Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

Insomnia Comorbid to Severe Psychiatric


Illnesses

PENYUSUN:
Amarita Sridevi Laksmawati
1261050068

PEMBIMBING:
dr. Rihadini, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI


PERIODE 28 AGUSTUS 2017 30 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
Komorbiditas Insomnia pada Penyakit Psikiatrik Berat
Adriane M. Soehner, MA, Katherine A. Kaplan, MA, Allison G. Harvey, PhD*
Kata kunci: Insomnia, Gangguan Bipolar, Skizofrenia, CBT-I
Poin Penting:
- Insomnia, hipersomnia dan gangguan ritme sirkadian sering ditemukan
pada pasien dengan skizofrenia dan gangguan bipolar.
- Kemampuan untuk mempertahankan tidur yang lemah dan arsitektur tidur
yang abnormal seringkali disertai dengan gejala penyakit-spesifik
(disease-specific symptoms), kualitas hidup yang buruk dan gangguan
fungsional berat pada skizofrenia dan gangguan bipolar.
- Terapi Perilaku Kognitif (Congnitive Behavioral Therapy, CBT) pada
kasus insomnia dengan melatonin agonis berguna dalam pengobatan pada
gangguan jiwa yang berat.
- Bukti awal menunjukkan bahwa pengobatan terhadap gangguan tidur
dapat memperbaiki gejala psikiatrik pada penyakit psikiatrik berat.

Pendahuluan: Dasar dari Permasalahan


Terdapat bukti yang jelas bahwa insomnia sering terjadi bersamaan dengan
berbagai macam penyakit psikiatri. Diperkirakan bahwa 20% sampai 40%
orang dengan penyakit jiwa mengalami insomnia. Hal ini disebabkan karena
insomnia berhubungan dengan berbagai penyakit kejiwaan dan/ atau disertai
oleh penyakit non-psikiatrik. Sistem klasifikasi diagnostik, seperti DSM-IV-
TR4 dan ICSD-2 membagikan antara insomnia primer dan sekunder.
Insomnia primer dianggap sebagai suatu kelainan tunggal sedangkan insomnia
sekunder didiagnosis bila disertai kondisi primer, seperti penyakit jiwa;
Namun, hubungan antara insomnia dan gangguan kejiwaan yang beserta bisa
sangat bervariasi. Perbedaan antara insomnia primer dan sekunder telah
dikaburkan oleh penelitian epidemiologi yang menunjukkan bahwa insomnia
berkemungkinan mendahului, dan dapat memprediksi penyakit psikiatrik.
National Institutes of Health-State-of-the-Science Conference menyimpulkan
bahwa istilah sekunder seharusnya diganti dengan komorbid berdasarkan
bukti yang menunjukkan bahwa insomnia seringkali komorbid dengan
kelainan lain yang kemudian menyebabkan gejala insomnia yang menetap.
Dalam kasus insomnia komorbid, perhatian terhadap data empiris dan
klinis sangat penting. Hal ini disebabkan karena terdapat hubungan siklis
antara gangguan tidur dan penyakit medis atau psikiatri. Misalnya, gangguan
tidur yang memburuk dapat memperberat gajala psikiatrik dan distres saat
siang hari, dengan gejala psikiatrik dan distress saat siang hari kemudian
memperburuk gangguan tidur. Untungnya, terdapat bukti yang mendukung
bahwa insomniia merespons baik terhadap Terapi Perilaku Kognitif untuk
Insomnia (Cognitive Behaviour Therapy for Insomnia, CBT-I), bahkan saat
penyakit kejiwaan atau medis tidak terkendali. Smith dan rekan-rekannya
menyimpulkan bahwa efek pengobatan secara umum cukup besar untuk CBT-
I pada penyakit psikiatrik maupun medis, dan hasilnya sebanding dengan efek
pengobatan pada insomnia primer.
Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk menyimpulkan peran
insomnia dan gangguan arsitektur tidur pada kedua penyakit psikiatrik berat:
gangguan bipolar (bipolar disorder, BD) dan skizofrenia. Meskipun penelitian
yang direview secara garis besar meneliti tentang pentingnya insomnia
sebagai sebuah gejala pada penyakit psikiatrik berat, namun tidak bisa
disangkal bahwa ada juga kemungkinan terjadinya gejala gangguan pola tidur
lain seperti hipersomnia, fase tidur memanjang, penurunan kebutuhan untuk
tidur. Pengetahuan terbaru tentang terapi farmakologi dan psikologi pada
kasus insomnia di populasi ini akan dibahas secara singkat beserta dengan
tantangan yang akan ditemukan oleh klinisi saat mengadaptasi prosedur CBT-
I pada gangguan psikiatrik berat.

Bipolar Disorder (BD)


Gambaran umum tentang gangguan tidur pada fase BD
Gangguan tidur merupakan ciri khas pada kedua episode pada BD. Pada
periode manik, sebagian besar pasien (69% -99%) mengalami penurunan
kebutuhan tidur, hal ini dibuktikan atas laporan pasien sendiri dan pemeriksaan
polisomnografi (PSG) (lihat tinjauan Harvey). Di samping itu, beberapa penelitian
skala kecil menunjukkan bahwa individu manik yang relatif sehat cenderung
mengalami penurunan lantensi REM (rapid eye movement) dan peningkatan
densitas REM.
Angka kejadian insomnia pada gangguan bipolar fase depresi
menunjukkan hasil yang bervariasi pada beberapa penelitian, dimana pada salah
satu penelitian ditemukan bahwa 100% pasien pada fase depresi mengalami
insomnia. (lihat tinjauan Harvey). Angka kejadian hipersomnia pada fase depresi
bervariasi antara 23% hingga 78%. Sama dengan gangguan depresi unipolar,
pasien dengan gangguan bipolar fase depresi cenderung mengalami pemendekkan
latensi REM dibandingkan dengan individu yang sehat. Densitas REM pada
sampel bipolar dengan fase depresi mengalami peningkatan jika dibandingkan
dengan individu yang sehat dan menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
dengan kelompok yang menderita gangguan depresi unipolar. Penurunan non-
REM (NREM) pada tahap 3 (N3), atau slow-wave sleep (SWS), ditemukan pada
sebagian kecil pasien BP fase depresi dibandingkan dengan individu yang sehat
dan mempunyai tingkat equivalen dengna pasien dengan gangguan depresi
unipolar. Namun demikian, pada sebuah penelitian ditemukan tidak ada
perbedaan pada N3 dibandingkan dengan individu yang sehat. Terdapat juga satu
penelitian yang menemukan bahwa pasien BD fase depresi mengalami penurunan
stadium N1 pada saat tidur, sedangkan pada kebanyakan penelitian tidak
menemukan hal tersebut.
Pada periode interepisode, gangguan tidur yang signifikan secara klinis
menetap pada hampir 70% pasien BD. Estimasi angka kejadian insomnia antara
episode sangat bervariasi. Pada sebuah penelitian yang mempunyai 14 peserta
dengan BD menemukan hanya 2 orang (14%) memenuhi kriteria insomnia,
sedangkan sebuah penelitian dengan sampel yang lebih banyak menemukan 50%
pasien dengan BD mengalami insomnia interepisodik. Penelitian yang lain
menemukan bahwa 25% pasien dengan BD mengalami hipersomnia interepisodik.
Sehubungan dengan karakteristik tidur yang spesifik, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa selama periode interepisodik, pasien dengan BD memiliki
latensi onset tidur yang lebih lama, periode terjaga yang lebih lama dan lebih
bervariasi pada malam hari, lebih sering bangun saat tidur, peningkatan durasi
tidur, efisiensi tidur yang buruk, serta pola tidur yang lebih bervariasi
dibandingkan dengan individu yang sehat. Pada periode interepisodik, pada 2
penelitian ditemukan adanya peningkatan densitas REM pada kedua-dua sampel
dengan gangguan bipolar dengan pengobatan dan tanpa pengobatan. Namun, pada
sebuah penelitian ditemukan tidak ada perbedaan antara arsitektur pola tidur pada
individu yang sehat dengan pasien BD pada periode interepisodik. Pada ketiga
penelitian tersebut tidak ditemukan perbedaan antara fase tidur NREM pada
sampel BD dibandingkan dengan individu yang sehat.
Bahkan di antara pasien dengan BD yang diobati dengan mood stabilizer
"yang terbaik secara klinis" dalam program peningkatan kualitas pengobatan
sistematis untuk BD, 66% mengalami gangguan tidur yang signifikan. Selain itu,
gangguan tidur bersifat karakteristik pada seluruh spektrum bipolar. Dalam
penelitian baru-baru ini terhadap sampel 116 pasien rawat jalan euthymic dengan
BD, 27,1% pasien dengan BD tipe 1 melaporkan gangguan tidur yang menetap
serta 21,7% pasien dengan BD tipe 2, dan 16,6% pasien BD tidak spesifik
(NOS).Meskipun, para peneliti menganggap bahwa persentase ini mengelirukan
karena sebagian pasien dengan gangguan tidur yang mendasarinya menerima
pengobatan antipsikotik yang bersifat hipnotik dan / atau sedatif. Studi lain
menemukan bahwa total waktu tidur adalah sangat singkat pada BD NOS, relatif
terhadap tipe BD tipe 1 dan BD 2, namun ketiga subtipe tersebut mengalami
gangguan yang sama pada variabilitasdurasi tidur dari setiap hari.

Signifikansi insomnia pada BD


Gangguan tidur merupakan tanda awal bagi BD. Dalam sebuah penelitian
tentang BD awal, gangguan tidur secara retrospektif dilaporkan menjadi salah satu
gejala paling awal yang diamati oleh orang tua. Dalam penelitian lain, gangguan
tidur diidentifikasi sebagai anteseden pada onset pertama kali BD pada subset
yang pemuda yang beresiko tinggi. Tinjauan menyeluruh terhadap gejala awal
mania dan depresi oleh Jackson dan kolega, mengidentifikasi gangguan tidur
sebagai gejala prodormal paling sering pada kasus relaps manik dan gejala
prodornal keenam sering pada relaps depresi pada gangguna bipolar. Sebagai
respon terhadap kekurangan tidur yang bersifat eksperimental, sebagian besar
individu dengan depresi BD menunjukkan penurunan yang cepat pada mood
depresi, namun sebagian peserta mengalami onset hipomania atau mania.
Selain itu, sebuah penelitian kros-seksional baru-baru ini menemukan
bahwa pasien dengan BD yang biasanya tidur kurang dari 6 jam pada waktu
malam menunjukkan gejala manik dan depresi yang lebih berat dibandingkan
pasien dengan BD yang tidur antara 6,5 dan 8,5 jam. Dalam studi yang sama,
peserta dengan BD yang tidur lebih dari 9,0 jam juga menunjukkan gejala yang
lebih depresif daripada kelompok dengan BD yang tidur antara 6,5 dan 8,5 jam.
Penelitian prospektif telah melaporkan temuan yang serupa. Durasi tidur
yang memenpendek telah ditemukan untuk memprediksi gejala manik sehari-hari
yang meningkat dan gejala depresi pada follow up saat 6 bulan kedepan. Durasi
tidur yang panjang juga memprediksikan peningkatan gejala depresi dan gejala
depresi pada follow-up saat 6 bulan kedepan. Efisiensi tidur yang rendah dan
lebih bervariasi dan variabilitas latensi onset tidur saat interepisode BD terkait
dengan episode depresi jangka panjang dan gejala depresi terkini. Ada juga bukti
yang menunjukkan bahwa pola tidur yang terganggu pada interepisode BD
memiliki konsekuensi fungsional yang cukup besar. Tidur yang terganggu dan
kebiasaan tidur yang durasi pendek (<6 jam) sangat berhubungan dengan
gangguan fungsi psikososial dan kualitas hidup yang lebih buruk pada pasien
dengan BD selama periode interepisodik.
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara arsitektur tidur,
suasana hati, dan hasil pengobatan pada BD. Dalam satu studi tentang periode
interepisodik BD, arsitektur tidur tidak berkorelasi dengan gejala gangguan
suasana hati. Namun, densitas REM yang lebih besar berkorelasi dengan gejala
depresi yang lebih berat dan gangguan fungsional yang lebih berat pada usia 3
bulan, sedangkan durasi REM yang berkepanjangan dan sejumlah besar SWS
berkorelasi positif dengan gejala manik dan gangguan fungsional pada 3 bulan
selanjutnya. Selain itu, jumlah pola tidur N2 berkorelasi negatif dengan gejala
manik dan gangguan pada 3 bulan kedepan. Hudson et al menemukan bahwa
waktu yang digunakan untuk tidur dan persentase REM berbanding terbalik
dengan tingkat keparahan mania pada pasien episode kini manik.

Pengobatan Insomnia pada BD


Secara keseluruhan, data-data tersebut memfokuskan pada kompleksitas
dan beberapa gangguan tidur yang merupakan ciri khas BD (insomnia,
hypersomnia, fase tidur tertunda, jadwal tidur yang tidak teratur, kebutuhan tidur
berkurang) dan pentingnya intervensi untuk mengobati masalah tidur sebagai jalur
untuk memperbaiki suasana hati/ mood dan gangguan fungsional. Beberapa
penelitian telah meneliti pilihan pengobatan untuk gangguan tidur pada BD.
Sebuah tinjauan yang dibuat dalam bentuk grafik di sebuah klinik swasta
menunjukkan bahwa obat golongan hipnotik non-benzodiazepin adalah aman, dan
46% pasien BD yang diresepkan dengan hipnotik menggunakan obat tersebut
secara jangka panjang. Pada laporan kasus, gabapentin ditemukan sangat
membantu dalam kasus insomnia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-
resistent insomnia) pada BD. Namun, laporan kasus tentang penggunaan
benzodiazepin untuk pengobatan insomnia pada BD belum memberi memberikan
hasil yang memuaskan.
Uji coba klinis terbuka (open clinical trials) terhadap obat yang
menargetkan sistem sirkadian, seperti melatonin dan agomelatine, mempunyai
hasil yang sangat memuaskan. Dua uji klinis skala kecil mengevaluasi efektifitas
ramelteon untuk gangguan tidur pada BD. Terdapat sebuah studi mengevaluasi
efisiensi dan tolerabilitas ramelteon pada BD tipe 1 dengan gejala manik dan
insomnia. Dua puluh satu pasien rawat jalan diacak untuk menerima salah satu
dari ramelteon 8 mg per hari (n = 10) atau plasebo (n = 11) dalam pengobatan
double-blind 8 minggu. Meskipun ramelteon tidak mempunyai perbedaan secara
bermakna dengan plasebo dalam mengurangi gejala insomnia, mania, dan derajat
keparahan penyakit secara umum, namun ramelteon lebih dapat ditoleransi dan
memperbaiki gejala depresi secara umum. Penelitian terbaru tentang ramelteon
berfokus pada penanganan gangguan tidur pada pasien eutimik dengan BD.
Peserta diacak untuk menerima ramelteon 8 mg per hari (n = 42) atau plasebo (n =
41) selama 24 minggu. Dibandingkan dengan kelompok plasebo, partisipan yang
menerima ramelteon memiliki kualitas tidur subyektif yang sedikit lebih baik, dan
risiko depresi secara keseluruhan dan penurunan tingkat kejadian relaps episode
manik hampir setengah selama periode pengobatan 24 minggu.
Meskipun hasil awal menggunakan intervensi farmakologik untuk
gangguan tidur pada BD sangat meyakinkan, adalah sangat penting untuk
mengembangkan dan menguji pendekatan nonfarmakologis untuk mengobati
gangguan tidur pada BD karena (1) mempunyai lebih sedikit efek samping atau
interaksi dengan pengobatan lain untuk BD dan kondisi lain; (2) kekhawatiran
tentang durabilitas pengobatan, efek residu siang hari, toleransi, ketergantungan,
dan insomnia rebound akibat farmakoterapi; (3) golongan obat insomnia tertentu
(yang paling penting, agonis reseptor benzodiazepin yang disetujui oleh Food and
Drug Administration) memiliki risiko penyalahgunaan mengingat kembali
komorbiditas antara gangguan bipolar dengan penyalahgunaan zat obat.
CBT-I mungkin merupakan teknik intervensi yang sangat berguna untuk
menstabilkan pola tidur dan ritme sirkadian pada BD. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, individu dengan BD mempunyai variabilitas yang luas
pada lama waktu tidur setiap malam, bersama dengan penurunan efisiensi tidur
dan meningkatnya kesadaran saat malam hari, masalah tersebut mungkin berespon
baik terhadap pembatasan tidur dan kontrol stimulus. Namun, dalam
mengadaptasi CBT-I untuk BD, penting untuk memodifikasi komponen tertentu
yang dapat menyebabkan kurangnya tidur, karena terdapat hubungan yang erat
antara gangguan tidur dan relaps. Misalnya, instruksi pada kontrol stimulus untuk
bangun dari tempat tidur dapat menyebabkan beberapa pasien untuk melakukan
kegiatan rewarding and arousing untuk mencegah tidur. Selain itu, untuk
menghindari deprivasi tidur jangka pendek yang berhubungan dengan suasana
hati/mood, pada saat pengaturan waktu tidur, waktu minimal untuk berada di atas
kasur tidak boleh kurang dari 6.5jam. Sepanjang proses pengobatan, penting
untuk memantau gejala depresi dan / atau mania pada awal setiap sesi dan
menegosiasikan rencana keselamatan dengan pasien sebelum memulai terapi, jika
suasana hati tidak stabil selama terapi. Jika gejala depresi atau manik muncul,
perubahan total waktu tidur yang berkemungkinan menyebabkan gejala ini harus
dievaluasi, dan pertimbangan harus diberikan untuk memodifikasi atau menunda
program pembatasan/restriksi waktu tidur sementara atau kontrol stimulus jika
perlu. Meskipun demikian, kami disini ingin melaporkan temuan awal yang
tentang keamanan dalam regulasi waktu tidur dan bangun yang teratur dengan
menggunakan strategi pengendalian stimulus dan pembatasan waktu tidur pada
pasien dengan BD.

Kesimpulan dan Petunjuk untuk Masa Depan


Sejauh ini, bukti penelitian secara konsisten mendukung hubungan antara
tidur, mood, gangguan, dan kualitas hidup pada BD. Namun, beberapa
kesenjangan penting dalam hal ilmu pengetahuan tetap ada. Pada tingkat dasar,
diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami prevalensi gangguan tidur
(insomnia, hypersomnia, fase tidur tertunda, mengurangi kebutuhan tidur) di
seluruh subtipe BD dan selama episode suasana hati yang bercampur (misalnya,
ketika kriteria diagnostik terpenuhi untuk keduanya episode manik dan episode
depresi). Selain itu, sifat dan peran arsitektur tidur dalam perjalanan BD masih
kurang diketahui, dengan sebagian besar penyelidikan polisomnografis pada BD
yang telah dilakukan kira-kira 2 sampai 3 dekade yang lalu.
Tidak kalah penting untuk mengidentifikasi penyebab, dan hubungan dua
arah antara gangguan tidur dan suasana hati pada BD. Terdapat bukti berdasarkan
studi perilaku dan neuroimaging yang kuat di antara sampel pasien rawat jalan
yang sehat dimana deprivasi tidur mengganggu fungsi regulasi emosi pada
keesokan harinya. Selain itu, studi menarik tentang residen medis oleh Zohar dan
rekan-rekannya menunjukkan bahwa konteks di mana emosi dialami penting
untuk menentukan arah dari efek gangguan tidur pada fungsi afektif. Secara
khusus, kehilangan tidur (sleep loss) meningkat dampak negatif dan mengurangi
emosi positif. Individu dengan gangguan suasana hati, yang memiliki gangguan
dari sistem regulasi emosi, kemungkinan akan mengalami dampak negatif yang
lebih buruk dari gangguan tidur yang dialami. Namun, asumsi ini belum diuji
dalam sampel BD.
Mengingat kembali tingginya angka kejadian gangguan tidur pada BD,
adalah sangat mengejutkan bahwa hanya sedikit uji klinis terhadap pengobatan
atau intervensi psikologis untuk masalah tidur yang dilakukan pada populasi ini.
Terdapat bukti awal yang menarik bahwa mengobati gangguan tidur atau
gangguan ritme sirkadian dengan ramelteon dapat mengurangi risiko relaps
episode manik dan depresi, hal ini mendukung gagasan bahwa pengobatan
terhadap masalah tidur dapat memperbaiki perjalanan penyakit. Selanjutnya,
sebuah laporan telah memberikan informasi awal tentang efektifitas dan
keamanan CBT-I pada BD. Namun, beberapa kompleksitas pengobatan pada BD
perlu dipahami dengan lebih baik, seperti pada berikut ini: Haruskah dokter
menangani gangguan tidur secara berbeda pada fase penyakit BD yang beda?
Selama episode manik atau campuran, pendekatan farmakologis untuk tidur
mungkin paling sesuai untuk membantu menstabilkan pasien secara sempurna.
Namun, selama depresi bipolar atau periode interepisode, pendekatan psikologis
mungkin lebih baik karena pengurangan risiko efek samping negatif. Pada kasus
gangguan depresi unipolar, CBT-I menunjukkan perbaikan pada gangguan tidur
dan gejala depresi bila diberikan bersamaan dengan obat antidepresan atau
sebagai pengobatan tunggal. Uji coba terkontrol skala besar yang menilai terapi
psikologis dan farmakologis pada BD menjanjikan agar tidak hanya memperbaiki
tidur, tapi juga untuk menstabilkan stabilitas suasana hati/mood dan meningkatkan
kualitas hidup.

Skizofrenia dan Gangguan Psikotik


Tinjauan tentang masalah tidur pada skizofrenia
Gangguan tidur lazim terjadi pada skizofrenia, selama psikosis dan remisi.
Investigasi dini yang dilakukan pada pasien rawat inap di kejiwaan menemukan
bahwa 83% dari 12 pasien akut dengan skizofrenia dan 47% dari 17 pasien
dengan psikosis kronis memiliki setidaknya satu jenis keluhan tidur, seperti sulit
tertidur, terbangun di pagi hari, bangun pada malam hari , tidak tidur nyenyak,
dan mengalami peningkatan waktu di tempat tidur. Sebuah laporan kemudian
menemukan bahwa, dari 93 pasien skizofrenia yang stabil, insomnia awal
disahkan oleh 26% pasien, insomnia tengah sebesar 23%, dan pagi hari terbangun
oleh 16% pasien. Pada studi Clinical Antipsychotic Trials of Intervention
Effectiveness, 16% sampai 30% pasien di seluruh kelompok pengobatan
melaporkan insomnia dan 24% sampai 31% melaporkan adanya hipersomnia
meskipun memiliki gejala dengan obat antipsikotik. Pada sampel 44 orang dewasa
dengan skizofrenia, penelitian lain melaporkan bahwa kualitas tidur kurang dari
52% menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index. Baru-baru ini, sebuah
penelitian dilakukan dengan 175 pasien rawat jalan yang stabil secara klinis yang
menderita skizofrenia atau gangguan schizoafektif menemukan bahwa 44%
memenuhi kriteria untuk insomnia klinis dengan menggunakan Insomnia Severity
Index.
Konsisten dengan keluhan tidur yang dijelaskan sebelumnya, laporan dari
pasien sendiri (self-report) dan pemeriksaan PSG terhadap pasien dengan
skizofrenia mengalami pemanjangan latensi tidur, efisiensi tidur yang rendah,
kualitas tidur yang buruk, dan durasi tidur yang semakin singkat. Pola ini juga
ditemukan pada pasien dengan obat bebas atau pengobatan dengan skizofrenia.
Sebuah studi Metaanalisis dengan PSG pada 321 pasien dan 331 kontrol
melaporkan bahwa kelompok skizofrenia mengalami peningkatan latesi tidur,
penurunan waktu tidur total, peningkatan frekuensi terbangun setelah onset tidur,
dan penurunan efisiensi tidur dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat.
Studi prospektif yang menggunakan aktigrafi juga memberikan wawasan
yang menarik. Dalam sebuah penelitian 28 pasien lanjut usia dengan skizofrenia
dengan usia kelompok kontrol yang sesuai, pemantauan fungsi tidur-bangun
dengan aktigrafi menunjukkan waktu bangun yang lebih lama di malam hari,
waktu pada tempat tidur yang lebih lama, waktu tidur di siang hari yang lebih
lama, dan ritme sirkadian yang lemah pada kelompok skizofrenia. Sama seperti
penelitian tersebut, sebuah penelitian dengan menggunakan sampel 20 pasien
rawat jalan yang berumur paruh baya dengan skizofrenia membutuh waktu lebih
lama untuk tertidur dan tidur lebih lama dari kelompok kontrol tanpa
memperhitungkan onset tidur. Selain itu, 50% individu dalam kelompok
skizofrenia menunjukkan siklus tidur-bangun yang terganggu. Dengan demikian,
selain masalah mempertahankan tidur, ritme sirkadian yang tidak jelas juga
terlihat pada individu dengan skizofrenia dalam pengobatan.
Terdapat juga bukti yang berkembang yang menunjukkan perubahan
arsitektur tidur dalam skizofrenia. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa
aktivitas SWS, NREM delta, dan latensi REM berkurang pada skizofrenia,
termasuk pasien yang drug-naive, psikotik akut, atau dalam pengobatan dan stabil
secara klinis. Beberapa penelitian telah menemukan densitas REM yang
meningkat, namun pasien yang sebelumnya diobati dan drug-naive dengan
skizofrenia biasanya menunjukkan nilai REM normal. Baru-baru ini, aktivitas
spindle yang berkurang telah ditemukan pada skizofrenia yang jika dibandingkan
dengan orang dewasa sehat.

Signifikansi insomnia pada skizofrenia


Gangguan tidur juga dikaitkan dengan gejala yang memperburuk pada
skizofrenia, terutama gejala positif. Gejala positif meliputi delusi, halusinasi,
pemikiran dan perilaku yang tidak terorganisir. Sebagai contoh, sebuah penelitian
dengan aktigrafik menemukan bahwa, relatif terhadap pasien dengan skizofrenia
yang mengalami gejala negatif yang dominan pada Skala Positif dan Negatif
Syndrome (Positive and Negative Syndrome Scale PANSS), mereka yang
memiliki gejala dominan positif mengalami lebih banyak gangguan tidur.
Demikian pula, latensi tidur yang berkepanjangan pada pasien rawat inap dengan
skizofrenia seringkali disertai dengan "Gangguan Pemikiran" yang lebih
mencolok pada Skala Penilaian Psikiatris (Brief Psychiatric Rating Scale, BPRS).
Dalam penelitian lain, gejala insomnia sedang atau berat terjadi di lebih dari 50%
sampel yang dalam pengobatan yang mengalami delusi persekutorik. Pasien
dengan skizofrenia yang menunjukkan gejala insomnia, waktu tidur total yang
rendah, dan efisiensi tidur yang buruk juga berisiko lebih besar untuk terjadi
perburukan dari gejala positif setelah penghentian antipsikotik. Menariknya,
penelitian menemukan bahwa gejala negatif (misalnya, anhedonia, penarikan diri
dari sosial, kehilangan motivasi, perawatan diri yang buruk) tidak berhubungan
dengan gejala insomnia. Akhirnya, sejumlah besar penelitian telah melaporkan
bahwa gangguan kontinuitas tidur dan kualitas tidur yang buruk mempengaruhi
kualitas hidup pada pasien skizofrenia, bahkan saat menjalani rejimen pengobatan
yang stabil.
Pemeriksaan PSG telah menunjukkan hubungan antara arsitektur tidur dan
derajat keparahan gejala skizofrenia (untuk tinjauan lihat Refs.14,75,95). Derajat
keparahan penyakit secara keseluruhan, seperti yang dinilai oleh BPRS atau
PANSS, umumnya dikaitkan dengan perubahan pola tidur REM, seperti
persentase REM yang meningkat, latensi REM yang lebih pendek, dan penurunan
densitas REM (seperti pada, Ref, 77,82,96,97) . Derajat keparahan gejala positif yang
lebih berat biasanya terkait dengan densitass REM yang lebih rendah atau latensi
REM singkat pada pasien yang sedang dalam pengobatan, tidak dalam
pengobatan, dan drug-naive. Densitas REM juga ditemukan berkorelasi secara
khusus dengan perilaku halusinasi, seperti yang dinilai oleh BPRS. Sebuah
penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa aktivitas spindle dan jumlah spindle
berbanding terbalik dengan gejala positif dan negatif pada PANSS, yaitu
pemikiran stereotip, disosiasi konseptual dan halusinasi. Pada sisi gejala negatif,
penelitian sebagian besar melaporkan hubungan antara gejala negatif yang
meningkat dengan penurunan durasi SWS, persentase SWS, atau aktivitas delta.
Beberapa penelitian juga menemukan korelasi terbalik antara latensi REM dan
densitas REM pada kasus skizofrenia dengan gejala negatif.
Selain hubungan antara simtomatologi akut dan parameter tidur, latensi
SWS dan REM telah ditemukan mampu memprediksi hasil klinis. Keshavan dan
rekan kerja melaporkan bahwa persentase tidur delta yang lebih rendah pada
baseline memprediksi hasil fungsional yang lebih buruk pada follow-up 1 tahun
dan 2 tahun. Penelitian yang lain menemukan bahwa latensi REM yang lebih
pendek pada pasien skizofrenia rawat inap yang bebas pengobatan dan
diprediksikan memiliki fungsi global yang lebih buruk 1 tahun setelah keluar dari
rumah sakit. Sama dengan yang sebelumnya, 6 pasien skizofrenia rawat inap
dengan episode REM dengan onset tidur, 30 pasien skizofrenia rawat inap tanpa
kelaian pola tidur seperti ini mempunyai prognosis fungsi global yang lebih baik 1
tahun setelah pengobatan.

Pengobatan insomnia pada skizofrenia


Seperti dengan kasus-kasus BD, usaha yang minimal telah dilakukan
untuk mengeksplorasi pilihan pengobatan untuk gangguan tidur yang terkait
dengan skizofrenia meskipun prevalensi, angka kejadian, dan konsekuensi klinis
dari gangguan tidur pada gangguan mental ini sangat tinggi. Dalam kasus
insomnia yang berhubungan dengan skizofrenia, pengobatan yang paling sering
melibatkan antipsikotik dan hipnotik sedatif. Kebanyakan antipsikotik generasi
pertama dan generasi kedua, kecuali risperidone, dapat memfasilitasi peningkatan
total waktu tidur dan / atau efisiensi tidur pada pasien dengan skizofrenia (untuk
tinjauan, lihat Refs.10,75). Namun, seperti yang dicatat sebelumnya, sebagian besar
pasien terus mengalami insomnia dan hypersomnia meskipun diobati dengan
antipsikotik atipikal.
Sangat sedikit yang diketahui tentang keamanan dan efektifitas obat
hipnotik dalam konteks skizofrenia. Umumnya, obat ini tidak memiliki manfaat
jangka panjang dan sering disertai dengan sedasi berulang selama siang hari. Pada
survei terhadap 93 pasien rawat jalan yang stabil secara klinis dan dalam
pengobatan skizofrenia, 33 pasien melaporkan menggunakan obat hipnotis,
namun 14 (35,5%) pasien tersebut mengaku bahwa pola tidur mereka akan
terganggu. Studi lain terhadap 6 pasien pria rawat jalan dengan skizofrenia yang
diobati dengan hipnotik benzodiazepin dalam kombinasi dengan antipsikotik
menemukan bahwa dengan menggantikan zopiclone dengan hipnotik
benzodiazepin dapat meningkatkan kesehatan pola tidur subjektif dan aktivitas
gelombang delta saat tidur. Namun, tinjauan literatur baru-baru ini mengatakan
bahwa tidak ada uji coba klinis tentang obat hipnotik nonbenzodiazepin atau
hipnotik benzodiazepin yang diuji coba pada kasus skizofrenia.
Temuan awal dari uji coba klinis dengan pengobatan melatonin pada
skizofrenia cukup menjanjikan. Pada pasien rawat jalan dengan skizofrenia
kronis, Shamir dan rekan kerja menggunakan kombinasi penelitian crossover
randomized, blinded, untuk menilai efek pemberian melatonin (2 mg, controlled
release) saat mereka tidur. Melatonin meningkatkan efisiensi tidur yang
penilaiannya diukur melalui aktigrafi, terutama pada pasien yang memiliki
efisiensi tidur yang rendah. Sebuah studi melaporkan melatonin memperbaiki
kualitas tidur secara subjektif pada randomized, double-blinded, placebo-
controlled trial pada 40 pasien skizofrenia rawat jalan yang stabil dengan
insomnia awitan tidur. Pasien secara acak diberikan instruksi untuk meningkatkan
rejimen pengobatan mereka saat ini dengan melatonin yang dosisnya diberikan
secara fleksibel (3-12 mg per malam; n = 20) atau plasebo (n = 20). Dibandingkan
dengan plasebo, melatonin meningkatkan kualitas tidur secara signifikan,
mengurangi angka kejadian terbangunnya saat malam hari, meningkatkan durasi
tidur, dan memperbaiki suasana hati/ mood. Yang paling penting, pasca
penggunaan melatonin tidak disertai dengan gejala "hangover", seperti sakit
kepala, tidak bersemangat pada pagi hari, atau rasa berat pada kepala, efek
samping yang sering ditemukan pada pengobatan dengan obat hipnotik
konvensional. Tidak ada perubahan pada gejala positif dan negatif yang terjadi
dalam uji coba dengan pengobatan melatonin ini.
Sehubungan dengan pendekatan psikologis, uji coba terbuka baru-baru ini
menilai CBT-1 pada pasien dengan delusi persekutorik. Peserta termasuk pasien
rawat jalan dengan delusi persekutorik yang berlangsung minimal 6 bulan (n =
15), termasuk individu dengan diagnosis skizofrenia (n =10), gangguan psikotik
(n = 2), kelainan delusional (n = 1), dan psikosis (n = 1). Intervensi dengan 4 sesi
CBT-1 menyebabkan pengurangan yang signifikan secara klinis dalam derajat
keparahan insomnia dan peningkatan kualitas tidur. Selain itu, terdapat penurunan
yang signifikan dalam pemikiran paranoid, gejala depresi, dan gejala anxietas
setelah CBT-1. Perbaikan ini dipertahankan melalui penilaian follow-up dalam 1
bulan, menunjukkan durabilitas jangka pendek melalui intervensi ini. Dalam
kasus ini, intervensi CBT-1 yang disesuaikan meliputi edukasi psikologi tidur,
rekomendasi sleep hygiene, dan intervensi kontrol stimulus. Pendekatan kognitif
untuk insomnia dan pembatasan tidur tidak digunakan dalam protokol 4 sesi.
Meskipun hasil awal ini menjanjikan dan mendukung hipotesis bahwa perbaikan
pola tidur bermanfaat di berbagai domain psikologis, namun ukuran sampel yang
kecil dan kurangnya kondisi kontrol menghambat proses penarikan kesimpulan
definitif tentang efektifitas CBT-1 pada gangguan psikotik. Selain itu, seperti
yang ditunjukkan oleh Myers dan kolega, dalam mengadaptasi CBT-1 untuk
skizofrenia, mungkin penting untuk menghilangkan komponen CBT-1 tradisional
tertentu, seperti pembatasan tidur, yang dapat menyebabkan berkurangnya waktu
tidur dan eksaserbasi pada gejala psikotik. Adalah sangat penting untuk memantau
gejala positif pada awal setiap sesi selama pengobatan dan menegosiasikan
rencana keselamatan dengan pasien sebelum memulai terapi, jika gejala psikotik
muncul saat perawatan.

Kesimpulan dan Petunjuk untuk Masa Depan


Secara keseluruhan, literatur mengatakan bahwa masalah tidur, yaitu
insomnia dan gangguan ritme sirkadian, sering terjadi pada skizofrenia. Selain itu,
gangguan tidur ini umumnya terkait dengan derajat gejala yang lebih berat,
gangguan kualitas hidup, dan perjalanan skizofrenia. Meski terdapat tenaga kerja
yang sedang meneliti arsitektur tidur pada skizofrenia, namun penelitian tentang
frekuensi gangguan tidur dengan menggunakan metode diagnostik gold-standard
sangat diperlukan. Aspek arsitektur tidur pada REM dan NREM tampak
mengalami perubahan pada skizofrenia, namun temuan mengenai komponen tidur
ini belum konsisten. Ini mungkin karena ukuran sampel yang kecil dan
heterogenitas pada populasi pasien (yaitu, tidak terbagi menjadi kelompok pasien
paranoid, katatonik, dan kelompok tidak terdiferensiasi), hal-hal yang harus
perhatikan dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, terdapat bukti yang
mengatakan adanya hubungan antara tidur (terutama kontinuitas tidur yang buruk
dan arsitektur tidur yang berubah) dengan gejala klinis dan hasil pengobatan,
masih banyak usaha yang diperlukan untuk menguraikan hubungan sebab-akibat.
Penelitian masa depan dengan desain prospektif dan eksperimental diharapkan
dapat menjelaskan hubungan kausal penting antara gangguan tidur dan derajat
keparahan penyakit.
Dua studi tentang pengobatan pada gangguan tidur pada pasien skizofrenia
rawat jalan, satu meneliti tentang efektifitas melatonin dan penelitian lainnya yang
CBT-1 yang disesuaikan (adapted CBT-1), kedua penelitian ini telah memberikan
bukti dan gambaran awal yang baik bahwa normalisasi pola tidur terkait dengan
peningkatan hasil klinis. Intervensi ini menunjukkan bahwa dengan mengobati
gangguan tidur dapat memberikan perbaikan pada gejala positif positif dan / atau
mood, dan memberikan sebuah gambaran bagi intervensi pola tidur pada pasien
skizofrenia di masa depan. Penelitian lebih lanjut yang menguji intervensi pola
tidur dalam percobaan terkontrol skala besar akan membantu mengklarifikasi
secara lebih ketat tentang utilitas klinis dalam hal pengobatan gangguan tidur pada
skizofrenia. Timing dan pemilihan terapi pada gangguan tidur memerlukan
pemeriksaan yang khusus. Misalnya, intervensi insomnia tertentu mungkin lebih
efektif pada fase penyakit yang berbeda (akut vs stabil) atau berdasarkan subtipe
skizofrenia. Meskipun terdapat banyak kesenjangan dalam literatur, hasil dari
penelitian memfokuskan pentingnya mengembangkan dan menguji intervensi pola
tidur pada kasus-kasus skizofrenia, dengan tujuan mengurangi beban gejala dan
memperbaiki hasil fungsional.

KESIMPULAN
Gangguan tidur merupakan ciri khas dari kedua penyakit BD dan
skizofrenia tanpa melihat status pengobatan dan fase kini. Insomnia merupakan
salah satu gangguan tidur yang paling sering pada populasi pasien, diikuti dengan
hipersomnia dan gangguan ritme sirkadian yang tidak jarang diketemui.
Gangguan tidur tersebut beserta dengan perubahan arsitektur tidur seringkali
dikaitkan dengan perburukkan gejala spesifik, menurunkan kualitas hidup pasien,
gangguan fungsi sehari-hari dan prognosis yang buruk. Penelitian-penelitian yang
fokus terhadap pengobatan insomnia pada penyakit psikiatrik berat harus
ditekankan. Beberapa penelitian skala kecil tentang fokus pengobatan gangguan
tidur pada BD dan skizofrenia memberikan gambaran dan bukti awal bahwa
pengobatan gangguan tidur mempunyai utilitas klinik yang baik, yaitu dengan
mengurangi gejala residual dan resiko relaps akut. Diharapkan pada uji klinis
intervensi kedepannya dapat menggunakan PSG dan jumlah sampel yang lebih
besar untuk menilai perbaikan dari kondisi psikiatrik dengan memperbaiki pola
tidur pasien psikiatrik.
CBT-1 merupakan teknik pengobatan yang sangat meyakinkan dalam
mengurangi gangguan tidur, hal ini bisa dilihat dari efektifitasnya pada gangguan
psikiatrik lainnya dan profil efek samping yang rendah. Pada satu penelitian
ditemukan derajat gejala yang lebih berat pada gangguan depresi mayor yang
disertai dengan ketidakpatuhan pada CBT-1, sementara derajat dan fluktuasi
gejala pada BD atau skizofrenia juga mempunyai tantangan yang sama dengan
kepatuhan pada pengobatan. Perlu diperhatikan bahwa gejala residual positif,
negatif dan kognitif pada skizofrenia akan mempengaruhi tingkat kepatuhan
pasien terhadap CBT-1. Adalah sangat jelas bahwa kedua pengobatan
farmakologik dan psikologikal pada insomnia, secara pisah atau bersamaan,
memerlukan penelitian yang lebih lanjut pada BD dan skizofrenia. Namun
demikian, bukti-bukti yang tertera dalam tinjauan ini memberikan gambaran
bahwa adanya hasil yang meyakinkan pada pengobatan gangguan tidur dalam
terapi gangguan psikiatrik berat, hal ini akan membuahkan hasil yang sukses dan
peningkatan kualitas hidup pasien.

Anda mungkin juga menyukai