Anda di halaman 1dari 7

PENATALAKSANAAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS

PADA USIA KEHAMILAN SETELAH 34 MINGGU


Wafda Ardhian Latansyadiena
D4 Kebidanan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada
wafdadiena@ymail.com/ 085740672011

ABSTRAK

Latar Belakang: Kehamilan prematur merupakan masalah terbesar dalam obstetri


modern dan didefinisikan sebagai kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu. Risiko morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan prematur ini
sangat besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman
persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur
sesungguhnya. Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah
persalinan prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan
prematur. Penanganan sering dihadapkan dengan dilema penggunaan berbagai agen
farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek
samping yang serius pada ibu atau janin. Bukti ilmiah yang mendukung terhadap
penggunaan obat berikut ini tidak terlalu kuat. Penanganan yang paling sering digunakan
adalah obat tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotik. Kondisi ini membuat pasien harus
mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan dan
menyebabkan efek samping.
Tujuan: Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada partus prematurus
imminens dengan umur kehamilan setelah 34 minggu.
Hasil: Pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens
umur kehamilan setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat
adanya penurunan aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan
prematur.
Kata Kunci: Partus Prematurus Imminens, Kortikosteroid, Tokolitik

ABSTRACT

Introduction: Premature labor, constitutent a major problem terms of obstetrics and


defined as delivery before 37 weeks of gestation. The higher risk mortality and morbidity
for premature labor delivery. But, the diagnostic partus prematurus imminens and partus
premature is difficult. Uneffective methods changed incidence premature labor. Dilemma
of management premature labor often occured as a unspesific pharmacology, low
effectiveness, and had the effect for mother or foetus. Scientific evidence told the
pharmacology management is low. The most management is tocolitic, corticosteroid, and
antibiotics. This condition made patients take treatment might was not necessary and
caused effect.
Goal: Find out the management partus prematurus imminens after 34 weeks of gestation
Result: Tcolitic and corticosteroid management of partus prematurus imminens after 34
weeks of gestation have a risk fetal distress. It was happened because blood current for
foetus decreased and increased incidence of premature labor
Key words: Partus Prematurus Imminens, Corticosteroid, Tocolitic

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Persalinan prematur yaitu kelahiran bayi kurang dari 37 minggu. Persalinan
prematur merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian dan
kesakitan neonatus. Risiko kelahiran prematur antara lain kematian bayi, kecacatan
bayi, gawat nafas, perdarahan otak, infeksi/sepsis dan gagal jantung. Faktor risiko
yang mempengaruhi kejadian persalinan preterm adalah usia ibu, paritas, jarak

1
persalinan, tingkat pendidikan, pelayanan antenatal, anemia, merokok, dan minum
alkohol.
Risiko morniditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan preterm ini sangat
besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman
persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur
sesungguhnya sehingga intervensi yang dilakukan seringkali tidak sesuai. Selama
ini pengelolaan partus prematurus imminens cenderung kuratif dimana yang menjadi
tujuan utama pengelolaan adalah meningkatkan usia hamil, meningkatkan berat
lahir, menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang keseluruhannya
dilakukan setelah diagnosis persalinan belum cukup bulan ini ditegakkan.
Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah persalinan
prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan prematur.
Penggunaan berbagai agen farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya
rendah, atau memiliki efek samping yang serius pada ibu atau janin menjadi
penanganan dilematik.
Pemberian tokolitik dan kortikosteroid menjadi komponen utama dalam
penatalaksanaan partus prematurus imminens karena berkaitan dengan
pematangan paru janin. Pematangan paru janin terjadi pada usia kehamilan 34
minggu. Oleh karena itu, pemberian tokolitik dan kortikosteroid pada usia sebelum
34 minggu sangat penting karena bertujuan menunda persalinan agar mencapai
usia kehamilan 34 minggu sehingga paru-paru janin matang dan mengurangi angka
gangguan pernafasan pada neonatal. Namun, bukti ilmiah yang mendukung
penggunaan obat ini pada usia kehamilan setelah 34 minggu tidak terlalu kuat. Usia
kehamilan setelah 34 minggu angka morbiditas dan mortalitas dianggap sama
dengan kehamilan aterm sehingga tidak ada manfaat yang berati dalam pemberian
kedua terapi tersebut. Kondisi ini membuat pasien harus mengalami perawatan di
rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan dan menyebabkan efek
samping. Selain itu, hal ini menjadi beban keluarga karena perawatan di rumah sakit
memerlukan biaya yang banyak.

2. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan partus prematurus imminens pada usia kehamilan
setelah 34 minggu?

3. Tujuan
3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penatalaksanaan partus prematurus imminens pada usia
kehamilan setelah 34 minggu
3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan partus prematurus
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian tokolitik dan kortikosteroid pada
partus prematurus imminens usia kehamilan setelah 34 minggu
3. Untuk mengetahui efek samping pemberian tokolitik dan kortikosteroid
pada partus prematurus imminens usia kehamilan setelah 34 minggu

BAB II
PEMBAHASAN

Persalinan prematur merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas


neonatal di seluruh dunia1. Partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan
sebagai dimulainya kontraksi uterus yang disertai pendataran dan/ atau dilatasi serviks
serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu
(kurang dari 259 hari) sejak hari pertama haid terakhir. (Oxon & Forte, 2010) 2. Persalinan
prematur berlangsung pada kehamilan 28 minggu sampai kurang dari 37 minggu 3. Faktor
risiko yang mempengaruhi kejadian persalinan prematur adalah usia ibu, paritas, jarak
persalinan, tingkat pendidikan, pelayanan antenatal, anemia, merokok, dan minum
alkohol6.

2
Secara umum, terjadinya persalinan prematur sampai saat ini masih menjadi teori-
teori yang sangat kompleks. Seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis
ancaman persalinan prematur atau yang sering disebut Partus Prematurus Imminent
(PPI) dan persalinan prematur yang sesungguhnya4,5. Persalinan prematur dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui infeksi maternal, hipoksia dan stress
oksidatif. Hal tersebut merupakan tiga mekanisme biologis utama terjadinya persalinan
preterm. Kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko infeksi ibu dan hemoglobin yang
rendah dapat menyebabkan keadaan hipoksia kronis yang dapat menginduksi stres ibu
dan janin. Sistem kekebalan tubuh akan diaktifkan dengan adanya infeksi, peradangan,
atau kortisol yang dirilis setelah respon stres, kemudian axis hipotalamus-hipofisis-
adrenal ibu atau janin akan diaktifkan. Keadaan ini dapat memicu terjadinya persalinan
dan akhirnya mengakibatkan persalinan preterm. Pada akhirnya, kekurangan zat besi
juga dapat meningkatkan stres oksidatif yang mengakibatkan kerusakan eritrosit dan unit
feto-plasenta6.
Pada penelitian yang dilakukan Leno, dkk. menunjukkan persalinan prematur
terbanyak berasal dari kelompok usia 20 35 tahun6. Persalinan prematur lebih sering
terjadi pada wanita multipara dibandingkan wanita primipara. Hal ini disebabkan adanya
jaringan parut uterus akibat kehamilan dan persalinan sebelumnya. Jaringan parut ini
menyebabkan tidak adekuatnya persediaan darah ke plasenta sehingga plasenta
menjadi lebih tipis dan mencakup uterus yang luas. Plasenta yang melekat tidak kuat
mengakibatkan isoferitin, protein hasil produksi sel limfosit T untuk menghambat
reaktifitas uterus dan melindungi buah kehamilan, diproduksi sedikit sehingga risiko untuk
mengalami persalinan prematur lebih besar7.
Penelitian juga menemukan bahwa keterpaparan asap rokok memberi risiko 3,9
kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang tidak
terpapar asap rokok. Hal ini menunjukkan bahwa rokok merupakan zat yang berbahaya
bagi kesehatan, khususnya ibu hamil yang akan berdampak buruk bagi ibu maupun
janin. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang
terpapar asap rokok baik secara aktif maupun pasif dapat menyebabkan bayi terlahir
dengan berat badan kurang. Racun nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menghambat proses aliran darah dari ibu ke janin, akibatnya perkembangan bayi menjadi
terlambat. Kondisi ini berjalan terus hingga memasuki masa persalinan dan
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Selain itu, bayi juga
dapat lahir prematur atau lahir dalam usia yang belum matang8.
Dari faktor psiko-sosial pekerjaan ditemukan bahwa kejadian persalinan prematur
lebih banyak pada ibu hamil yang bekerja dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
bekerja. Ibu hamil yang bekerja dapat meningkatkan kejadian persalinan prematur baik
melalui kelelahan fisik atau stres yang timbul akibat pekerjaannya, terutama bekerja
terlalu lama6,9. Penelitian lain yang dilakukan oleh Eiriksdottir di Islandia juga
menyebutkan pendapatan keluarga dan stres merupakan faktor risiko yang
menyebabkan kelahiran prematur10. Menurut Dr Ali Khashan dari Univeritas Manchester
di Inggris, stres yang berat sebelum atau sekitar waktu menjelang kehamilan, dapat
mengubah kadar stress hormone cortisol dan corticotropin releasing hormone (CRH)
yang berpengaruh pada penanaman embrio dan pembentukan plasenta. Secara
keseluruhan, wanita yang pernah mengalami stres enam bulan sebelum hamil, sekitar
16% cenderung mengalami persalinan prematur. Sementara itu, resiko bayi meninggal
atau sakit pada persalinan prematur naik hingga 23%. Hal itu dimungkinkan dampak dari
sisi kejiwaan sehingga mempengaruhi hormonal kemudian mengakibatkan persalinan
prematur 11.
Ancaman persalinan prematur memiliki kriteria yaitu sebagai berikut4.
a. Adanya kontraksi adekuat minimal 2 - 3 kali dalam waktu 10 menit dengan selang
waktu relaksasi yang cukup.
b. Adanya perubahan dilatasi serviks pada 2 pemeriksaan dengan selang waktu 1 jam
yang dilakukan oleh pemeriksa yang sama disertai dengan adanya kontraksi uterus.
c. Adanya kontraksi yang teratur disertai dilatasi serviks 1-2 cm dan penipisan serviks
Secara teori, adapun parameter-parameter yang digunakan untuk memprediksi
terjadinya persalinan prematur.

3
Tabel 1. Skor Bishop
Nilai 0 1 2 3
Dilatasi serviks 0 1-2 cm 3-4 cm >4cm
Penipisan 0-30% 40-50% 60-70% >70%
serviks
Station -3 -2 -1 0
Konsistensi Kenyal Medium Lunak
serviks
Posisi serviks Posterior Medial Anterior
Sumber : Jenny, 2008
Skor Bishop merupakan parameter yang baik untuk memprediksi terjadinya
persalinan prematur. Semakin besar nilai Skor Bishop menunjukkan ancaman persalinan
prematur yang terjadi semakin progresif sehingga semakin sulit untuk dihambat. Pada
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan prematur berkisar 76% pada
skor Bishop 5.
Tabel 2. Skor Baumgarten
Nilai 1 2 3 4
Kontraksi Tidak teratur Teratur - -
Ketuban Utuh Pecah di atas/ - Pecah di
tidak jelas bawah
Perdarahan Spotting Banyak
Dilatasi serviks 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
Sumber : Jenny, 2008
Skor Baumgarten juga merupakan salah satu parameter yang baik untuk
memprediksi persalinan prematur dengan atau tanpa adanya ketuban pecah dini. Pada
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan prematur sebesar 10% pada
skor tokolisis Baumgarten < 3. Bila skor tokolisis Baumgarten > 3 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar 85% 4.
Berdasarkan Buku Pengelolaan Persalinan Preterm 13, penatalaksanaan persalinan
prematur adalah sebagai berikut.
1. Tirah baring (bedrest)
Kepentingan istirahat disesuaikan dengan kebutuhan ibu.
2. Rehidrasi
Rehidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah persalinan
preterm karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi prematur.
Tirah baring dan rehidrasi merupakan salah satu upaya agar aliran darah ke
plasenta meningkat dan lancar sehingga janin selalu dalam keadaan baik 14.
3. Pemberian terapi konservatif (ekspetan) tokolitik
Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan Rujukan
2013, jika ditemui salah satu dari keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu diberikan dan
bayi dilahirkan secara pervaginam atau perabdominam sesuai kondisi kehamilan 15:
a. Usia kehamilan di bawah 24 dan di atas 34 minggu
b. Ada tanda korioamnionitis (infeksi intrauterine), preeklampsia, atau perdarahan aktif
c. Ada gawat janin
d. Janin meningal atau adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidupnya kecil
Pemberian tokolitik dilakukan usia 24-34 minggu karena tujuan utama penggunaan
tokolitik ini memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulur surfaktan
paru-paru janin, sedangkan paru-paru janin matang usia 34 minggu 15,16.
American College of Obstetricians and Gynecologisis membuat pernyataan berikut
mengenai tokolitik: sampai saat ini, belum ada penelitian secara meyakinkan
membuktikan terjadinya peningkatan kesintasan atau indeks prognosis neonatus jangka
panjang lainnya pada pemberian terapi tokolitik. Di pihak lain, kemungkinan gangguan
akibat terapi tokolitik pada ibu dan neonatus sudah terbukti. Pemberian kortikosteroid
sebelum 34 minggu gestasi jelas bermanfaat, pemberian obat tokolitik untuk
perpanjangan kehamilan jangka pendek dapat dibenarkan. Di luar itu, pertanyaan apakah
obat tokolitik perlu digunakan pada usia gestasi berapapun tidak dapat dijawab saat ini,
terutama setelah 34 minggu gestasi 17.

4
Obat tokolitik yang memiliki fungsi kerja untuk menghambat saluran kalsium
(antagonis kalsium). Aktifitas otot polos, termasuk miometrium, secara langsung
berhubungan dengan kalsium bebas di dalam sitoplasma dan penurunan konsentrasi
kalsium akan menghambat kontraksi. Ion kalsium mencapai sitoplasma melalui portal
atau saluran membran spesifik. Penyekat saluran kalsium bekerja menghambat
pemasukan kalsium melalui membran sel dengan berbagai mekanisme 18. Dengan
demikian, terjadi penurunan konsentrasi kalsium.
Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium
menjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik terapi persalinan prematur,
beberapa penelitian juga mengingatkan untuk mengklarifikasi bahaya potensial pada ibu
atau janin sebab relaksasi otot polos tidak terbatas pada uterus saja, melainkan juga
mengenai pembuluh darah sistemik dan uterus. Resistensi vaskular yang menurun
karena nifedipin dapat menyebabkan hipotensi pada ibu sehingga menurunkan perfusi
uteroplasenta18. Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan telah
memperlihatkan adanya hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Pada
pengamatan yang dilakukan Lirette dkk. menunjukkan hasil terjadi penurunan aliran
darah uteroplasenta pada kelinci18,19. Hepatotoksisitas maternal yang diinduksi oleh obat
telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan untuk terapi persalinan prematur sehingga
mengakibatkan dihentikannya pemberian obat ini19. Oleh karena itu, diperlukan prediktor
diagnosis yang baik agar menghindarkan pasien dari terapi tokolitik dan efek
sampingnya, serta menurunkan angka perawatan rumah sakit dan angka rujukan ke
fasilitas perawatan perinatologi.
4. Pemberian terapi kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikisteroid pada perkembangan paru adalah meningkatkan
surfaktan paru. Kortikosteroid melibatkan induksi protein yang mengatur sistem biokimia
dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi surfaktan. Pada sel-sel paru janin
manusia yang dikultur, pemberian deksametason meningkatkan kandungan protein
surfaktan A, B, C, D, sambil merangsang aktifitas semua enzim penting untuk biosistesi
fosfolipid. Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut meningkat. Pada gilirannya hal
ini merangsang perkembangan badan-badan lamelar, yang kemudian disekresikan ke
dalam lumen ruang udara14.
Pemberian kortikosteroid ini mencegah morbiditas neonatal pada penggunaan usia
kehamilan 24-34 minggu. Semua kehamilan kurang dari 34 minggu yang akan diakhiri
diberikan kortikosteroid dalam bentuk deksamethasone atau betamethasone20. Evaluasi
dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian kortikosteroid pada usia
kehamilan 24-34 minggu efektif memperbaiki outcome neonatal. Pemakaian
kortikosteroid pada kehamilan setelah usia 34 minggu jarang ditemukan penurunan
angka morbiditas dan tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung atau membantah.
Penggunaan kortikosteroid hanya direkomendasikan jika terbukti adanya immaturitas
paru pada pemeriksaan amnionsintesis22,23. Kehamilan > 34 minggu hanya perlu
dilakukan observasi kemajuan persalinan serta kesejahteraan janin intrauterine. Terdapat
efek jangka pendek pada ibu, antara lain oedem paru, infeksi, dan pengendalian glukosa
yang lebih sulit pada ibu diabetik.18,23 Pada penelitian Elliot dan Radin juga melaporkan
bahwa kortikosteroid menginduksi uterus dan persalinan preterm pada manusia. Dengan
demikian, pemberian kortikosteroid akan meningkatkan angka persalinan prematur.
Pemberian kortikosteroid yang tidak memiliki manfaat kuat pada pematangan paru umur
kehamilan setelah 34 minggu justru dapat mempercepat angka persalinan prematur dan
hal ini akan berpengaruh dengan outcome bayi lahir preterm. Oleh karena itu, keputusan
pemberian kortikostreoid harus tepat sesuai klasifikasi umur kehamilan.
5. Pemberian Antibiotik
Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan Rujukan
juga menjelaskan bahwa pemberian antibiotika profilaksis pada persalinan prematur
digunakan untuk mencegah infeksi streptococus grup B15.
6. Perencanaan Persalinan
Pengambilan keputusan untuk melakukan persalinan merujuk pada analisis skor
bishop dan baumgarten. Analisis kedua skor tersebut menguraikan bahwa PPI susah
untuk dihambat jika terjadi pengeluaran darah bertambah banyak dan konsistensi serviks
lunak. Umur kehamilan kurang dari 34 minggu adalah syarat untuk penundaan

5
persalinan24. Usia kehamilan > 34 minggu dapat melahirkan di tingkat dasar/ primer,
mengingat prognosis relatif baik dan morbiditas dianggap sama dengan kehamilan
aterm14,16.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Persalinan prematur merupakan suatu keadaan disertai tanda-tanda persalinan
yang berlangsung pada usia kehamilan sebelum 37 minggu. Partus Prematurus
Imminens (PPI) merupakan ancaman persalinan prematur yang kemungkinan dapat
dilakukan penundaan persalinan dengan kriteria tertentu. PPI pada usia kehamilan 24-34
minggu dapat dilakukan penundaan persalinan dengan pemberian terapi tokolitik dan
kortikosteroid. Hal ini dilakukan untuk menunggu pematangan paru yang akan matang
pada usia kehamilan 34 minggu sehingga mengurangi angka gangguan pernafasan
neonatal. Pada usia kehamilan setelah 34 minggu tidak direkomendasikan pemberian
tokolitik dan kortikosteroid sesuai dengan pemaparan dalam guidline RCOG (Royal
College of Obstericians and Gynaecologies) bahwa penanganan persalinan preterm
merekomendasikan tidak perlu menggunakan agen tokolitik jika tidak terdapat bukti yang
jelas yang akan meningkatkan outcome pada terjadinya persalinan preterm. Pemberian
terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens umur kehamilan
setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat adanya penurunan
aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan prematur.
B. Saran
Kehamilan usia setelah 34 minggu hanya perlu observasi kemajuan persalinan
serta kesejahteraan janin intrauterine dan penatalaksanaan sesuai kehamilan aterm
karena angka morbiditasnya dianggap sama. Dengan demikian, penatalaksanaan partus
prematurus imminen pada umur kehamilan setelah 34 minggu tidak diperlukan
pemberian tokolitik dan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ariana, Dhina., Sayono, dan Erna Kusumawati. Faktor Risiko Kejadian Persalinan
Prematur, Laporan Penelitian, Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Semarang, 2011.
2. Agustiana, Tria. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Prematur di
Indonesia Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010), Skripsi S-1, Jakarta:
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi Universitas
Indonesia, 2012.
3. Jannah, Miftahul. Hubungan Infeksi Saluran Kemih pada Ibu Hamilterhadap Partus
Prematur di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak Banten Periode Januari hingga Desember
2010, Riset, Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2011.
4. Jusuf, Jenny. Efektifitas dan Efek Samping Ketorolac sebagai Tokolitik pada
Ancaman Persalinan Prematur, Tesis S-2, Semarang: Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, 2008.
5. Islam, Mutiara. Perbandingan Kadar Interleukin 10 pada Partus Prematurus Imminen
dengan Kehamilan Preterm Normal, Tesis S-2, Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, 2010.
6. Edrin, Verdani Leoni., Ariadi, dan Lili Irawati. Gambaran Karakteristik Inu Hamil pada
Persalinan Preterm di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012, dalam Jurnal
Kesehatan Andalas, Padang: Pendidikan Dokter Universitas Andalas, Volume 3,
Nomor 3, hlm. 1 7, 2014.
7. Mukibati, Titin., Tinuk Esti, dan Rudiati. Gambaran Faktor Penyebab Persalinan
Prematur di Kamar Bersalin RSUD dr. Soeroto Ngawi tahun 2010, Jurnal Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, 3 (2): 116 123, 2012.

6
8. Koniyo, Mira., Buraerah H. Hakim, dan A. Arsunan. Determinan Kejadian Kelahiran
Bayi Prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo, Laporan Penelitian, Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin, 2012.
9. Firdiyanti, Rita., Nusratuddin, dan Eddy Tiro. Hubungan Kadar Progesteron Induced
Blocking Factor (PIBF) Serum dengan Kejadian Persalinan Preterm, Laporan
Penelitian, Makassar: Bagian Obstetri dan Ginekologi Universitas Hasanuddin,
2013.
10. Paembonan, Novhita., Jumriani, dan Dian Sidik. Faktor Risiko Kejadian Kelahiran
Prematur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar, Laporan
Penelitian, Makassar: Bagian Epidemiologi Universitas Hasanuddin, 2014.
11. Aden, Christine. Pengaruh Paket Aman Terhadao Pengetahuan dan Pelaksanaan
Perawatan Kehamilan oleh Ibu Risiko Persalinan Prematur Serta Efetivitasnya
Terhadap Maturitas Kehamilan di Jakarta, Tesis S-2, Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, 2008.
12. Somadina, Iswara. Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF) sebagai
Prediktor Persalinan Preterm, 2013, dalam Internet Online:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/obgyn/article/viewFile/13441/9141, diakses pada 8
Juni 2015
13. Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia. Panduan Pengelolaan Persalinan
Preterm Nasional, Bandung: Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2011.
14. Ramayanti, Helen. Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Kejadian Persalinan
Preterm di RSU Bhakti Yudha Depok Periode Januari 2008-Desember 2010,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran, 2011.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, Jakarta: Kemenkes RI, 2013.
16. Saifuddin, Abdul Bari., Trijatmo, dan Winkjosastro. ed. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta: PT. Bina Pustaka, Cetakan ke-4, 2011.
17. J. Leveno, Kenneth., et al. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. terj. Brahm
U. Pendit: William Manual Of Obstetrics, 21st Ed., Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1,
2009.
18. Cunninghan F. Gary., et al. Obstetri Williams, Ed. 21, Vol 1. terj. Hartono, Andry:
Williams Obstetrics, 21 Ed., Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1, 2006.
19. Kesuma, Hadrians. Obat-obat Tokolitik di Bagian Kebidanan, 2007, dalam Internet
Online: http://www.usearchmedia.com/, diakses pada 11 Juni 2015
20. Roosdhantia, Isnia. Perbedaan Skor Apgar pada Ketuban Pecah dini Usia Kurang
dari 34 Minggu yang Diberi dan Tidak Diberi Deksametason, Laporan Hasil
Penelitian, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2012.
21. Manuaba, Ida Ayu, Fajar, dan Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB
untuk Pendidikan Bidan, Ed.2., Jakarta: EGC, 2010.
22. Pratama, Rizky. Perbandingan Kadar Serum Progesteron Pada Persalinan Preterm
dan Kehamilan Normal, Tesis Spesialis, Medan: Departemen Obstetri dan
Ginekologi Universitas Sumatera Utara, 2014.
23. Bonanno, Clarissa., and Ronald J. Wapner. Antenatal Corticosteroid in the
Management of Preterm Birth: Are We Back Where We Started?, New York:
Department of Obstetrics and Gynecology Columbia University College, 2012.
24. D. Chan, Paul., and Susan M.Johnson. Current Clinical Strategies Gynecology and
Obstetrics, USA: Laguna Hills California, 2006.
25. Mufaza, Uyun. Pengetahuan dan Perilaku Orangtua dalam Pemberian Obat
Penurun Panas pada Anak Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi, Skripsi-S1, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
26. Subijanto, Achmad Arman. Review: Keanekaragaman Genetik HLA-DR dan Variasi
Kerentanan terhadap Penyakit Asma; Tinjauan Khusus pada Asma dalam
Kehamilan, dalam Jurnal Biodiversitas, 9 (3): 237-243., Solo: Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai