Anda di halaman 1dari 9

BAB V

PEMBAHASAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti semakin
banyaknya jumlah perokok pada usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di
luar ruangan dan di tempat kerja. Data badan kesehatan dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990
PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati
urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan jumlah pasien PPOK
sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalens 6,3%. Angka
prevalens berkisar 3,5-6,7% seperti di Cina dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens 5,6%. Di Indonesia belum ada
data yang akurat tentang prevalens PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986
asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Seiring dengan majunya tingkat perekonomian dan
industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Tujuh
puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan
bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%. Dengan meningkatnya jumlah
perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko terhadap PPOK, maka diduga jumlah penyakit
tersebut juga akan meningkat.

Intervensi gizi pada pasien PPOK ditujukan untuk mengendalikan anoreksia,


memperbaiki fungsi paru, dan mengendalikan penurunan berat badan (PDGKI, 2008). Pemberian
nutrisi PPOK Pemberian nutrisi pada PPOK dilakukan dengan cara: Bila penderita dengan sesak
nafas maka harus diberikan makanan dengan jumlah kecil dan sering, meningkatkan kalori
makanan tanpa harus meningkatkan jumlah makanan, Komposisi makanan mengandung 55%
lemak, 28% karbohidrat, 17% protein
Pemberian nutrisi PPOK Penderita dengan nafas pendek selama makan
• Makan direncanakan saat pasien merasa senang
• Menghindari porsi besar, makan perlahan dan makanan mudah dimakan dan dicerna
• menggunakan bronkodilator sebelum makan
• PPOK dengan terapi oksigen lama memerlukan oksigen saat makan untuk mencegah terjadinya
dispnea saat makan Penderita dengan hilangnya nafsu makan
• untuk mengurangi rasa mual dapat diberikan susu atau makanan sewaktu minum obat-obatan
oral
• untuk mengurangi produksi sputum yang banyak dapat diberikan bronkodilator.
• menciptakan suasana gembira saat makan.

Pasien PPOK penting untuk mendapatkan energi dan protein yang cukup untuk
mempertahankan berat badan, dan status gizi yang cukup. Asupan energi 125-156% (rata-rata
140%) diatas basal energy expenditure (pengeluaran energi basal) dan asupan protein 1,2-1,7
g/kgBB (rata-rata 1,2 g/kg) cukup untuk mencegah kehilangan protein pada pasien eksaserbasi
PPOK yang dirawat di rumah sakit. Pasien malnutrisi membutuhkan tambahan energi dan
protein untuk replesi. Karena estimasi REE menggunakan formula Harris-Benedict sering
menghasilkan angka REE yang lebih kecil 10-15% pada pasien PPOK, maka metode terbaik
adalah dengan kalorimetri indirek, pemberia protein sekitar 20% dari kalori total (1,2-1,7
g/kgBB), tergantung dari kebutuhan individu dan dengan perhatian khusus pada derajat inflamasi
dan aktivitas (Bergman & Hawk, 2010). Sumber lain menyebutkan bahwa apabila perhitungan
energi digunakan sebagai prediktor, kenaikan untuk stress fisiologik harus disertakan. Kebutuhan
kalori bervariasi antara 94%-146% dari prediksi telah diteliti (Mueller, 2004). Pada pasien PPOK
yang dirawat di rumah sakit, terutama pada pasien dengan fungsi paru yang menurun, mungkin
diperlukan dukungan ventilator menggunakan ventilasi mekanik. Pada pasien ini, overfeeding
merupakan perhatian utama karena berhubungan dengan kenaikan produksi CO2, yang dapat
lebih lanjut memperburuk ventilasi. Meskipun glukosa dan protein telah terbukti menstimulasi
ventilasi, kelebihan pemberian glukosa (0,5 mg/kg/menit) meningkatkan produksi CO2 dan
membuatnya sulit untuk lepas dari ventilasi mekanik. Meskipun demikian, ketika kalori total
diberikan dalam jumlah yang sedang (sekitar 30% diatas kebutuhan basal), komposisi
makronutien dari makanan mempunyai pengaruh kecil terhadap produksi CO2 . Produksi CO2
yang berlebih terjadi ketika pasien overfed (>1,5 REE) (Bergman & Hawk, 2010).
Keseimbangan rasio protein (15%-20% dari kalori) dengan lemak (30%-45% dari kalori) dan
karbohidrat (40% -55% dari kalori) penting untuk menjaga Respiratory Quotient (RQ) yang
cukup dari utilisasi substrat. Replesi, bukan overfeeding, adalah prinsip penting dari rumatan
nutrisi. Penyakit lain dapat terjadi bersamaan, seperti penyakit ginjal atau kardiovaskular,
kanker, atau diabetes mellitus. Kondisi tersebut mempengaruhi jumlah total, rasio, dan jenis
protein, lemak, dan karbohidrat yang diberikan (Mueller, 2004). Kebutuhan vitamin dan mineral
Sebagaimana makronutrien, kebutuhan vitamin dan mineral pasien PPOK stabil tergantung
patofisiologi penyakit paru yang mendasari, penyakit lain yang terjadi bersamaan, terapi medis,
status gizi, dan BMD. Untuk perokok, tambahan vitamin C mungkin diperlukan. Penelitian
menunjukkan bahwa orang merokok 1 bungkus sehari membutuhkan lebih vitamin C 16 mg
sehari, sedangkan yang merokok 2 bungkus memerlukan 32 mg sebagai pengganti (Mueller,
2004). Peran mineral, seperti magnesium dan kalsium, pada kontraksi otot dan relaksasi mungkin
penting untuk pasien PPOK. Asupan setara dengan DRI (Dietary Reference Intakes) sebaiknya
diberikan. DRI magnesium untuk usia >30 tahun (termasuk juga lansia) sebesar 420 mg/hari
untuk laki-laki dan 320 mg/hari untuk perempuan. DRI kalsium untuk usia >50 tahun sebesar
1200 mg/hari untuk laki-laki dan perempuan. Pasien yang menerima dukungan nutrisi progresif
sebaiknya dimonitor kadar magnesium dan fosfat secara rutin, karena peranannya sebagai
kofaktor pembentukan ATP. Penurunan BMD dapat terjadi pada pasien PPOK, sehingga nutrisi
dan latihan fisik terkait osteoporosis sebaiknya diberikan. Tergantung hasil BMD, juga (Mueller,
2004).

Beberapa pasien dengan cor pulmonale dan retensi cairan membutuhkan restriksi natrium
dan cairan. Tergantung pada diuretika yang diberikan, peningkatan asupan kalium mungkin
dibutuhkan (Mueller, 2004). Kebutuhan cairan Status hidrasi merupakan komponen yang penting
pada asesmen awal dan lanjutan pada semua usia. Kebutuhan cairan dipengaruhi oleh banyak
variasi pada aktivitas fisik, IWL (insensible water loss), obatobatan, dan urin. Secara umum,
kebutuhan cairan sekitar 30-35 ml/kgBB aktual, dengan minimum 1500 ml/hari atau 1-1,5
ml/kkal yang dikonsumsi (Harris, 2004). Sedangkan PDGKI (2008) menyebutkan kebutuhan
cairan pada dewasa sekitar 25-40 ml/kgBB/ hari. Dengan bertambahnya usia, jumlah cairan total
menurun. Pada lansia sekitar 50% dari berat badan atau menurun 10% dibandingkan pada
dewasa muda. Penurunan ini berhubungan dengan penurunan lean body mass. Menurunnya rasa
haus dan asupan cairan, keterbatasan akses terhadap air, gangguan fungsi ginjal, dan
inkontinensia urin, semuanya meningkatkan risiko terhadap dehidrasi. Dehidrasi lebih sering
tidak diketahui. Tanda dehidrasi antara lain gangguan keseimbangan elektrolit, konstipasi, nyeri
kepala, haus, hilangnya elastisitas kulit, berat badan menurun, gangguan status kognitif,
perubahan jumlah dan warna urin (Harris, 2004). Strategi pemberian makanan dan/atau zat gizi
Formula enteral komersial yang khusus dirancang untuk pasien dengan penyakit pernafasan
mengandung karbohidrat yang lebih rendah (30%) dan lemak yang lebih tinggi (50%).
Dibandingkan dengan makronutrien lain, dan lemak pada khususnya, karbohidrat menghasilkan
CO2 terbesar. Uji klinis terkontrol menggunakan formula ini telah membuktikan penurunan
produksi CO2 ketika dibandingkan dengan formula standar dengan kalori yang sama tapi lebih
tinggi kandungan karbohidratnya. Meskipun demikian, perbaikan keluaran klinis dengan
penggunaan formula ini belum konsisten. Satu dampak negatif yang berpotensi terjadi karena
diet tinggi lemak adalah melambatnya pengosongan lambung, yang dapat menyebabkan ketidak
nyamanan perut (abdominal discomfort), kembung, atau cepat kenyang (Mueller, 2004).

Penelitian menunjukkan bahwa pasien PPOK yang menerima konseling diet dan saran
terkait fortifikasi makanan, mengonsumsi lebih banyak energi dan protein, dan mempunyai berat
badan lebih baik daripada mereka yang tidak menerima edukasi riwayat asupan diet dan
penggunaan kortikosteroid, tambahan vitamin D dan K juga mungkin diperlukan gizi.
Menyarankan pasien untuk beristirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan, dapat
membantu. Makan dengan porsi kecil dan sering dapat membantu mengurangi rasa kenyang dan
kembung. Penggunaan suplementasi nutrisi untuk menyediakan kalori dan protein menunjukkan
hasil yang berbeda, sehingga dikatakan suplementasi nutrisi saja tidak cukup untuk
meningkatkan status gizi (Bergman & Hawk, 2010). Pada banyak pasien, penggunaan
ekspektoran di luar waktu makan, menggunakan oksigen ketika waktu makan, makan perlahan,
mengunyah makanan dengan baik, dan berinteraksi sosial, semuanya dapat meningkatkan asupan
makanan, metabolisme zat gizi, dan pengalaman yang menyenangkan. Untuk mencegah aspirasi,
perhatian khusus harus diberikan pada saat pergantian antara bernafas dan menelan makanan,
juga posisi duduk yang sesuai selama makan. Pasien dengan keterbatasan fisik dapat dibantu
dalam hal belanja makanan dan penyiapan masakan. Dukungan masyarakat, seperti pengiriman
makanan (misal Meals on Wheels program) dapat membantu (Mueller, 2004).
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.Tujuan umum penatalaksanaan PPOK adalah untuk
mengurangi gejala,mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal
paru sertameningkatkan kualiti hidup penderita. Penatalaksanaan meliputi edukasi, obat-obatan,
terapioksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.

Pada praktikum yang telah dilakukan menu yang dimasak untuk diet PPOK yaitu :

 Pada makan pagi terdapat nasi tim, ayam lodho, terik tahu, sup, buah pisang, dan untuk
selingan pagi puding dan susu. Organoleptik dari nasi tim yaitu bertekstur lunak, berasa
hambar, berwarna putih, organoleptik dari ayam lodho yaitu bertekstur empuk, berasa gurih,
berwarna coklat, organoleptik dari terik tahu yaitu bertekstur empuk, berasa sedikit asin dan
asam, dan berwarna kuning, organoleptik dari sup macaroni yaitu bertekstur cair dan empuk,
berasa sedikit asin, dan berwarna oranye pudar, organoleptik dari puding yaitu bertekstur
kenyal, berasa manis, dan berwarna bening, organoleptik dari susu yaitu bertekstur cair,
berasa manis, berwarna putih, organoleptik dari pisang yaitu bertekstur empuk, berasa
manis, dan berwarna hijau. Untuk menu pagi porsi makanan bisa diterima karena tergolong
sedang, tidak terlalu banyak sehingga pasien dapat menerima walaupun kemungkinan tidak
habis seluruhnya. Dari segi rasa beberapa masakan terasa asin seperti terik tahu dan sup
macaroni, sedangkan untuk pasien dengan penyakit PPOK disarankan mengurangi asupan
natrium karena natrium dapat menyebabkan retensi air sehingga paru-paru menjadi tertekan
yang akan berakibat pasien mengalami sulit bernafas. Dari segi tekstur sudah sesuai yaitu
bertekstur lunak, karena pasien dengan penyakit PPOK sebisa mungkin mengeluarkan
energi yang sedikit dikarenakan apabila energi yang dikeluarkan banyak maka akan
memperburuk kondisi paru-paru. Penggunaan susu pada menu pagi sudah sesuai karena susu
sebagai sumber mineral khususnya kalsium. Untuk selingan puding dilihat dari kenampakan
dirasa kurang menarik karena berwarna bening, walaupun rasanya manis tampilan dari suatu
masakan itu penting untuk menambah nafsu makan dari pasien, sehingga seharusnya puding
bisa di kombinasi dengan buah supaya lebih menarik, atau bisa dengan menggunakan agar-
agar yang memiliki warna tidak hanya bening saja. Untuk masakan sup macaroni sudah
tepat pemilihan menu tetapi sebaiknya warna kuah sup lebih bening dan dalam
pengolahannya tidak menggunakan minyak. Untuk menu ayam lodho cara pengolahannya
sudah tepat yaitu ditumis bukan digoreng, karena sebisa mungkin untuk diet penyakit PPOK
menghindari pengolahan dengan cara mengggoreng. Untuk buah pisang sebaiknya dihindari
karena pisang merupakan buah yang tinggi kalium sehingga bila konsumsinya berlebihan
akan menyebabkan retensi sama seperti halnya natrium.
 Pada menu makan siang terdapat nasi tim, ayam bumbu kecap, orem tahu, buah pisang,
untuk selingannya yaitu bubur kacang hijau dan buah potong (mangga). Organoleptik dari
nasi tim yaitu bertekstur lunak, berasa hambar, berwarna putih, organoleptik dari ayam
bumbu kecap yaitu bertekstur empuk, berasa manis, berwarna coklat kehitaman,
organoleptik dari orem tahu yaitu kenyal, berasa sedikit asin, dan berwarna kuning pucat,
organoleptik dari pisang yaitu bertekstur empuk, berasa manis, dan berwarna hijau,
organoleptik dari bubur kacang hijau yaitu bertekstur cair, berasa sangat manis, dan
berwarna coklat muda, organoleptik dari mangga yaitu bertekstur empuk, berasa sangat
manis, berwarna oranye. Untuk menu makan siang porsinya sudah sesuai sehingga pasien
dapat menerima. Dari segi rasa beberapa masakan terasa asin seperti orem tahu, sedangkan
untuk pasien dengan penyakit PPOK disarankan mengurangi asupan natrium karena natrium
dapat menyebabkan retensi air sehingga paru-paru menjadi tertekan yang akan berakibat
pasien mengalami sulit bernafas. Dari segi tekstur sudah sesuai yaitu bertekstur lunak,
karena pasien dengan penyakit PPOK sebisa mungkin mengeluarkan energi yang sedikit
dikarenakan apabila energi yang dikeluarkan banyak maka akan memperburuk kondisi paru-
paru. Untuk buah potong yaitu mangga sudah tepat karena mangga merupakan salah satu
buah yang tinggi antioksidan. Akan tetapi untuk buah pisang sebaiknya dihindari karena
pisang merupakan buah yang tinggi kalium sehingga bila konsumsinya berlebihan akan
menyebabkan retensi sama seperti halnya natrium.
 Pada menu makan malam terdapat nasi tim, telur kare, tempe bacem, sup, dan buah pisang.
Organoleptik dari nasi tim yaitu bertekstur lunak, berasa hambar, berwarna putih,
organoleptik dari telur kare yaitu betekstur kenyal, berasa bumbu tajam, berwarna oranye
kecoklatan, organoleptik dari tempe bacem yaitu bertekstur agak keras, berasa manis, dan
berwarna coklat tua, organoleptik dari sup yaitu bertekstur cair dan empuk, berasa sedikit
asin, dan berwarna oranye pudar, organoleptik dari pisang yaitu bertekstur empuk, berasa
manis, dan berwarna hijau. Untuk menu makan siang porsinya sudah sesuai sehingga pasien
dapat menerima. Untuk tekstur sudah sesuai yaitu lunak, akan tetapi ada masakan yang
bertekstur agak keras yaitu tempe bacem, seharusnya untuk pasien dengan penyakit PPOK
menghindari makanan yang bertekstur keras karena akan membutuhkan energi yang lebih
banyak untuk mengunyah sehingga pasien akan sulit bernafas. Untuk masakan sup macaroni
sudah tepat pemilihan menu tetapi sebaiknya warna kuah sup lebih bening dan dalam
pengolahannya tidak menggunakan minyak. Untuk buah pisang sebaiknya dihindari karena
pisang merupakan buah yang tinggi kalium sehingga bila konsumsinya berlebihan akan
menyebabkan retensi sama seperti halnya natrium. Dari segi rasa untuk masakan kare telur
yang berbumbu tajam sebaiknya dihindari karena masakan dengan bumbu tajam akan
merangsang lambung dan menyebabkan peningkatan asam lambung. Pemilihan bahan
makanan juga perlu diperhatikan dalam kasus ini, bahan-bahan makanan yang dapat
menimbulkan gas perlu dihindari karena dengan adanya banyak gas dalam tubuh akan
menyebabkan kembung sehingga akan menyebabkan paru-paru tertekan dan menyebabkan
pasien kesulitan bernafas. Bahan makanan yang mengandung gas contohnya seperti ubi,
ketela pohon, brokoli, kubis, nangka, durian dll. Secara keseluruhan pada menu diet
penyakit PPOK ini banyak menggunakan santan seperti terik tahu, orem tahu, kare telur, dan
bubu kacang hijau. Masakan mengandung santan masih diperbolehkan akan tetapi sebatas
santan encer, tetapi pada masakan kare telur santan yang digunakan santan kental, sehingga
perlu dihindari. Masakan yang sudah dimasak menggunakan santan instant sehingga dalam
pengolahannya perlu diperhatikan suhunya karena santan instant bila pengolahannya tidak
benar akan pecah dan lemak yang terkandung menjadi lemah jenuh. Pada pasien penyakit
PPOK juga harus diperhatikan asupan vitamin C dan vitamin E yang berfungsi sebagai
antioksidan dan meningkatkan imunitas tubuh, pada menu diet penyakit PPOK ini sumber
vitamin C dan E kurang, seharusnya buah yang diberikan atau bahan makanan yang
digunakan mengandung tinggi vitamin C dan vitamin E, seperti jeruk dan kecambah.
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pada penderita PPOK dapat ditemukan peningkatan CO2 dalam arteri. Peningkatan CO2
ini dapat menyebabkan kerusakan lanjut dan gagal nafas. Pemberian nutrisi dapat mempengaruhi
kadar CO2 dalam darah. Pada penderita PPOK penambahan kalori yang berasal dari lemak lebih
dianjurkan daripada kalori yang berasal dari karbohidrat. Sehingga pemilihan bahan makanan
juga perlu diperhatikan untuk mengurangi resiko terjadinya gagal nafas. Penggunaan bumbu
dalam memasak juga perlu diperhatikan karena masakan dengan bumbu yang berbau tajam akan
merangsang lambung. Untuk diet penyakit PPOK ini makanan diberikan dalam porsi kecil dan
sering yang bertujuan untuk memperingan pengeluaran energi sehingga paru-paru tidak terasa
berat.

6.2 Saran

 Dalam pengolahan perlu diperhatikan kebersihan dari bahan makanan.


 Lebih berhati-hati dalam penggunaan garam dan cabai karena untuk diet PPOK
menghindari natrium yang berlebihan dan menghindari masakan yang berbumbu tajam.
DAFTAR PUSTAKA

Minidian Fasitasari. 2013. Terapi Gizi pada Lanjut Usia dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai