Anda di halaman 1dari 44

i

LAPORAN KASUS

PENANGANAN ANESTESI PADA EKLAMSIA

Disusun oleh:
Charles 120100119
Sahitra 120100241
M Reza Hakim Nst 120100389
Arlene Priya 120100520

Pembimbing:
dr. Chrismas G Bangun, MKed (An), SpAn

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2017
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami
yang berjudul “Penanganan Anestesi pada Eklamsia”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Chrismas G Bangun, MKed(An), SpAn yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia.

Medan, Juli 2017

Penulis
iii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Penanganan Anestesi pada Eklamsia

Nama :
Charles 120100119
Sahitra 120100241
M Reza Hakim Nst 120100389
Arlene Priya 120100520

Pembimbing

dr. Chrismas G. Bangun, MKed (An), SpAn


iv

DAFTAR ISI

Cover .................................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Lembar Pengesahan ......................................................................................... iii
Daftar Isi ........................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan .............................................................................................. 1
1.3. Manfaat ............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1. Definisi ............................................................................................ 3
2.2. Etiologi ............................................................................................ 3
2.3. Klasifikasi ........................................................................................ 3
2.4. Faktor resiko .................................................................................... 4
2.5. Patofisiologi .................................................................................... 7
2.6. Gejala Klinis .................................................................................... 8
2.7. Diagnosis ......................................................................................... 10
2.8. Tatalaksana ...................................................................................... 11
2.9. Manajemen Anestesi ....................................................................... 15
BAB 3 STATUS PASIEN ................................................................................ 25
BAB 4 DISKUSI KASUS ................................................................................. 34
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang berkembang. Di
Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu
berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen
sampai 50 persen. Eklampsia menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh
dunia, 10 persen dari total kematian maternal.1
Kematian preeklampsia dan eklampsia merupakan kematian obsetrik
langsung, yaitu kematian akibat langsung dari kehamilan, persalinan atau akibat
komplikasi tindakan pertolongan sampai 42 hari pascapersalinan.2
Pre-eklampsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan. Pre-
eklampsia adalah keadaan dimana terjadinya hipoperfusi ke organ akibat
vasospasme dan aktivasi endotel yang ditandai dengan hipertensi, proteinuria dan
edema. Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba -
tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya.3
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklamsia dan
eklamsia pada ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden
preeklampsia dan eklamsia antara lain, nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, janin lebih dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes
mellitus atau penyakit ginjal. Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh
paritas, genetik dan faktor lingkungan.4

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai. Penyusunan laporan
kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter
2

(P3D) di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran


Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang dijumpai
di lapangan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah
kehamilan 20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90
mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya
normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu. Preeklampsia merupakan
penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai
peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel, proteinuria, dan
koagulopati.5
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba -
tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya.5

2.2. Etiologi
Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan
yang esensial adalah adanya iskemia uteroplasental. Ada 3 faktor:6
1. Cedera imunologis pada plasenta
2. Iskemia uterus
3. Timbulnya koagulasi intravaskular

Mekanisme dasarnya dihubungkan dengan faktor genetik, ketidak-


seimbangan metabolisme prostaglandin, gangguan defisiensi nutrisi atau
kombinasi dari faktor-faktor. Kemungkinan ketidak-seimbangan produksi
tromboxan dan prostacyline merupakan mekanisme dasar yang harus
dipertimbangkan.6

2.3. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


Menurut American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
2013, hipertensi dalam kehamilan dibagi menjadi:
4

a) Pre-eklampsia dan eklampsia


Pre – eklampsia dibagi 2:
• Pre-eklampsia tanpa tanda bahaya
• Pre-eklampsia dengan tanda bahaya:
- Tekanan darah sistol ≥ 160 mmHg atau diastol ≥ 110
mmHg
- Trombosit < 100,000 /µl
- Gangguan fungsi hati
- Kreatinin serum > 1.1 mg/dL
- Edema paru
- Gangguan serebral / penglihatan
b) Hipertensi kronis
c) Hipertensi kronis dengan superimposed pre-eklampsia
d) Hipertensi gestasional
Peningkatan tekanan darah setelah usia gestasi > 20 minggu tanpa adanya
proteinuria/ kelainan sistemik lain.

Menurut Sri Lanka Journal of Obstetrics and Gynecology, masa onset


eklampsia dibahagi menjadi tiga :5
1) Eklampsia antepartum ialah eklampsi yang terjadi sebelum persalinan
Kasus antepartum merupakan kasus paling sering terjadi yaitu sekitar 91%
pada atau setelah 20 minggu kehamilan.
2) Eklampsia intrapartum ialah eklampsia sewaktu persalinan.
3) Eklampsia postpartum, eklampsia setelah persalinan. Kebanyakan kasus
postpartum terjadi dalam 48 jam pertama

2.4. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan karena perubahan-
perubahan vaskuler dalam plasenta selama trimester pertama kehamilan. Suatu
reaksi antigen antibodi antara jaringan ibu dan fetal menimbulkan vasculitis
plasenta. Pada kehamilan lebih lanjut akan membawa ke arah anoxia jaringan dan
5

pelepasan thromboplastin-like substance ke sirkulasi ibu, menyebabkan gejala


pre-eklampsi. Iskemia uteroplasenta menyebabkan ekskresi renin-like susbtance,
yang menyebabkan peningkatan produksi angiotensin dan aldosteron.5
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan
perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu
pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling
dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta,
diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan
terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga
fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok
respons inflamasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.6
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
sangat dangkal sehingga aliran darah berkurang dan menyebabkan iskemi plasenta
pada awal trimester kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta
yang menyebabkan terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan
penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini
didahului gangguan perfusi plasenta. Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya
labil. Peningkatan tekanan darah disebabkan adanya peningkatan resistensi
vaskuler.6
Selain itu, didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan
darah sering kali lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas
vasokonstriktor simpatis, yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini
mendukung penggunaan metildopa sebagai antihipertensi. Tirah baring sering
dapat memperbaiki hipertensi pada kehamilan, mungkin karena perbaikan perfusi
uteroplasenta.6
6

Gambar 1. Patofisologi Preeklampsia5

Diduga ada penghambatan sistem substansi vasodilator, terutama


prostaglandin. Akibat vasokonstriksi menimbulkan terjadinya hipertensi, lesi pada
glomerulus yang menyebabkan proteinuria dan penurunan glomerular filtration
rate yang menimbulkan peningkatan reabsorpsi sodium dan terjadi edema.5

Ketidak adekuat invasi sitotropoblastik dari arteri spiral maternal

Iskemi Placenta
NO↙ Sitokin Placenta↗
PGI2↙ IL-6↗
EDHF↙ Endotelin↗

Generalized Endothelial Cell Injury

↙ ↗ ↗ ↗
Aliran plasma ke ginjal Resistensi Vaskular Tekanan Arteri Respon Vaskular

Preeklamsia (Hipertensi, Proteinuria, Edema)

Gambar 2. Patofisiologi Preeklamsia6


7

2.5. Gejala klinis


Preeklampsia khas dengan adanya Trias yaitu hipertensi, proteinuria dan
edema yang menyeluruh. Disebut pre-eklampsi ringan bila wanita yang
sebelumnya normotensi ada kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90mmHg
dengan proteinuria < 0,25 gr/lt. Disebut pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik
>160mmHg atau diastolik > 110 mmHg, peningkatan yang cepat dari proteinuria,
oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan serebral atau penglihatan, edema paru
atau sianosis.7,8
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist, gejala
penyakit ini adalah:7
a) Nyeri kepala yang hebat yang tidak menghilang walaupun dengan
pemakaian obat antinyeri
b) Masalah dengan penglihatan seperti kabur
c) Nyeri hebat dibawa iga
d) Rasa terbakar di dada yang tidak menghilang walaupun dengan pemakaian
obat antasida
e) Edema anarsarka
f) Rasa tidak enak tidak badan
g) Nyeri di abdomen dan bahu
h) Mual dan muntah
i) Pertambahan berat badan mendadak
j) Sesak nafas

Gejala klinis eklampsia bermula dengan satu atau lebih kejang dimana
terjadi sekitar 60 hingga 75 saat. Gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah
wajah terdistorsi, matanya menonjol dan mulutnya berbuih. Respirasi dapat
berhenti selama durasi kejang.6
Kejang eklampsi terjadi dalam dua fase. Fase pertama bermula dengan
wajah berkedut. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena
kontraksi otot yang menyeluruh dan fase ini dapat berlangsung 15 sampai 20
detik. Fase kedua berlangsung selama 60 saat. Pada saat ini rahang akan terbuka
8

dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan
relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang
begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat
tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-
otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara
berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya
penderita tak bergerak. Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan
berhenti selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas,
namun kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan
kembali normal.6
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti
dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai
kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus. Setelah kejang
berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah
kejang eklampsia bervariasi. Setelah fase koma, penderita biasanya segera pulih
kesadarannya dan menjadi gelisah dan agresif. Namun, pada kasus-kasus yang
berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Frekuensi pernapasan biasanya
meningkat setelah kejang tonik klonik dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal
ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya.6

2.6. Diagnosis
Preeklampsia dan hipertensi gestasional digambarkan sebagai onset
hipertensi yang baru dengan tekanan darah di atas 140 mmHg sistolik dan di atas
90 mmHg diastolik setelah 20 minggu gestasi. Jadi penting untuk mengukur
tekanan darah normal sebelum hamil atau pada awal masa kehamilan.9
Apabila wanita datang dengan hipertensi pada kehamilan setelah 20
minggu gestasi dan tekanan darah awal tidak diketahui, wanita tersebut harus
ditatalaksana seperti dia mempunyai hipertensi gestasional atau preeklampsia dan
9

pemeriksaan harus dilakukan setelah waktu kehamilan untuk menilai jika dia
mempunyai hipertensi kronik.9
Apabila hipertensi muncul setelah 20 minggu gestasi, dapat dinilai apakah
diagnosanya preeklampsia. Beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosa ini
adalah:9
a) Proteinuria (menilai spot protein dalam urin/ kreatinin ≥ 30mg/mmol (0,3
mg/mg) atau ≥ 300 mg/hari atau 1g/L ( 2+) pada pemeriksaan dipstick
b) Disfungsi organ ibu seperti
- Insufisiensi renal (kreatinin ≥ 90 µmol/L, 1,02 mg/dL)
- Kelainan fungsi hati (peningkatan transaminase dan nyeri epigastrik)
- Kelainan neurologi (eklampsia, perubahan status mental, stroke)
- Komplikasi hematologi (trombositopenia, DIC, hemolisis)
c) Disfungsi uteroplasenta
- Restriksi pada pertumbuhan fetal

Diagnosis eklampsia terutama ditegakkan secara klinis. Adanya tanda-


tanda hipertensi dan proteinuria sebelum terjadinya kejang, dapat disertai dengan
mual muntah, nyeri kepala, dan cortical blindness. Bila kondisi semakin
memburuk maka tanda- tanda lainnya dapat terjadi, yaitu nyeri perut, gagal fungsi
hati, sindrom HELLP, edema paru-paru dan oliguria. Sedangkan janin dapat
mengalami Intrauterine Growth Restriction (IUGR) hingga fetal distress.
Eklampsia merupakan kumpulan gejala, yang utama tekanan darah tinggi dan
adanya protein dalam urin. Pada eklampsia ringan, tekanan darah 140/90 s.d.
<160/110 dan kadar protein semikuantitatif positif 2; eklampsia berat, tekanan
darah > 160/110 dan kadar protein semikuantitatif lebih dari positif 2.

HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count)


Sindrom ini merupakan kombinasi hemolisis, peningkatan enzim hati dan
trombositopenia. Wanita dengan sindroma HELLP akan didiagnosa mempunyai
preeklampsia supaya semua kriteria preeklampsia diteliti dan ditatalaksana.9
10

Pada 20% wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP yang


ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat
kelainan hepar dan sistem koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini sekitar
1 dari 1000 kehamilan. Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi
intravaskuler diseminata, yang memper buruk prognosis baik ibu maupun bayi.
Eklampsia merupakan jenis preeklampsia berat yang ditandai dengan adanya
kejang, terjadi pada 3% dari seluruh kasus preeklampsia. Kerusakan otak pada
eklampsia disebabkan oleh edema serebri. Perubahan substansia alba yang terjadi
menyerupai ensefalopati hipertensi. Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke
dan perdarahan serebri, merupakan penyebab kematian terbesar pada eklampsia.9

2.7. Faktor resiko


Preeklampsia dapat timbul pada segala kehamilan namun faktor resikonya
tinggi pada kondisi:7
a) Kehamilan pertama
b) Umur di atas 40 tahun
c) Jika kehamilan terakhir lebih dari 10 minggu
d) Jika ibu obesitas yaitu mempunyai indeks massa tubuh di atas > 35 atau
lebih
e) Jika ibu atau kakak ada riwayat preklamsia sebelum kehamilan
f) Jika mengandung lebih dari satu anak (multifetus)
g) Sistemik lupus eritematous
h) Diabetes tipe 1 dan 2
i) Riwayat trombofilia
j) Fertilisasi in vitro
k) Hipertensi kronik atau penyakit renal kronik
l) Sindrom antifosfolipid antibodi
m) Penyakit kardiovaskular
n) Riwayat sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet)
11

2.8. Tatalaksana
Preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan
tekanan darah yang cepat pada preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia
melibatkan komplikasi multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan
protrombotik, penurunan volume intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas
endotel.11
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat
antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring dan monitoring
baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya sudah mengalami
deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu
diperhatikan karena iskemi plasenta merupakan hal pokok dalam patofisiologi
preeklampsia. Selain itu, menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses
primernya. Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu,
yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap,
dan kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler).
Risiko kerusakan organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba-
tiba pada wanita yang sebelumnya normotensi.12

Observasi dan manajemen inisial di kamar bersalin


- Evaluasi ibu: gejala, temuan klinis, pemeriksaan
laboratorium
- Monitor denyut jantung janin dan kontraksi
- USG: pertumbuhan janin dan jumlah cairan ketuban
- Pertimbangkan pemberian MgSO4 dan antihipertensi

Kontraindikasi manajemen ekspektatif


- Gejala preeklampsia berat persisten
- Eklampsia Tidak
- Edema paru
- Hipertensi berat persisten
- Sindrom HELLP
- Disfungsi renal yang nyata
- Solusio plasenta - Beri kortikosteroid
- Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, gawat - Kumpulkan dan periksa urin 24 jam
janin - Nilai gejala maternal, tekanan darah, produksi
urin
- Evaluasi laboratorium per hari untuk fungsi
ginjal dan sindrom HELLP
- Observasi dapat dilakukan di ruang rawat setelah
Ya evaluasi awal

Terminasi kehamilan
Pertimbangkan kortikosteroid
Terminasi kehamilan
- Hipertensi berat
- Kontraindikasi manajemen ekspektatif

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana Preeklamsia dan


Eklamsia15
12

Obat Antihipertensi
a. Hipertensi ringan-sedang
Keuntungan dan risiko terapi antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang
(tekanan darah sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-109
mmHg) masih kontroversial. Guideline European Society of Hypertension (ESH) /
European Society of Cardiology (ESC) 2011 terbaru merekomendasikan
pemberian terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg
pada wanita dengan:13
1. Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria)
2. Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional
3. Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala
selama masa kehamilan.

b. Hipertensi berat
ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau
diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai emergensi dan
merupakan indikasi rawat inap. Terapi farmakologis dengan labetalol intravena,
metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya segera diberikan. Obat pilihan untuk
preeklampsia dengan edema paru adalah nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus
intravena dengan dosis 5 μg/menit dan ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit
hingga dosis maksimal 100 μg/menit.13,14
Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-
40 mg bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit
jika respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan
untuk venodilator. Edema paru berat memerlukan ventilasi mekanik.16

Tabel 1. Obat Antihipertensi15


Nama Obat Dosis
Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral (kerja cepat)
1 x 20-30 mg per oral (kerja lambat)
Nikardipin 5 mg/jam, dapat dititrasi 2,5 mg/jam tiap menit hingga 10
mg/jam
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral (dosis maksimum 2000 mg/hari)
13

Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat mempunyai efek antikejang dan vasodilator.
Magnesium sulfat merupakan agen pencegahan eklampsia paling efektif, dan obat
lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Selain itu, direkomendasikan
untuk profilaksis eklampsia pada wanita dengan preeklampsia berat.14
Cara pemberian dosis MgSO4 menurut Kemenkes RI 2013 yang
berdasarkan pedoman dari World Health Organization (WHO):15
a. Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang.
b. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur.

CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL


a. Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dengan 10 ml akuades
b. Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
c. Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan

CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN


a. Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500
ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan
kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam
setelah persalinan atau kejang berakhir (bila eklampsia)
b. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
c. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks
tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg
BB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
d. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
14

e. Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4
2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan
masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg
IV selama 2 menit.

Hipertensi sering menetap pasca-persalinan pada pasien dengan hipertensi


antenatal atau preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil pada beberapa hari
postpartum. Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat.
Obat antihipertensi antenatal sebaiknya diberikan kembali post-partum dan dapat
dihentikan dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah tekanan darah
normal. Jika tekanan darah sebelum konsepsi normal, tekanan darah biasanya
normal kembali dalam 2-8 minggu. Hipertensi yang menetap setelah 12 minggu
postpartum mungkin menunjukkan hipertensi kronis yang tidak terdiagnosis atau
adanya hipertensi sekunder.17
Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada pasien preeklampsia onset dini,
preeklampsia berat atau rekuren, atau pada pasien dengan proteinuria yang
menetap; perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi sekunder, dan
trombofilia (misalnya sindrom antibodi antifosfolipid). Wanita yang mengalami
hipertensi gestasional mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hipertensi
di kemudian hari.17
Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya dapat lebih tinggi di air
susu ibu (ASI). Paparan neonatus pada penggunaan obat metildopa, labetalol,
captopril, dan nifedipin rendah, sehingga obat-obat ini dianggap aman diberikan
selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada konsentrasi rendah, tetapi dapat
mengurangi produksi ASI. Metildopa sebaiknya dihindari pascapersalinan karena
dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan.13,17
15

Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan menurut Kemenkes RI


adalah:15
1. Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam
sejak terjadinya kejang.
2. Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan
janin yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
3. Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun
usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan
dianjurkan, asalkan tidak terdapat kontraindikasi (lihat algoritma di
halaman berikut). Lakukan pengawasan ketat.
4. Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan
37 minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat
hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
Lakukan pengawasan ketat.
5. Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,
persalinan dini dianjurkan.
6. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan
yang sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.

2.9. Manajemen Anestesi


Pertimbangan Anestesi terhadap Fisiologi Kehamilan/Persalinan antara
lain mengenai:
1. Sistem pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas.
Functional residual capacity menurun sampai 15-20%, cadangan oksigen
juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand)
meningkat sampai 100%. Menjelang / dalam persalinan dapat terjadi
gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan
penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi,
meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat
16

sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat


pada wanita hamil.
2. Sistem kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%,
peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah
jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara
jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya
dilutional anemia of pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan
aktifitas sirkulasi, penekanan/kompresi vena cava inferior dan aorta oleh
massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension
syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi
penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin.
Pada persalinan, kontraksi uterus / his menyebabkan terjadinya
autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban
jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan
yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-
600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc.
Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama
kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X,
XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.
3. Ginjal
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai
150% pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas
nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron.
Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun
namun hal ini dianggap normal. Pasien dengan preeklampsia mungkin
berada dalam proses menuju kegagalan fungsi ginjal meskipun
pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan nilai "normal".
17

4. Sistem gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.
Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan
tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung.
Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar
kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat
hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat
terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama.
Lambung HARUS selalu dicurigai penuh berisi bahan yang
berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu
makan terakhir.
5. Sistem saraf pusat
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai
anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%,
metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal),
konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga
lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan
menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih
sempit.
Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut
saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada
lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).
6. Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang
umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada
janin. Harus dianggap bahwa SEMUA obat dapat melintasi plasenta dan
mencapai sirkulasi janin.
18

Pada pasien dengan preeklampsia berat agar tidak menjadi eklampsia


dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi: keseimbangan cairan
tubuh, status hemodinamik, koagulasi, fungsi ginjal, fungsi respirasi, fungsi
hepar. Penting untuk dilakukan pemeriksaan status janin. Sistem koagulasi
dipantau melalui pemeriksaan Bleeding Time (BT), Platelet Count, Partial
Prothrombin Time (PPT), dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT).
Fungsi ginjal dipantau melalui pemeriksaan fungsi ginjal berupa Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan Serum Creatinine (SC) serta melalui monitoring dari serial
urine output. Fungsi hepar dipantau malalui pemeriksaan klinis adanya
nyeri epigastrium dan subkostal, serta tes fungsi hepar.20,21
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus preeklampsia berat
adalah dengan pemasangan infus RL dengan dekstrosa 5% sebanyak 60–
125 cc/jam. Selain pemasangan infus dengan komposisi tersebut diberikan
terapi MgSO4 40% 4 gram secara intramuskular sebagai loading-dose. Untuk
maintenance-dose diberikan MgSO4 40% 5 gram secara intramuskular pada
bokong kiri dan 5 gram secara intramuskular pada bokong kanan.19,22
Pemberian antihipertensi mulai diberikan jika tekanan darah
sistolik/diastolik > 160/1l0 mmHg dan MAP > 125 mmHg. Bila sistole
lebih atau sama dengan 180 mmHg atau diastole lebih atau sama dengan
110 mmHg digunakan injeksi satu ampul Clonidin yang dilarutkan dengan 10
cc larutan. Mula-mula disuntikkan 5 cc perlahan-lahan selama 5 menit, 5 menit
kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan
lagi 5 cc intravena dalam 5 menit sampai tekanan darah diastole normal,
dilanjutkan dengan Nifedipin 3x10 mg. Jika tekanan darah sistolik kurang
dari 180 mmHg atau tekanan darah diastolik kurang dari 110 mmHg
diberikan Nifedipin 3x10 mg.19,22
Penggunaan foley catheter diperlukan untuk mengontrol pengeluaran
cairan.19 Tujuan penggunaan foley catheter adalah untuk mengevaluasi
balance cairan. Pada saat di ruang operasi, identitas pasien dicek ulang
dan dilakukan pemeriksaan ulang surat persetujuan tindakan. Kondisi tanda
19

vital pasien dilakukan evaluasi ulang dan diberikan premedikasi dengan


midazolam 2,5 mg.18,20
Medikasi yang dipakai selama section cesarea adalah dengan Midazolam
2,5 mg, Fentanyl 200 mg, Vecuronium 6 mg, Propofol 60 mg, Sulfa Atropin
0,5 mg, dan Neostigmin 1,5 mg. Metode anestesi dengan anestesi umum dipilih
karena pada pemeriksaan laboratorium hematologi klinik ditemukan
pemanjangan APTT, yang merupakan salah satu tanda adanya
koagulopati pada pasien ini. Epidural analgesia dipilih pada kondisi
tidak terdapat kondisi berupa koagulopati, abrupsi plasenta, fetal distress
yang berat, atau kesulitan untuk melakukan anestesi umum melalui intubasi
yang tidak terantisipasi sebelumnya, atau terdapat hipovolemia pada pasien.2,4
Spinal analgesia juga menimbulkan hipotensi yang terjadi tidak mampu
ditoleransi oleh fetus, serta hipotensi ini tidak dapat dicegah, baik itu
dengan ekspansi volume atau pemberian ephedrine secara propilaksis, karena
pada pasien dengan preeklamsia berat terjadi constricted intravascular volume.
Anestesi umum direkomendasikan pada preeclampsia berat yang akan
menjalani prosedur pembedahan yang bersifat emergency dan memiliki
koagulopati.21,22
Setelah operasi pasien dirawat di Post Anestesia Care Unit (PACU)
atau Recovery Room (RR) selama 1-2 jam dan selanjutnya dilakukan
monitoring selama 24 jam dengan prinsip penanganan postpartum di HCU.
Penanganan postpartum di HCU meliputi: pemberian analgesia dengan
pemberian opioid secara epidural atau intratekal, atau dapat diberikan
dengan teknik drip analgetika opioid dan NSAID, monitor balance cairan 24 jam,
pemberian MgSO4 sampai 24 jam post operasi untuk mencegah kejang
post partum, pemberian antihipertensi untuk menghindari rebound
hypertension.18,19

Tindakan Anestesi yang digunakan dalam persalinan dibagi menjadi 2 bagian


besar, diantaranya:20
20

1. Anestesi / Analgesi Regional


Analgesi / blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per
vaginam. Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan
per abdominam / sectio cesarea.

Keuntungan :
1. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi
janin dapat dicegah / dikurangi.
2. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
4. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap.

Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

Kontraindikasi :
1. Pasien menolak
2. Sepsis
3. Insufisiensi utero-plasenta
4. Gangguan pembekuan
5. Syok hipovolemik
21

6. Kelainan SSP tertentu


7. Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan
kristaloid (RingerLaktat).
2. 5-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
3. Observasi tanda vital
4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk,
dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan
jarum / trokard. Ruang epidural dicapai dengan tehnik "Lost of
Resistensi" pada saat jarum menembus ligamentum flavum.
5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan
punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis),
dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum
(hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput
duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan
keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi
ditutup dengan kasa dan plester.
9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.
22

Obat anestetik yang digunakan : lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3%


atau bupivacain 0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural
lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.

Komplikasi yang mungkin terjadi :


1. Jika terjadi injeksi subarakhnoid yang tidak diketahui pada rencana
anestesi epidural, dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis
yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan
kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti
jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan
uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask
disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi.
Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan
ephedrine.
2. Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus,
dan kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus
dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 - 1.5 mg/kgBB
suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis
metabolik.
3. Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah
punksi dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari),
analgesik, dan pengikat / korset perut (abdominal binder).

2. Tindakan Anestesi Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam /
sectio cesarea.

Indikasi :
1. Gawat janin.
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
23

3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus.

Keuntungan :
1. Induksi cepat.
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.

Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan asidosis pada janin.
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas maternal.

Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30
menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan
dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau
pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10
kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator
siap, dilakukan induksi dengan 4 mg/kgBB tiopental dan 1.5
mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
24

5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin


diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
enfluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat
tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi
yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
8. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.
25

BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : Nora Marpaung
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bandar Selamat
Tanggal Masuk : 27 Juni 2017 (Pukul 15.30 WIB)
Berat Badan : 80 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3.2 Anamnesis
Keluhan Utam : Kejang
Telaah : Hal ini dialami pasien sebanyak 3x sebelum masuk IGD
RS Adam Malik. Saat ini pasien sedang hamil dengan perkiraan usia gestasi 37-38
minggu. Pasien merupakan rujukan dari RS Tiga Bersaudara dengan diagnosa
Eklamsia. Riwayat sakit perut dan mules mules sebelumnya disangkal. Riwayat
keluar lendir darah disangkal. Riwayat keluar air dari kemaluan disangkal.
Riwayat nyeri kepala dijumpai. Riwayat mual muntah dijumpai. Riwayat tekanan
darah tinggi selama kehamilan tidak diketahui oleh pasien. Pasien jarang
melakukan Antenatal Care. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal. HPHT tidak jelas. TTP tidak jelas.

RPT : Eklamsia (Rujukan dr RS Tiga Bersaudara)


RPO : MgSO4 4g bolus, Ceftriaxone
26

3.3. Time Sequences

Tgl 27 Juni 2017


Tgl 27 Juni 2017 Kemudian Pasien
15.45 WIB disorong ke
17.10 WIB
Tgl 27 Juni 2017. Konsul Anastesi untuk Radiologi untuk
Operasi Cesaeria foto thorax dan CT
15.30 WIB pendampingan operasi
dimulai Scan
seksio cesaeria cito
Masuk IGD
RSHAM
18.25 WIB Kondisi Terakhir:
15.55 WIB
Operasi selesai HCU (20.00 WIB)
ACC tindakan anastesi

Primary Survey

Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala

A (airway) Clear  Triple airway  Airway clear


manuever  C-spine stabil
 Snoring (-)
 Gurgling(-)
 Crowing (-)
 C-spine stabil

B (breathing) Spontaneous,  O2 4 L/menit via SaO2: 99%


dyspnea sungkup RR: 26 x/menit
• Inspeksi
rebreathing
- Napas spontan,
dispnea
- Toraks simetris,
tidak terlihat
ketinggalan
27

bernapas.
• Palpasi
SF ka=ki
Krepitasi (-)
• Perkusi
Sonor pada
kedua lapangan
paru
• Auskultasi
- SP/ST:
vesikular/ -
- SaO2: 94%
- RR: 26x/menit

C (circulation) Hipertensi • Pasang IV line - CRT <2 detik


emergensi 18G, three way - Akral H/M/K
 CRT <2 detik
dan pemberian - T/V: cukup
 Akral Merah,
cairan Ringer - TD:200/100mmHg
Hangat, Kering.
Solution. - HR = 112 x/menit,
 T/V cukup
• MgSO4 4gr bolus regular
 TD:
lambat (sudah - UOP = 500 cc
200/100mmHg
dilakukan di RS dalam urine sejak
 HR: 112 x/menit
sebelumnya pukul 7.45 ( rujukan
 Perdarahan: - • MgSO4 20% RS tiga bersaudara)
dalam (14gtt/i)

D (disability) GCS 9 Mempertahankan A- Kesadaran Somnolen


B-C tetap lancar
 Kesadaran: GCS
9 (E2M5V2)
 AVPU: Pain
28

 Ø pupil: 3 mm/3
mm, isokor
 RC: +/+

E (exposure)  Membuka seluruh


baju pasien dan
 Undressed,
menggantinya
Lakukan logroll

Secondary Survey
B1 : Airway: clear SP/ST: Vesikuler/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 26 x /i, SpO2 : 99%
B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 200/100 mmHg, HR: 112 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 36,8°C
B3 : Sens: Somnolen (E2M5V2), pupil: Ø = ± 3/3 mm, isokor, RC +/+
B4 : BAK (+) vol: ± 500 cc, warna : kuning, terpasang kateter urine
B5 : Abdomen: Gravida(+), TFU 1 BPX,
B6 : Edema pretibial (+/+), fraktur (-)

RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : MgSO4 40%, ceftriaxone inj. 1 gr
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : Tidak Jelas
Event : Pasien mengalami kejang sebanyak 1x

3.5. Tata Laksana di IGD


 Pantau jalan nafas agar tetap clear
 Beri oksigen 8 L/i via sungkup rebreathing
 Pasang IV line ukuran 18G dan threeway terpasang di tangan kiri, pastikan
lancar
29

 IVFD Ringer Laktat 20gtt/i


 Kateter urin terpasang untuk memantau urine output
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
 Rencana: darah lengkap, liver function test, renal function test, CT scan,
foto thorax

3.6. Pemeriksaan Penunjang


3.6.1. Laboratorium IGD (27/6/2017)

Jenis pemeriksaan Hasil Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin (HGB) 13,7 g/dL 12 – 16 g/dL

Leukosit (WBC) 25,270 /µL 4,0 - 11,0x103/µL

Hematokrit 40 % 36 – 47 %

Trombosit (PLT) 413.000/µL 135 - 155x103/µL

MCV 84 fl 81-99 fl

MCH 28,5pg 27.0 – 31.0 pg

MCHC 34,1 g/dl 31.0 – 37.0 g/dl

RDW 15,3 % 11,5 – 14,5%

MPV 11,5 fl 6.5 – 9.5 fl

PCT 0,470 % 0.100 – 0.500 %

PDW 13,6 % 10.0 – 18.0 %

KIMIA KLINIK

pH 7,23mmHg 7,35- 7,45 mmHg

pCO2 27 mmHg 38 - 42 mmHg


30

pO2 171 mmHg 85 - 100 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 11,2 mmol/L 22-26 mmol/L

Total CO2 12,1 mmol/L 19 – 25 mmol/L

Kelebihan basa (BE) - 14,7 mmol/L (-2) – (+2) mmol/L

Saturasi O2 99% 95 – 100

KIMIA KLINIK

Blood Urea Nitrogen 6 mg/dL 9-21 mg/dL

Ureum 13 mg/dL 15 – 40 mg/dL

Kreatinin 0,82 mg/dL 0,6-1,1 mg/dL

Hasil Lab 29/6/2017

KIMIA KLINIK

pH 7,37 mmHg 7,35- 7,45 mmHg

pCO2 35 mmHg 38 - 42 mmHg

pO2 142 mmHg 85 - 100 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 20,2 mmol/L 22-26 mmol/L

Total CO2 21,3 mmol/L 19 – 25 mmol/L

Kelebihan basa (BE) - 4,4 mmol/L (-2) – (+2) mmol/L

Saturasi O2 99% 95 – 100

FAAL HATI

AST / SGOT 40 U/dL 5-34 U/dL

ALT / SGPT 69 U/dL 0 - 55 mg/dL

Albumin 2,6 g/dL 3.5 – 5.0 mg/dl


31

3.6.2. CT Scan Kepala

3.7. Diagnosis
Eclampsia + Primigravida + KDR (37-38 Minggu) + PK + AH

3.8. Rencana
Seksio Ceaserea di Kamar Bedah Emergensi IGD.
32

3.10. Pemeriksaan Fisik di KBE IGD pukul 00.00 WIB


B1 : Airway : clear terintubasi, gargling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 20
x/mnt, SP: Vesikuler, ST: (-), SPO2: 99%, batuk (-), sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 180/100 mmHg, HR : 108 x/mnt, reguler, T/V
kuat/cukup. Temp : 36,8°C, CRT < 2s.
B3 : Sens: Somnolen, GCS 7T (E2M5VT), pupil isokor, ø 3 mm/3 mm,
RC +/+
B4 : BAK (+) vol: ± 70 cc/jam, warna: kuning pekat, terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: Gravida (+), TFU 1 BPX
B6 : Oedem pretibial (+), fraktur (-)

3.11 Teknik Anestesi


 Head Up 30o
 Inj Midazolam 3 mg
 Inj Fentanyl 50 mcg/iv
 Oksigenasi O2 8 lpm 3-5 menit
 Induksi Propofol 80 mg/iv
 Inj. Rocuronium 50 mg/iv
 Jenis anastesi : GA - ETT

3.12 Durante Operasi


 Lama operasi: 68 menit
 TD: 170 – 180 / 100 – 110 mmHg
 HR: 88 – 120 x/menit
 SpO2: 94 – 100%
 Pendarahan:
 UOP: 60 mL/jam, warna urin jernih
 Cairan:
o Pre-op: RL 500 mL
o Durante op: RL 1000 mL
33

3.13 Pemeriksaan Fisik Post Operasi pukul 20.00 WIB


B1 : Airway clear terintubasi, SP: vesikuler, ST -/-, SpO2 99% RR: 12x/i
B2 : Akral: H/M/K, TD 144/92 mmHg, HR 128 x/menit, T/V kuat/cukup,
reguler, suhu: 37,1°C, CRT< 2’’
B3 : Sens : DPO, pupil isokor φ 3mm/ 3mm, RC +/+
B4 : UOP (+), vol. ± 500 cc/ 2 jam, warna kuning jernih
B5 : Luka op tertutup verband
B6 : Edema pretibial (+/+), fraktur (-)

3.14 Terapi Post Operasi


 Bed rest
 Head up 30o
 Diet SV
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. MgSO4 20% + RL 20 gtt/ i
 Inj. Paracetamol 1 gr / 8 jam / IV
 Lain lain sesuai TS obgyn
 Inj Fentanyl 200 mg dalam 500 cc RL 10 gtt/ i
 Inj. Morphine 10 mg + Miloz 10 mg 3 cc / jam
 Rencana pemeriksaan Darah Rutin, RFT, LFT, Albumin, elektrolit
 Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, SpO2, UOP selama di ruang
Pemulihan
34

BAB 4
DISKUSI KASUS

No Teori Kasus
1. Preeklampsia adalah sindrom klinis NM, wanita berusia 25 tahun dirujuk
pada masa kehamilan (setelah ke IGD RSUP HAM dengan
kehamilan 20 minggu) yang keluhaan kejang. Pasien sebelumnya
ditandai dengan peningkatan telah mengalami kejang sebanyak 3x
tekanan darah (>140/90 mmHg) dan sebelum masuk IGD RS Adam
proteinuria (0,3 gram/hari) pada malik. Tekanan darah yang terukur
wanita yang tekanan darahnya saat dilakukan pemeriksaan sebesar
normal pada usia kehamilan 200 / 100 mmHg.
sebelum 20 minggu.
Eklampsia merupakan jenis
preeklampsia berat yang ditandai
dengan adanya kejang
2. Preeklampsia khas dengan adanya Saat dilakukan pemeriksaan fisik
Trias yaitu hipertensi, proteinuria berupa primary dan secondary
dan edema yang menyeluruh. survey di IGD didapatkan tekanan
Disebut pre-eklampsi ringan bila darah yang terukur sebesar 200/100
wanita yang sebelumnya mmHg dengan denyut nadi
normotensi ada kenaikan tekanan 112x/menit. Edema pritibial juga
diastolik menjadi > 90mmHg dijumpai pada tungkai kanan dan
dengan proteinuria < 0,25 gr/lt. tungkai kiri. Urine output yang
Disebut pre-eklampsi berat bila terukur dalam urin bag sekitar ± 500
tekanan sistolik >160mmHg atau cc. Pada pemeriksaan fisik paru,
diastolik > 110 mmHg, peningkatan suara pernafasan vesikuler dan tidak
yang cepat dari proteinuria, oliguria dijumpai suara tambahan.
< 100 ml/24 jam, ada gangguan
serebral atau penglihatan, edema
35

paru atau sianosis


3 Preeklampsia dapat timbul pada Pada laporan kasus ini, perempuan
segala kehamilan namun faktor berusia 25 tahun dan merupakan
resikonya tinggi pada kondisi:7 kehamilan pertama. Berat badan
a) Kehamilan pertama pasien adalah 80 kg dengan tinggi
b) Umur di atas 40 tahun badan 165 cm (IMT: 29,4), riwayat
c) Jika kehamilan terakhir preeklamsia dalam keluarga tidak
lebih dari 10 minggu jelas.
d) Jika ibu obesitas yaitu
mempunyai indeks massa
tubuh di atas > 35 atau lebih
e) Jika ibu atau kakak ada
riwayat preklamsia sebelum
kehamilan
f) Jika mengandung lebih dari
satu anak (multifetus)
g) Sistemik lupus eritematous
h) Diabetes tipe 1 dan 2
i) Riwayat trombofilia
j) Fertilisasi in vitro
k) Hipertensi kronik atau
penyakit renal kronik
l) Sindrom antifosfolipid
antibodi
m) Penyakit kardiovaskular
n) Riwayat sindrom HELLP
(hemolysis, elevated liver
enzymes, low platelet)
36

4 Observasi dan manajemen inisial Tata Laksana awal pasien di IGD


- Evaluasi ibu: gejala, temuan  Pantau jalan nafas agar tetap
klinis, pemeriksaan clear
laboratorium  Beri oksigen 8 L/i via
- Monitor denyut jantung janin sungkup NRM
dan kontraksi  Pasang IV line ukuran 18G
- USG: pertumbuhan janin dan dan threeway terpasang di
jumlah cairan ketuban tangan kiri, pastikan lancar
- Pertimbangkan pemberian  IVFD Ringer Laktat 20gtt/i
MgSO4 dan antihipertensi  Inj. MgSO4 40% bolus dan
maintenance
Pertimbangan terminasi kehamilan  Kateter urin terpasang untuk
menurut Kemenkes RI adalah: memantau urine output
1. Pada ibu dengan eklampsia,
 Pasang monitor untuk
bayi harus segera dilahirkan
memantau hemodinamik
dalam 12 jam sejak
 Monitoring Janin melalui
terjadinya kejang.
USG
2. Induksi persalinan
 Rencana: darah lengkap, liver
dianjurkan bagi ibu dengan
function test, renal function
preeklampsia berat dengan
test, CT scan, foto thorax
janin yang belum viable atau
tidak akan viable dalam 1-2
Terminasi dilakukan langsung dalam
minggu.
waktu dibawah 12 jam sejak pertama
3. Pada ibu dengan
kejang (08.00 WIB) dan operasi
preeklampsia berat, di mana
sectio cesaera (17.10 WIB)
janin sudah viable namun
usia kehamilan belum
mencapai 34 minggu,
manajemen ekspektan
dianjurkan
37

BAB 5
KESIMPULAN

Pasien NM, perempuan usia 25 tahun, merupakan pasien rujukan dari RS


tiga bersaudara datang ke IGD RSUP HAM, dengan keluhan utama kejang. Pasien
didiagnosa dengan eklampsia melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan saat primary dan secondary survey. Telah dilakukan initial assesment
dan diberi penatalaksanaan:
 Pantau jalan nafas agar tetap clear
 Beri oksigen 8 L/i via sungkup
 Pasang IV line ukuran 18G dan threeway terpasang di tangan kiri, pastikan
lancar
 IVFD Ringer Laktat 20gtt/i
 Inj. MgSO4 40% bolus dan maintenance
 Kateter urin terpasang untuk memantau urine output
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik

Pasien kemudian direncanakan untuk menjalani tindakan operasi seksio


sesarea di kamar bedah Emergensi IGD RSUP HAM. Teknik anestesi yang
digunakan adalah GA – ETT. Terapi tambahan yang diberikan pasca operasi ialah
Inj MgSO4 dosis maintainance, analgetik dan antibiotik profilaksis.
38

DAFTAR PUSTAKA

1. Caroline H, 2008. Terapi Preeklampsia, Jurnal Cermin Dunia Kedokteran


Vol. 35, Nomer 1, Grup PT Kalbe Farma Tbk, Jakarta.
2. Heriyono dan Dasuki D, 2000. Faktor-faktor dan Risiko Kematian
Maternal pada Preeklampsia-Eklampsia. Berita Kedokteran Masyarakat
XIV(1), Jakarta.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Obstetri Williams, Edisi ke-21, Vol.1, Jakarta: EGC; 2006.
4. Cunningham MD, Mac Donald C, Gant NF, Alih Bahasa Suyono &
Hartono A, Ronardy DH, 1995. Obstetri Williams, Edisi 18. EGC, Jakarta.
5. Tatang Bisri, Sri Wahjoeningsih, Bambang Suryono Suwondo. Seksio
Sesarea Pada Pasien Eklampsi Dan Preeklampsi. Anestesi Obstetri.
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi & Terapi Intensif Indonesia
2013.
6. Risalina Myrtha. Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Preeklampsia.
Tinjauan Pustaka.CDK-227/ vol. 42 no. 4, th. 2015
7. Pre-eclampsia. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists 2012.
8. Preeclampsia and High Blood Pressure During Pregnancy.September 2014
by the American College of Obstetricians and Gynecologist.
9. Pregnancy Hypertension: An International Journal of Women’s
Cardiovascular Health. 2210-7789/ 2014 Published by Elsevier B.V. on
behalf of International Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy.
10. M.Roberts, August A, et al. Prediction in Preclampsia and Prevention in
Preclampsia. Hypertension in Pregnancy. American College of
Obstetricians and Gynecologist.
11. Heazell A, Baker PN. Hypertensive disorders of pregnancy. In: Oakley C,
Warnes CA, eds. Heart disease in pregnancy. 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2007:264-80.
39

12. Mustafa R, Ahmed S, Gupta A, Venuto RC. A comprehensive review of


hypertension in pregnancy. J Pregnancy 2012;2012:1-19.
13. Regitz-Zagrosek V, Blomstrom LC, Borghi C, Cifkova R, Ferreira R,
Foidart JM, et al. ESC guidelines on the management of cardiovascular
diseases during pregnancy: The task force on the management of
cardiovascular diseases during pregnancy of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2011;32:3147-97.
14. Dennis AT. Management of pre-eclampsia : Issues for anaesthetists.
Anaesthesia 2012;67:1009-20.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hipertensi dalam Kehamilan,
Preeklamsia, dan Eklamsia. Dalam: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2013;109-117.
16. Dennis AT, Solnordal CB. Acute pulmonary oedema in pregnant women.
Anaesthesia. 2012;67:646-59.
17. Podymow T, August P. Hypertension in pregnancy. In: Black HR, Elliott
WJ, eds. Hypertension: A companion to Braunwald’s heart disease. 2nd
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013:327–35.
18. Wibowo, B; Alaydrus, T. Pre-eklamsia dan eklamsia. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu
Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo ; 2009 : hal. 281–301.
19. Tsen LC. Anesthesia for Obstetric Care and Gynecologic Surgery.
Dalam: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM,
editor. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill; 2008: p.1488
20. Kapoor R, Min JC, Leffert L. Anesthesia for Obstetrics and
Gynecologic. Dalam: Dunn PF, editor. Clinical Anesthesia Procedures
of the Massachusetts General Hospital. Boston: Lippincott William and
Willkins; 2009: hal. 553–555.
21. Jayakusuma, AAN. 2009. Manajemen risiko pada preeklampsia (Upaya
menurunkan kejadian preeklampsia dengan pendekatan berbasis
40

risiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF


Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah
22. Mallidi J, Penumetsa S, Lotfi A. 2013. Management Of Hipertensive
Emergencies. J Hypertens. 2(2):1–6

Anda mungkin juga menyukai