Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 2.1. Spektrum klinis infeksi virus dengue

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar


2.1.):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD
pada lokasi dan waktu yang sama
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan).

i
2.2. Etiologi
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang
dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang
berat.

Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

2.3. Patogenesis dan Patofisiologi


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk
Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut

1
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang

2
berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi
dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma
ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

3
Gambar 2.3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi


selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2.4.). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

4
Gambar 2.4. Patofisiologi perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

5
2.4. Manifestasi Klinis
 Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus – menerus berlangsung
selama 2 – 7 hari, naik turun (demam bifasik). Kadang – kadang suhu
tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
fase demam merupakan fase kritis pada demam berdarah dengue. Pada
saat fase demam sudah mulai menurun hati–hati karena fase tersebut
sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga dari demam.
 Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah
vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi
intravaskuler yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah
perdarahan bawah kulit seperti ptekia, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjungtiva. Ptekia merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan.
Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula dijumpai pada hari ke
3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaksis, perdarahan gusi, melena
dan hematemesis.
 Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
bervariasi dari hanya sekedar diraba sampai 2–4 cm di bawah arcus costa
kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit,
namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya
perdarahan.
 Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis
menghilang setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan
pada denyut nadi dan tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan
kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,
sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau
sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi
buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah

6
suhu turun, antara 3–7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

7
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.

2.6. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif,
petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan
melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
 Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
 Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
 Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

8
Keempat derajat tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.5. berikut.

2.7. Diagnosis Banding


1. Demam thyphoid
2. Malaria
3. Morbili
4. Demam Chikungunya
5. Leptospirosis
6. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

9
2.8. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
2.7).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar
2.8).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.9).

10
Gambar 2.6. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 2.7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

11
Gambar 2.8. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

12
Gambar 2.9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

13
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu
jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan
oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa
kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko
anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid

14
terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan
berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma.
Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil
adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil
(lihat protokol pada gambar 2.8 dan 2.9). Pada kondisi di mana terapi cairan telah
diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.

15
2.9. Prognosis
Dubia ad bonam

2.10. Pencegahan
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
1. Menggunakan insektisida
 Malathion (adultisida) dengan pengasapan
 Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air
bersih.
2. Tanpa insektisida
 Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal
1x seminggu.
 Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-
botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.

16
BAB III
KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya
memburuk pada hari kedua.
2. Virus Dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN 3
merupakan serotip yang paling banyak.
3. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.
4. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan,
hepatomegali dan syok.
5. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua
criteria klinis ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup
untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.
6. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati
gejala penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
7. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan
akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6

World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue


haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17

World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue


shock syndrome in the context of the integrated management of childhood
illness. Department of Child and Adolescent Health and Development.
WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan


Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta, 2007

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana


pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:


Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4.
Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8

Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di


Indonesia. Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

18

Anda mungkin juga menyukai