Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI IBU BERSALIN PATOLOGIS


DENGAN PREEKLAMPSIA DI KLINIK NAWANG MEDISTA KOTA
SEMARANG

Untuk Memenuhi Persyaratan Target Praktik Semester II


Stage Kolaborasi Program Studi Profesi Bidan

Disusun Oleh :

YUKE ASTARI
NIM : P1337424820002

PRODI PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan pendahuluan Asuhan Kebidanan Kolaborasi ini disusun oleh :


Nama : Yuke Astari
NIM : P1337424820002
Disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :

Semarang, April 2021


Pembimbing Lahan Praktikan

Heny Pujiastuti,Amd.Keb Yuke Astari


NIP.196707241988032007 NIM. P1337424820002

Mengetahui
Pembimbing Institusi

Sri Rahayu,S.Kp,Ns, S.Tr.Keb,M.Kes


NIP. 197408181998032001
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis Preeklamsia


1. Definisi
Menurut Nugroho (2012) preeklamsi adalah tekanan darah ≥ 140/90
mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300
mg/24 jam atau dipstick ≥ +1.
Preeklampsi adalah tekanan darah tinggi yang terjadi setelah umur
kehamilan 20 minggu dengan munculnya proteinuria (Prawiroharjo, 2013).
Tiga hal yang diperhatikan yaitu :
a. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan diastolik ≥90
mmHg, dengan pengukuran darah dilakukan 2 kali selama selang waktu
4-6jam.
b. Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin sebanyak ±300 mg atau
≥1+dipstic selama 24 jam.
c. Edema adalah bengkak yang terjadi pada bagian tubuh, tanda edema
pada preeklampsi terjadi di bagian ekstremitas yaitu salah satunya pada
tungkai,namunsekarang edema tungkai tidak lagi dipakai, kecuali
dengan edema generalisata (edema pada kaki, tangan, muka, dan
perut).Dan jika terdapat kenaikan berat badan >0,57kg per minggu.
Preeklampsi adalah sindrom yang spesifik dalam kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel,
proteinuria adalah tanda penting preeklampsi, terdapatnya proteinuria 300
mg/+1 (Cunningham, 2013).
Impending eklamsia adalah preeklamsia yang disertai disertai
keluhan seperti;nyeri epigastrium. Nyeri kepala frontal, scotoma, dan
pandangan kabur (gangguansusunan syaraf pusat), gangguan fungsi hepar
dengan meningkatnya alanine atauaspartate amino transferase, tanda-tanda
hemolisis dan micro angiopatik,trombositopenia < 100.000/ mm3 hingga
munculnya komplikasi sindroma HELLP (Cunningham, 2013).
2. Etiologi Preeklamsia
Etiologi Preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”, namun
belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Tetapi terdapat
suatu kelainan yang menyertai penyakit ini yaitu :
a. Spasmus arteriola
b. Retensi Na dan air
c. Koagulasi intravaskuler
Walaupun vasospasme mungkin bukan merupakan sebab primer
penyakit ini, akan tetapi vasospasme ini yang menimbulkan berbagai gejala
yang menyertai eklampsia (Prawirohardjo, 2010).
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab
preeklampsia ialah iskemia plasenta.Akan tetapi, dengan teori ini tidak dapat
diterangkan semua hal yang bertalian dengan penyakit itu.Rupanya tidak
hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia
dan eklampsia. Diantara faktor-faktor yang ditemukan sering kali sukar
ditemukan mana yang sebab mana yang akibat (Prawirohardjo, 2010).
3. Patofisiologi Preeklamsia dan Impending Eklamsia
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap
mutlak besar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Hipertensi dalam kehamilan terjadi karena tidak terjadinya invasi sel-sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, dan terjadi
kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan
oksidan (disebut juga radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang
dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal
hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan
merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel
endotel.
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G
(Human Leukocyte Antigen protein G). Berkurangnya HLA-G di
desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.
Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan
gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G
juga merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya
reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada
preeklamsia.
d. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasokopresor. Daya refrakter berarti
pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan
respons vasokonstriksi.
e. Teori genetik
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa ibu yang mengalami preeklamsi 26 % anak perempuannya akan
mengalami preeklamsi pula, sedangkan hanya 8 % anak menantu
mengalami preeklamsi.
f. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan termasuk minyak hati
halibut dapat mengurangi resiko preeklamsi. Minyak ikan mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokontriksi pembuluh darah.
g. Teori inflamasi
Pada kehamilan terjadi proses lepasnya debris trofoblas sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, serta kibat reaksi stres oksidatif.
Lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan
rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada preeklamsi terjadi
peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan
nekrotik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban
reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar. Respons
inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel
makrofag/granulosit yang lebih besar pula sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada
ibu.
(Prawirohardjo, 2010).
4. Patofisiologi Eklamsia
Pasien dengan preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi
perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan
diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia (Cunniangham, 2013).
a. Pandangan mata kabur
Menurut Masudik, dkk (2015), keluhan berupa pandangan mata kabur,
nyeri kepala dan mual teradi karena terjadi vasospasme dan kerusakan
sel endothelium yang mengakibatkan diameter pembuluh darah mengecil
yang akan berpengaruh terhadap peningkatan tromboksan pada
prostasilin / peningkatan sensitifitas terhadap angiotensin II, terjadi
perpindahan cairan dari ruang intravaskuler ke intraseluler (terjadi
penurunan volume plasma dan meningkatan hematokrit), serta terjadi
koagulasi inravaskuler.
b. Sakit kepala
Terjadinya nyeri kepala karena efek penurunan perfusi plasenta pada
spasme korteks otak menyebabkan terjadinya vasopasme arteriola dan
penurunan aliran darah ke retina menyebabkan symptom visual seperti
pandangan mata kabur, patologi yang sama menyebabkan edema serebral
dan hemorargik serta peningkatan iritabilitas susunan syaraf pusat
sehingga menimbulkan gejala sakit kepala (Masudik, dkk, 2015).
c. Mual
Mual terjadi karena penurunan perfusi plasenta menyebabkan
mikroemboli hepatic menyebabkan suplai darah ke hepar yang menurun
menyebabkan penurunan fungsi hati menimbulkan gangguan fungsi hati,
sehingga menyebabkan edema hepar dan hemorargik subkapsular
menyebabkan ibu mengalami nyeri epigastrik hingga mual (Masudik,
dkk, 2015).
d. Nyeri ulu hati
Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomelurus
dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.
Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume
intavaskuler, meningkatnya kardiakoutput dan peningkatan tahanan
pembuluh perifer.Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan
anemia dan trobositopeni (Masudik, dkk, 2015)
5. Faktor Resiko
a. Primigravida, primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hirops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f. Obesitas
(Prawirohardjo, 2010)
Hal ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh Legawati, Nang
Randu Utama 2017 tentang Analisis Faktor Risiko Kejadian Preeklamsi
Berat Di RSUD Rujukan Kabupaten Dan Provinsi Kalimantan Tengah
menunjukkan bahwa Faktor yang mempengaruhi Faktor risiko PEB
adalah Umur ibu, pendidikan, Umur kehamilan, paritas dan ANC.
6. Klasifikasi Preeklamsi
Menurut Cunningham (2013), klasifikasi penyakit hipertensif yang
mempersulit kehamilan yaitu :
a. Hipertensi Gestasional
1) Diagnosis
a) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg ditemukan pertama kali
sewaktu hamil
b) Tidak ada proteinurina
c) Tekanan darah kembali normal sebelum 1-2 minggu postpartum
b. Preeklamsi
1) Kriteria Minimum
a) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi setelah UK 20 minggu
b) Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik.
2) Kemungkinan Preeklamsi Meningkat
a) Tekanan darah ≥160/110 mmHg
b) Proteinuria 2,0g/24 jam atau ≥ +2 dipstik.
c) Trombosit <100.000uL
d) Peningkatan LDH
e) Nyeri kepala presisten dan gangguan serebral
f) Nyeri epigastrik presisten.
c. Eklamsi
Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan
dengan preeklamsi
d. Preeklamsi yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis
1) Proteinuria awitan-baru ≥ 300 mg pada perempuan hipertensif
2) Peningkatan mendadak proteinuria/tekanan darah/trombosit
<100.000uL
e. Hipertensi kronis yaitu apabila tekanan darah ≥140/90 mmHg sebelum
kehamilan atau terdiagnosis sebelum kehamilan 20 minggu.
Cunningham (2013),
Menurut Prawirohardjo (2010), dari gejala-gejala klinik preeklamsi
dapat dibagi menjadi preeklamsi ringan dan preeklamsi berat.
a. Preeklamsi Ringan
Diagnosis preeklamsi ringan yaitu :
1) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.
2) Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik.
3) Edema pada lengan, muka, perut, edema generalisata.
b. Preeklamsi Berat
1) Diagnosis
Preeklamsi digolongkan preeklamsi berat bila ditemukan satu atau
lebih gejala sebagai berikut :
a) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 110 mmHg.
b) Proteinuria > 5 g/24 jam atau +4 dalam pemeriksaan kualitatif.
c) Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d) Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri
kepala, skotoma dan pandangan kabur.
f) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
(akibat teregangnya kapsula glisson).
g) Edema paru-paru dan sianosis.
h) Hemolisis mikroangiopatik.
i) Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit dengan cepat.
j) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular) : peningkatan
kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
k) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
l) Sindrom HELLP
2) Klasifikasi
Preeklamsi berat dibagi menjadi :
a) Preeklamsia berat tanpa impending eklamsia
b) Preeklamsia berat dengan impending eklamsia
Disebut impending eclamsia bila preeklamsi berat disertai gejala-
gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progesif tekanan darah
7. Perubahan pada organ akibat preeklamsi
Perubahan pada sistem dan organ pada preeklampsi menurut
Prawirohardjo (2010) meliputi:
a. Perubahan kardiovaskular
Pasien yang preeklampsi sering mengalami gangguan fungsi
kardiovaskular secara parah, gangguan tersebut berkaitan dengan pompa
jantung akibat terjadinya hipertensi (Cunningham, 2013).
b. Ginjal
Terjadi perubahan fungsi ginjal disebabkan karena menurunnya aliran
darah ke ginjal akibat syok hipovolemi, kerusakan sel glomerulus
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga
terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Gagal ginjal akut
akibat nekrosis tubulus ginjal.Kerusakan jaringan ginjal akibat
vasospasme pembuluh darah dapat diatasi dengan pemberian dopamin
agar terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah ginjal.
c. Vaskositas darah
Vaskositas darah meningkat pada preeklampsi yang mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.
d. Hematokrit
Pada penderita preeklampsi hematokrit meningkat karena hipovolemia
yang menggambarkan beratnya preeklampsi.
e. Edema
Edema terjadi dikarenakan adanya kerusakan sel endotel kapilar. Edema
yang patologi terjadi pada kaki tangan/seluruh tubuh disertai dengan
kenaikan berat badan secara cepat.
f. Hepar
Terjadi perubahan akibat vasospasme, iskemia, dan perdarahan.
Perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel
hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini bisa meluas
(subkapsular hematoma) dan dapat menimbulkan nyeri pada daerah
epigastrium serta dapat menimbulkan ruptur hepar sekaligus.
g. Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa yaitu nyeri kepala di sebabkan
hiperfusi otak. Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat
terjadi ganguanvisus.
h. Paru
Penderita preeklampsi berat mempunyai resiko terjadinya edema paru.
Edema paru dapat disebabkan oleh payahnya jantung kiri, kerusakan sel
endotel pada pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.
8. Penatalaksanaan Preeklamsia
a. Manajemen Perawatan Preeklamsia
1) Rawat jalan (ambulatoir)
Ibu hamil dengan preeklamsi ringan dapat dirawat secara rawat
jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring / tidur
miring). Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring
dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena kava
inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan
menambah curah jantung. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia pranatal.
Tidak diberikan obat-obatan diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati,
urin lengkap, fungsi ginjal (Prawirohardjo, 2010).
2) Rawat inap
Kriteria preeklamsi ringan dirawat di rumah sakit :
a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu
b) Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklamsi berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa
pemeriksaan USG dan doppler khususnya untuk evaluasi
pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan
nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan
bagian mata, jantung, dan lain-lain.
c) Perawatan obstetrik (sikap terhadap kehamilannya)
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu), bila tekanan darah
mencapai normotensif selama perawatan, persalinannya
ditunggu sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan aterm (>
37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan
atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada
taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II.
(Prawirohardjo, 2010)
b. Manajemen Perawatan Preeklamsia Berat
Menurut Cunningham (2013), tatalaksana aktif dan termniasi
kehamilan merupakan salah satu tata laksana preeklamsia yang disertai
dengan impending eklamsia (nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigastrium) yang merupakan tanda bahwa kejang akan segera terjadi
dan oligouria merupakan tanda bahaya lainnya.
1) Pengobatan medikamentosa
a) Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
b) Diberikan cairan :
(1) 5 % Ringer-dekstrose atau cairan garam faali, jumlah tetesan
< 125 cc/jam
(2) Infus Dekstrose 5 % yang setiap 1 liternya diselingi dengan
infus Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
c) Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin.
Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam
atau < 500 cc/24 jam.
d) Pemberian obat antikejang
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama
untuk antikejang pada preeklamsia atau eklamsia.
e) Pemberian antihipertensi
Menurut Belfort untuk pemberian antihipertensi bila tekanan
darah ≥ 160/110 mmHg.
Jenis obat hipertensi yang diberikan di Indonesia adalah
Nifedipin dengan dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam (Prawirohardjo, 2010).
2) Perawatan obstetrik (sikap terhadap kehamilannya)
a) Perawatan aktif
Kehamilan segera diakhiri / diterminasi bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa, dengan indikasi :
(1) Ibu
Umur kehamilan ≥ 37 minggu, adanya tanda-tanda / gejala-
gejala impending eklamsia, kegagalan terapi pada perawatan
konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratorik memburuk,
diduga terjadi solusio plasenta, timbul onset persalinan,
ketuban pecah, atau perdarahan.
(2) Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress., adanya tanda-tanda
IUGR, Non Stress Test (NST) nonreaktif dengan profil
biofisik abnormal, terjadinya oligohidramnion.
(3) Laboratorik
Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat.
(Prawirohardjo, 2010).
Menurut (Fauziyah, 2016), bidan dapat merawat pasien pre-
eklampsia berat untuk sementara, sambil menunggu
kesempatan melakukan rujukan sehingga pasien
mendapatkan pertolongan yang sebaik-baiknya. Pasien
diusahakan agar :
a. Terisolasi sehingga tidak mendapat rangsangan suara
ataupun sinar.
b. Infus glukosa 5 %
c. Dilakukan pemeriksaan seperti : tanda-tanda vital,
tanda-tanda impending dan protein urin.
d. Pengobatan
1) Sedative : Phenobarbital 3x100 mgr, valium 3x20
mgr.
2) Menghindari kejang :
a) Magnesium Sulfat
- Insial dosis 8 gr IM, dosis selanjutnya 4 gr/
a6jam
- Observasi : pernapasan tidak kurang 16 kali
permenit, refeleks patella positif, urin tidak
kurang dari 600 cc/ 24 jam.
b) Valium
- Dosis inisiasi 20 mgr IV, dosis selanjutnya
20 mgr / drip/ 20 tetes/ menit
- Dosis maksimal 120 mgr/ 24 jam
c) Kombinasi pengobatan
- Pethidene 50 mgr IM
- Klorpromazin 50 mgr IM
- Diazepam (valium) 20 mgr IM
d) Bila terjadi oliguria berikan glukosa 40% IV
untuk menarik cairan dari jaringan sehingga
dapat merangsang diuresis.
e. Setelah pre-eklmapsia berat dapat diatasi
pertimbangkan mengakhiri kehamilan berdasarkan :
1) Kehamilan cukup bulan
2) Mempertahankan kehamilan sampai mendekati
cukup bulan.
3) Apabila pengobatan pre-eklapsia berat gagal,
kehamilan diakhiri tanpa memandang usia
kehamilan.
4) Merujuk ke rumah sakit untuk pengobata yang
adekuat. Mengakhiri kehamilan merupakan
pengobatan utama untuk memetuskan
kelanjutan pre-eklampsia menjadi eklampsia.

3) Cara pemberian MgSO4


a) Loading dose : initial dose
4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
b) Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer / 6 jam, atau
diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.
c) Syarat-syarat pemberian
(1) Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi
yaitu kalsium glukonas 10 % = 1 g (10 % dalam 10 cc)
diberikan IV 3 menit.
(2) Refleks patella (+) kuat.
(3) Frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda
distress nafas.
d) Dihentikan bila
(1) Ada tanda-tanda intoksikasi.
(2) Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang
terakhir.
e) Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
(1) Dosis terapeutik : 4,8-8,4 mg/dl
(2) Hilangnya refleks tendon : 12 mg/dl
(3) Terhentinya pernafasan : 18 mg/dl
(4) Terhentinya jantung : >36 mg/dl
f) Bila terjadi refrakter terhadap pemberian magnesium sulfat,
maka diberikan salah satu obat berikut : tiopental sodium,
sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin (Prawirohardjo,
2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Ajeng Dwi Imelda, Yeyen
Putriana tentang Penanganan awal kejadian Preeklamsi Berat
dan Eklamsia Salah Satu RS di Provinsi Lampung th 2018
menunjukkan bahwa dari 17 responden pasien preeklamsia 14
orang mendapatkan penatalaksanaan sesuai protab dan 3 orang
tidak sesuai protab dan dari 8 pasien eklamsia yang mendapatkan
penatalaksanaan sesuai protab 6 orang dan 2 orang tidak sesuai
protab. Sehingga saran yang diberikan peneliti kepada tenaga
kesehatan agar meningkatkan kualitas pelayanan dengan
memberikan penatalaksanaan sesuai protab sehingga dapat
menurunkan angka kematian ibu.
Begitu juga dengan Jurnal Kesehatan Yang diterbitkan pada 23
Nov 2016 oleh Ka. Unit TI menunjukkan bahwa Tidak ada
pengaruh pemberian MgSO4 pada pasien Preeklamsi Berat Di
tempat Pra Rujukan Rsup Fatmawati terhadap kejadian Eklamsia
ini Disebabkan kondisi pasien yang memburuk dan dosis
pemberian MgSO4 tidak sesuai Standar sehingga tidak
memberikan efek pencegahan terhadap kejadian Eklamsia.
Penelitian yang dilakukan oleh Cipta Pramana tentang Kajian
Sistem Rujukan Kasus Preeklamsia Berat/ Eklamsi di RSUD
Kota Semarang April 2015 menunjukkan bahwaSebagian besar
tkasus PEB /E merupakan rujukan dari Bidan dan sebagian besar
tidak diberikan MgSO4 sebelum dirujuk.

B. Tinjauan Teori Medis Rujukan


1. Pelayanan Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan saling berbagi tanggung jawab
(kerjasama) dengan rekan sejawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam
memberi asuhan pada pasien. Dalam praktiknya, kolaborasi dilakukan dengan
mendiskusikan diagnosis pasien serta bekerjasama dalam penatalaksanaan dan
pemberian asuhan. Masing-masing tenaga kesehatan dapat saling
berkonsultasi dengan tatap muka langsung atau melalui alat komunikasi
lainnya dan tidak perlu hadir ketika tindakan dilakukan. Petugas kesehatan
yang ditugaskan menangani pasien bertanggung jawab terhadap keseluruhan
penatalaksanaan asuhan.
Pelayanan kebidanan kolaborasi adalah pelayanan yang dilakukan oleh
bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya di lakukan secara bersamaan atau
sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.
Tujuan pelayanan ini adalah berbagi otoritas dalam pemberian pelayanan
berkualitas sesuai ruang lingkup masing-masing. Elemen kolaborasi
mencakup:
a. Harus melibatkan tenaga ahli dengan keahlian yang berbeda, yang dapat
bekerjasama secara timbal balik dengan baik.
b. Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama.
c. Kelompok harus memberi pelayanan yang keunikannya dihasilkan dari
kombinasi pandangan dan keahlian yang di berikan oleh setiap anggota
tim tersebut.
Pelayanan Kolaborasi /kerjasama terdiri dari:
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai
fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.
b. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil resiko tinggi dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
c. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
d. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
e. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
f. Memberikan asuhan kebidanan pada balita resiko tinggi dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi (Asrinah,
2013).
2. Kolaborasi Dalam Praktik Kebidanan
Dalam praktik pelayanan kebidanan, layanan kolaborasi adalah asuhan
kebidanan yang diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama
semua pemberi pelayanan yang terlibat. Misalnya: bidan, dokter, dan atau
tenaga kesehatan profesional lainnya. Bidan merupakan anggota tim.
Bidan meyakini bahwa dalam memberi asuhan harus tetap menjaga,
mendukung, dan menghargai proses fisiologis manusia. Intervensi dan
penggunaan teknologi dalam asuhan hanya atas indikasi. Rujukan yang efektif
dilakukan untuk menjamin kesejahteraan ibu dan bayinya. Bidan adalah
praktisi yang mandiri. Bidan bekerja sama mengembangkan kemitraan dengan
anggota dan kesehatan lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, bidan
melakukan kolaborasi, konsultasi, dan perujukan sesuai dengan kondisi
pasien, kewenangan, dan kemampuannya (Asrinah, 2013).
Pelayanan kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 001 Tahun 2012, terdiri dari 3 tingkatan yaitu :
 Pelayanan kesehatan tingkat pertama, merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas, puskesmas
perawatan, tempat praktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di
balai/lembaga pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama. Dalam
keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
 Pelayanan kesehatan tingkat kedua, merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
 Pelayanan kesehatan tingkat ketiga, merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub
spesialistik.

a. Pengertian Sistem Rujukan


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
001 Tahun 2012, sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas
dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal
maupun horizontal.
1) Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan
medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan
dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan
dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
4) Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau
dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
5) Ketentuan diatas dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana,
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan
geografis.
Rujukan Pelayanan Kebidanan adalah pelayanan yang dilakukan
oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu
menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan
yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan
atau fasilitas kesehatan lain secara horizontal maupun vertical. Sistem
rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan
tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara
vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat) maupun horizontal
(komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas
pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi
oleh wilayah administrasi.
b. Tujuan Sistem Rujukan
Tujuan umum sistem rujukan adalah untuk meningkatkan mutu,
cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu (Kebidanan
Komunitas). Tujuan umum rujukan untuk memberikan petunjuk kepada
petugas puskesmas tentang pelaksanaan rujukan medis dalam rangka
menurunkan IMR dan AMR. Tujuan khusus sistem rujukan adalah:
1) Meningkatkan kemampuan puskesmas dan peningkatannya dalam
rangka menangani rujukan kasus “resiko tinggi” dan gawat darurat
yang terkait dengan kematian ibu maternal dan bayi.
2) Menyeragamkan dan menyederhanakan prosedur rujukan di wilayah
kerja puskesmas
c. Jenis Rujukan
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari :
1) Rujukan Internal
Yaitu rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam
institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas
pembantu) ke puskesmas induk.
2) Rujukan Eksternal
Yaitu rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas
rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum
daerah).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari:
a) Rujukan Medik
Yaitu rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya,
merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum
daerah. Jenis rujukan medik:
(1) Transfer of patient.
(2) Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik,
pengobatan, tindakan operatif dan lain-lain.
(3) Transfer of specimen
(4) Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium yang
lebih lengkap.
(5) Transfer of knowledge/personel.
(6) Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat.
Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi
penderita, diskusi kasus dan demonstrasi operasi (transfer of
knowledge). Pengiriman petugas pelayanan kesehatan
daerah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan
mereka ke rumah sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit
pendidikan, juga dengan mengundang tenaga medis dalam
kegiatan ilmiah yang diselenggarakan tingkat provinsi atau
institusi pendidikan (transfer of personel).
b) Rujukan Kesehatan
Yaitu hubungan dalam pengiriman dan pemeriksaan bahan ke
fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Rujukan ini umumnya
berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan
(promotif) dan pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk
pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi
puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan kerja ke
klinik sanitasi puskesmas (pos Unit Kesehatan Kerja).
3. Alur Sistem Rujukan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001
Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, alur
rujukan adalah sebagai berikut :
a. Rujukan vertikal, yaitu rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda
tingkatan, dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke pelayanan yang
lebih tinggi, apabila :
1) Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub
spesialistik;
2) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan.
b. Rujukan horizontal, yaitu rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan, dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas,
peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

Sumber : Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS


4. Mekanisme Rujukan
a. Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih
b. Ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh keluarga atau
kader/ dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
yang terdekat, oleh karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan ke
tingkat kegawatdaruratan.
c. Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
d. Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut
harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui,
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, mereka harus
menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana
yang harus dirujuk.
e. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
f. Sebaiknya bayi yang akan dirujuk harus sepengathuan ibu atau keluarga
bayi yang bersangkutan dengan cara petugas kesehatan menjelaskan
kondisi atau masalah bayi yang akan dirujuk dengan cara yang baik.
g. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
1) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk
2) Meminta petunjuk apa yan perlu dilakukan dalam rangka persiapan
dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan
3) Meminta petunjuk dan cara penanganan untuk menolong penderita
bila penderita tidak mungkin dikirim.
h. Persiapan penderita (BAKSOKUDA)
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan disingkat
“BAKSOKUDA” yang diartikan sebagi berikut :
B (Bidan) : Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dan memiliki kemampuan
untuk melaksanakan kegawatdaruratan
A (Alat) : Bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan
seperti spuit, infus set, tensimeter dan stetoskop
K (keluarga) : Beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (klien)
dan alasan mengapa ia dirujuk. Suami dan anggota
keluarga yang lain harus menerima ibu (klien) ke
tempat rujukan.
S (Surat) : Beri sura ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu
(klien), alasan rujukan, uraian hasil rujuka, asuhan
atau obat-obat yang telah diterima ibu
O (Obat) : Bawa obat-obat esensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk
K (Kendaraan) : Siapkan kendaraan yang cukup baik untuk
memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang
nyaman dan dapat mencapai tempat rujukan dalam
waktu cepat.
U (Uang) : Ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah
yang cukup untuk membeli obat dan bahan kesehatan
yang diperlukan di tempar rujukan
DA (Darah) : Siapkan darah untuk sewaktu-waktu membutuhkan
transfusi darah apabila terjadi perdarahan
Penelitian yang dilakukan oleh Dinda Nestelita, Antono
Suryoputro,Wulan Kusumastuti tentang Proses Sistem rujukan dalam
pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal di Puskesmas Sayung
2 Kabupaten Demak pada Desember 2019 menunjukkan bahwa terdapat
beberapa kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan petugas yang
terlatih dan double job , kurangnya pemahaman petugas terhadap SOP
kesalahan komunikasi antar petugas kesehatan dan system informasi
rujukan dan rumah sakit yang kurang maksimal sehingga masih susah
dalam encari rumah sakit rujukan
i. Pengiriman Penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/
sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita
j. Tindak lanjut penderita
1) Untuk penderita yang telah dipulangkan
2) Harus kunjungan rumah bila penderita yang memerlukan tindakan
lanjut tapi tidak melapor .
d. Tinjauan Teori Kebidanan
1. Data Subyektif
a. Biodata
1) Umur
Umur dikaji apakah ibu sudah memasuki usia reproduksi yaitu usia
25-30 tahun. Apabila ibu hamil pada usia lebih dari 35 tahun
kualitas sel telurnya sudah menurun sehingga dalam pembuahan
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
buah kehamilan. Kemungkinan akan menyebabkan IUGR dan
BBLR. (Sulistyawati, 2011)
2) Pekerjaan
Wanita hamil tetap dapat bekerja namun aktivitasnya yang dijalani
tidak pboleh terlalu berat. Perlu dikaji apakah pekerjaan ibu
termasuk pekerjaan yang membutuhakan aktivitas fisik berat,
berdiri dalam jangka waktu yang lama, pekerjaan dalam industri
mesin, atau pekerjaan yang memiliki efek samping lingkungan,
contoh : limbah, sehingga harus disesuaikan dengan kondisi ibu
hamil. (Sulistyawati, 2011)
Pekerjaan juga berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi. Pada
ibu hamil dengan tingkat sosial ekonomi yang baik, otomatis akan
mendapatkan kesejahteraan fisik dan psikologis yang baik pula.
Status gizipun akan meningkatkan karena nutrisi yang didapatkan
berkualitas, selain itu ibu tidak akan terbebani secara psikologis
mengenai biaya persalinan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
setelah bayinya lahir. (Sulistyawati, 2011)
3) Suku Bangsa
Untuk menentukan adat istiadat atau budayanya. (Marmi, 2014)
b. Keluhan Utama
Dari hasil anamnesis pada penderita preeklamsi berat adanya gejala :
nyeri kepala, gangguan visus, rasa panas di muka, dyspneu, nyeri dada,
mual muntah, kejang. (Nugroho, 2012). Menurut Prawirohardjo
(2010:545) pada preeklamsi berat juga terjadi nyeri epigastrium atau
nyeri pada kuadaran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula
glisson).
c. Riwayat Kesehatan
Beberapa penyakit yang menjadi faktor resiko terjadinya preeklamsia
yaitu :
1) Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia.
2) Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum
hamil (Prawirohardjo, 2010).
3) Sistem Kardiovaskular
a) Penyakit Jantung
Perubahan fisiologis normal pada masa hamil meningkatkan
curah jantung wanita hingga mencapai 40 persen melebihi curah
jantungnya ketika tidak hamil saat ia berada pada keadaan
istirahat. Peningkatan ini terjadi pada awal kehamilan dan
mencapai puncaknya pada usia kehamilan 20 hingga 24 minggu.
Peningkatan curah jantung selama kehamilan, persalinan, dan
pelahiran akan meningkatkan resiko dekompensasi jantung pada
wanita yang mempunyai riwayat penyakit jantung. (Varney,
2008)
b) Hipertensi
Wanita hipertensi yang dinyatakan hamil perlu mendiskusikan
dengan dokternya tentang pengobatan mana yang aman
digunakan selama mengandung. Selain itu, wanita dengan
hipertensi yang sudah ada sebelumnya mengalami peningkatan
resiko terjadinya preeklampsia selama kehamilan
(Varney,2007).
2) Sistem Pernafasan
a) Asma
Wanita yang memiliki riwayat asma berat sebelum hamil
tebukti akan terus mengalaminya dan menjadi semakin buruk
selama masa hamil. Asma dihubungkan dengan peningkatan
angka kematian perinatal, hiperemesis gravidaru, pelahiran
preterm, hipertensi kronis, preeklamsia, bayi berat lahir rendah,
dan perdarahan pervaginam. (Varney, 2007)
3) Sistem Endokrin
a) Diabetes Melitus
Diabetes dapat memberikan penyulit pada ibu berupa
preeklasia, polihidramnion, infeksi saluran kemih, persalinan
seksio sesarea, trauma persalinan akibat bayi besar. (Saifuddin,
2010)
4) Sistem Urogenital
a) Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih merupakan komplikasi medik utama
pada wanita hamil. Sekitar 15% wanita, mengalami paling
sedikit satu kali serangan akut infeksi saluran kemih selama
hidupnya. Akibat infeksi ini dapat dapat mengakibatkan
masalah pada ibu dan janin. ISK berkaitan dengan kejadian
anemia, hipertensi, kelahiran prematur dan BBLR. (Saifuddin,
2010)
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga ibu yang perlu dikaji dalam
hubungannya dengan pre-eklampsia yaitu kecenderungan wanita
cenderung beresiko ganda terhadap pre-eklampsia jika ibunya
pernah mengalami pre-eklampsia. Jika ibunya pernah mengalami
eklampsia dan beresiko sangat besar jika saudara perempuannya
juga mengalami pre-eklampsia. Kecenderungan untuk pre-
eklampsia dan eklampsia akan diwariskan (Cunningham, 2013).
d. Riwayat Obstetri
1) Riwayat Haid
Dikaji menarche, siklus haid, lamanya, keluhan, volume, bau, dan
konsistensi (Sulistyawati, 2011)
2) Riwayat Kehamilan, Persalinan, Nifas Yang Lalu
a) Kehamilan
Dikaji untuk mengetahui primipara atau multipara, berapa usia
kehamilan ibu saat melahirkan kehamilan yang lalu. Faktor resiko
preeklamsia berat salah satunya adalah ibu primigravida,
multigravida, (Maryunani, 2010)
b) Persalinan
Shenna dan Chappel (2002) dalam Chapman dan Charles (2013)
mengatakan bahwa ibu yang mengalami pre-eklampsia pada
kehamilan dan persalinan yang lalu berisiko 2 kali lipat
padakehamilan dan persalinan yang selanjutnya.
Jumlah kehamilan, anak yang lahir hidup, persalinan yang aterm,
persalinan yang premature, keguguran atau kegagalan kehamilan,
persalinan dengan tindakan (dengan forcep, atau dengan SC),
riwayat perdarahan pada kehamilan, persalinan atau nifas,
sebelumnya, hipertensi disebabkan kehamilan pada kehamilan
seelumnya, berat bayi sebelumnya, 2500 atau >4000, masalah-
masalah lain yang dialami, riwayat kebidanan yang lalu membantu
dalam mengelola asuhan pada kehamilan ini (konseling khusus, test,
tindak lanjut, dan rencana persalinan). (Rukiyah, 2009)
3) Riwayat Kehamilan Sekarang
Riwayat kehamilan sekarang dikaji untuk menentukan umur
kehamilan dengan tepat. Setelah mengetahui umur kehamilan ibu,
bidan dapat memberikan konseling tentang keluhan kehamilan yang
biasa terjadi dan dapat mendeteksi adanya komplikasi dengan yang
lebih baik. (Rukiyah, 2009). Dalam hal ini pemeriksaan antenatal
yang teratur dan diteliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre-
eklampsia (Wiknjosastro, 2005). Pasien dengan pre-eklampsia berat
akan mengalami keluhan seperti nyeri epigastrium, gangguan
penglihatan, hipertensi pada saat kehamilannya (Chapman dan
Charles, 2013). HPL = HPHT, hari + 7, bulan – 3 bulan
(Sulistyawati, 2011:)
ANC minimal:
a) Satu kali pada trimester I (usia kehamilan 0-13 minggu)
b) Satu kali pada trimester II (usia kehamilan 14-27 minggu)
c) Dua kali pada trimester III (usia kehamilan 28-40 minggu)
(Sulistyawati, 2011)
HPHT perlu dikaji dalam hubungannya dengan pre-eklampsia yaitu,
dimana hal tersebut dikaji agar dapat menentukan umur kehamilan
yang dapat mendukung diagnosa pre-eklampsia, dimana pre-
eklampsia banyak terjadi pada umur kehamilan 24 minggu (Varney,
2007).
TT : Selama kehamilan bila ibu hamil statusnya T0 (belum pernah
mendapatkan imunisasi TT) maka hendaknya mendapatkan minimal
2 dosis (TT1 dan TT2 dengan interval 4 minggu dan bila
memungkinkan untuk mendapat TT3 sesudah 6 bulan berikutnya).
(Sulistyawati, 2011)
4) Riwayat KB
Menggunakan kontrasepsi hormonal dapat memicu hipertensi pada
klien yang memiliki riwayat hipertensi sehingga berisiko terjadi Pre-
eklampsia (Chapman & Charles, 2013). KB terakhir yang digunakan
jika pada kehamilan perlu juga ditanyakan rencana KB setelah
melahirkan. (Hani dkk, 2011)
5) Riwayat Perkawinan
Menurut Mc Cowan, dkk (2004) dalam Chapman dan Charles
(2013) menyatakan bahwa pasangan baru akan mengembalikan
risiko pre-eklampsia sama seperti pada primigravida.
6) Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a) Nutrisi
Dalam kasus pre-eklampsia, nutrisi dikaji berkaitan dengan
faktor predisposisi pre-eklampsia yaitu nutrisi yang buruk,
terutama dengan diet kurang protein (Taber, 1994).
Dikaji untuk mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi dan
porsi makan dalam sehari. Pada ibu hamil dengan Pre-eklampsia
Berat makanan diet biasanya (tinggi protein, tinggi karbohidrat),
mengetahui porsi makan dalam sehari cukup atau berlebihan,
obesitas beresiko terjadinya Preeklampsia (Wiknjosastro, 2010).
Dikaji tentang gejala subjektif pasien pre-eklampsia berat yaitu
mual atau muntah (Wiknjosastro, 2005).
Pada pasien preeklamsi berat diet yang diberikan yaitu cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.(Prawirohardjo,
2010)
Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan anemia, abortus, IUGR,
inersia uteri, perdarahan pasca persalinan, sepsis puerperalis.
Sedangkan kelebihan makan akan mengakibatkan kegemukan,
preeklamsi, janin terlalu besar. (Sulistyawati, 2011)
b) Eliminasi
Pada preeklamsi berat terjadi oliguria dan anuria. Pada
preeklamsi berat terjadi hipovolemia, sehingga aliran darah ke
ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun
(oliguria) bahkan dapat terjadi anuria. (Prawirohardjo, 2010)
Dalam hal ini perlu dikaji mengenai pengeluaran urin, karena
pada pre-eklampsia berat terdapat oliguria yaitu terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam,
atau bahkan dapat terjadi anuria. (Saifuddin, 2010)
c) Aktivitas
Dikaji untuk memberikan gambaran tentang seberapa berat
aktivitas yang biasa dilakukan pasien di rumah. Jika kegiatan
pasien terlalu berat dikhawatirkan dapat menimbulkan penyulit
masa hamil, maka perlu diberitahukan agar ibu membatasi
kegiatan sampai ia sehat dan pulih kembali. Aktivitas yang
terlalu berat dapat menyebabkan abortus dan persalinan
prematur. (Sulistyawati, 2011)
d) Istirahat
Kebiasaan istirahat perlu dikaji, seberapa lama ibu tidur di
malam dan siang hari. Istirahat malam hari, rata-rata lama tidur
malam yang normal 6-8 jam. (Sulistyawati, 2011)
Posisi tidur yang dianjurkan pada ibu hamil adalah miring ke
kiri, kaki kiri lurus, kaki kanan sedikit menekuk dan diganjal
dengan bantal, dan untuk mengurangi rasa nyeri pada perut,
ganjal dengan bantal pada perut bawah sebelah kiri.
(Sulistyawati, 2011)
Pada klien Pre-eklampsia berat dianjurkan istirahat yang cukup
yaitu dengan istirahat baring 4 jam pada siang hari dan 8 jam
pada malam hari (Hani, 2011 ).
e) Hidup Sehat
Dikaji apakah ibu merokok atau alkoholik apa tidak. Ibu yang
merokok akan menyebabkan bayinya kekurangan oksigen dan
racun yang diisap melalui rokok dapat ditransfer lewat plasenta
ke dalam tubuh bayi. Pada ibu hamil dengan merokok berat
berisiko keguguran, kelahiran prematur, BBLR, bahkan
kematian janin. (Sulistyawati, 2011)
CO2 yang terdapat dalam rokok akan dapat dengan bebas
menembus plasenta dan mengurangi kemampuan Hb dalam
mengikat oksigen. Nikotin yang merangsang hormon adrenergik
yang menyebabkan vasokontriksi menyeluruh, terutama
mengurangi perfusi uterus dan mempersempit arteri tali pusat.
(Sulistyawati, 2011)
f) Data Psikososial Dan Spiritual
(1) Psikologis
Ibu dengan pre-eklampsia dapat langsung menderita
penyakit yang serius, dan hal ini dapat terasa sangat
menakutkan bagi klien dan orang-orang di sekitarnya.
Lingkungan yang rileks dapat menimbulkan dampak
fisiologis dan juga psikologis, sebab stress tidak akan
membantu kondisi ibu (Chapman & Charles, 2013).
(2) Budaya
Budaya dikaji untuk mengetahui adanya pantangan makanan
ibu yang berkaitan dengan status gizi ibu dan adat istiadat
tentang kehamilan ini yang dapat berisiko terjadi pre
klampsia berat .
Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
1) Keadaan Umum
Diketahui dengan mengamati keadaan pasien secara keseluruhan.
Pada kasus pre-eklampsia berat keadaan umum klien bisa dikatakan
baik maupun lemah tergantung terhadap kondisi klien (Manuaba,
2007).
a) Baik
Jika pasien memperlihatkan respon yang baik terhadap lingkungan
dan orang lain, serta secara fisik pasein tidak mengalami
ketergantungan dalam berjalan.
b) Lemah
Jika pasien kurang atau tidak memberikan respon yang baik
terhadap lingkungan dan orang lain, dan pasien sudah tidak
mampu lagi untuk berjalan sendiri. (Sulistyawati, 2011)
2) Kesadaran
Pada kasus pre-eklampsia berat kesadaran ibu dapat apatis dan paling
baik composmentis (Chapman, Charles, 2013)
Dikaji untuk mengetahui tingkat kesadaran mulai dari composmentis
(kesadaran maksimal) sampai dengan koma (pasien tidak dalam
keadaan sadar) (Sulistyawati, 2011).
3) Berat Badan
Perlu dipertimbangkan faktor resiko timbulnya hipertensi dalam
kehamilan, bila didapatkan kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu.
(Prawirohardjo, 2010)
4) Tekanan Darah
Pada preeklamsi berat tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang berjarak
minimal 6 jam. (Nugroho, 2012)
5) Suhu
Pada klien pre-eklampsia berat dengan keadaan normal suhu tubuh
(36,50C - 37,50C ). Pada pemeriksaan suhu penting karena
panas/demam tinggi dapat mengarah/ mengakibatkan kejang yang
mengarah pada pre-eklampsia (Wiknjosastro, 2010).
6) Nadi
Denyut nadi klien dihitung dalam 1 menit normal 80-100 X/ menit
(Hani, 2011). Apabila terjadi kenaikan denyut nadi dapat disebabkan
oleh adanya peningkatan sensifitas dari peredaran darah. Hal tersebut
merupakan akibat dari penyempitan pembuluh darah yang mengarah
pada Pre-eklampsia berat (Chapman, Charles, 2013).
7) Respirasi
Frekuensi pernafasan yang dihitung dalam 1 menit, respirasi normal 20
– 25 x/menit (Hani, 2011). Apabila terjadi kenaikan denyut nadi dapat
disebabkan oleh adanya peningkatan sensifitas dari peredaran darah
yang merupakan akibat dari penyempitan pembuluh darah yang
mengarah pada Preeklampsia berat (Chapman, Charles, 2013).
8) LILA
LILA normal ≥ 23,5 cm. LILA < 23,5 cm termasuk faktor resiko tinggi
(KEK) yang berkaitan dengan status gizi dan dapat berpengaruh
terhaadap terjadinya pre-eklampsia berat (Wiknjosastro, 2010).
b. Status Present
1) Kepala : warna rambut, kebersihan, rambut mudah rontok atau tidak
2) Mata : konjungtiva, sklera, kebersihan, kelainan, gangguan penglihatan
(rabun jauh/dekat), menurut Prawirohardjo (2010) pada preeklamsi
berat dapat terjadi pandangan kabur, skotomata, amaurosis yaitu
kebutaan tanpa jelas adanya kelainan, ablasio retinae (retinal
detachment).
3) Hidung : kebersihan, polip, nafas cuping hidung, kebersihan
4) Mulut : karies gigi, kebersihan mulut dan lidah, kelembapan bibir,
stomatitis, perdarahan gusi.
5) Telinga : kebersihan, gangguan pendengaran, terlihat massa
6) Leher : pembesaran kelenjar limfe, tiroid, vena jugularis
7) Dada : bentuk, retraksi dada, denyut jantung, gangguan pernapasan
(auskultasi), menurut Nugroho (2012) auskultasi paru pada penderita
preeklamsi berat untuk mendiagnosis edema paru.
8) Perut : bentuk, bekas luka operasi, menurut Prawirohardjo (2010) pada
preeklamsi terjadi nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen.
9) Vulva : pengeluaran pervaginam, keputihan, kebersihan.
10) Ekstremitas : bentuk, kelainan, pucat di ujung jari, oedem, varises,
reflek patella, menurut Prawirohardjo (2010) pada preeklamsi berat
terjadi edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema
generalisata.
11) Anus : hemoroid, kebersihan
(Sulistyawati, 2011)
a) Reflek Patela
Hiperrefleksia (3+ dan 4+) merupakan salah satu tanda preeklamsi
berat. Klonus biasanya terlihat menjelang eklamsia atau pada
eklamsia aktual. (Varney, 2007).
c. Status Obstetrik
1) Inspeksi
a) Muka : cloasma, menurut Prawirohardjo (2010) pada preeklamsi
berat terjadi edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau
edema generalisata.
b) Mammae : bentuk, hiperpigmentasi areola, teraba massa, nyeri atau
tidak, kolostrum, keadaan putting (menonjol, datar, masuk ke
dalam), kebersihan
c) Abdomen : striae, linea nigra.
d) Vulva : varises
(Sulistyawati, 2011)
2) Palpasi
a) Leopold I
Bertujuan untuk mengetahui TFU dan bagian janin yang ada di
fundus jika teraba bulat, melenting, maka itu kepala namun jika
teraba benda bulat, besar, lunak, tidak melenting maka itu bokong
janin.
Mengukur TFU, menggunakan tangan jika usia kehamilan < 12
minggu (Sulistyawati, 2011)
TFU diukur dengan menggunakan pita pengukur (metylen).
Pengukuran ini akurat dilakukan pada usia kehamilan 22-24
minggu. (Hani dkk, 2011)
b) Leopold II
Bertujuan untuk mengetahui bagian janin yang ada di sebelah
kanan atau kiri ibu. Jika teraba benda yang rata, terasa ada tahanan
maka itu adalah punggung namun jika teraba bagian-bagian yang
kecil dan menonjol maka itu adalah bagian kecil janin.
c) Leopold III
Bertujuan untuk mengetahui bagian janin yang ada di bawah
uterus. Jika teraba bagian bulat melenting, maka itu kepala namun
jika teraba benda bulat, besar, lunak, tidak melenting maka itu
bokong janin. Apabila bagian terbawah janin masih mudah
digoyangkan berarti bagian terbawah belum masuk panggul,
namun jika tidak dapat digoyangkan maka bagian terbawah sudah
masuk panggul. (Sulistyawati, 2011)
d) Leopold IV
Bertujuan untuk mengetahui seberapa besar bagian janin
(presentasi) yang sudah masuk panggul. (Sulistyawati, 2011)
TBJ : (TFU-n) x 155
n = 12 bila kepala diatas atau pada spina iskiadika
n = 11 bila kepala dibawah spina iskiadika (Pantiawati, 2010)
3) Auskultasi
Menurut Maryunani dan Yulianingsih (2009) fetal distress atau gawat
janin adalah respon kritis janin terhadap stress yang meliputi hipoksia
dan atau asidosis yang ditandai dengan denyut jantung janin
<100x/menit atau >180x/menit, dan atau air ketuban hijau kental.
d. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nugroho (2012) pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan
pada preeklamsi :
1) Pemeriksaan urin : untuk menentukan adanya proteinuria.
Pada preeklamsi berat ditemukan proteinuria > 5 g/24 jam atau +4
dalam pemeriksaan kualitatif. Proteinuria disebabkan kerusakan sel
glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran. (Prawirohardjo, 2010)
Langkah awal untuk pemeriksaan penunjang pada kecurigaan adanya
pre-eklampsia adalah pemeriksaan urine protein. Pada preeklamsia
berat terdapat protein urin lebih dari 5 g/ 24 jam atau 4 + dalam
pemeriksaan kualitatif. (Saifuddin, 2010)
Pemeriksaan darah
No. Tes Diagnostik Penjelasan
1. Hemoglobin dan Peningkatan Hb dan Hmt berarti :
hematokrit a. Adanya hemokonsentrasi yang
mendukung diagnosis preeklamsia.
b. Menggambarkan adanya hipovolemia.
Penurunan Hb dan Hmt bila terjadi
hemolisis.
2. Trombosit Trombositopenia menggambarkan
preeklamsia berat. Menurut Prawirohardjo
(2010:540), bila trombosit < 100.000
sel/ml.
3. Kreatinin serum, Peningkatannya menggambarkan :
asam urat a. Beratnya hipovolemia
serum, nitrogen b. Tanda menurunnya aliran darah ke
urea darah ginjal
(BUN) c. Oligouria
d. Tanda preeklamsia berat
Menurut Prawirohardjo (2010:539), asam
urat serum umumnya meningkat ≥ 5
mg/cc.Kadar kreatinin plasma mencapai ≥
1 mg/cc.
4. Transaminasi Peningkatan transaminase serum
serum (SGOT, menggambarkan preeklamsia berat dengan
SGPT) gangguan fungsi hepar.
5. Lactid acid Menggambarkan adanya hemolisis.
dehydrogenase
6. Albumin serum Menggambarkan kebocoran endoteldan
dan faktor kemungkinan koagulopati.
koagulasi

2. Assessment
a) Diagnosa kebidanan
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah
berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah
dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga dapat merumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik.
Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang dialami wanita yang
diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan hasil pengkajian. Masalah juga
sering menyertai diagnosis.
Diagnosis kebidanan adalah diagnosis yang ditegakkan bidan dalam
lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosis
kebidanan.
Cara penulisan diagnosis :
G… P… Ab… (kehamilan normal / dengan penyulit dan komplikasi)
G (gravid) : jumlah kehamilan yang dialami wanita
P (para) : jumlah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran
janin.
Ab (abortus) : jumlah kelahiran yang diakhiri dengan aborsi spontan
atau terinduksi pada usia kehamilan sebelum 20 minggu atau memiliki
berat kurang dari 500 gram.
(Hani dkk, 2011)
b) Masalah
Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman klien yang
ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosis. (Hani dkk,
2011)
c) Diagnosa Potensial
Pada langkah ini mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah yang lain juga. (Sulistyawati, 2011).
Diagnosa potensial pada kasus preeklamsi berat diantaranya :
1) Pada Ibu
 Sistem saraf pusat
Perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi
ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina
detachment, dan kebutaan korteks.
- Gastrointestinal-hepatik
Subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar.
 Ginjal
Gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
 Hematologik
DIC, trombositopenia.
 Kardiopulmonar
Edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau arrest
pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.
2) Pada Janin
 Intrauterine fetal growth restriction
 Prematuritas
 Sindroma distres napas
 Kematian janin intrauterin
(Prawirohardjo, 2010)
3. Identifikasi Perlunya Tindakan Segera, Konsultasi, Kolaborasi
Berdasarkan diagnosa potensial yang telah dirumuskan, bidan secepatnya
melakukan tindakan antisipasi agar diagnose diagnose potensial tidak benar –
benar terjadi. (Sulistyawati, 2009)
Pada kasus Pre-eklampsia Berat dapat dilakukan pemantauan terhadap ibu dan
janin antara lain :
a. Tekanan darah secara rutin setiap 15 menit
b. Keseimbangan cairan/ resusitasi cairan
1) Kanula intravena harus dipasang pada semua ibu yang menderita
preeklampsia berat untuk pemberian cairan
2) Pemberian cairan secara oral tetap dianjurkan
c. Pemantauan DJJ.
d. Kontrol ulang protein urine, dan edema
e. Kolaborasi dengan dr. SpOG untuk pemberian terapi dan tindakan
persalinan (Chapman, Charles. 2013).
4. Pelaksanaan
Menurut Cunningham (2013), tatalaksana aktif dan termniasi
kehamilan merupakan salah satu tata laksana preeklamsia yang disertai
dengan impending eklamsia (nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigastrium) yang merupakan tanda bahwa kejang akan segera terjadi dan
oligouria merupakan tanda bahaya lainnya.
a. Pengobatan medikamentosa
1) Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
2) Diberikan cairan :
 5 % Ringer-dekstrose atau cairan garam faali, jumlah tetesan < 125
cc/jam
 Infus Dekstrose 5 % yang setiap 1 liternya diselingi dengan infus
Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
3) Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24
jam.
4) Pemberian obat antikejang
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklamsia atau eklamsia.
Cara pemberian :
a) Loading dose : initial dose
4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
b) Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer / 6 jam, atau
diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian magnesium sulfat, maka
diberikan salah satu obat berikut : tiopental sodium, sodium
amobarbital, diazepam, atau fenitoin.
5) Pemberian antihipertensi
Menurut Belfort untuk pemberian antihipertensi bila tekanan darah ≥
160/110 mmHg.
Jenis obat hipertensi yang diberikan di Indonesia adalah Nifedipin
dengan dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam. (Prawirohardjo, 2010).
ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN
PADA NY. M UMUR 37 TAHUN G4P3A0 HAMIL 40 MINGGU DENGAN
PEB DI KLINIK PRATAMA NAWANG MEDISTA

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 20 April 2021 Jam : 16.00 WIB

Identitas pasien Penanggung Jawab


Status : Suami
Nama : Ny. M Nama : Tn. SP
Umur : 37 tahun Umur : 39 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Jawa/Indonesia Suku Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Kaligawe RT 02/04 Alamat : Kaligawe RT 02/04

B. PENGKAJIAN
I. DATA SUBYEKTIF
1. Alasan datang : ibu ingin melahirkan
2. Keluhan Utama : ibu mengatakan kenceng-kenceng, pusing, kadang
kadang mual
3. Riwayat Kesehatan
Sekarang :Ibu mengatakan tidak sedang menderita penyakit menurun,
seperti: DM, hipertensi, jantung,dan tidak sedang menderita
penyakit menular seperti: Hepatittis, TBC, HIV/AIDS.
Dahulu : Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit menurun,
seperti: DM, hipertensi, jantung, dan tidak pernah menderita
penyakit menular seperti: Hepatittis, TBC, HIV/AIDS.
Keluarga : Ibu mengatakan dalam keluarga ada riwayat penyakit menurun
yaitu hipertensi dari ibu pasien.
4. Riwayat Obstetri
a. Riwayat Haid
Menarch: 12 tahun Siklus : 28 hari
Lama : 7 hari Warna : merah segar
Banyak : 3 sampai 4 kali ganti pembalut Leokhorea : tidak ada
Nyeri haid: kadang-kadang dihari pertama
b. Riwayat kehamilan sekarang
1) Hamil ke 4, usia 40 minggu
2) HPHT : 14 Mei 2020
3) HPL : 21 Februari 2021
4) Gerak janin: Ibu merasakan janinnya aktif bergerak
5) TT : status TT ibu sudah T5
6) ANC: ANC kedelapan
7) Kekhawatiran khusus : ibu sedikit khawatir tentang keadaannya
8) Tanda Bahaya : tekanan darah ibu tinggi
c. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu :
Persalinan Nifas
Ha
Jenis Komplikasi BB La kom
mil Tgl Penolo
UK Persalina JK Lahi kta plika
Ke Lahir ng Ibu bayi
n r si si
13
9
1 Maret Spontan bidan - - perempuan 3000 + -
bulan
2007
2
9
2 Januari Spontan Bidan - - Perempuan 2800 + -
bulan
2012
26 Juli 9
3 Spontan Bidan - - Perempuan 3300 + -
2016 bulan
Hamil
4
ini

5. Riwayat Perkawinan
Pernikahan ke 1
Usia Nikah : Ibu 22 Tahun, Suami 24 Tahun
Status Pernikahan : Sah menurut agama dan hukum
Lama pernikahan : 15 Tahun
Hubungan dengan suami : Baik
6. Riwayat KB
Ibu mengatakan pernah menggunakan KB suntik 3 bulan
Jenis Kontrasepsi Lama Pemakaian Keluhan Alasan dilepas
Suntik 3 bulan 3 tahun - Ingin hamil lagi
Rencana setelah melahirkan : suntik 3 bulan
7. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Sebelum Hamil :
1) Makan
a) Frekuensi makan pokok : 3x per hari
b) Komposisi
 Nasi : 3x ½ piring sedang
 Lauk : 3 x 1 potong ikan/tahu/tempe/daging
 Sayuran : 2 x ½ mangkok sayuran hijau
 Buah : kadang-kadang
 Cemilan : 1 x sehari makanan ringan
c) Pantangan : tidak ada pantangan makanan
2) Minum
a) Jumlah total 6-8 gelas per hari, air putih dan es teh
b) Ibu tidak suka minum susu
3) Perubahan selama hamil ini
Frekuensi makan ibu saat ini meningkat, mudah lapar dan suka makan
cemilan
b. Pola Eliminasi
Sebelum Hamil
Ibu mengatakan BAB 1X per hari, dengan konsistensi sedang, warna
kuning kecokelatan, BAK 4 x/hari.
Selama Hamil
Ibu mengatakan BAB 2 hari sekali, dengan konsistensi sedang, warna
kecokelatan, BAK 6-7 x/hari.
c. Pola Istirahat
Sebelum Hamil
Ibu mengatakan tidur malam selama 8 jam dan tidur siang 1 jam.
Selama Hamil
Ibu mengatakan tidur malam selama 6 jam dan tidur siang 1 jam..
d. Pola Seksual
Sebelum Hamil
Ibu mengatakan melakukan hubungan seksual 3 x seminggu.
Selama Hamil
Ibu mengatakan melakukan hubungan seksual 1 x seminggu.
e. Personal Hygiene
Sebelum Hamil
Ibu mengatakan mandi dan gosok gigi sehari 2x, keramas 2-3x seminggu.
ganti pakaian dan celana dalam 2 x sehari, ibu rajin memakai alas kaki
jika keluar rumah.
Selama Hamil
Ibu mengatakan mandi, gosok gigi, ganti pakaian 2 x sehari, keramas 2-
3x seminggu.ibu ganti celana dalam 2 x per hari, ibu rajin memakai alas
kaki jika keluar rumah.
f. Aktivitas fisik dan olahraga
Sebelum hamil : aktivitas ibu sebagai ibu rumah tangga (menyapu,
memasak, mengepel, mencuci, dll) dan ibu tidak pernah olahraga
Selama hamil : Pada usia kehamilan ini ibu juga melakukan aktivitas
sebagai ibu rumah tangga.
g. Kebiasaan yang merugikan kesehatan
Ibu mengatakan tidak merokok/ konsumsi alkohol/ narkotika/ jamu
maupun obat-obatan.
h. Psiko,Sosial,Spiritual
1) Ibu mengatakan senang dengan kehamilanya, suami dan keluarga
mendukung.
2) Ibu hanya tinggal serumah dengan suami
3) .Ibu menjalankan shalat 5 waktu bersama suami
4) Ibu tidak pernah puasa sunah senin kamis
5) Ibu dapat menerima segala bentuk pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh nakeswanita maupun pria
6) Pengambil keputusan utama dalam keluarga adalah suami
7) Rencana tempat bersalin yang diinginkan adalah puskesmas
8) Penghasilan perbulan 3 juta
9) Adat istiadat disekitar ibu masil kental serta ibu memiliki seorang
nenek yang msh kejawen yang melarang ibu hamil keluar rumah saat
malam hari.
10) Ibu mengatakan belum paham tentang keluhan yang dialami saat ini,
karena pada kehamilan sebelumnya ibu tidak mengalami hal tersebut
II. DATA OBYEKTIF
a. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmenthis
TB :155 cm
BB : sebelum hamil 53 kg BB sekarang 62 kg
IMT : 25,8
LILA : 25 cm
Tekanan darah : 160/98 mmHg
Nadi : 82 kali per menit
Pernafasan : 20 kali per menit
Suhu : 36,5 0C
2. Status Present
Kepala : Mesochepal, bersih, tidak ada nyeri tekan.
Mata : Konjungtiva merah muda, sclera putih, reflek pupil
baik.
Hidung : simetris, tidak ada secret,tidak ada cuping hidung.
Mulut : Bersih, gigi tidak caries dan stomatitis.
Telinga : Tidak ada serumen,fungsi pendengaran baik.
Leher : Tidak ada pembesaran tyroid
Ketiak : Tidak ada benjolan
Dada : Tidak ada bunyi ronchi dan wheezing.
Perut : Tidak ada luka tidak ada nyeri tekan.
Ekstremitas : Jari lengkap, tidak ada turgor kulit.
Punggung : Tidak ada kelainan tulang belakang.
Anus : Tidak ada hemoroid.
3. Status Obstetri
a. Inspeksi
Muka : Tidak oedema, tidak ada cloasma gravidarum.
Mamae :Puting susu menonjol, hiperpigmentasi areola,
kolostrum sudah keluar
Abdomen :Terdapat linea nigra, membulat sesuai kehamilan.
Vulva : tidak ada varises, tidak bengkak, tidak oedem
Ekstremitas : kaki oedem.
Reflek patella : +/+
b. Palpasi
Leopold I : TFU 3 jari dibawah px, bagian fundus teraba bulat
lunak,tidak melenting
Leopold II : bagian perut kanan ibu teraba datar memapan dan
memanjang (punggung kanan)
Leopold III : bagian bawah teraba bulat keras melenting dan masih
bisa digoyang (kepala belum masuk panggul)
Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah masuk panggul
DJJ : 146 x/mnt
Mc. Donald : 30 cm, TBJ : 2945 gr
c. Pemeriksaan Dalam
VT buka 1 cm, ketuban utuh, portio tebal, kepala turun hodge 1, PPV
lendir darah.
a. Pemeriksaan penunjang :
Hb :12, 9 gr/%
Protein urine : positif 2

C. ANALISA DATA
Ny.M umur 37 tahun G4P3A0 hamil 38 minggu 6 hari kala I fase laten dengan
PEB
Masalah : tensi tinggi, oedem pada kaki, protein urine +2
Kebutuhan : Penatalaksanaan PEB

D. PENATALAKSANAAN
Tanggal 20 April 2021 Jam 16.10 WIB
1. Memberitahu ibu dan suami hasil pemeriksaan yang telah dilakukan bahwa
tensi ibu tinggi dan akan dilakukan rujukan
Hasil : ibu dan suami mengerti hasil yang telah diberikan bahwa tensi ibu tinggi
dan bersedia untuk dirujuk
2. Memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan
Hasil : Ibu dan suami menandatangani informed consent
3. Kolaborasi dengan dokter Puskesmas advice
a. Memasang infus RL 20 tpm, memasang O2 3 L/mnt dan memasang DC
Hasil : infus, O2 dan DC terpasang
b. Menyuntik MgSO4 40% 4 gr bolus lanjut MgSO4 40% 6 gr drip ke
dalam RL 500 ml 28 tpm
Hasil : MgSO4 4 gr sudah disuntikkan Dosis 6 gr sedang dilanjutkan
c. Memberikan ibu obat nifedipin 10 mg (3x1)
Hasil: ibu sudah meminum Nifedipin 10 mg
d. Rujuk ke RS
Hasil : pasien bersedia untuk dirujuk
4. Memberikan dukungan psikologis dan spiritual pada ibu dengan melibatkan
suami atau kelaurga
Hasil: ibu merasa tenang dan senantiasa berdoa kepada Alloh SWT
5. Menganjurkan ibu untuk rileksasi
Hasil : ibu bersedia
6. Melakukan pendokumentasian
Hasil : hasil pemeriksaan sudah di dokumentasikan
7. Merujuk pasien ke RSUP dr.Kariyadi Semarang
8. Hasil : pasien sudah sampai d UGD RSUP dr.Kariyadi Semarang

Semarang, Mei 2021


Pembimbing Lahan Praktikan

Heny Pujiastuti,Amd.Keb Yuke Astari


NIP.196707241988032007 NIM. P1337424820002

Mengetahui
Pembimbing Institusi

Sri Rahayu,S.Kp,Ns, S.Tr.Keb,M.Kes


NIP. 197408181998032001

CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien: No.RM:
Ny. M
Umur : 37 th Tanggal : 20 April 2021
Tanggal / Jam Catatan Perkembangan (SOAP) Nama dan
Paraf
20/April/2021 S: Ibu mengatakan kenceng-kenceng,kepala
17.30 WIB pusing
O:
KU : baik
Td : 158/89mmHg, N : 80 x/mnt, S :36˚C,
R : 20 x/mnt.
VT pembukaan 2 cm, ktuban positif, portio tebal,
kepala hodge 1, ppv lendir darah
A:
Ny. M umur 37 tahun, G4P3A0 hamil 38 minggu
6 hari kala I fase laten dengan PEB
P:
1. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan,
Hasil : ibu mengerti tentang keadaannya.
2. Kolaborasi dengan dokter SpOG
Hasil : dokter SpOG memberi advice
SC+MOW
3. Memberikan informed consent untuk
dilakukan SC+MOW
Hasil : suami setuju dan menandatangani
informed consent.
4. Menyiapkan pasien dengan mengganti baju OP
Hasil : ibu bersedia memakai baju OP
5. Kolaborasi dengan dokter anastesi
Hasil : dokter Acc untuk dilakukan
SC+MOW,post SC pindah ICU

PEMBAHASAN

Penulis telah melakukan Asuhan Kebidanan Kolaborasi pada Ny. M umur 37


tahun dengan PEB yang dimulai dari langkah pertama pengkajian data sampai
penatalaksanaan segera untuk menangani kegawatdaruratan yang ada tanggal 20
April 2021 di Klinik Nawang Medista, pengkajian dan penatalaksanaan pada kasus
ini didukung dengan evidence based dalam kebidanan.
A. Pengkajian
Pengkajian data subjektif dilakukan dengan 2 metode, yang pertama
alloanamnesa dimana menanyakan kepada orang lain bukan pasien terkait,
sedangkan auto anamnesa, yaitu anamnesa yang dilakukan langsung pada pasien
yang bersangkutan (Saifuddin, 2010). Anamesa pada kasus Ny M umur 37 tahun
dengan PEB dilakukan dengan auto anamesa, data didapat dari anamesa langsung
pada pasien.
Saat melakukan asuhan kegawatandaruratan pada Ny M dicantumkan
tanggal, jam dan tempat sebagai bukti atau consent bahwa penulis sudah
melakukan asuhan pada tanggal, jam dan tempat seperti yang dituliskan dalam
lembar tinjauan kasus.
1. Data Subyektif
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 20 April 2021 jam 09.00
WIB di Klinik Nawang Medista didapatkan Ny. M dengan alasan datang
kenceng-kenceng mau melahirkan.
Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi,proteinuria dan oedema
setelah umur kehamilan 20 minggu. Diagnosa preeklamsia adalah apabila
tekanan darah 90 sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg dan proteinuria
kualitatif 1 sampai kualitatif 2 (Poon, Nicolaides. 2014: 10). Adapun tanda
dan gejala preeklamsia ringan menurut teori tekanan darah ≥140/90 mmHg
dan ≤160/110 mmHg, pemeriksaan tes celup urin dengan Proteinuria
menunjukkan ≥300 mg/24 jam atau +1, kenaikan berat badan 1kg dalam
seminggu, bengkak pada wajah atau tungkai sedangkan gejala yang sering
timbul yaitu sakit kepala, pusing, serta penglihatan kabur atau berkunang-
kunang (Purwoastuti 2015).
Sedangkan pada kasus Ny”M” setelah dilakukan pengumpulan data
dan pemeriksaan didapatkan keluhan berupa ibu merasa sakit kepala dan
mengeluh pusing dan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 160/98 mmHg,
proteinuria +2 dan terdapat oedema pada kedua kaki.
Berdasarkan uraian diatas terdapat persamaan antara teori dengan
gejala yang timbul pada kasus preeklamsia pada masa kehamilan, sehingga
saya tidak ada hambatan yang berarti karena pada saat pengumpulan data -
data baik klien maupun keluarga dalam hal ini ibu selalu terbuka untuk
memberikan informasi sesuai dengan data yang diperlukan yang berhubungan
dengan keadaan ibu sehingga mempermudah dalam mengumpulkan data. Hal
ini membuktikan bahwa tidak ditemukan adanya kesenjangan antara teori dan
kasus
2. Data Obyektif
Berdasarkan teori Sigmund Freund tingkatan kesadaran terbagi
menjadi composmentis, apatis, somnolen, sopor, soporo coma, coma,
delirium. Dari pemeriksaan umum didapatkan kesadaran umum baik,
kesadaran composmentis, dengan TD 160/98 mmhg, N : 82 x/menit, RR :
20x/menit, S: 36,50C TB 155 cm, IMT 25,8 , LILA 25 cm, BB 62 kg. Dari
pemeriksaan inspeksi status present yang telah diinspeksi dalam batas normal.
3. Analisa
Analisa data dilakukan setelah melakukan anamnesis data subjektif dan
anamnesis data objektif. Analisis didalamnya mencangkup diagnosis aktual,
diagnosis masalah potensial serta seperlunya mengidentifikasi kebutuhan
tindakan segera untuk antisipasi masalah (Varney, 2008)
Dari data subyektif dan data obyektif yang telah dikaji maka dapat di
diagnosa Ny. M umur 37 tahun dengan PEB. Masalah yang muncul adalah
tensi ibu tinggi, terdapat oedem pada kedua kaki, protein urine +2. Diagnosa
potensial apabila tidak segera ditangani adalah eklamsia dan bisa sampai ke
kematian. Kebutuhan : penatalaksanaan PEB.
4. Penatalaksanaan
Dalam tinjauan pustaka tekanan darah yang normal ibu hamil yaitu
tekanan darah ≤140/90 mmHg, tidak terdapat proteinuria pada saat
pemeriksaan laboratorium dan tidak terdapat oedema pada kedua kaki atau
wajah. Dari hasil pemeriksaan dan penilaian didapatkan tekanan darah ibu
160/98 mmHg, terdapat oedem pada kedua kaki, protein urine +2 dan pusing,
tanda tanda itu menunjukkan ibu mengalami PEB. Tindakan segera berupa
kolaborasi dengan dokter Puskesmas untuk memberikan protab PEB untuk
mencegah terjadinya eklamsi dan kematian maternal. Dari analisa diatas
tenaga kesehatan memberikan intervensi segera yaitu sebagai berikut :
1. Memberitahu ibu dan suami hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
bahwa tensi ibu tinggi dan akan dilakukan rujukan
Hasil : ibu dan suami mengerti hasil yang telah diberikan bahwa
tensi ibu tinggi dan bersedia dirujuk
2. Memberikan Informed consent sebelum melakukan tindakan
Hasil : Ibu dan suami menandatangani informed consent
3. Kolaborasi dengan dokter Puskesmas advice
a. Memasang infus RL 20 tpm, Memasang O2 3 L/ mnt dan
memasang DC
Hasil : infus, O2 dan DC terpasang
b. Menyuntik MgSO4 40% 4 gr bolus lanjut MgSO4 40% 6 gr drip
ke dalam RL 500 ml 28 tpm
Hasil : MgSO4 $ gram sudah disuntikkan, Dosis 6 gr sedang
dilanjutkan
c. Memberikan ibu obat nefedipin 10 mg (3x1)
Hasil: ibu sudah meminum Nifedipin 10 mg
d. Rujuk ke RS
Hasil : pasien bersedia untuk dirujuk
4. Memberikan dukungan psikologis dan spiritual pada ibu dengan
melibatkan suami atau kelaurga
5. Hasil: ibu merasa tenang dan senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Esa
6. Menganjurkan ibu untuk rileksasi
Hasil : ibu bersedia
7. Melakukan pendokumentasian
Hasil : hasil pemeriksaan sudah di dokumentasikan
8. Merujuk pasien ke RSUD Tugurejo Semarang
Hasil : pasien sudah sampai d PONEK RSUD Tugurejo Semarang
Berdasarkan tinjauan manajemen asuhan kebidanan bahwa
melaksanakan rencana tindakan harus efisien dan menjamin rasa aman
pada klien. Implementasi dapat dilaksanakan seluruhnya oleh bidan
ataupun sebagian dilaksanakan pasien serta kerjasama dengan tim
kesehatan lainnya sesuai dengan tindakan yang telah direncanakan
(Mangkuji dkk, 2013).
Apabila preeklamsia ringan berubah menjadi preeklamsia berat
yang ditandai dengan tekanan darah ≥160/110 mmHg, pembengkakan pada
wajang dan tungkai serta proteinuria ≥+2, nyeri epigastrum, pandangan
kabur, perubahan kesadaran dan nyeri kepala maka akan dilakukan rawat
inap dan segere melakukan tindakan emergency yaitu segera masuk rumah
sakit, tirah baring kiri, segera memasang cairan infus cairan dextrose 5%
dimana setiap 1 liter diselingi dengan cairan infus RL (60-125cc/jam)
500cc, dan pemberian anti kejang/anti konvulsan magnesium sulfat
(MgSO4) sebagai pencegahan terjadinya kejang ataupun kejang yang
berulang (Marmi, dkk, 2014: 75).
Semua wanita memiliki risiko preeklampsia selama hamil, bersalin,
dan nifas. Preeklampsia tidak hanya terjadi pada primigravida/primipara,
pada grandemultipara juga memiliki risiko untuk mengalami eklampsia.
Misalnya pada ibu hamil dan bersalin lebih dari tiga kali. Peregangan rahim
yang berlebihan menyebabkan iskemia berlebihan yang dapat
menyebabkan preeklampsia (Suwanti, dkk. 2012).
Berdasarkan penelitian Ika Pratiwi,2015, Hasil penelitian yang
dilakukan menunjukkan responden yang mengalami preeklampsia sebagian
besar pada kategori paritas berisiko (<2 atau ≥4 kali) yaitu sebanyak 19
responden (31,67%) dari total 60 responden. Sedangkan responden yang
mengalami preeklampsia pada kategori paritas tidak berisiko (2-3 kali)
sebanyak 11 responden (18,33%). Responden yang tidak mengalami
preeclampsia sebagian besar pada kategori paritas tidak berisiko (2-3 kali)
sebanyak 22 responden (36,67%) dan kategori paritas berisiko (<2 atau ≥4
kali) sebanyak 8 responden (13,33%). Hasil analisis bivariat juga
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara paritas dengan
kejadian preeklampsia dengan hasil uji Chi Square (x2) sebesar 8,148
dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,004 (p<0,005). Nilai OR pada
penelitian ini adalah 4,750, yakni OR>1 menunjukkan bahwa factor yang
diteliti merupakan faktor resiko sehingga dapat disimpulkan bahwa paritas
merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini
sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh Legawati, Nang Randu
Utama 2017 tentang Analisis Faktor Risiko Kejadian Preeklamsi Berat Di
RSUD Rujukan Kabupaten Dan Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan
bahwa Faktor yang mempengaruhi Faktor risiko PEB adalah Umur ibu,
pendidikan, Umur kehamilan, paritas dan ANC
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang mengatakan ibu yang
mempunyai usia berisiko (< 20 tahun atau > 35 tahun) mempunyai faktor
risiko terjadinya preeklampsia (Bobak: 2000: 58) sedangkan usia 20-35
tahun merupakan usia reproduksi yang terbaik untuk hamil. Dalam
pelaksanaan tindakan asuhan kebidanan penulis tidak menemukan
hambatan yang berarti karena seluruh tindakan yang dilakukan sudah
berorientasi pada kebutuhan klien. Hal ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ajeng Dwi Imelda, Yeyen Putriana tentang
Penanganan awal kejadian Preeklamsi Berat dan Eklamsia Salah Satu RS
di Provinsi Lampung th 2018 menunjukkan bahwa dari 17 responden
pasien preeklamsia 14 orang mendapatkan penatalaksanaan sesuai protab
dan 3 orang tidak sesuai protab dan dari 8 pasien eklamsia yang
mendapatkan penatalaksanaan sesuai protab 6 orang dan 2 orang tidak
sesuai protab. Sehingga saran yang diberikan peneliti kepada tenaga
kesehatan agar meningkatkan kualitas pelayanan dengan memberikan
penatalaksanaan sesuai protab sehingga dapat menurunkan angka kematian
ibu.
Begitu juga dengan Jurnal Kesehatan Yang diterbitkan pada 23 Nov
2016 oleh Ka. Unit TI menunjukkan bahwa Tidak ada pengaruh pemberian
MgSO4 pada pasien Preeklamsi Berat Di tempat Pra Rujukan Rsup
Fatmawati terhadap kejadian Eklamsia ini Disebabkan kondisi pasien yang
memburuk dan dosis pemberian MgSO4 tidak sesuai Standar sehingga
tidak memberikan efek pencegahan terhadap kejadian Eklamsia.
Penelitian yang dilakukan oleh Cipta Pramana tentang Kajian Sistem
Rujukan Kasus Preeklamsia Berat/ Eklamsi di RSUD Kota Semarang April
2015 menunjukkan bahwaSebagian besar tkasus PEB /E merupakan
rujukan dari Bidan dan sebagian besar tidak diberikan MgSO4 sebelum
dirujuk
DAFTAR PUSTAKA

Cunnigham, FG., et al. 2013. Obstetri William. Jakarta : EGC.

Febria Syafyu Sari Akper Nabila Padang Panjang. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi
Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Praoperatif.
MENARA Ilmu Vol. XI Jilid 1 No.75 April 2017.

Hani, Ummi. Dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Kehamilan Fisiologis. Jakarta :
Salemba Medika

Marmi. 2014. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Nanang, Q. (2013). Tindakan keperawatan yang diterima pasien preoperatif di


bangsal bedah RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diakses 3 Maret 2015.
http://medicahospitalia.rskariadi.co .id/index.php/mh/article/view/73/6

Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika

Pantiawati, Ika. Saryono. 2010. Asuhan Kebidanan 1 Kehamilan. Yogyakarta : Nuha


Medika

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

-----------------------------2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono

Rukiyah, Ai Yeyeh. dkk. 2010. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Jakarta : Trans


Info Media

Smertzer & Bare.(2013) Manual for the Depression Anxiety & Stress Scales (Second
edition). Psychology Foundation.Diakses dari www.Serene.
Me.Uk.diakses pada tanggal 29 Agustus 2016 pukul 16.56 wib)

Sulistyawati, Ari. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta : Salemba
Medika

Yulia Fauziyah, 2016. Obsterti Patologi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan


Keprawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai