
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat pula terjadi karena kondisi dan
lingkungan kerja yang tidak aman, misalnya dalam bentuk ledakan, kebakaran,
dan kebocoran atau perembesan unsur-unsur kimia berbahaya. Bencana
kecelakaan kerja tersebut dapat menimbulkan korban dan kerugian dalam bentuk:
1. Pekerja dan atau orang lain meninggal atau luka
2. Alat-alat produksi rusak

18
3. Bahan baku dan bahan produksi lainnya rusak
4. Bangunan terbakar atau roboh
5. Proses produksi terhenti atau terganggu
Kecelakaan kerja dapat dikategorikan dalam beberapa akibat yang
ditimbulkannya seperti (Simajuntak, 1994):
a. Meninggal dunia, termasuk kecelakaan yang paling fatal yang
menyebabkan penderita meninggal dunia walaupun telah mendapatkan
pertolongan dan perawatan sebelumnya.
b. Cacat permanen total adalah cacat yang mengakibatkan penderita secara
permanen tidak mampu lagi melakukan pekerjaan produktif karena
kehilangan atau tidak berfungsinya lagi bagian-bagian tubuh, seperti:
kedua mata, satu mata dan satu tangan atau satu lengan atau satu kaki. Dua
bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
c. Cacat permanen sebagian adalah cacat yang mengakibatkan satu bagian
tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama sekali tidak berfungsi.
d. Tidak mampu bekerja sementara, dimaksudkan baik ketika dalam masa
pengobatan maupun karena harus beristirahat menunggu kesembuhan,
sehingga ada hari-hari kerja hilang dalam arti yang bersangkutan tidak
melakukan kerja produktif.
Penyakit akibat kerja disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain (Silalahi,
1995):
1. Faktor biologis
2. Faktor kimia termasuk debu dan uap logam
3. Faktor fisik termasuk kebisingan/getaran, radiasi, penerangan, suhu, dan
kelembaban.
4. Faktor fisiologis
5. Faktor tekanan mental/stress.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk
menciptakan perlindungan dan keamanan dari risiko kecelakaan dan bahaya
baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan,
masyarakat dan lingkungan. Sebagai suatu sistem program yang dibuat bagi
pekerja maupun pengusaha, kesehatan dan keselamatan kerja atau K3
diharapkan dapat menjadi upaya preventif terhadap timbulnya kecelakaan
kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja.
Pelaksanaan K3 diawali dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan
tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem ini
adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja.
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan
kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan
terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan sistem
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang dalam hal ini tentu
melibatkan peran bagi semua pihak. Tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga
pengusaha itu sendiri, masyarakat dan lingkungan sehingga dapat tercapai
peningkatan mutu kehidupan dan produktivitas nasional.

B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam
pembangunan karena sakit dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian
ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau Negara. Oleh karena itu

20
kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja
oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat.
1. Bagi Perusahaan
Bagi pihak perusahaan disarankan untuk menekankan seminimal mungkin
terjadinya kecelakaan kerja, dengan jalan antara lain meningkatkan dan
menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan baik dan tepat.
Hal ini dapat dilakukan dengan sering diadakan sosialisasi tentang manfaat
dan arti pentingnya program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi
karyawan, seperti misalnya dengan pemberitahuan bagaimana cara
penggunaan peralatan, pemakaian alat pelindung diri, cara
mengoperasikan mesin secara baik dan benar. Selain itu perusahaan harus
meningkatkan program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta
menerangkan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam
kegiatan operasional.
2. Bagi Karyawan
Bagi karyawan lebih memperhatikan program keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) dengan bekerja secara disiplin dan berhati-hati serta mengikuti
proses yang berlaku.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Anoraga, P. 2005. Psikologi Kerja. Cetakan ketiga. PT.RinekaCipta :


Jakarta.
2. Budiono.S, Jusuf, Pusparini, A. 2003. BungaRampai HIPERKES & KK.
Cetakanpertama. Badan Penerbit Universitas Dipenogoro Semarang.
3. Dessler, Gary. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Alih bahasa:
Eli Tanya. Penyunting Bahasa: Budi Supriyanto. Jakarta: Indeks.
4. Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2008. Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jakarta: author.
5. Ibrahim JK.,Ismi D. 2010. Pelaksanaan Program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Karyawan PT. Bitratex Industries Semarang. Jurnal
Studi Manajemen & Organisasi Universitas Diponegoro, Semarang.
6. International Labour Organization. 2011. World Statistics: The
enormous Burden of poor working conditions.Diaksesdari:
http://www.ilo.org/public/english/region/eurpro/moscow/areas/safety/sta
tistic.html
7. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. 2011. Manajemen Sumber Daya
Manusia Perusahaan. Bandung : Rosda
8. Peraturan Departmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:
PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
9. Republik Indonesia. Undang-UndangNomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2918. Sekretariat Negara. Jakarta.
10. Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang RI No.23 Tahun 1992
tentang Kesehatan. Sekretariat Negara. Jakarta

22
11. Silalahi,Rumondang.1995. Manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
12. Simanjuntak, Payaman J., 1994. Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta: HIPSMI.
13. Suma'mur, 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(HIPERKES). Jakarta: Agung Seto
14. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

23

Anda mungkin juga menyukai