Anda di halaman 1dari 46

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu Kemaharajaan maritim yang kuat di pulau

Sumatera. Berdiri pada abad ke VII, dibawah kekuasaan Wangsa Sailendra sekitar tahun
600-1400 M.
Sedangkan, Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya dan menjadi Kemaharajaan Raya yang menguasai wilayah yang luas pada
masa kekusaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Dari sejarah dan peninggalan-peninggalannya, kehidupan pada Kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas tentang nilai-nilai pancasila dalam masa
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi
semua belah pihak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai Pancasila sila pertama pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
2. Bagaimana nilai Pancasila sila kedua pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
3. Bagaimana nilai Pancasila sila ketiga pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
4. Bagaimana nilai Pancasila sila keempat pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
5. Bagaimana nilai Pancasila sila kelima pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai Pancasila sila pertama pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.
2. Untuk mengetahui nilai Pancasila sila kedua pada masa Kerajaan sriwijaya dan Majapahit.
3. Untuk mengetahui nilai Pancasila sila ketiga pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.
4. Untuk mengetahui nilai Pancasila sila keempat pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.
5. Untuk mengetahui nilai Pancasila sila kelima pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


Ada pun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui nilai Pancasila sila pertama pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui nilai Pancasila sila kedua pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui nilai Pancasila sila ketiga pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui nilai Pancasila sila keempat pada masa Kerajaan
Sriwiaya dan Majapahit.
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui nilai Pancasila sila kelima pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Nilai-nilai Pancasila Pada Masa Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke VII, di bawah kekuasaan Wangsa Sailendra
dikenal sebagai Kerajaan Maritim yang mengadakan jalur perhubungan laut. Sistem
perdagangan telah diatur dengan baik, supaya rakyat mengalami kemudahan dalam
pemasarannya. Selain itu juga sudah ada badan yang bertugas mengurus pajak, harta
benda kerajaan, kerohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan dan patung-
patung suci sehingga kerajaan dapat menjalakan sistem negaranya dengan nilai-nilai
ketuhanan.
Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu Negara telah tercermin dalam Kerajaan
Sriwijaya sebagaimana tersebut dalam perkataan Marvuai Vannua Criwijaya
Siddhayatra Subhika (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).
Pada hakekatnya nilai-niai budaya Kerajaan Sriwijaya telah menunjukan nilai-nilai
Pancasila, yaitu sebagai berikut:
a) Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya agama Budha dan Hindu yang hidup
berdampingan secara damai. Pada Kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan
dan pengembangan agama Buddha.
b) Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Marsha).
Pengiriman para pemuda untuk belajar ke India menunjukan telah tumbuh nilai-nilai
politik luar negeri yang bebas aktif.
c) Nilai sila ketiga, sebagai Negara Maritim, Kerajaan Sriwijaya telah menerapkan konsep
Negara kepulauan sesuai dengan konsep wawasan nusantara.
d) Nilai sila keempat, Kerajaan Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang luas meliputi
Siam dan Semenanjung Melayu
e) Nilai sila kelima, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.
2.2 Nilai-nilai Pancasila Pada Masa Kerajaan Majapahit
Sebelum Kerajaan Majapahit berdiri telah berdiri kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur secara silih berganti yaitu, Kerajaan Kalingga(abad ke-VII), Sanjaya(abad keVIII),
sebagai refleksi puncak budaya kerajaan tersebut dibangunnya Candi Borobudur dan
Candi Prambanan.
Agama yang dilaksanakan pada zaman Kerajaan Majapahit ini adalah Agama Hindu
dan Budha yang saling hidup berdampingan secara damai. Pada masa ini mulai dikenal
beberapa istilah dan nilai-nilai Pancasila pada Kerajaan Majapahit, yaitu sebagai berikut:
a) Nilai sila pertama, terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan
secara damai. Istilah Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Empu
Prapanca dan Empu Tantular mengarang buku Sutasoma yang terdapat Sloka persatuan
nasional yang berbunyiBhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua yang
artinya, walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua dan tidak ada agama yang memiliki
tujuan berbeda.
b) Nilai sila kedua, terwujud pada hubungan baik Raja Hayam Wuruk dengan Kerajaan
Tiongkok, Ayoda, Champa, dan Kamboja. Disamping itu juga menjalin persahabatan
dengan Negara-negara tetangga.
c) Nilai sila ketiga, terwujud dengan keutuhan kerajaan. Khususnya dalam Sumpah Palapa
yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri
pada tahun 1331
d) Nilai sila keempat, terdapat semacam penasehat dalam tata pemerintahan Majapahit yang
menunjukan nilai-nilai musyawarah mufakat. Menurut Prasasti Kerajaan
Brambang(1329), dalam tata Pemerintahan Kerajaan Majapahit terdapat semacam
penasehat kerajaan. Seperti, Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yng berarti memberikan
nasehat kepada Raja. Kerukunan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah
menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
e) Nilai sila kelima, terwujud dengan berdirinya kerajaan selama beberapa abad yang
ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasaan diatas, dapat disimpulkan bahwa, pada hakekatnya
nilai-nilai budaya pada kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit telah menunjukan
nilai-nilai Pancasila. Yang terwujud dalam Peniggalan-peninggalan dan histori
kehidupannya.

3.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan bahwa sebagai calon guru dan generasi pemuda
Indonesia yang hidup pada masa modern, sudah semestinya kita mempertahankan juga
mempraktekannya pada kehidupan kita sehari-hari.
Menjadi manusia yang ber-Pancasila, sehingga nantinya kita bisa memberi contoh
yang baik bagi peserta didik dan menjadi Warga Negara yang seutuhnya.

1. Nilai-Nilai Pancasila Pada Masa Kerajaan Nasional


a. Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya, nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila, telah
menjadi asas-asas yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia pada waktu itu.
Nilai-nilai Pancasila tersebut dihayati dan dilaksanakan hanya saja belum
dilaksanakan secara konkrit.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya, nilai-nilai dasar Pancasila telah hidup dan
terpelihara dalam masyarakat seperti berikut:
1. Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya kerukunan hidup antara umat agama
Budha dan Hindu yang hidup secara damai. Selain itu di Kerajaan Sriwijaya juga
terdapat pusat pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2. Nilai sila kedua, terwujud dengan terjadinya hubungan antara Sriwijaya dan India
(Dinasti Harsha) dalam bentuk pengiriman para pemuda untuk belajar di India.
Contoh tersebut merupakan bukti bahwa pada masa tersebut telah tumbuh niali-
nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3. Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep
Wawasan Nusantara.
4. Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang, Siam, dan Semenanjung Melayu.
5. Nilai sila kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.

b. Masa Kerajaan Majapahit.


Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, nilai-nilai dasar Pancasila telah hidup dan
terpelihara dalam masyarakat seperti berikut:
1. Nilai-nilai sila pertama, terwujud dengan adanya kerukunan hidup antara uyamt
agama Budha dan Hindu. Kerukunan umat beragama ini sudah menunjukkan sikap
toleransi antar uamt beragama,. Kerukunan umat beragama digambarkan oleh
Empu Tantular dalam bukunya Sutasoma. Dalam buku Sutasoma terdapat seloka
persatuan nasional yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Mangrua
artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama memiliki
tujuan bebeda. Seloka toleransi ini juga diterima oleh Kerajaan Pasai di Sumatra
sebagai bagian dari kerajaan Majapahit walaupun sebagian besar masyarakatnya
telah menganut agama islam.
2. Nilai sila kedua, telah tewujud lewat hubungan baik antara Raja Hayam
Wuruk dengan Kerajaan Tiongkok, Ayodia, Champa dan Kamboja. Selain itu
Kerajaan Majapahit juga mengadakan persahabatan dengan Negara-negara
tetangga atas dasar Mitreka Satata.
3. Nilai sila ketiga, terwujud dengan keutuhan kerajaan lewat Sumpah Palapa yang
diucapkan oleh Patih Gajah Mada pada siding ratu dan menteri-menteri pada tahun
1331 yang bercita-cita mempersatukan seluruh nusantara.
4. Nilai sila keempat, terwujud lewat kerukunan dan budaya gotong royong dalam
kehidupan masyarakat. Budaya tersebut telah menumbuhkan adat bermusyawarah
untuk mencapai mufakat dalam memutuskan setiap masalah. Selain itu dalam tata
pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan, seperti
Rakryan, I Hino, I Sirikan dan I Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada
raja.
5. Nilai sila kelima, terwujud dari kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Sebutkan nilai-nilai Pancasila yang terlihat dalam zaman Sriwijaya dan


Majapahit?

Jawab

Masa Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Nasional Ke-


dua. Kerajaan Majapahit didirikan Oleh Raden Wijaya dengan gelar Kertarajasa.
Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaan pada saat pemerintahan Raja Hayam
Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada, yang dibantu oleh Laksamana Nala,
dimana wilayah kekuasaannya meliputi Semenanjung Malaya sampai Irian Barat
melalui Kalimantan Utara.Pada masanya Agama Hindu dan Agama BUdha hidup
berdampingan secara damai.

Peristiwa yang menunjukan nilai sila ke-3 yaitu nilai persatuan dan kesatuan pada
jaman kerajaan majapahit adalah Peristiwa Sumpah Palapa. Sumpah Palapa adalah
suatu pernyataan atau sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka
(1336 M). Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil
menyatukan Nusantara. Atas sumpah palapa ini majapahit pun berhasil
menaklukkan/mempersatukan nusanta.

NO 02
PEMBAHASAN

Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh
nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran.
Hal berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan
masyarakat, mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini
merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak
tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi,
kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia
telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk
pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang
serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu
manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga
mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari
norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain
faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal
yang ikut menggeser dan melunturkan nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran
internet. Di dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita
adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila
kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi
sosial dan degradasi moral karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai
warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak
menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi
negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat,
memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945,
merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus
cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar
mampu menciptakan kesejahteraan umum yang terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha
menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya
bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik
dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala
bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun
masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan
ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga
keadilan sosial dapat terwujud.

1. Hilangnya manusia yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa


Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan
dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu
kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini
adalah adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama
yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang
mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan
mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern
sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat
Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan
beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu
kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu batas dan
pengingat saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa
rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini
sudah sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme ) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi
para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi
seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan
terjadi apabila para pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan
kepada nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai
perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia
bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan
umum. Selain itu saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya
Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu ( NU,
Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca
Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya
globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya
saja, makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme
yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar
bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita
kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara
langsung atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan
memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi
tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang
dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai
Narkoba di Indonesia yang didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi
kriminalitas yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan peningkatan mutu
kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan
teknologi ini pula yang bisa membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada
khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu
sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Langkanya Kemanusiaan yang adil dan beradab


Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam
kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki
tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah
bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan
masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua
yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang
ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau
ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang
menamai dirinya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat saat berlangsungnya Sidang Paripurna
terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan
tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno?
Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat
fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidak adilan
hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti Pisau tajam kebawah, akan tetapi tumpul
keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan
trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh
adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa
bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang
nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100
yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia
harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan.
Selain itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi saat sidang
Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi
baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum
sepenuhnya terlaksana.

3. Retaknya Persatuan Indonesia


Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih
dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah payah berusaha untuk
mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara yang
disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari
generasi sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib
pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun,
sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan
teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan
mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang
jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang memiliki
berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata terhadap
kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah justru cenderung memanfaatkan
situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam aset milik
masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah
satu alasan dari retaknya Persatuan Indonesia karena masyarakat lokal merasa di anak
tirikan oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama
OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS (
Republik Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ),
akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai berdasarkan hasil
konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme dari beberbagai daerah
seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang
merasa dilupakan oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan,
pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan
masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme
mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah
salah satu bukti dari Retaknya Persatuan Indonesia
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila
ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering mendengar
terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini
menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara
Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam
hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh negastif yang secara tidak langsung diberikan
dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air baik secara
langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI,
dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu ,
ISL ( Indonesia Super League ) dengan IPL ( Indonesia Premier League ).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah
konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum Indonesia merdeka, dengan asumsi
bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa
bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah,
seluruh perbedaan primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati
diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus menghilangkan ciri khas
dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di
pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka
pada dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban
hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah
putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah
perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan,
transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya
yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis
kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila
pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun
kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai daerah
dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.

4. Tidak adanya Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan dan perwakilan
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari
seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang
keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila
pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak
enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden
dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar
dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan ? .
Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin
Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan
para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit
memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi elite
politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April kemarin ? Dalam sidang tersebut
terlihat jelas bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan
ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami
tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan
pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk
memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang
dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan
menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan
kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyat
Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan
dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting
tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak.
Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila
khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan
memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan
tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini maka tidak akan ada
perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini pada
zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan
kepribadian bangsa. Selain itu, pada era globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-
negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia,
neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara
pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa melunturkan Pancasila
dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa.

Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah


hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-
unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara
mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan
nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik
Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat
oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita
hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).

5. Mimpi Indonesia tentang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai
macam indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah
diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang
dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih
hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat
miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat
yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia
pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas
mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang
layak adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis
kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang
berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Jika kita melihat dari sudut pandang
antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal
pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal
pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan
dan pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi,
hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.

6. Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila


Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi dari dunia maju,
dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan
beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan
dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda
ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan
hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat
pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika
orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan
senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu.
Sedangkan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral,
dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan
serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang
ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-
hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari
agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah
suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.

Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah
maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan
menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus
dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap
anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas
dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan
sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa
mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh
anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah
Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari
saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada
pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil
peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar
sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak
didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan
kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan
mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk
menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka
didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang.
Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat
yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan
orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya
dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi
muda sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan
masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling
bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.

Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya karena budaya
materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan
dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi
mengantongi obat-obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-
banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak
moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata
mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis
dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-
siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu
didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan
memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan
moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya
dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.

Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah


yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang, teknologi, sumber daya manusia dan
sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka
pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah
sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan
sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga
kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan
sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi
kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang
disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehiangan daya
efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral
bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang
dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa
dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.

Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat
domestik,regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945-66
tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus
berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain :
terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; perkembangan gagasan hak asasi manusia (
HAM ) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasimanusia ( KAM ); lonjakan pemanfaatan
teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat
berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap manipulasi
informasi dengan segala dampaknya.

Keenam, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat


terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat
generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa
lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya amnesia
nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai ground norm ( norma dasar ) yang
mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa,
adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui
sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh
problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang
berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan
ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massive yang tidak jarang kemudian
menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah
sebagai tidak Pancasilais atau anti Pancasila . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa
melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncul
lah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan
instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi
ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma
sejarah yang harus dilupakan. Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu,
menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen
kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok
orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar
penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada,
Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan
akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasarnegara akan tetap ada dan tak akan menyertai
kepergian sebuah era pemerintahan.
Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami
bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk
dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya
perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi
bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan
datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita
melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari
kehidupan nyata bangsa Indonesia.

7. Antisipasi

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam
negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis


pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya
nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak
akan kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.

KESIMPULAN

Pada akhirnya kami dapat menarik satu kesimpulan bahwa, hampir 75% nilai-nilai yang
terdapat dalam Pancasila sudah luntur atau bahkan dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor internal dan eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila
masyarakat Indonesia tidak segera berbenah diri dan mulai untuk mengimplementasikan nilai-
nilai yang ada di dalam Pancasila kedalam kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak
mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik identitas ideologi
ataupun identitas dari POLEKSOSBUDHANKAM. Jadi, masih bisakah kita memandang
permasalahan lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan sebelah mata? Masih bisakah kita untuk
tetap melupakan nilai-nilai asli dari bangsa kita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan
oleh para Founding Father negara kita ?. Nasib bangsa Indonesia berada di tangan kita masing-
masing.

NO 3

Masihkah Indonesia Negara yang Ramah?

Konon kita bangga dengan sebutan sebagai negara dengan penduduk yang ramah tamah, sopan
santun dan menjunjung tinggi kesetiakawanan. Tapi tunggu dulu jangan terlalu kita bangga
dengan sebutan kuno itu. Untuk membuktikan apakah nilai kesopanan dan keramahan kita
bukan hanya cerita masa lalu, tentu kita perlu mendengar penilaian dari orang lain. Beberapa
lembaga survey independen yang dilakukan dan dipublish oleh beberapa media massa, yakni
Readers Digest dan Forbes berkata lain.

Negara Teramah (Worlds Friendliest Countries)

Media Forbes mempublikasi survey terhadap 3,100 ekpatriat dari bulan Februari hingga April
2009. Metodologi yang dipakai adalah dengan cara menanyakan 23 hal yang berkaitan dengan
kualitas hidup, termasuk layanan makanan, hiburan, transportasi, pelayanan kesehatan, bidang
keuangan, pendidikan dan yang pasti tentang kesempatan untuk menjalin perkawanan di negara
asing tersebut. Masing-masing kriteria tersebut diberi bobot yang setara, kemudian dibuat nilai
rata-rata. Survey ini diawasi oleh HSBC Bank International and dilakukan oleh sebuah
perusahaan riset internasional FreshMinds.

Dari hasil riset tersebut, dipublishlah 10 negara teramah di dunia, secara berurutan negara
tersebut adalah Bahrain, Canada, Australia, Thailand, Malaysia, South Africa, Hong Kong,
Singapore, Spain dan USA. Lalu di mana Indonesia? entahlah. Yang pasti ada 3 negara jiran kita
yang bertenger di situ dipimpin oleh Thailand. Thailand memiliki nilai yang tinggi pada kriteria
making local friends dan joining community groups, artinya adalah bahwa masyarakat
mereka sangat welcome akan kehadiran orang asing, dan bagi orang asing sikap tersebut sangat
menyenangkan bagi mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal yang sama terjadi di
Malaysia dan Singapore.

Saya pernah 3 tahun hidup di Thailand, khususnya di Bangkok, bagi saya masyarakat Thailand
itu luar biasa ramah, sopan dan welcome terhadap orang asing. Secara singkat boleh saya
mengatakan pantas kalau kemudian banyak turis asing yang lebih tertarik datang ke Thailand,
Malaysia ataupun Singapore dibanding datang ke Indonesia. List lengkap hasil survey ini bisa
dilihat di link berikut.

Negara Tersopan (World of Courtesy)

Survey kali ini dilakukan oleh Readers Digest, namun sekitar 4 tahun lalu, tepatnya pada tahun
2006. Survey dilakukan di beberapa kota besar seluruh dunia. Survey ini meliputi kesopanan di
berbagai sektor, terutama di bagian pelayanan umum. Hasilnya cukup mencengangkan,
Indonesia yang diwakili oleh ibu kota Jakarta menempati posisi 27 dari 35 kota yang disurvey,
tepatnya ada 43% orang Indonesia yang lolos uji kesopanan. Hasil ini sedikit lebih baik dari pada
Singapore dan Kuala Lumpur, yakni 42% dan 37%. Namun, tetap Bangkok berada lebih baik
dari pada kita, yakni sebanyak 45% orang yang lolos tes kesopanan. Kota tertinggi di dunia yang
memiliki tingkat kesopanan warganya yang tinggi adalah Zurich di Swiss, sebesar 77%. Hasil
selengkapnya bisa dilihat di link berikut.

Mari Berkaca

Setelah kita melihat hasil penilaian orang lain, alangkah lebih bijak kalau kita melihat diri kita
sendiri, betulkah kita masih menjadi orang yang ramah. Ramah dalam arti bahwa kita menjadi
orang yang menyenangkan bagi orang lain, atau bagi lingkungan kita secara luas. Kalau kita mau
melihat apa yang dewasa ini terjadi di negara kita, rasanya memang kita perlu jujur bahwa kita
tidak seramah manusia Indonesia yang dulu. Orang Indonesia terkenal akan senyumnya yang
ramah, kesetiakawanan yang tinggi, serta memiliki kepedulian akan sesama.

Banyak kejadian mahasiswa yang melakukan demonstrasi berakhir dengan tindakan anarkis,
padahal mahasiswa adalah makhluk yang tidak hanya intelek, tapi juga terdidik. Kericuhan dan
perkelahian antar pelajar, mahasiswa, geng, dan antar suku terjadi di mana-mana. Masyarakat
menjadi gampang tersulut emosinya, mudah bertindak secara anarkis. Selain itu, banyak korupsi
di mana-mana padahal masih ada jutaan orang Indonesia berada di garis kemiskinan, akibat
korupsi pula kemiskinan itu tercipta, dan akan terus memiskinkan rakyat Indonesia.

Jadi, masihkah Indonesia negara yang ramah dan penuh sopan santun? jika tidak, tentu menjadi
kewajiban kita untuk saling memperbaiki diri kita sendiri.

Setujukah anda jika indonesia disebut sebagai bangsa yg ramah, sopan


dan agamis?
Jawaban

Setuju dengan catatan,minus mereka2 yang penganjur kekerasan.

sangat setuju.. karena Indonesia sangat terkenal dengan keramahan dan multikulturalnya.
terbukti dengan survei terhadap para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, bahwa
kebanyakan dari mereka yang dapat dikatakan ketagihan dengan suasana dan keramahan
masyarakat di Indonesia.

Setuju..krn masyarakat bangsa kita sangat mengutamakan keramahan kpd org laen..makanya
byk org dr negara lain berkunjung ke Indonesia mereka kebanyakan mengatakan masyarakat
kita sgt ramah..
sopan..iya tentu saja..jk kita melewati org laen maka kita akan sedikit membungkuk n berkata
permisi..negara lain tdk seperti itu..
negara agamis..iya..krn negara kita menghormati perbedaan agama n mengakui semua agama
tsb hanya saja masyarakatny byk yg fanatic

NO 4

PENDAHULUAN

Indonesia adalah Bangsa yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sejarah, yang tentunya budaya
dan sejarah tersebut mempengaruhi semua aspek kehidupan dan memberikan serta membantu
dalam pembentukan pola fikir dan paradigma masyarakat dalam bernegara dan bertanah air.

Di era globalisasi dan jaringan informasi yang dapat di akses oleh siapapun dan kapanpun
mengakibatkan terjadinya perkembangan di segala sektor dan pemahaman baru tentang budaya
serta penerapan-penerapan akan pola yang diterapkan oleh Negara lain.

Salah satu Negara yang menjadi tujuan dan penyebaran jaringan informasi dan budaya global
adalah Indonesia, karena Indonesia adalah Negara berkembang dengan tingkat populasi yang
selalu meningkat dan ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan untuk mengakses
informasi baik itu dalam bentuk informasi data maupun informasi global yang termasuk di
dalamnya unsur-unsur budaya asing yang notabene tidaklah sesuai dengan budaya Timur yang
merupakan ciri khas Bangsa Indonesia.

Indonesia dan masyarakat dunia memiliki visi yang sama akan kemajuan dan peningkatan taraf
hidup serta kemajuan dalam system pemerintahan, tetapi apakah kemajuan dan peningkatan taraf
hidup tersebut harus mengorbankan nilai-nilai budaya yang begitu berharga. Dan sudah
semestinya sebagai generasi penerus, kita harus melestarikan budaya-budaya Indonesia yang
mulai terkontaminasi oleh budaya-budaya asing yang negatif dan tidak membangun karateristik
masyarakat Indonesia.

Disini kami akan menjelaskan sedikit tentang identitas nasional dan pengaruh globalisasi
terhadapnya.

IDENTITAS NASIONAL

1. A. Pengertian Identitas Nasional

Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan
suatu keunikannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Nasional berasal dari katanati on
yang memiliki arti bangsa, menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang
memiliki semangat, cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan
identitas nasional adalah ciri-ciri, kepribadian, atau jati diri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang
membedakannya dengan bangsa lain di dunia.

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri
khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya.

Dengan demikian identitas nasional suatu bangsa adalah ciri khas yang dimiliki suatu bangsa
yang membedakannya dari bangsa lainnya. Namun demikian proses pembetukan Identitas
nasional bukan merupakan sesuatu yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan terus
berkembang mengikuti perkembangan jaman. Akan terjadi pergeseran nilai dari identitas itu
sendiri apabila identitas itu tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sehingga mengakibatkan identitas
global akan mempengaruhi nilai identitas nasional itu sendiri.

Secara umum terdapat beberapa dimensi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur
identitas itu secara normatif, berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis.

Beberapa dimensi dalam identitas nasional antara lain:

Pola Perilaku

adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, Misalnya : adat
istiadat, budaya, dan kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong
merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat istiadat dan budaya. Semangat
masyarakat tentang pola perilaku ini sudah mulai memudar, seiring dengan waktu budaya ramah
tamah khas Indonesia serta semangat gotong royong sudah beralih wajah menjadi acuh tak acuh
dan individualistis dan materialistis.

Lambang-Lambang

adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi Negara. lambang-lambang ini biasanya
dinyatakan dalam undang-undang, Misalnya : Bendera, Bahasa, dan lagu Kebangsaan.
Alat-alat perlengkapan

adalah Sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan
yang berupa bangunan, peralatan dan tekhnologi, misalnya : bangunan candi, Masjid, Gereja,
Peralatan manusia seperti pakaian Adat, dan teknologi Bercocok tanam : dan teknologi seperti
kapal laut, Pesawat terbang, dan lainnya

Tujuan yang Ingin dicapai

Identitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti : Budaya
Unggul, presentasi dalam bidang tertentu. Sebagai sebuah bangsa yang mendiami sebuah
Negara, tujuan bersama bangsa Indonesia telah tertuang dalam pembukaan UUD 45, Yakni
kecerdasan dan kesejahteraan bersama bangsa Indonesia. Dan dalam usaha tersebut pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan dunia pendidikan, peningkatan pendidikan akan mempengaruhi
kesejahteraan rakyat Indonesia secara tidak langsung.

Salah satu identitas bangsa Indonesia adalah ia dikenal sebagai sebuah bangsa yang majemuk.
Kemajemukan Indonesia dapat dilihat dari sisi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama dan
bahasa.

1. Sejarah

Indonesia adalah Negara yang begitu kaya akan nilai sejarah, itu dao=pat dibuktikan dari
berbagai tulisan pakar tentang sejarah perjuangan dan usaha dalam merebut kemerdekaan.
Sejarah juga mencatat, sebelum menjadi sebuah identitas negara bangsa yang Modern, bangsa
Indonesia pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Semangat juang bangsa Indonesia
dalam mengusir penjajah menurut banyak kalangan telah menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa
Indonesia yang kemudian menjadi salah satu unsur pembentuk identitas nasional Indonesia.

1. Kebudayaan
Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi tiga unsur yaitu :
akal budi, peradaban dan pengetahuan. Akal Budi bangsa Indonesia, misalnya dapat dilihat pada
sikap ramah dan santun bangsa Indonesia . Sedangkan unsur Identitas peradabannya, salah
satunya tercermin dari keberadaan dasar negara Pancasila sebagai kompromi nilai-nilai bersama
( shared values ) bangsa Indonesia yang majemuk, sebagai bangsa maritim, kehandalan bangsa
Indonesia dalam pembuatan kapal pinisi di masa lalu merupakan identitas pengetahuan bangsa
Indonesia yang tidak memiliki oleh bangsa lain di dunia.

1. Suku Bangsa

Kemajemukan merupakan Identitas lain bangsa Indonesia. Namun demikian , lebih dari sekedar
kemajemukan yang bersifat alamiah tersebut, tradisi, tradisi bangsa Indonesia untuk hidup
bersama dalam kemajemukan merupakan hal lain yang harus terus dikembangkan dan
dibudayakan, kemajemukan alamiah bangsa Indonesia dapat dilihat pada keberadaan lebih dari
300 kelompok suku, beragam bahasa, budaya dan keyakinan yang mendiami kepulauan
nusantara.

1. Agama

Keanekaragam Agama merupakan identitas lain dari kemajemukan alamiah Indonesia.


Menyukuri nikmat kemajemukan pemberian Allah dapat dilakukan dengan salah satunya, sikap
dan tindakan untuk tidak memaksakan keyakinan dan tradisi suatu agama, baik mayoritas
maupun minoritas atas kelompok lainnya.

1. Bahasa

Bahasa adalah salah satu atribut identitas nasional Indonesia. Sekalipun Indonesia memiliki
ribuan bahasa daerah, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung ( lingua franca )
berbagai kelompok etnis yang mendiami kepulauan nusantara memberikan nilai identitas
tersendiri bagi bangsa Indonesia.
1. B. Identitas Nasional Negara Kita

Indonesia adalah negara besar. Negara dengan pulau terbanyak di dunia (17.504), lebih dari 300
suku bangsa, serta tidak kurang dari 200 bahasa daerah dengan 67 bahasa induk. Jumlah
penduduk Indonesia menurut BPS pada tahun 2009 ini berjumlah 231 juta jiwa. Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang plural dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah pemersatu
bangsa kita.

Pertanyaannya, Apa identitas bangsa Indonesia sesungguhnya? Pertanyaan ini penting untuk
menilai keberadaan bangsa Indonesia yang terus membangun identitasnya. Bangsa yang
terbentuk dari berbagai kelompok, dalam proses integrasinya, tentu berusaha hidup dengan
identitas kebangsaan yang mengatasi identitas primordialnya. Di sinilah terletak urgensi dari
pertanyaan di atas. Jika Indonesia bukan Jawa, bukan Ambon, bukan Batak, bukan Madura,
bukan Sunda, bukan Dayak, bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, bukan Buddha, bukan
Konghucu, dst. Indonesia itu apa? Dari telaah identitas Indonesia dengan paham nasionalnya,
maka Indonesia adalah semuanya. Integrasi dari semuanya adalah Indonesia, tanpa harus
mengeliminir satu kelompok, dan tanpa didominasi oleh satu kelompok. Proses interaksi antar

kelompok dalam prinsip kesetaraan akan menghasilkan sebuah identitas Indonesia. Minimal

Ciri-ciri utama yang melekat sebagai identitas nasional Indonesia adalah:

1. Pluralisme dan Multikulturalisme

Kita tidak dapat mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat
bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh
warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan
agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku
dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi,
tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam
percaturan hidup sehari-hari.
Salah satu isu penting yang mengiringi gelombang demokrasi adalah munculnya wacana
multikulturisme. Multikulturisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa maupun agama. Gerakan
multicultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia sekitar 1950-an.

Multikultural menjadi semacam respon kebijakan baru dalam keragaman.dengan kata lain,
adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah komunitas
tersebut diperlukan sama oleh warga Negara maupan Negara.

Menurut Achmad Fedyani Safiudin menyatakan ada tiga cara pandang atau pemahaman orang
tentang multikulturisme, yaitu; 1. Popular; 2. Akademik; 3. Politis.

Karakter masyarakat multikultur adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peacepul co-
existace, hidup berdampingan secara damai. Dalam perspektif multikulturisme, baik individu
maupun kelompok hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur
mereka.

Ini adalah harapan kita semua, bagaimana kita dapat mengadopsi nilai dan budaya dari luar yang
baik bagi bangsa ini serta adanya badan pengawasan serta pengembangan budaya asli Indonesia
dari Pemerintah, jangan sampai budaya tersebut menjadi terkikis dan hilang dari masyarakatnya
sendiri, akibat dari arus globalisasi yang begitu besar.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat
sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-
potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi
pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya
masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi
tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-
masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-
potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa. Ini adalah cara hidup orang-orang Indonesia yang
harus saling menghargai sebagai sesama bangsa Indonesia. Sejarah adanya Indonesia adalah
sejarah kelompok- kelompok yang mau hidup bersama. Dengan menyadari asal keberadaannya
sebagai bangsa Indonesia, maka menghargai pluralitas dan bersikap multikultural harus menjadi
ciri khas dalam diri bangsa Indonesia.

b. Kesetaraan

Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara manusia
Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku
bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural
dan multikultural itu. Identitas kesetaraan ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan
masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap
kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.

c. Karakter Nasional

Karakter nasional adalah gambaran umum mengenai identitas nasional Indonesia. Karakter ini
hanya akan muncul secara kuat apabila identitas sebagai bangsa Indonesia jelas. Maksudnya
apabila kesadaran pluralitas dan multikultural itu jelas bagi bangsa Indonesia, maka karakter
bangsa Indonesia akan muncul dan terlihat. Jika dicirikan dengan lebih spesifik, apabila manusia
Indonesia menjadikan pluralisme dan multikulturalisme yang melahirkan paham kesetaraan
sebagai wawasan dan tradisi bangsa, akan muncul sosok manusia Indonesia yang berkarakter
merdeka, otonom, demokrat, humanis, bertanggung jawab, hormat terhadap bangsa-bangsa lain,
dan berwawasan universal.

1. C. Indikasi Pudarnya Identitas Nasional

Budaya asli nasional semakin tenggelam

Dewasa ini budaya dan adat yang menjadi ciri khas nasional kita semakin ditinggalkan. Dalam
era globalisasi seperti sekarang ini kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia semakin
berkembang pesat. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya rakyat Indonesia yang
bergaya hidup kebarat-baratan seperti mabuk- mabukkan, clubbing, memakai pakaian
mini,bahkan berciuman di tempat umum seperti sudah biasa di Indonesia. Meskipun gaya hidup
tersebut tidak semuanya dinilai jelek, tetapi dengan menerima dan mengaplikasikan gaya hidup
barat tersebut lambat laun akan menggeser budaya asli yang ada di negara kita. Situasi Budaya
Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Pasalnya, semakin banyak kebudayaan Indonesia yang
diklaim oleh negara tetangga kita sendiri yaitu Malasyia. Seperti tari reog ponorogo dan tari
pendet yang diklaim juga oleh Malaysia. Hak paten atas kebudayaan dalam hal ini sangat
berperan penting. Pemerintah baru menyadari akan perlunya hak paten tersebut setelah adanya
klaim-mengklaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.

Rasa memiliki terhadap identitas Indonesia menurun

Cintailah produk dalam negeri, sebuah kalimat yang mulai digalakkan seiring dengan
persaingan produk dengan luar negeri. Masyarakat Indonesia lebih memperhatikan merk yang
berasal dari luar negeri dibanding buatan lokal. Ini berarti masyarakat mulai kehilangan rasa
cinta akan tanah air, rasa nasionalisme. Begitu juga dalam hal cinta dan peduli akan identitas
bangsa sendiri. Simbol ataupun ciri yang melambangkan negara tidak begitu diperhatikan lagi.
Nilai-nilai yang terkandung dalam lambang negara kita, Pancasila, tidak lagi diterapkan
sepenuhnya. Tradisi ataupun adat dipandang sebagai produk masa lalu yang cukup dikenang
saja, tanpa dipertahankan keutuhannya. Rasa malu untuk menggunakan budaya dalam negeri
akibat adanya budaya asing juga menjadi indikasi turunnya rasa nasionalisme.

Mendahulukan kepentingan kelompok dan disintegrasi bangsa

Munculnya kelompok-kelompok dan gerakan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari bangsa
ini adalah salah satu indikasi melemahnya identitas bangsa. Keanekaragaman bangsa tidak
dipandang sebagai pemersatu melainkan sebagai bagian-bagian terpisahkan yang memiliki
kepentingan tersendiri antara satu dengan lainnya. Salah satu adalah bermunculannya organisasi
sosial yang berkedok pada agama (FPI, JI, MMI, Organisasi Aliran Islam/Mahdi), etnis (FBR,
Laskar Melayu) dan ras. Akibatnya, sering terjadi konflik kepentingan antarkelompok dan tidak
jarang juga berakhir dengan kekerasan.

Lupa sejarah
Faktor integrasi bangsa Indonesia salah satunya rasa senasib dan sepenanggungan serta rasa
seperjuangan di masa lalu ketika mengalami penjajahan. Penjajahan menimbulkan tekanan baik
mental ataupun fisik. Tekanan yang berlarut larut akan melahirkan reaksi dari yang ditekan.
Sehingga muncul kesadaran ingin memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kesadaran ini, maka
keberagaman suku atau golongan yang ada di Indonesia tidak dipermasalahkan semuanya
bersatu, berjuang untuk merdeka. Sehingga terbentuklah negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Tetapi seiring berlalunya waktu, hal tersebut mulai
dilupakan. Masyarakat Indonesia kebanyakan sekarang tidak menganggap penting nilai sejarah
masa lalu tersebut seakan-akan terlena dengan kenikmatan yang dirasakan. Padahal terbentuknya
Negara Indonesia melalui perjuangan keras para pahlawan dan seharusnya identitas negara ini
juga dijaga dan dipertahankan.

D. Penyebab Pudarnya Identitas Nasional

1. Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling
berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk
Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.
Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi,
sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

1. Dalam bidang politik


Pemerintahan menjadi lebih terbuka dan demokratis. Hal ini akan membentuk hubungan yang
baik antara pemerintah dan rakyat sehingga pembangunan negara lebih baik.

1. Dalam bidang ekonomi

Terbukanya kesempatan kerja tingkat global dan pasar internasional yang dapat meningkatkan
devisa negara. Dengan demikian taraf hidup bangsa dapat ditingkatkan.

1. Dalam bidang sosial budaya

Pengaruh pola berpikir dan etos kerja yang tinggi, serta perkembangan iptek yang dapat
memajukan bangsa.

Selain dampak positif, berikut dampak negatif globalisasi:

1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat


membawa dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari
ideologi Pancasilake ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme bangsa akan hilang.

b. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena
banyaknya produk luar negeri (seperti McDonald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di
Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala
berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

c. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa
Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia
dianggap sebagai kiblat.

d. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena
adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan
pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
e. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama
warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme.
Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi
berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global.
Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk
diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum
tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak
anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan
kesatuan bangsa.

Berikut unsur penting yang terkait dengan globalisasi adalah:

Global Space ( Dunia maya)

Globalisasi informasi ditunjukan dengan semakin pesatnya penggunaan media elektronik dalam
mengirim dan menerima informasi, surat kabar, radio dan televisi tidak lagi merupakan sumber
utama informasi; kehadiran internet telah memudahkan informasi dunia diterima oleh siapapun
dipenjuru pelosok dunia. Jika radio dan televisi masih dapat di awasi dan diatur oleh kekuasan
politik sebuah Negara, tidak demikian dengan media internet.

Dengan media internet, memungkinkan pengiriman informasi dalam jumlah yang tidak terbatas,
dalam waktu yang lebih cepat, dan dengan biaya lebih murah. Melalui media internet siapapun
dapat mengirim dan mengakses informasi tanpa persyaratan lisensi atau bukti kompetensi
apapun.

Keadaan tersebut membawa beberapa akibat sosial dan budaya :

Pertama, mengecilnya ruang dan waktu yang mengakibatkan hampir tidak ada kelompok orang
atau bagian dunia yang hidup dalam isolasi. Informasi tentang keadaan di tempat lain atau situasi
orang lain dapat menciptakan suatu pengetahuan umum yang lebih luas dan aktual dari ada yang
ada sebelumnya, informasi ini pada giliranya dapat menimbulkan suatu solidaritas global yang
melintasi kelompok etnis, batas teritorial negara, atau kelompok agama. Pada saat yang sama,
informasi yang serba canggih ini dapat pula memberikan kemudahan bagi seseorang atau suatu
kelompok untuk bergabung dengan kelompok kejahatan lintas negara untuk merancang
kejahatan internasional yang terorganisir. jaringan terorisme internasional dapat dimasukan ke
dalam kelompok ini.

Kedua, dalam bidang politik, batas-batas teritorial suatu negara menjadi kurang berfungsi. Batas
negara tidak lagi menjadi batas informasi, karena seorang yang berada di sebuah kampung di
Jayapura, misalnya, dapat berhubungan langsung lewat internet dengan seseorang di New York
atu di kota Roma.

Ketiga, semua kategori dalam social space menjadi tidak relavan lagi. Perbedaan sosial seperti
umur, jenis kelamin, agama, status sosial, besarnya pendapatan, pejabat atau rakyat, tingkat
pendidikan menjadi tidak lagi menjadi penting dalam konteks infomasi melalui jalur internet.

# Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme antara lain yaitu :

Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk


dalam negeri.
Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh
globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan
kehilangan kepribadian bangsa.
2. Menyepelekan arti identitas

Memudarnya identitas nasional dalam masyarakat juga disebabkan oleh sikap dan kepedulian
terhadap identitas yang sangat minim. Tidak menjunjung tinggi hukum dan perundangan
merupakan salah satunya. Padahal hukum yang berlaku merupakan salah satu identitas dari
sebuah negara. Di Indonesia misalnya terdapat Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945
sebagai dasar konstitusi. Tetapi banyak rakyat yang menyepelekan hukum tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari masih tingginya angka pelanggaran hukum di negara kita.

3. Masalah nasional dan penyimpangan hukum

Kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan termasuk kasus- kasus pelumpuhan
dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan
mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan
amanah Pembukaan UUD 1945 melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Di dalam pemerintahan sendiri banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan hukum
yang telah merusak moral bangsa. Kasus-kasus yang berhubungan dengan korupsi, lalainya
pemerintah dalam menjalankan tugasnya telah mencoreng etika dalam berpolitik di negara ini,
seperti kasus BankCentury, kasus korupsiGayus, dan titip absen anggota DPR. Akibatnya timbul
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah, yang berlanjut kepadaketidakdukungan
masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dengan demikian tentunya rasa nasionalisme akan
berkurang dan negara akan mengalami kemerosotan.

E. Cara-cara untuk Mengatasi Memudarnya Identitas Nasional

1.Pendidikan tentang kebangsaan untuk memberikan pemahaman yang kuat mengenai identitas
nasional. Rasa nasionalisme sebisanya ditanamkan dalam tiap masyarakat sedini mungkin. Nilai-
nilai luhur dan budaya nasional diperkenalkan dengan baik dan meluas ke seluruh lapisan
masyarakat agar mereka semakin menjunjung tinggi dan bangga akan identitas nasional.
Penanaman dan pengamalan nilai yang terkandung dalam Pancasila juga dapat dilakukan sebagai
usaha mempertahankan ciri bangsa sekaligus menwujudkan insan yang seutuhnya karena nilai-
nilai Pancasila adalah baik dan benar. Secara akademik, dapat dilakukan dengan melakukan
pengajaran kepada siswa tentang identitas bangsa, misalnya dengan adanya mata pelajaran
Pancasila dan Kewarganegaran baik di tingkat sekolah maupun tingkat universitas agar
masyarakat semakin mengerti dengan negaranya. Dari rasa pengertian itulah, diharapkan dapat
tumbuh kepekaan dan cinta akan bangsa dan negaranya.

2. Membangun kebudayaan nasional Indonesia Kebudayaan merupakan aset yang penting


sebagai identitas nasional. Negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dengan banyak suku
bangsa tentunya juga mempunyai beragam budaya dan kesenian daerah. Kebudayaan-
kebudayaan daerah tersebut merupakan pembentuk identitas budaya nasional kita sehingga harus
dijaga dan dikembangkan. Kebudayaan nasional yang beraneka ragam unsurnya dapat
dilestarikan dengan mempolulerkan budaya tersebut, dan jika bisa hingga ke tingkat
internasional. Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi
kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan,Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? yang
tentu jawabannya adalahmenjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa
Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-
aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan
global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia.

3. Menjaga integritas bangsa Integritas nasional adalah suatu proses penyatuan atau pembauran
berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional
atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989) yang harus dapat menjamin terwujudnya
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa.
Negara kita juga tentunya telah mengalami proses integrasi yang tidak mudah mengingat
keanekaragaman suku, agama, dan budaya. Rasa persatuan dan kesatuan harus dipupuk secara
kontinu untuk menjaga keutuhan bangsa. Selain itu diperlukan rasa toleransi dalam masyarakat
untuk mencegah terjadinya perpecahan ataupun peperangan yang melibatkan unsur golongan
atau kelompok tertentu. Pemerintah juga memegang peranan yang penting dalam menjaga
integritas bangsa. Faktor keamanan menjadi penentu yang utama. Untuk itu diperlukan aparat
atau perangkat keamanan nasional yang tangguh dalam menjaga keutuhan bangsa.

Proses globalisai nampaknya tidak dapat diabaikan oleh setiap masyarakat dan bangsa di dunia
ini. Tidak ada satu pun manusia, masyarakat, dan bangsa yang luput dari pengaruh globalisasi.
Enrique Subercaceaux, Direktur Pasific Economic Cooperation, menyatakan bahwa bangsa-
bangsa di Asia Pasifik perlu mempunyai outward dan forward looking. Pembangunan nasional
sebuah bangsa tidak hanya melihat kepada kebutuhan internal masyarakat dan bangsa itu
sendiri, tetapi juga pembangunan harus melihat keluar dan ke depan serta perlu dijalin dengan
bangsa yang lain. Karena masyarakat dan bangsa kita adalah bagian dari suatu masyarakat dunia
yang semakin maju dan menyatu. Globalisasi telah merupakan kenyataan hidup bahkan suatu
kesadaran baru bagi setiap manusia di bumi ini. Sebagai pakar telah melihat betapa besar
impact yang disebabkan oleh perubahan global ini sebagai suatu global revolution. Globalisasi
telah menimbulkan gaya hidup baru yang tampak dengan jelas di kota-kota besar dan semakin
merebak merasuki kehidupan-kehidupan yang dulunya terisolasi.

Kekuatan globalisasi menurut analisis para ahli pada umumnya bertumpu kepada 4 kekuatan
global, yaitu :

(1) Kemajuan IPTEK terutama dalam bidang informasi dan inovasi-inovasi baru di dalam
teknologi yang mempermudah kehidupan manusia.

(2) Perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan IPTEK.

(3) Kerjasama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan berusaha dari
bangsa-bangsa tanpa mengenal batas negara.

(4) Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusai serta kewajiban manusia di dalam
kehidupan bersama, dan sejalan dengan itu semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam
alam demokrasi. Kekuatan global tersebut di atas mengakibatkan suatu revolusi di dalam
kehidupan manusia yang terkotak-kotak, baik di dalam ikatan bangsa negara, maupun di dalam
ikatan budaya. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, terciptanya information market place
telah memungkinkan manusia untuk berhubungan satu dengan yang lain, belajar satu dengan
yang lain dengan lebih cepat, dan tersedianya informasi secara cepat dan akurat. Gelombang
globalisasi selain merupakan tantangan juga peluang. Dengan kata lain, proses gelombang
globalisasi mempunyai dampak-dampak positif dan negatif. Berbagai pola kehidupan akan
muncul yang sifatnya dapat merugikan pribadi, masyarakat dan kehidupan suatu bangsa.
Ancaman-ancaman tersebut antara lain:

1. Ancaman terhadap budaya bangsa.

Gelombang globalisasi melahirkan budaya global. Didukung oleh information super highway
atau information market place maka unsur-unsur budaya global akan memasukli dunia lokal
dengan sangat cepat dan intensif. Proses globalisasi budaya akan merupakan ancaman terhadap
budaya suatu bangsa. Apabila budaya suatu bangsa yang terisolir akan tumbuh dan berkembang
secara mantap dan statis, maka dalam dunia terbuka keadaan yang demikian mulai terusik.
Orang akan berpaling terhadap apa yang terjadi di sebelah bumi sana, apa yang dirasakan oleh
orang lain di seberang lautan sana, dan kini orang akan mulai bertanya-tanya makna hidup
kebudayaannya sendiri. Mungkin dia hanya sekedar ingin tahu, mungkin ingin melepaskan diri
dari ikatan budaya lokal dan ingin mencoba-coba sesuatu yang baru. Semua hal tersebut akan
dapat menggoyahkan sendi-sendi budaya suatu bangsa. Apakah proses tersebut suatu yang
negatif? Kita lihat misalnya bagaimana kebudayaan Bali yang mulai terusik dengan budaya yang
dibawa oleh turisme internasional. Dapatkah budaya Bali bertahan terhadap rangsekan budaya
global tersebut?

2. Lunturnya Identitas Bangsa.

Pengaruh budaya global terhadap budaya lokal berarti pula suatu serangan terhadap identitas
suatu bangsa. Inti dari kehidupan berbangsa adalah budaya. Apabila budaya bangsa diusik, maka
terusiklah pula identitas bangsa itu. Gelombang globalisasi dapat melunturkan rasa kebangsaan
atau identitas bangsa. Oleh sebab itu diperlukan usaha-usaha agar supaya budaya dan identitas
bangsa akan tetap hidup dan berkembang di dalam budaya global. Titik tolak dari kedua hasil
usaha ini tidak lain daripada SDM yang dikembangkan berdasarkan budaya bangsa itu sendiri.
Tidak ada orang lain yang akan mempertahankan kebudayaannya sendiri selain dari pendukung
kebudayaannnya itu sendiri, yaitu manusia dan bangsa yang memilikinya.

3. Kesadaran terhadap Wawasan Nusantara.

Erat kaitannya dengan budaya serta identitas bangsa ialah kesadaran terhadap Wawasan
Nusantara. Suatu masyarakat dan bangsa akan kehilangan wawasannya sebagai suatu bangsa
yang memiliki suatu wilayah kehidupan, apabila bangsa itu kehilangan identitasnya. Budaya
global, perdagangan bebas, dunia yang terbuka, semuanya bisa mengendorkan wawasan kita
sebagai suatu bangsa Indonesia yang hidup dan berkembang di dalam wilayah nusantara.
Apabila hal ini tidak dicermati dan dikembangkan pada setiap sumber daya manusia Indonesia
maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan hapusnya kesadaran terhadap wawasan
nusantara. Kendornya penghayatan terhadap wawasan nusantara berarti akan lenyapnya suatu
bangsa di atas permukaan bumi ini. Dalam menghadapi ancaman-ancaman globalisasi tersebut,
pertanyaan mendasar yang perlu merupakan salah satu sumbangan yang positif di dalam
terbentuknya masyarakat madani yang berperadaban.

Identitas kebudayaan nasional dalam dimensi wawasan nusantara memuat 3 kepentingan


nasional yang paling mendasar, yaitu:

(1) Persatuan dan kesatuan nasional,

(2) Identitas atau jatidiri bangsa,

(3) Kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Identitas kebudayaan dalam bingkai Wawasan Nusantara bisa diartikan juga sebagai cara
pandang bngsa Indonesia terhadap dirinya yang serba nusantara dari dalam lingkungannya
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperlihatkan kondisi geografis, latar belakang
sejarah dan kondisi sosial budanyanya dalam rangka untuk mencapai cita-cita dan tujuan
nasional. Disamping itu, untuk mempertahankan identitas nasional dari ancanman globalisasi,
maka dibutuhkan juga adanya pendekatan sistem ketahanan nasional. Identitas kebudayaan
dalam perspektif ketahanan nasional merupakan kondisi dinamik yang meliputi segala aspek
kehidupan yang terintegrasi dari bangsa dan negara Indonesia. Aspek-aspek yang dikedepankan
dalam ketahanan nasional ini meliputi:

(1) Kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival, identitas
dan integritas bangsa dan negara),

(2) kemampuan dan kekuatan untuk mengembangkan kehidupan bernegara dan berbangsa
dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dengan pendekatan tersebut kita berharap
akan semakin mengokohkan kondisi identitas kebudayaan nasional dengan lahirnya manusia
Indonesia yang berbudaya dan berperadaban). Karena, hanya manusia Indonesia yang
berbudaya yang mempunya kemampuan dan kekuatan untuk survive dan sekaligus
berkembang, yang berarti dapat hidup bersaing dan bersanding bangsa-bangsa lain. Untuk
itulah kita memandang pentingnya mendorong political will dalam pengembangan pusat
kebudayaan nasional

Pentingnya Mempertahankan Identitas Nasional


Identitas Nasional Indonesia meliputi apa yang dimiliki bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
bangsa lain seperti kondisi geografis, sumber kekayaan alam Indonesia, kependudukan Indonesia,
ideologi, agama, politik negara, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Menghadapi identitas nasional,
bangsa Indonesia sendiri masih kesulitan dalam menghadapi masalah bagaimana untuk menyatukan
negara yang mempunyai banyak sekali kelompok etnis, yang memiliki pengalaman yang berbeda dari
satu wilayah ke wilayah lainnya. Namun saat ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Karena kebiasaan atau pun budaya masyarakat kita telah bercampur dengan kebiasaan dan
kebudayaan negara-negara lain. Indikator identitas nasional itu antara lain pola perilaku yang nampak
dalam kegiatan masyarakat seperti adat-istiadat, tata kelakuan, kebiasaan. Lambang-lambang yang
menjadi ciri bangsa dan negara seperti bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan. .
Arus globalisasi yang demikian pesatnya, ternyata telah mampu mempengaruhi identitas nasional dan
berpotensi merosotnya nilai-nilai budaya bangsa. Masyarakat budaya tidak lagi memperhatikan
budayanya sendiri apalagi punya keinginan dan dorongan untuk melestarikan. Mereka cenderung
mengadopsi dan menerapkan budaya asing dan mengabaikan budaya sendiri. Budaya yang asli dianggap
kuno dibandingkan dengan budaya asing yang dianggap lebih modern.
Pemikiran dan pemahaman seperti inilah yang membuat menurunnya nilai-nilai kebudayaan asli bangsa
dan berpotensi hilangnya identitas bangsa yang sebenarnya. Menyikapi hal ini maka dianggap penting
untuk mempertahankan identitas nasional demi eksistensi bangsa. Salah satu alasan pentingnya
mepertahankan nilai-nilai budaya sendiri adalah karena nilai-nilai budaya suatu negara adalah identitas
negara tersebut didepan dunia internasional . Jika kita sebagai masyarakat Indonesia tidak mengahargai
dan mempertahankan budaya kita sendiri, siapa yang akan mempertahankannya? Jika kita tidak
mempertahankan budaya kita sendiri sama saja dengan kita membuang identitas negeri kita didepan
dunia internasional yang akan membuat negara kita tidak terpandang didepan negara-negara lain.
Dengan kita lebih menghargai dan mempertahankan budaya kita, akan lebih banyak lagi negara-negara
yang akan tahu tentang bangsa kita dan dapat mendatangkan berbagai keuntungan dalam hal moneter
ataupun hal non-moneter seperti nama Indonesia yang terpandang sebagai negara dengan berbagai
keunikan dan keindahan alam.

B. Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional


identitas nasional indonesia merujuk pada suatu bangsa yang plural atau heterogen.
Pluralitas itu merupakan gabungan unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu sebagai berikut.
1. Suku bangsa : golongan sosial yang khusus bersifat askriptif atau ada sejak lahir, yang sama
coraknya. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak
kurang dari tiga ratus dialek bahasa di berbagai pulau di seluruh nusantara.
2. Agama : bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang religius. Keanekaragaman agama di
Indonesia merupakan identitas alamiah yang sudah ada sejak dulu. Kemerdekaan beragama di
Indonesia dijamin oleh negara yang tertuang dalam Undang-Undang dasar 1945, tepatnya pada
pasal 29 ayat 2. Kemajemukan agama ini hendaknya dipelihara dan disyukuri dengan sikap tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain, baik terhadap orang yang beragama sama dengan diri
kita maupun bebeda agama, baik terhadap kelompok minoritas maupun mayoritas. Agama yang
tumbuh dan berkembang dinusantara adalah agama Islam, Kong Hu Cu, Kristen, Katolik, Hindu,
dan Budha. Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, namun
sejak pemerintahan masa Abdurrahman Wahid istilah agama resmi dihapuskan.
3. Kebudayaan : pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-
perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-
pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan
sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda-benda
kebudayaan sesuai dengan lingkungan kebudayaan yang dihadapi. Aspek kebudayaan yang
menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan
pengetahuan. Akal budi bangsa Indonesia tercermin pada sikap ramah dan santun terhadap
sesama. Sedangkan unsur identitas peradabannya dapat diketahui dari keberadaan dasar negara
pancasila sebagai nilai-nilai bersama bangsa yang heterogen.
4. Bahasa : unsur pendukung identitas nasional yang lain adalah bahasa. Bahasa dipahami sebagai
lambang persatuan warga, yang plural dialek kesukubangsaannya, sehingga terjadi komunikasi
yang lancar antar warga. Bahasa nasional disebut juga bahasa penghubung berbagai kelompok
etnis yang mempunyai dialek tersendiri.
5. Sejarah : sejarah mempersatukan warga bangsa yang sebelumnya belum terbentuk menjadi
sebuah negara. Melalui sejarah tersebut masyarakat plural, yang mempunyai etnis bebeda akan
menyadari kesamaan nasib dan memerlukan persatuan untuk membangun semangat melawan
keterpurukan menuju sebuah kemajuan.
Dari unsur-unsur identitas nasional tersebut diatas, dapat dirumuskan pembagiannya
menjadi tiga bagian berikut.
1. Identitas fundamental: falsafah bangsa, dasar negara, dan ideologi negara.
2. Identitas instrumental: undang-undang dasar dan tata perundangannya
3. Identitas alamiah : meliputi kepulauan, pluralisme, dalam suku bahasa budaya dan agama serta
kepercayaan.
1. Menurut saudara hal apa saja yang harus dilakukan bangsa indonesia agar dapat menjadi
bagian masyarakat global tanpa harus kehilangan Identitas Nasionalnya?

Jawab : Hal apa saja yang harus dilakukan bangsa indonesia agar dapat menjadi bagian
masyarakat global tanpa harus kehilangan Identitas Nasionalnya yaitu :

Denagan menyaring budaya luar/asing masuk ke Indonesia. Tidak semua harus kita
terima budaya luar/asing yang masuk ke Indonesia kita terima. Yang kita terima yang
hanya yang membawa dampak positifnya saja.

Selektif terhadap pengaruh Globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial, dan
budaya bangsa.

Menumbukan rasa nasionalisme yang kuat.

Harus adanya Hak Paten atas budaya Indonesia agar budaya Indonesia tidak di klaim oleh
negara lain.

Harus meningkatkan rasa memiliki terhadap Identitas Nasional.

2. Konsep masyarakat multikultural dianggap paling cocok untuk masyarakat Indonesia


yang majemuk.

Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat bagi terwujudnya
Indonesia yang multikultural ?

Jawab :

Faktor Pendukungnya : aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculya potensi-
potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Faktor Penghambatnya :

a) Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri yang
berlebihan dapat mengarah kepada kencintaan pada diri sendiri atau kelompok.

b) Pandangan yang paternalistis. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum laki-
laki yang masih menganut paham paternalis. Hal ini menimbulkan bias terhadap
perempuan. Hingga saai ini, masih banyak masyarakat memandang status perempuan
sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari peran laki-laki.

c) Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara mengenai
kebudayaan penduduk asli.

3. Upaya apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia unuk melestarikan Pancasila sebagai
penyatu/pelekat nasional ?

Jawab :

Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti


sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

Anda mungkin juga menyukai