LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Charles 120100119
Sahitra 120100241
M Reza Hakim Nst 120100389
Arlene Priya 120100520
Pembimbing:
dr. Chrismas G Bangun, MKed (An), SpAn
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami
yang berjudul “Penanganan Anestesi pada Eklamsia”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Chrismas G Bangun, MKed(An), SpAn yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia.
Penulis
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Nama :
Charles 120100119
Sahitra 120100241
M Reza Hakim Nst 120100389
Arlene Priya 120100520
Pembimbing
DAFTAR ISI
Cover .................................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Lembar Pengesahan ......................................................................................... iii
Daftar Isi ........................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan .............................................................................................. 1
1.3. Manfaat ............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1. Definisi ............................................................................................ 3
2.2. Etiologi ............................................................................................ 3
2.3. Klasifikasi ........................................................................................ 3
2.4. Faktor resiko .................................................................................... 4
2.5. Patofisiologi .................................................................................... 7
2.6. Gejala Klinis .................................................................................... 8
2.7. Diagnosis ......................................................................................... 10
2.8. Tatalaksana ...................................................................................... 11
2.9. Manajemen Anestesi ....................................................................... 15
BAB 3 STATUS PASIEN ................................................................................ 25
BAB 4 DISKUSI KASUS ................................................................................. 34
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai. Penyusunan laporan
kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter
2
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang dijumpai
di lapangan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah
kehamilan 20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90
mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya
normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu. Preeklampsia merupakan
penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai
peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel, proteinuria, dan
koagulopati.5
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba -
tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya.5
2.2. Etiologi
Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan
yang esensial adalah adanya iskemia uteroplasental. Ada 3 faktor:6
1. Cedera imunologis pada plasenta
2. Iskemia uterus
3. Timbulnya koagulasi intravaskular
2.4. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan karena perubahan-
perubahan vaskuler dalam plasenta selama trimester pertama kehamilan. Suatu
reaksi antigen antibodi antara jaringan ibu dan fetal menimbulkan vasculitis
plasenta. Pada kehamilan lebih lanjut akan membawa ke arah anoxia jaringan dan
5
Iskemi Placenta
NO↙ Sitokin Placenta↗
PGI2↙ IL-6↗
EDHF↙ Endotelin↗
↙ ↗ ↗ ↗
Aliran plasma ke ginjal Resistensi Vaskular Tekanan Arteri Respon Vaskular
Gejala klinis eklampsia bermula dengan satu atau lebih kejang dimana
terjadi sekitar 60 hingga 75 saat. Gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah
wajah terdistorsi, matanya menonjol dan mulutnya berbuih. Respirasi dapat
berhenti selama durasi kejang.6
Kejang eklampsi terjadi dalam dua fase. Fase pertama bermula dengan
wajah berkedut. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena
kontraksi otot yang menyeluruh dan fase ini dapat berlangsung 15 sampai 20
detik. Fase kedua berlangsung selama 60 saat. Pada saat ini rahang akan terbuka
8
dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan
relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang
begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat
tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-
otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara
berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya
penderita tak bergerak. Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan
berhenti selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas,
namun kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan
kembali normal.6
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti
dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai
kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus. Setelah kejang
berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah
kejang eklampsia bervariasi. Setelah fase koma, penderita biasanya segera pulih
kesadarannya dan menjadi gelisah dan agresif. Namun, pada kasus-kasus yang
berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Frekuensi pernapasan biasanya
meningkat setelah kejang tonik klonik dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal
ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya.6
2.6. Diagnosis
Preeklampsia dan hipertensi gestasional digambarkan sebagai onset
hipertensi yang baru dengan tekanan darah di atas 140 mmHg sistolik dan di atas
90 mmHg diastolik setelah 20 minggu gestasi. Jadi penting untuk mengukur
tekanan darah normal sebelum hamil atau pada awal masa kehamilan.9
Apabila wanita datang dengan hipertensi pada kehamilan setelah 20
minggu gestasi dan tekanan darah awal tidak diketahui, wanita tersebut harus
ditatalaksana seperti dia mempunyai hipertensi gestasional atau preeklampsia dan
9
pemeriksaan harus dilakukan setelah waktu kehamilan untuk menilai jika dia
mempunyai hipertensi kronik.9
Apabila hipertensi muncul setelah 20 minggu gestasi, dapat dinilai apakah
diagnosanya preeklampsia. Beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosa ini
adalah:9
a) Proteinuria (menilai spot protein dalam urin/ kreatinin ≥ 30mg/mmol (0,3
mg/mg) atau ≥ 300 mg/hari atau 1g/L ( 2+) pada pemeriksaan dipstick
b) Disfungsi organ ibu seperti
- Insufisiensi renal (kreatinin ≥ 90 µmol/L, 1,02 mg/dL)
- Kelainan fungsi hati (peningkatan transaminase dan nyeri epigastrik)
- Kelainan neurologi (eklampsia, perubahan status mental, stroke)
- Komplikasi hematologi (trombositopenia, DIC, hemolisis)
c) Disfungsi uteroplasenta
- Restriksi pada pertumbuhan fetal
2.8. Tatalaksana
Preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan
tekanan darah yang cepat pada preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia
melibatkan komplikasi multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan
protrombotik, penurunan volume intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas
endotel.11
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat
antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring dan monitoring
baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya sudah mengalami
deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu
diperhatikan karena iskemi plasenta merupakan hal pokok dalam patofisiologi
preeklampsia. Selain itu, menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses
primernya. Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu,
yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap,
dan kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler).
Risiko kerusakan organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba-
tiba pada wanita yang sebelumnya normotensi.12
Terminasi kehamilan
Pertimbangkan kortikosteroid
Terminasi kehamilan
- Hipertensi berat
- Kontraindikasi manajemen ekspektatif
Obat Antihipertensi
a. Hipertensi ringan-sedang
Keuntungan dan risiko terapi antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang
(tekanan darah sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-109
mmHg) masih kontroversial. Guideline European Society of Hypertension (ESH) /
European Society of Cardiology (ESC) 2011 terbaru merekomendasikan
pemberian terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg
pada wanita dengan:13
1. Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria)
2. Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional
3. Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala
selama masa kehamilan.
b. Hipertensi berat
ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau
diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai emergensi dan
merupakan indikasi rawat inap. Terapi farmakologis dengan labetalol intravena,
metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya segera diberikan. Obat pilihan untuk
preeklampsia dengan edema paru adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus
intravena dengan dosis 5 μg/menit dan ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit
hingga dosis maksimal 100 μg/menit.13,14
Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-
40 mg bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit
jika respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan
untuk venodilator. Edema paru berat memerlukan ventilasi mekanik.16
Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator.
Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat
lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu, direkomendasikan
untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan preeklampsia berat.14
Cara pemberian dosis MgSO4 menurut Kemenkes RI 2013 yang
berdasarkan pedoman dari World Health Organization (WHO):15
a. Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang.
b. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur.
e. Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4
2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan
masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg
IV selama 2 menit.
4. Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.
Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan
tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung.
Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar
kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat
hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat
terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama.
Lambung HARUS selalu dicurigai penuh berisi bahan yang
berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu
makan terakhir.
5. Sistem saraf pusat
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai
anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%,
metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal),
konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga
lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan
menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih
sempit.
Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut
saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada
lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).
6. Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang
umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada
janin. Harus dianggap bahwa SEMUA obat dapat melintasi plasenta dan
mencapai sirkulasi janin.
18
Keuntungan :
1. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi
janin dapat dicegah / dikurangi.
2. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
4. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap.
Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.
Kontraindikasi :
1. Pasien menolak
2. Sepsis
3. Insufisiensi utero-plasenta
4. Gangguan pembekuan
5. Syok hipovolemik
21
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan
kristaloid (RingerLaktat).
2. 5-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
3. Observasi tanda vital
4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk,
dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan
jarum / trokard. Ruang epidural dicapai dengan tehnik "Lost of
Resistensi" pada saat jarum menembus ligamentum flavum.
5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan
punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis),
dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum
(hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput
duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan
keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi
ditutup dengan kasa dan plester.
9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.
22
Indikasi :
1. Gawat janin.
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
23
Keuntungan :
1. Induksi cepat.
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan asidosis pada janin.
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas maternal.
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30
menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan
dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau
pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10
kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator
siap, dilakukan induksi dengan 4 mg/kgBB tiopental dan 1.5
mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
24
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
Keluhan Utam : Kejang
Telaah : Hal ini dialami pasien sebanyak 3x sebelum masuk IGD
RS Adam Malik. Saat ini pasien sedang hamil dengan perkiraan usia gestasi 37-38
minggu. Pasien merupakan rujukan dari RS Tiga Bersaudara dengan diagnosa
Eklamsia. Riwayat sakit perut dan mules mules sebelumnya disangkal. Riwayat
keluar lendir darah disangkal. Riwayat keluar air dari kemaluan disangkal.
Riwayat nyeri kepala dijumpai. Riwayat mual muntah dijumpai. Riwayat tekanan
darah tinggi selama kehamilan tidak diketahui oleh pasien. Pasien jarang
melakukan Antenatal Care. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal. HPHT tidak jelas. TTP tidak jelas.
Primary Survey
Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala
bernapas.
• Palpasi
SF ka=ki
Krepitasi (-)
• Perkusi
Sonor pada
kedua lapangan
paru
• Auskultasi
- SP/ST:
vesikular/ -
- SaO2: 94%
- RR: 26x/menit
Ø pupil: 3 mm/3
mm, isokor
RC: +/+
Secondary Survey
B1 : Airway: clear SP/ST: Vesikuler/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 26 x /i, SpO2 : 99%
B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 200/100 mmHg, HR: 112 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 36,8°C
B3 : Sens: Somnolen (E2M5V2), pupil: Ø = ± 3/3 mm, isokor, RC +/+
B4 : BAK (+) vol: ± 500 cc, warna : kuning, terpasang kateter urine
B5 : Abdomen: Gravida(+), TFU 1 BPX,
B6 : Edema pretibial (+/+), fraktur (-)
RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : MgSO4 40%, ceftriaxone inj. 1 gr
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : Tidak Jelas
Event : Pasien mengalami kejang sebanyak 1x
HEMATOLOGI
Hematokrit 40 % 36 – 47 %
MCV 84 fl 81-99 fl
KIMIA KLINIK
KIMIA KLINIK
KIMIA KLINIK
FAAL HATI
3.7. Diagnosis
Eclampsia + Primigravida + KDR (37-38 Minggu) + PK + AH
3.8. Rencana
Seksio Ceaserea di Kamar Bedah Emergensi IGD.
32
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus
1. Preeklampsia adalah sindrom klinis NM, wanita berusia 25 tahun dirujuk
pada masa kehamilan (setelah ke IGD RSUP HAM dengan
kehamilan 20 minggu) yang keluhaan kejang. Pasien sebelumnya
ditandai dengan peningkatan telah mengalami kejang sebanyak 3x
tekanan darah (>140/90 mmHg) dan sebelum masuk IGD RS Adam
proteinuria (0,3 gram/hari) pada malik. Tekanan darah yang terukur
wanita yang tekanan darahnya saat dilakukan pemeriksaan sebesar
normal pada usia kehamilan 200 / 100 mmHg.
sebelum 20 minggu.
Eklampsia merupakan jenis
preeklampsia berat yang ditandai
dengan adanya kejang
2. Preeklampsia khas dengan adanya Saat dilakukan pemeriksaan fisik
Trias yaitu hipertensi, proteinuria berupa primary dan secondary
dan edema yang menyeluruh. survey di IGD didapatkan tekanan
Disebut pre-eklampsi ringan bila darah yang terukur sebesar 200/100
wanita yang sebelumnya mmHg dengan denyut nadi
normotensi ada kenaikan tekanan 112x/menit. Edema pritibial juga
diastolik menjadi > 90mmHg dijumpai pada tungkai kanan dan
dengan proteinuria < 0,25 gr/lt. tungkai kiri. Urine output yang
Disebut pre-eklampsi berat bila terukur dalam urin bag sekitar ± 500
tekanan sistolik >160mmHg atau cc. Pada pemeriksaan fisik paru,
diastolik > 110 mmHg, peningkatan suara pernafasan vesikuler dan tidak
yang cepat dari proteinuria, oliguria dijumpai suara tambahan.
< 100 ml/24 jam, ada gangguan
serebral atau penglihatan, edema
35
BAB 5
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA