Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Polip hidung adalah peradangan kronis selaput lendir dan sinus paranasal yang
ditandai dengan pembengkakan massa mukosa yang meradang dengan tangkai dasar luas atau
sempit. Kebanyakan polip berasal dari celah osteomeatal yang menyebabkan obstruksi
hidung. Polip sering tumbuh pada sinus ethmoidalis dan maxillaris. Polip antrokoanal adalah
jenis polip yang berasal dari mukosa dinding posterior di daerah antrum maksila, yang
kemudian keluar dari ostium sinus dan meluas hingga ke belakang di daerah koana posterior.
Polip ini juga dikenal sebagai Killians polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian
pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu komponen kistik
dan padat.
Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa antrum
sinus maksila yang inflamasi dan udematous dapat melua ke koana. Terbanyak berasal dari
mukosa dinding antrum bagian posterior. Etiopatogenesis dengan gejala utama hidung
tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi dan tomografi computer merupakan
pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Penatalaksanaan
polip antrokoanal adalah polipektomi. Banyak teknik polipektomi polip antrokoanal yang
telah terkenal akan tetapi dengan efek samping dan rekusrensi yang tinggi.
Penyebab dan mekanisme yang mendasari polip masih tidak dipahami dengan baik,
namun peradangan kronis merupakan faktor utama seperti peningkatan sel inflamasi seperti
eosinofil. Polip sering dikaitkan dengan rinosinusitis kronis dan alergi. Namun peran alergi
pada polip masih kontroversial. Sebuah studi 3000 pasien atopik menunjukkan prevalensi
0,5%, sedangkan studi di 300 pasien alergi menunjukkan prevalensi sebesar 4,5%.
Polip antrochoanal hanya mewakili sekitar 3-6% dari polip nasal. Etiologi yang tepat
tidak diketahui, tetapi diduga infeksi mungkin merupakan penyebab umum. Namun Cook et
al menemukan kejadian yang lebih tinggi 10,4%. Sinusitis kronik ditemukan pada sekitar
25% dari pasien. Tidak seperti polip lainnya, polip antrochoanal lebih sering terjadi pada
pasien non atopic (4,7 %) daripada pasien rinitis atopik (1,5 %). Polip ini sering pada anak-
anak dan remaja tetapi dapat bermanisfestasi pada usia lebih tua dan lebih banyak mengenai
laki-laki dibandingkan perempuan. Pada anak-anak insidensi polip ini mencapai 33%. Dalam
sejumlah studi perspektif pada tahun 2002, diketahui bahwa usia rata-rata terjadinya polip
antrokoanal ini adalah 27 dan 50 tahun.
Gejala ACP yang sering dikeluhkan adalah sumbatan hidung dan secret yang keluar
dari hidung, kadang diawali dengan episode epistaksis, rhinorrea purulenta, strangulasi polip,
amputasi spontan, dispneu dan disfagia, gangguan berbicara, obstructive sleep apnoea, serta
kakeksia. Nasal endoskopi dan computed tomography (CT) scan yang diperlukan
untuk membuat diagnosis dan perencanaan perawatan.
Sebagaimana polip jenis lain, penatalaksanaan polip antrokoanal ini masih belum
memuaskan. Hal ini dikarenakan tingkat rekurensinya yang cukup tinggi. Hingga saat ini cara
yang sering digunakan untuk mencegah rekurensi polip ini adalah dengan mengangkat
mukosa sumber polip hingga mendekati dasarnya agar terbentuk jaringan parut yang
menghambat pertumbuhan sel. Penatalaksanaan polip antrocoanal umumnya adalah dengan
operatif. Berbagai teknik pembedahan yang sudah dikembangkan untuk tujuan ini antara lain
metode Caldwell-Luc, polipektomi endoskopis dengan meatotomi media, polipektomi
endoskopis dengan antrostomi melalui meatus inferior, dan penggunaan microshaver dengan
atau tanpa pemberian transkanin. Functional endoscopic sinus surgery (FESS) merupakan
prosedur yang umum digunakan serta aman dan efektif.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian
THT. Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama
semakin berat. Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit
kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu
dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi
hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.
BAB II
POLIP NASI

DEFINISI
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan
polip berwarna putih bening atau keabu abuan, mengkilat, lunak karena banyak
mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi
kekuning kuningan atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat
bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang,
muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa antrum
sinus maksila yang inflamasi dan udematus, dapat meluas ke koana. Terbanyak berasal dari
mukosa dinding antrum bagian posterior. Polip ini juga dikenal sebagai Killians polyps
karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP)
terdiri dari 2 komponen yaitu komponen kistik dan padat. Etiopatogenesis polip antrokoanal
sampai saat ini masih kontroversi. Polip antrokoanal banyak ditemukan pada anak dan
dewasa muda dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi
dan tomografi komputer merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis polip
antrokoanal.

ANATOMI

1. HIDUNG LUAR
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Dorsum nasi
c) Puncak hidung
d) Ala nasi
e) Kolumela
f) Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris.
Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas
nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks
(puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares,
yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.

Gambar 1: Anterolateral Tulang Hidung

Perdarahan :
i. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
ii. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
iii. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
i. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
ii. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2. KAVUM NASI
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas
batas kavum nasi :
a) Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b) Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
c) Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian
ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
d) Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit,
jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari
kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
e) Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan
sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak
di bagian ini.

Gambar 2: Potongan Sagital Cavum Nasi


Perdarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior
yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang
terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri.
Persarafan : Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus
yaitu N. Etmoidalis anterior Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari
ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi
N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar 3: Perdarahan kavum nasi

3. MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel
epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam
sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.

FISIOLOGIS

1. Sebagai jalan nafas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

ETIOLOGI
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan
pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali
ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga
hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip
biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip
mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Etiologi polip antrochoanal (ACP) belum diketahui pasti. Sinusitis kronis (65%) dan
alergi seperti rinitis alergi (70%) ditemukan mempunyai hubungan dengan terjadinya ACP.
Sinusitis maksila dan penyakit kompleks ostiomeatal menghalangi fungsi mukosiliar dari
mukosa sinus. Beberapa penelitiann menunjukkan kemungkinan peran aktivator dan inhibitor
urokinase plasminogen dan peran metabolit asam arakidonat dalam patogenesis ACP. Yang
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. infeksi
5. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.

PATOFISIOLOGI
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah
meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar
dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama
dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi
ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip.
Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di
antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang
berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak
adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam
kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.

Beberapa teori tentang pembentukan polip yaitu:

1. Ketidakseimbangan vasomotor
Teori ini tersirat karena mayoritas polip hidung pasien tidak atopik dan tidak ada alergen
yang jelas yang dapat ditemukan. Pasien sering memiliki periode prodomal rhinitis
sebelum terjadinya polip. Polip hidung sering memiliki vaskularisasi yang buruk tidak
memiliki persarafan vasokonstriktor. Vaskular terganggu peraturan dan permeabilitas
pembuluh darah meningkat dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip.
2. Alergi
Alergi dicurigai karena 3 faktor yaitu mayoritas nasal polip mempunyai eosinofil,
berhubungan dengan asma, dan mempunyai gejala dan tanda mirip dengan alergi
3. Fenomena Bernoulli
Hasil Fenomena Bernoulli dalam Penurunan tekanan yang menyebabkan
vasokonstriksi. Tampaknya bahwa tekanan negatif menginduksi mukosa yang meradang
pada rongga hidung mengakibatkan pembentukan polip. Jika ini satu-satunya faktor,
mukosa terdekat katup hidung akan membentuk polypoidal.
4. Teori Ruptur Epitel
Rupturnya epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat menyebabkan prolaps
mukosa lamina propria sehingga polip terbentuk. Mungkin cacat diperbesar oleh efek
gravitasi atau obstruksi drainase vena.
5. Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang canggih untuk menjelaskan patogenesis intoleransi aspirin dan
asosiasi dengan polip hidung. Sebuah entitas klinis terkenal yang merupakan produk dari
tiga kondisi: asma, aspirin sensitivitas dan polip hidung. Ini adalah sindrom klinis yang
berbeda, ditandai dengan presipitasi serangan rhinitis dan asma oleh aspirin dan
kebanyakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Rinitis persisten muncul di
usia rata-rata 30 tahun, maka asma, intoleransi aspirin, dan hidung polip. COX1 atau
COX2 mungkin lebih rentan terhadap ASA atau bisa menghasilkan metabolit yang tidak
diketahui yang merangsang cysteinyl leukotrien (Cys-LT). Metabolisme asam arakidonat
merangsang jalur inflamasi leukotrien. Hal ini menyebabkan penurunan di tingkat PGE2,
PG antiinflamasi. LTC4 sintase berlebih selanjutnya akan meningkatkan jumlah dari LTS
cysteinyl, memiringkan keseimbangan ke arah peradangan. Hal ini dapat berkontribusi
untuk respon peradangan tidak terkendali dan peradangan kronis.
6. Cystic fibrosis
Cystic fibrosis adalah merupakan gangguan autosomal resesif populasi kulit putih. Cystic
fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen tunggal pada kromosom 7, nama transmembran
cystic fibrosis regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan adanya siklik AMP-regulated
saluran klorida dan abnormal regulasi natrium, klorida menghasilkan impermeabilitas dan
penyerapan natrium meningkat. Poeningkatan penyerapan natrium dan penurunan sekresi
klorida menyebabkan pergerakan cairan ke dalam sel dan ruang interstitial yang
menyebabkan retensi cairan, pembentukan polip, dan dehidrasi.
7. Nitrat oksida
Oksida nitrat adalah gas radikal bebas, yang dihasilkan dari L-arginin oleh keluarga
enzim oksida nitrat synthases (Noss). Nitrat oksida memainkan peran utama dalam reaksi
imun spesifik, regulasi vaskular, pertahanan tubuh, dan peradangan jaringan. Radikal
bebas dipertahankan dalam keseimbangan oleh sistem pertahanan antioksidan
superoksida dismutase (SOD) peroksidase, katalase dan glutation. Meskipun transien,
radikal bebas bisa membanjiri antioksidan yang mengakibatkan kerusakan sel, cedera
jaringan dan penyakit kronis. Karlidag et al melaporkan peningkatan dalam kadar oksida
nitrat dan penurunan enzim (SOD) pada pasien polip hidung dibandingkan dengan
kontrol, menunjukkan adanya radikal bebasyang menyebabkan kerusakan pada polip
hidung.
8. Infeksi
Peran infeksi dianggap penting dalam pembentukan polip. Ini didasarkan pada model
eksperimental di mana terdapat gangguan epitel dengan proliferasi jaringan diinisiasi oleh
infeksi bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau
Bacteroides fragilis (semua umum patogen dalam rinosinusitis) atau Pseudomonas
aeruginosa, yang sering ditemukan dalam cystic fibrosis.
9. Hipotesis superantigen
Staphylococcus aureus terdapat pada musin polip hidung pada sekitar 60 sampai
70%. Organisme ini selalu menghasilkan toxin, Staphylococcus enterotoxin A (SEA),
Staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang
mungkin bertindak sebagai superantigens, menyebabkan aktivasi dan klon perluasan dari
limfosit dengan dalam dinding lateral hidung. Ini diaktifkan limfosit menghasilkan sitokin
Th1 dan Th2 baik (IFN-, IL-2, IL-4, IL-5), menyebabkan penyakit kronis
lymphocyticeosinophilic. Antibodi IgE spesifik untuk SEA dan SEB terdeteksi pada 50%
dari hidung jaringan polip dan antibodi IgE spesifik dalam serum untuk stafilokokus
(SEB, TSST) ditemukan pada 78% dari polip hidung.
10. Infeksi jamur
Elemen jamur dihirup menjadi terperangkap dalam lendir sinonasal, menyebabkan
eosinofil bergeser dari mukosa pernafasan ke lumen oleh mekanisme yang belum
diketahui. Selama proses ini, mereka memproduksi mediator yang mengakibatkan
peradangan pada mukosa. Elemen jamur ditemukan pada histologi pada 82% pasien
rinosinusitis kronis menjalani operasi sinus.
11. Predisposisi genetik
Etiologi genetik dicurigai dalam pengembangan dari poliposis hidung berdasarkan
agregasi keluarga. Cystic fibrosis merupakan resesif autosomal yang berhubungan dengan
mutasi gen CFTR dalam wilayah Q31 pada lengan panjang kromosom 7. HLA-DR
dinyatakan pada permukaan sel-sel inflamasi paranasal pada mukosa dan polip
hidung. Orang dengan HLA-DR7-DQA1 dan HLA-DQB1 haplotipe memiliki dua atau
tiga kali lebih tinggi untuk mengembangkan polip hidung.
12. Komposisi Selular
Pada sebagian besar polip hidung, eosinofil terdiri lebih dari 60% dari populasi sel,
kecuali di cystic fibrosis. Ada adalah peningkatan sel T CD8+ diaktifkan oleh sel T
mendominasi lebih dibandingkan CD4+. Mast sel dan plasma sel juga meningkat
dibandingkan dengan mukosa hidung yang normal.
13. Kimia mediator
Selain infiltrasi sel inflamasi meningkat, peningkatan ekspresi dan produksi varietas
sitokin proinflamasi dan kemokin telah telah dilaporkan dalam polip hidung. Histamine
nyata meningkat pada polip hidung, melebihi tingkat 4000 ng/ml. Peningkatan produksi
granulosit/macrophage colony-stimulating factor, IL-5, RANTES dan eotaxin dapat
berkontribusi untuk migrasi eosinofil. Peningkatan kadar IL-8 dapat menginduksi
infiltrasi neutrofil. Meningkatkan ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular dan
upregulationnya dengan mengubah faktor pertumbuhan-[beta] yang dapat berkontribusi
edema dan angiogenesis dalam polip hidung. IgA dan IgE juga meningkat pada hidung
polip. Selain itu, produksi lokal IgE dalam polip hidung dapat berkontribusi pada
kekambuhan polip hidung melalui IgE-sel mast-Fc RI [epsilon] kaskade.

MAKROSKOPIS DAN MIKROSKOPIS


Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, bentuk bulat
atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple
dan tidak sensitif ( bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan kerana mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila
terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-
merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena
banyak mengandung jaringan ikat.

Gambar 5: Gambaran endoskopi cavum nasi kiri, menunjukkan polip pada prosesus
uncinatus. Tampak jelas polip berada di tengah, berwarna pucat dan putih berkilau.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama di kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus
ethmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip
dapat dilihat. Adanya polip tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut
polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari sinus maksila dan juga disebut polip antro-
koana.

Gambar 4: Polip antrochoanal kiri yang menggantung pada orofaring


Secara mikroskopis, tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal, yaitu
epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembap. Sel-selnya terdiri dari
limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau
gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis radangnya polip dikelompokkan
menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.

HISTOPATOLOGIS
Berdasarkan temuan histologis diklasifikasikan polip menjadi empat jenis:
1) Tipe eosinofilik
Edema stroma dengan sejumlah besar eosinofil

2) Inflamasi atau fibrosis jenis kronis


Sejumlah besar sel-sel inflamasi terutama limfosit dan neutrofil dengan eosinofil lebih
sedikit. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan
jumlah dari sel goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari
respon inflamasi mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit.
Stroma terdiri atas fibroblas.

3) Seromucinous Tipe I + hiperplasia kelenjar seromucous.


Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe
ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak.

4) Jenis atipikal stroma


Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis
dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi
tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma

Karakteristik histopatologi ACP mirip dengan orang non-alergi. ACP dilapisi


dengan epitel bersilia pseudostratified, dan jaringan ikat stroma berisi sel inflammatori.
Stroma membengkak dan sangat vaskular terdiri dari jaringan ikat longgar disisipi sel plasma
dan sedikit eosinofil. Infiltrasi sel inflamasi lebih parah daripada infiltrasi eosinofilik.
Sebuah studi melaporkan bahwa sel-sel permukaan epitelial pasien ACP memiliki sedikit
atau tidak ada silia, dan stroma berisi sejumlah minimal kelenjar lendir dengan eosinofil.

GEJALA KLINIS
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan
ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang
hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus
paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala
dan rinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung
yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid ialah:
i. Polip :
Bertangkai
Mudah digerakkan
Konsistensi lunak
Tidak nyeri bila ditekan
Tidak mudah berdarah
Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
ii. Polip antrokhoanal :
Rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Hiposmia atau anosmia
Epistaksis
Mendengkur
Nyeri pada pipi
Sleep apneu
Nyeri kepala
Post nasal drip
Bernafas dengan mulut
Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi
akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama yang dirasakan semakin memberat. Sering
juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh, suara sengau, serta sakit kepala.
Pada sumbatan hidung yang hebat dapat menimbulkan gejala hiposmia bahkan anosmia, dan
rasa berlendir di tenggorok.

DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesa, keluhan uatama pasien adalah hidung tersumbat dari ringan ke berat,
rinore yang mulai dari jernih sampai purulen, hiposmia/ anosmia, dapat disertai bersin-bersin,
nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder
didapatkan post nasal drip dan rinore purulen.
Pada pemeriksaan fisik, hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung akibat
polip nasi yang masif yang menyebabkan deformitas hidung luar. Pada rinoskopi anterior,
dilihat adanya massa berwarna pucat, berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Stadium polip ( Mackey dan Lund, 1997):
i. Stadium 0: Tidak ada polip
ii. Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius
iii. Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung dan tidak menyebabkan obstruksi total
iv. Stadium 3: polip yang massif/ obstruksi total

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah naso-endoskopi. Polip stadium 1


dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemneriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip
yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Foto polos sinus paranasal ( posisi Waters,
AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-
cairan di dalam sinus, namun kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan
sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah
ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada KOM.

1) Naso-endoskopi
Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip
berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat
pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-
endoskopi. Pada kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari
ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi.

2) Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi
pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip.

3) CT scan
Sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT
scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan
medikamentosa.

Gb. Antrochoanal polip pada hidung kanan

DIAGNOSIS BANDING
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan
konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan
hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

Diagnosis diferensial dari ACP mencakup :


i. Angiofibroma
Angiofibroma adalah neoplasmavaskuler jinak yang memiliki potensi untuk
penghancuran lokal, dan ini timbul dari pterygoideus plate
ii. Glioma hidung
iii. Meningoencephalocele
iv. Limfoma
v. Keganasan/ tumor nasofaringeale
Menyebabkan obstruksi saluran napas, penghancuran struktur tulang dan invasi ke
dalam sinus paranasal
vi. Hemangioma
Lesi vaskuler jinak di rongga hidung dan sinus paranasal. Kebanyakan muncul
dari septum hidung anterior dan turbinat hidung
vii. Mukokel
Mucocele mengandung lendir dan epitel desquamated dan mucoceles dapat
mengisi rongga sinus. Ini biasanya terjadi di frontoethmoid. Mucoceles jarang
muncul di sinus maksilaris dan tidak mencapai choana

PENATALAKSANAAN

MEDIKA MENTOSA

Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid. Baik bentuk
oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik. yang mengurangi
ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-obatan lain tidak memberikan
dampak yang berarti.Selain itu, terapi medika mentosa juga bertujuan untuk menunda selama
mungkin perjalanan penyakit, mencegah pembedahan dan mencegah kekambuhan setelah
prosedur pembedahan.
a. Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah
kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi non-spesifik ini secara
signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain secara
cepat. Tetapi masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali dan munculnya
gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan.
b. Kortikosteroid topikal hidung atau nasal spray
Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6
minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya
hilang.Respon anti-inflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip
dan mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia
semprot hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka panjang
dan jangka pendek seperti fluticson, mometason, budesonid dan lain-lain. Perlu
diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak
terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan demikian langsung
diberikan kortikosteroid oral.
c. Kortikosteriod sistemik
Pengunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode alternatif untuk
menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan steroid topikal, steroid
sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius
dan meatus media dan memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal.
Penggunaan steroid sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan
steroid topikal dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi
nasal sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan dari kortikosteroid
intranasal, maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Dosis kortikosteroid saat ini
belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan
Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama
seminggu. Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk
polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam
beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg
per hari. Menurut Naclerio pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali
dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak
dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli.
d. Antibiotik
Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat timbulnya infeksi.
Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah perkembangan polip lebih lanjut
dan mengurangi perdarahan selama pembedahan. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat terhadap spesies
staphylococcus, dan golongan anaerob yang merupakan mikroorganisme
tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik. Kalau ada tanda-tanda infeksi harus
diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis
sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.

Follow up

Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali setahun.
Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang lebih
sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis tinggi atau
menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.
Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa
gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang memerlukan
perawatan dengan berbagai antibiotik.

NON-MEDIKA MENTOSA

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. . Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya
penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia
dan kemampuan dokter yang menangani.

Indikasi Operasi

Polip menghalangi saluran nafas.


Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksisinus.
Polip berhubungan dengan tumor.
Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.

Kontraindikasi Operasi

Absolut- penyakit jantung dan penyakit paru


Relatif- gangguan pendarahan, anemia, infeksi akut yang berat (eksaserbasi asma
akut)

Tindakan Pra-Operasi

Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kondisi pasien yang
hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang
menderita asma dan lainnya. Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari sebelum operasi pasien
diberi antibiotik dan kortikosteroid sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi
bakteri dan mengurangi inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan
perdarahan yang banyak, yang akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga
bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah dijalankan.

Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada
pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding
lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip
meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi
dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi. Pada
polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.

Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, namun kurang bermanfaat
pada kasus polip.

CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta
mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan
dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan
intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks
ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel
Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior,
n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.Gambar CT scan penting sebagai pemetaan
yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT
tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari
daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk
menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi antaranya
adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan
didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.

Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah kekambuhan.


Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan juga mengalami
kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani pembedahan akan mengalami
kekambuhan.

Terapi pembedahan dapat dilakukan:

1) Polipektomi

Sebelum polipektomi hidung dilakukan, perlu diberikan premedikasi dan anestesi


topikal memadai. Kawat pengait kemudian dilingkarkan pada tangkai polip tanpa
perlu diikatkan erat-erat, kemudian polip dengan tangkai dan dasar pedikel
seluruhnya ditarik bersamaan. Infeksi sinus akibat tangkai polip yang
menyumbat ostium, biasanya mereda lebih cepat setelah polipektomi. Jika polip
kembali kambuh dan disertai sinusitisrekurens, mungkin terdapat indikasi
koreksi bedah terhadap penyakit sinus.

Konka yang hipertrofi mungkin memerlukan kauterisasi, bedah beku


(cryosurgery), atau reseksi parsial guna menciptakan jalan nafas memadai.
Pembedahan demikian harus secara konservatif guna mencegah rinitis atrofik.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan menggunakan senar
polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung.
Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada
kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit.Keuntungan dari cara ini adalah, bahwa
prosedur sederhana, perawatan post operasi singkat, risiko operasi hampir-hampir tidak ada.Akan
tetapi kerugiannya adalah, prosedur operasi ini tak membersihkan polip yang berada dalam
sinus, dengan sendirinya kans untuk residif besar sekali, malahan dalam waktu yang singkat dapat
terjadi residif.

2) Etmoidektomi
Etmoidektomi,artinya di samping mengangkat polip yang berada dalam hidung,
diangkat juga polip yang berada di dalam sinus paranasalis. Jadi kita berusaha untuk
membersihkan sampai ke akar-akarnya (teknik operasi akan dibicarakan dalam kuliah sinus-
chronica). Keuntungan cara operasi ini adalah kans residif lebih kecil dan kalau memangterjadi,
maka jangka waktunya cukup lama. Kerugian operasi ini ialah prosedur operasi lebih sukar dan
waktu perawatan lebih panjang serta resiko komplikasi post operasi relatif lebih besar.
Operasi Etmoidektomi di bagi menjadi dua yaitu:
1) Etmoidektomi Intranasal
Tindakan dilakukan dengan pasien dibius umum ( anastesia). Dapat juga dengan bius
lokal (analgesia). Setelah konka media di dorong ke tengah, maka dengan cunam sel
etmoid yang terbesar ( bula etmoid ) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan
sampai bersih. Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan
endoskop,sehigga apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik. Perawatan
pasca-bedah yang terpenting ialah memperhatikan kemungkinan perdarahan.

2) Etmoidektomi Ekstranasal
- Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di daerah itu sinus etmoid
dibuka, kemudian dibersihkan.

3) Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang pipi. Supaya
tidak terdapat cacat di muka, maka insisi dilakukan di bawah bibir, di bagian superior
( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang pipi diangkat
kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung, yang disebut
fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian rongga sinus
maksila kelihatan. Dengan cunam pemotong tulang lubang itu diperbesar. Isi sinus
maksila dibersihkan. Seringkali akan terdapat jaringan granulasi atau polip di dalam
sinus maksila. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, maka dibuat
anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka dimasukkan
tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan melalui antrostomi
ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit.

4) Bedah Sinus Endoskopi Fungsional(BSEF)


Bedah Sinus Endoskopi Fungsional(BSEF) merupakan teknik yang lebih baik tidak
hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang merupakan
tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka
kekambuhan.
Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang
dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain
BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya,
mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan
neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk
mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor
serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya. Kontraindikasi BSEF adalah osteitis
atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester,pasca operasi
radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi),penderita yang disertai
hipertensi maligna, diabetes mellitus, dan kelainan hemostasis yang tidak terkontrol.

Intrumentasi Bedah.
Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai.
Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. teleskop 4 mm 00
7. teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
2. teleskop 4 mm 300
8. teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)
3. light source (sumber cahaya)
4. cable light
5. sistim kamera + CCTV
6. monitor
Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:
1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)
2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)
3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm)
4. Suction lurus
5. Suction Bengkok
6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps
8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Upturned)
10. Cunam Backbiting (Backbiter Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (Antrum Curette Oval)
14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)
16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)
17. Cunam Jamur (Stammberger Punch)
Tahapan operasi:

Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan


endoskop dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara
alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan
jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus
terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka
BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah.
Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu
infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan
dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Karenanya
tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini dijelaskan tahapan-
tahapan operasi.

Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila


Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka
bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum
harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu
prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen
besar bisa masuk. Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit
dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila
terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan
patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan
ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa
melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi
ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.

Eksenterasi sinus maksila


Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan
jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus
maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui
meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-
Luc, tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan
jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius
dianjurkan untuk dilakukan disini.

Etmoidektomi retrograde
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan
termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis
frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini),
sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat
sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid
anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibalakang
sinus lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis
keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid
posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi
dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan
dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting
mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.
Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara
retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas
superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah
lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau
300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan
cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih
besar.
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak
yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi
sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih
kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Arteri etmoid
anterior. Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas perlekatan bula etmoid pada
dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap
resesus frontal.

Hindari trauma pada arteri ini.


Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan 1: 2-3 pada spesimen
Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan melekatnya n.optikus dan a.Karotis
Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior, harus ingat adanya
sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid
dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada
penonjolan n.optikus dan / atau a.karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada organ
penting ini, terutama trauma pada a.karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.

Sinus frontal
Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus frontal
harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley upturned
dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya
langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior
dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan lokasi ostium
ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau
konka media, maka drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini
terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi.
Hati-hati saat diseksi di sisi medial, terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina
lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap
daerah ini.
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid,
sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang
meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung
menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam
Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan / 70,
dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta mengingat lokasi
drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Adanya
gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat
dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini
khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus
frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik
ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif yang
menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepinasi
sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan
infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase
dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri
dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya. Ada beberapa teknik
yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan dasar otak antaranya Intact
Bulla Technique dan Axillary Flap.

Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus
sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan a.karotis,
sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau perdarahan
hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang.
Anatomi rincinya harus dipelajari dengan seksama dan CT scan potongan koronal bahkan
kalau perlu potongan aksial dan MRI. Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung
septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan
ruptur arteri yang fatal. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena
n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian
medial dan inferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di
kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung
septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus. Prinsip ini penting dalam
menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa
sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik. Moriyama juga
menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan mukosa saja dengan cunam
yang memotong (cutting forcep). Dalam penyelidikannya, cara ini menunjang penyembuhan
fisiologik dimana sel-sel bersilia akan regenerasi setelah 6 bulan.

Perawatan Pasca Operasi

Secara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk
membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang
bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis.
Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui
lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah
terjadinya penyakit iatrogenik.

Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal


mungkin setelah operasi selasai yaitu pada hari ke -1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari
secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55 pasien dilakukan
BSEF 95,5% pasien meperlihatkan perbaikan gejala klinik sekitar 50% lebih pada perawatan
pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin hipertonik setelah hari ke-10 postoperatif.

Komplikasi operasi BSEF

Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat popular dan diadopsi dengan cepat oleh
para ahli bedah THT diseluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai
komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera
melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari
cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pamahaman yang mendalam
tentang anatomi bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi BESF dapatr dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital/orbital,
vaskular dan sistemik.

I. Komplikasi intranasal
Sinekia. Masalah yang timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling
berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung.
Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu 8% namun hanya 20% yang
menyebabkan gangguan sumbatan. Disfungsi pemciuman dapat terjadi bila celah
olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah
ketidakstabilan konka media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media
harus dipertahankan.

Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan
terjadi sekitar 2%. Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah
dapat menghasilkan drainase fisiologik. Metode terbaik memeperlebar ostium adalah
dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior, posterior
dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala maka revisi
bedah mungkin diperlukan.

Kerusakan duktus lakrimalis. Komplikasi ini jarang karena duktus nasolakrimalis


berada disepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior.
Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan
Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus
nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora.
Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus
maksila terutama dari arah posterior dan / inferior.

II. Komplikasi periorbital/ Orbital

Edema kelopak mata/ekinmosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis dan atau


emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina
papirasea. Proyeksi medial lemina papirasea pada rongga hidung dan struktur
tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama
prosedur bedah dilakukan. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa
diperlukan pengobatan khusus.
Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang
berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema
kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi dan proptosis. Seiring
dengan meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan
kehilangan penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur
pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.

Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah


dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula
disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi
bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada n. Optikus yang dapat
menyebabkan gangguan penglihatan.

Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat


menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior
mata serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.

III. Komplikasi intrakranial

Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara
diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan
preoperasi ( tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan
serebrospinal selama prosedur beda merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
Insidensi komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi
harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka
media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90%
diharapkan dapat menutup sendiri.

IV. Komplikasi sistemik

Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus
adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome
(TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu tinggi dari 39,5 C,
deskuamasi dan hipotensi ortostatik.

Komplikasi yang terbanyak meliputi:

a. SSP: Kerusakan LCS, meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak, herniasi otak
b. Mata: Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot mata bisa
menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis dapat menyebabkan
epiphora
c. Pembuluh darah: trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan
d. Kematian

Follow- up

Hari 1-2: Melepaskan nasal packing dan debridement pada sinus dan instruksi agar
pasien menggunakan salep antibiotik topikal
Hari 4-5: Inspeksi dan debridement pada sinus dan observasi penyembuhan yang tepat
Hari 10: Inspeksi dan debridement pada sinus dan pasien meneruskan perawatan
medis dengan menggunakan inhaler steroid hidung
Minggu ke 2-3: Inspeksi dan debridement pada sinus bagi memastikan penyembuhan
lengkap hidung dan sinus mukosa
Minggu ke 5-6: Inspeksi dan perawatan tindak lanjut dan medis rutin
Bulan ke 3: Inspeksi dan perawatan tindak lanjut dan medis rutin

Setelah protokol di atas, tindak lanjut perawatan interval 4 hingga 6 bulan memadai.
Pedoman ini tergantung individu mengikut kemajuan klinis pasien dan tingkat keparahan
penyakit sebelum operasi.

Post operatif

Penting bagi perawatan tindak lanjut dan debridement dari sinus dan rongga hidung.
Perawatan medis dan pengendalian rhinitis alergi bagi mencegah kekambuhan polip. Tidak
jarang pasien yang memiliki hasil yang baik pascaoperasi langsung dalam menghilangkan
gejala sumbatan hidung. Pasien juga harus diberikan penyuluhan mengenai pengobatan
jangka panjang.

PROGNOSIS

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi
adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.

Secara medika mentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan
yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk
alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan
imunoterapi dengan cara desensitasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

KESIMPULAN

Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan
pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Etiologi polip
terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga
banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi. Pada anamnesis pasien,
didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit
kepala daerah frontal atau sekitar mata dan adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior ditemukan masaa yang lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada
nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk
polip nasi bisa secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat
ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis
alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga
kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi VI cetakan 1. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2007.h 215,247.
2. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1997.h 123-125.
3. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose & Throat. 5th Edition. New Delhi. Elsevier. 2010.
Pg 241.
4. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan
Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000
5. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media Aesculapius
FK-UI 2000
6. Diktat Anatomi Hidung FK Usakti hal. 1 12
7. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
8. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia 1991

Anda mungkin juga menyukai