Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY. Z DENGAN DIAGNOSA PEB IMPENDING EKLAMSIA + BSC


+ OBESITAS GRADE 3 DI RUANG DRUPADI II RSUD JOMBANG

DI SUSUN OLEH :

DEWI ZAKIYAH

PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BAHRUL ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan dengan diagnosis PEB


Impending Eklamsia + BSC + Obesitas Grade 3 pada Ny. Z di Ruang Drupadi II
RSUD Jombang yang dimulai pada tanggal 14 November 2022, telah disahkan
dan disetujui oleh :

Jombang, 14 November 2022

Mahasiswa

(Dewi Zakiyah)

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

Mengetahui
Kepala Ruangan Drupadi II

( )
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PRE EKLAMPSIA DAN IMPENDING EKLAMPSIA


Preeklampsia adalah kelainan multisystem spesifik pada kehamilan yang
ditandai oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20
minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria
meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ
(termasuk gangguan pertumbuhan janin) (Lana, 2004).
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Preeklampsia ringan
a. Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik 
15 mmHg.
b. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
c. Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 
1 kg per minggu.
d. Proteinuria kuantitatif  0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau mid stream.
2. Preeklampsia berat
Definisi: preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5
gram/24 jam.
Dibagi menjadi:
a. Preeklamsia berat dengan impending eklampsia
b. Preeklamsia berat tanpa impending eklampsia (Angsar, 2003).
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110
mmHg atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani
perawatan di RS dan tirah baring
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4
dipstik
c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
d. Kenaikan kreatinin serum
e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur
f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen
karena teregangnya kapsula Glisson
g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
h. Hemolisis mikroangiopatik
i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
j. Pertumbuhan janin terhambat
k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit
dengan cepat
l. Sindroma Hellp.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-
gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain, nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperrefleksiia, eksitasi
motorik dan sianosis (Rambulangi, 2003).
3. Patofisiologi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang secara
teori dapat memengaruhi seluruh sistem organ manusia (Cunningham et al.,
2010). Patogenesis terjadinya preeklampsia sendiri masih belum diketahui
secara pasti. Namun, sudah banyak penelitian terkait perjalanan sindrom ini.
Secara umum, setidaknya ada 4 faktor utama yang mungkin menjadi
penyebab preeklampsia, yaitu:

a. Implantasi plasenta (plasentasi) dengan invasi trofoblastik yang abnormal


pada arteri spiralis

Pada kehamilan yang normal, terjadi invasi sel trofoblas ke dalam


lapisan otot arteri spiralis, menimbulkan degenerasi lapisan otot,
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis (remodelling). Hal ini
menyebabkan aliran darah ke janin tercukupi (Cunningham et al., 2010).
Pada preeklampsia, diduga terjadi invasi sel trofoblas yang abnormal,
sehingga terjadi kegagalan remodelling dari arteri spiralis. Lumen arteri
spiralis yang demikian tidak memungkinkan untuk terjadi vasodilatasi,
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta. Penyebab invasi sel trofoblas yang abnormal ini belum
jelas, sehingga teori ini masih merupakan dugaan saja

Gagalnya remodelling plasentasi menyebabkan darah maternal


masuk ke rongga antar vili dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi.
Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen yang fluktuatif, terjadi
hipoksia, yang selanjutnya membentuk stres oksidatif yang akan
menyebabkan proses inflamasi pada ibu. Oleh karenanya teori kegagalan
plasentasi ini sangat berkaitan dengan teori stimulus inflamasi sebagai
penyebab preeklampsia.

b. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler dan perubahan


terkait inflamasi dalam kehamilan normal

Pada kehamilan normal, pembuluh darah bersifat refrakter (tidak


peka) terhadap agen vasopressor. Hal ini disebabkan karena pembuluh
darah dilindungi oleh sintesis prostasiklin pada sel endotel pembuluh
darah. Pada kejadian preeklampsia, pembuluh darah kehilangan daya
refrakternya, sehingga lebih peka terhadap agen vasopressor. Oleh
karenanya pembuluh darah menjadi lebih mudah terjadi vasokonstriksi,
yang dapat menyebabkan hipoksia dan stress oksidatif (Cunningham et
al., 2010).

Stress oksidatif yang berlebihan menyebabkan penyebaran lipid


plasenta dan modifikasi protein oksidatif yang mana merupakan pro
inflamasi kuat. Stress oksidatif juga menyebabkan stres pada mitokondria
dan retikulum endoplasma, menyebabkan apoptosis dan nekrosis
jaringan. Nekrosis dan apoptosis dari trofoblas menghasilkan debris-
debris yang akan beredar dalam sirkulasi darah dan menyebabkan
terjadinya inflamasi. Selanjutnya respon inflamasi ini akan mengaktivasi
sel endotel (via IL-6), sel makrofag/ granulosit, sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada
ibu.

c. Toleransi imunologi yang maladaptif antara jaringan


maternal, paternal (plasental), dan fetal

Pada kehamilan normal, sistem imunitas tidak menolak hasil


konsepsi yang seharusnya bersifat asing. Hal ini disebabkan karena
adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan
dalam modulasi respon imunitas, sehingga tubuh ibu menerima hasil
konsepsi. HLA-G ini melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Killer (NK) ibu. HLA-G juga mempermudah invasi sel trofoblas
ke dalam jaringan desidua ibu. Invasi ini penting agar jaringan desidua
menjadi lunak dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi
arteri spiralis. Pada preeklampsia, kemungkinan terjadinya sistem
imunitas yang maladaptif (gagal beradaptasi) sehingga proses di atas
tidak terjadi (Cunningham et al., 2010).

Selain HLA-G, HLA-C yang diekspresikan oleh sel trofoblas yang


invasif juga diduga berkaitan dengan toleransi imunologi yang
maladaptif pada kehamilan. HLA-C merupakan ligan yang dominan
untuk Killer Immunoglobulin-like Receptor (KIR) yang diekspresikan
oleh sel NK ibu. Hasil konsepsi yang sudah berupa embrio akan
mengekspresikan antigen paternal (HLA-C), yang mana merupakan
sesuatu yang asing bagi ibu (dikenali oleh sel T dan sel NK). Oleh
karenanya diperlukan regulasi sistem imunitas yang baik agar kehamilan
dapat tetap berlangsung. HLA-C yang polimorfis memiliki 2 haplotipe,
yaitu A dan B. Menurut penelitian, ibu dengan KIR genotip AA memiliki
risiko lebih besar untuk terjadi preeklampsia. Sedangkan fetus dengan
paternal HLA-C2 juga berisiko untuk menyebabkan preeklampsia.
Kombinasi dari keduanya akan sangat meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia.

d. Faktor genetik (gen predisposing dan epigenetik)

Setidaknya ada sekitar 178 gen yang dicurigai berkaitan dengan


kejadian preeklampsia melalui berbagai proses biologis yang berbeda-
beda, mulai dari proses apoptosis, siklus sel, pertumbuhan sel, adhesi sel,
dan lain-lain (Jebbink et al., 2012). Belum jelas gen mana saja yang
memiliki andil besar dalam patofisiologi preeklampsia.
4. Diagnosis
Diagnosis gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan.

Hipertensi gestasional
o TD > 140/90 mmHg untuk pertama kali selama kehamilan
o Tidak ada proteinuria
o TD kembali normal setelah <12 minggu postpartum.
o Diagnosis akhir hanya dapat dibuat postpartum
o Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklamsi, misalnya
nyeri epigastrium atau trombositopenia
Preeklamsia
Kriteria minimum
 TD > 140/90 mmHg setelah gestasi 20 minggu
 Proteinuria > 300mg/24 jam atau > +1 pada dipstik
Peningkatan kepastian preeklamsi
 TD > 160/100 mmHg
 Proteinuria > 0,2g/24 jam atau > +2 pada dipstik
 Kreatinin serum > 1,2 mg/dl kecuali apabila telah diketahui
meningkat sebelumnya
 Trombosit <100.000/mm3
 Hemolisis mikroangiopati (LDH meningkat)
 SGPT (ALT) atau SGOT (AST) meningkat
 Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan
lainnya
 Nyeri epigastrium menetap
Eklampsia
 Kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita
dengan preklamsi
 Preeklamsi pada hipertensi kronik
 Proteinuria awitan baru > 300 mg/24 jam pada wanita pengidap
hipertensi tetapi tanpa proteinuria sebelum gestasi 20 minggu
 Terjadi peningkatan proteinuria atau tekanan darah atau hitung
trombosit < 100.000 /mm3 secara mendadak pada wanita dengan
hipertensi dan proteinuria sebelum gestasi 20 minggu

Hipertensi kronik
 TD > 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis
sebelum gestasi 20 minggu
 Hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah gestasi 20
minggu dan menetap setelah 12 minggu postpartum (Marjono,
1999).
Diagnosis dari preeklamsia berat dapat ditentukan secara klinis maupun
laboratorium.
Klinis :
- Nyeri epigastrik
- Gangguan penglihatan
- Sakit kepala yang tidak respon terhadap terapi konvensional
- Terdapat IUGR
- Sianosis, edema pulmo
- Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau ≥ 110 mmHg untuk tekanan
darah diastolik (minimal diperiksa dua kali dengan selang waktu 6 jam)
- Oliguria (< 400 ml selama 24 jam)
Laboratorium :
- Proteinuria (2,0 gram/24 jam atau > +2 pada dipstik)
- Trombositopenia (<100.000/mm3)
- Creatinin serum >1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat
sebelumnya
- Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)
- Peningkatan LFT (SGOT,SGPT) (Wibowo, 2005).
5. Differential Diagnosis
a. Hipertensi gestasional
b. Hipertensi kronik
6. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial
serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat
(Angsar, 2003).
Pada preeklamsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.
Karena preeklamsia sendiri bisa membunuh janin.
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi,
dan kemudian ditentukan jenis perawatan/tindakannya. Perawatannya
dapat meliputi :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.
2). Janin :
a). Adanya tanda-tanda gawat janin
b). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
3). Laboratorium :
Adanya sindroma HELLP .
Pengobatan Medikamentosa
1). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
2). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
3). Pemberian obat : MgSO4.
b. Pengelolaan Konservatif
Pengelolaan konservatif ini berarti bahwa kehamilan tetap
dipertahankan
Indikasi
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklamsi dengan keadaan janin baik (Sarwono, 2005).
Medikamentosa
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO 4
40% 8 gr i.m.).
Penggunaan obat hipotensif pada preeklamsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Namun, dari penggunaan obat-
obat antihipertensi jangan sampai mengganggu perfusi uteropalcental.
OAH yang dapat digunakan adalah hydralazine, labetolol, dan
nifedipin.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20
% secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat
ini masih kontroversi.
Untuk penderita preeklamsia diperlukan anestesi dan sedativa
lebih banyak dalam persalinan. Namun, untuk saat ini teknik anestesi
yang lebih disukai adalah anestesi epidural lumbal.
Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan
dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi,
hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat
janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II
dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum (Sarwono,
2005).

7. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra
uterin (Rambulangi, 2003).
8. Komplikasi
a. Proteinuria
Penurunan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh menurunnya aliran
darah ke ginjal akibat hipovolemia dan kerusakan sel glomerulus. Hal
ini mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis,
terjadi kebocoran, sehingga terjadi proteinuria. Selain itu,
ketidakseimbangan peroksida lipid akibat preeklampsia menghambat
pembentukan siklooksigenase dan prostasiklin sintase, yang akan
menurunkan jumlah prostasiklin, mengakibatkan proteinuria
(Cunningham et al., 2010).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan proses akhir dari
vasokonstriksi pembuluh darah akibat kerusakan endotel dan proses
inflamasi yang disebabkan oleh preeklampsia. Peningkatan diastol
utamanya diakibatkan oleh peningkatan resistensi perifer, sedangkan
sistol menunjukkan besarnya curah jantung (Cunningham et al., 2010).
c. Eklampsia
Eklampsia merupakan kejang tonik-klonik yang merupakan akibat
akhir dari hipoperfusi jaringan, vasokonstriksi pembuluh darah, dan
pengaktifan kaskade koagulasi pada preeklampsia. Eklampsia
merupakan suatu ensefalopati hipertensif, yaitu ketika resistensi
vaskuler serebral berkurang, sehingga terjadi peningkatan aliran
pembuluh darah ke otak, oedema serebral, dan selanjutnya konvulsi
(Cipolla, 2007).
d. Hemolisis
Preeklampsia yang cukup parah sering diikuti dengan hemolisis,
yang mana dapat dilihat dari jumlah lactate dehydrogenase (LDH)
atau keberadaan sel ekinosit pada darah tepi. Hal ini disebabkan karena
hemolisis mikroangiopati akibat disrupsi endotelial dengan adhesi
platelet dan deposit fibrin, sehingga menyebabkan aliran darah yang
kencang (Cunningham et al., 2010).
e. Trombositopenia
Karena banyaknya cedera jaringan akibat proses inflamasi dan
kerusakan sel endotel, konsumsi trombosit menjadi berlebihan
(aktivasi kaskade koagulasi). Kurangnya jumlah prostasiklin juga ikut
mengakibatkan trombositopenia (Cunningham et al., 2010).
f. Peningkatan enzim hepar
Proses disfungsi multiorgan yang paling banyak terjadi pada
preeklampsia yaitu disfungsi hepar. Perdarahan pada sel periportal
lobus perifer menyebabkan nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim
hepar. Perdarahan ini meluas hingga bawah kapsula hepar, subkapsular
hematoma, yang menimbulkan rasa nyeri di epigastrium (salah satu
tanda impending eklampsia) (Cunningham et al., 2010).
g. Gangguan neurologik
Nyeri kepala, mual, muntah disebabkan oleh hipoperfusi otak,
menimbulkan vasogenik edema. Akibat vasospasme arteri retina dan
edema retina, terjadi gangguan visus (skotomata/ blurred vision/
diplopia) (Cunningham et al., 2010).
HELLP syndrome memiliki pengertian adanya hemolysis yaitu
terjadinya peningkatan pemecahan eritrosit yang akan ditandai dengan
Hb yang turun < 12 g/dl, laktat dehidrogenase > 600 ul/l dan bilirubin
yang meningkat > 1.2 mg/dl, elevated liver enzyms (liver function)
nampak pada hasil SGOT dan SGPT yang juga mengalami
peningkatan melebihi nilai normalnya dan serum aspartat
amniotransferase > 70 U/L, dan low platelets counts terlihat dari angka
trombosit yang menurun dibandingkan nilai normal, yaitu < 150.000
u/l. Diagnosis HELLP syndrome ditegakkan bila didapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium yang abnormal dari ketiga komponen di atas
pada trismester III di usia kehamilan 26-40 minggu. Jika hanya
memenuhi 1 atau 2 dari 3 kriteria, maka disebut dengan partial HELLP
syndrome.
Penanganan yang paling mungkin dari pasien HELLP adalah
segera melahirkan bayinya. Selama tindakan konvensional masih
berjalan, maka tatalaksana yang dilakukan seperti pada
penatalaksanaan PEB dengan ditambahkan pemberian transfusi pada
pasien jika didapatkan low platelet count. HELLP syndrome biasa
merupakan tanda awal terjadinya preeklampsia. Gejala dan tanda yang
biasanya nampak berupa nyeri kepala, retensi cairan dengan
peningkatan berat badan, nyeri perut atas, dan pandangan kabur. Dari
pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya pembesaran hati dan
peningkatan tekanan darah melebihi nilai normal.
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien ini adalah terjadi
gangguan koagulopati berupa Disseminated Intravaskular Coagulation
(DIC), edem pulmo, gagal ginjal, dan placental abruption (Budiono,
2009 ; William, 2010).
B. OBESITAS
1. Definisi
Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya
ketidakseimbangan antara berat badan dan tinggi badan hal ini
disebabkan karena adanya jaringan lemak yang berlebih di dalam tubuh
sehingga menyebabkan terjadi berat badan yang berlebih atau
obesitas23 . Beberapa ahli yang lain menyatakan bahwa berat badan
merupakan keadaan akumulasi lemak yang berlebih dan dapat
mempengaruhi kesehatan tubuh. Salah satu cara yang biasanya
digunakan untuk mengetahui berat badan berlebih atau tidak adalah
dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). IMT dapat dihitung
dengan cara membagi berat badan (dalam satuan kilogram) dengan
kuadrat dari tinggi (dalam satuan meter), setelah didapatkan hasil dari
penjumlahan maka hasilnya dibulatkan menjadi satu desimal.
Obesitas saat kehamilan umumnya dapat terjadi pada wanita
dengan usia berapun, namun biasanya berat badan akan lebih meningkat
pada ibu yang berusia lebih dari 35 tahun. Normalnya kenaikan berat
badan pada masa kehamilan adalah 12-16 kg, jika kenaikan berat badan
lebih dari itu ibu hamil beresiko mengalami obesitas. Ibu yang
mengalami obesitas beresiko mengalami penyakit yang lain seperti
diabetes gastasional, hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia .
Penentuan obesitas pada ibu hamil sering kali menggunakan metode
pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) dibanding dengan metode
yang lainnya seperti metode rasio waist-to-hip circumferrencia,
pengukuran lingkar pinggang termasuk juga dengan menggunakan alat-
alat seperti USG (Ultrasonografi), MRI (Magnetic Resonance Imaging)
dan CT-scan (Computed Tomography Scanning).
2. Etiologi dan faktor resiko obesitas pada kehamilan
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadi obesitas
selama kehamilan yaitu faktor herediter (faktor internal) dan faktor non
herediter (faktor eksternal). Faktor herediter terdiri dari riwayat keluarga,
sedangkan faktor non herediter teridiri dari aktivitas fisik dan pola
makanan. Riwayat keluarga dapat menjadi faktor obesitas pada ibu
obesitas saat masa kehamilan hal ini dikarenakan unsur lemak yang
terdapat didalam tubuh dengan jumlah yang banyak atau tidak normal,
secara otomatis akan diturunkan pada keluarga, selain itu riwayat
keluarga yang mempunyai gaya hidup dan mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi makanan tertentu dapat menjadi faktor terjadi nya
obesitas dalam masa kehamilan.
Pola makan pada ibu hamil, ibu hamil dengan obesitas akan
makan jika ia ingin makan, bukan karena kebutuhan akibat lapar, hal ini
dapat menyebabkan terjadi peningkatan asupan energi yang berlebih
dengan kandungan lemak dan karbohidrat yang tinggi, jika hal ini
dilakukan secara terus menerus tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik
dapat meningkatkan resiko obesitas pada ibu hamil. Aktivitas fisik juga
berpengaruh terhadap terjadinya obesitas pada ibu hamil, aktivitas fisik
yang teratur berpengaruh terhadap pengeluaran kalori tubuh yang teratur,
dalam hal ini dapat disimpulkan kurangnya aktivitas fisik pada ibu hamil
dapat menyebabkan terjadi nya penumpukan lemak sehingga dapat
menyebabkan obesitas pada ibu hamil.
3. Patofisiologi
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh 3 mekanisme
fisiologi yaitu mempengaruhi laju pengeluaran energi, regulasi sekresi
hormone dan mengendalikan rasa lapar dan kenyang. Proses
penyimpanan energi terjadi melalui sinyal-sinyal eferen setelah
mendapatkan sinyal aferen dan perifer. Sinyalsinyal tersebut bersifat
anabolik serta dapat juga bersifat katabolik, dan dibagi menjadi 2
kategori sinyal, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
berpengaruh terhadap porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
juga dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal yang
diperankan oleh kolesistokinin (hormon yang menyebabkan terjadinya
kontraksi kadung empedu) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh insulin yang mengatur
penyimpanan dan keseimbangan energi dan hormon leptin (hormon
untuk metabolisme).
Kebutuhan energi melebihi dari yang dibutuhkan akan
menyebabkan terjadinya peningkatan jaringan adipose yang disertai
dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin nantinya
akan merangsang anorexigenic center di hipotalamus untuk menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu
makan. Sebaliknya, jika kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi
maka jaringan adipose akan berkurang sehingga menyebabkan terjadi
nya rangsangan anorexigenic center dibagian hipotalamus sehingga
terjadilah peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar orang yang
mengalami obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar
leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
C. SECTIO CAESARIA
a. Definisi
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut
juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar,
1998)
1. Indikasi SC :
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar section caesarea
adalah
a. Prolog labour sampai neglected labour.
b. Ruptura uteri imminen
c. Fetal distress
d. Janin besar melebihi 4000 gr
e. Perdarahan antepartum (Manuaba, 2001)
Sedangkan indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan
sectio adalah :
a. Malpersentasi janin
1) Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah
jalan /cara yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala
letak lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua
primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio
caesarea walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara
dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong dengan cara lain.
2) Letak belakang
Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang
bila panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
b. Plasenta previa sentralis dan lateralis
c. Presentasi lengkap bila reposisi tidak berhasil.
d. Gemeli menurut Eastman, sectio cesarea dianjurkan bila janin
pertama letak lintang atau presentasi bahu, bila terjadi interior
(looking of the twins), distosia karena tumor, gawat janin dan
sebagainya.
e. Partus lama
f. Partus tidak maju
g. Pre-eklamsia dan hipertensi
h. Distosia serviks
2. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio
Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan
kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah
defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada
pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan
insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah
insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin
yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka
post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah
risiko infeksi.
3. Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi
kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.
4. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
a. Abdomen (SC Abdominalis)
1. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang
pada corpus uteri.
Sectio caesarea profunda : dengan insisi pada segmen bawah
uterus.
2. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis
dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
b. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila:
- Sayatan memanjang (longitudinal)
- Sayatan melintang (tranversal)
- Sayatan huruf T (T Insisian)
c. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira 10cm.
Kelebihan :
- Mengeluarkan janin lebih memanjang
- Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
- Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
- Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
- Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
- Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
- Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi.
Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
d. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan :
- Penjahitan luka lebih mudah
- Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
- Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
- Perdarahan kurang
- Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan :
- Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
- Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
5. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya
peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum
atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan
vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali,
terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC
transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Komplikasi - komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan
embolisme paru - paru
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya
perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan
sesudah sectio caesarea klasik.
6. Prognosis
Dengan kemajuan teknik pembedahan, adanya antibiotika dan
persediaan darah yang cukup, pelaksanaan sectio ceesarea sekarang jauh
lebih aman dari pada dahulu.
Angka kematian di rumah sakit dengan fasilitas baik dan tenaga yang
kompeten < 2/1000. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
pembedahan adalah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi
pembedahan dan lamanya persalinan berlangsung.
Anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria nasibnya tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut
statistik, di negara - negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal
yang baik, angka kematian perinatal sekitar 4 - 7% (Mochtar, 1998).
7. Pemeriksaan Penunjang
- Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
- Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
- Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
- Urinalisis / kultur urine
- Pemeriksaan elektrolit
8. Penatalaksanaan Medis Post SC
a. Pemberian cairan
b. Diet
c. Mobilisasi
d. Kateterisasi
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan (Manuaba, 1999).
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Tahap dasar dari seluruh proses keperawatan dengan tujuan
mengumpulkan informasi dan data-data pasien. Supaya dapat
mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.

2. Diagnosa keperawatan

a) Risiko perfusi miokard tidak efektif b/d hipertensi

b) Berat badan lebih b/d kenaikan berat badan

3. Intervensi

1. Risiko perfusi miokard tujuan : setelah dilakukan Pemantauan tanda vital


tidak efektif b/d tindakan keperawatan
hipertensi selama 2x 24 jam Observasi :
diharapkan masalah dapat 1. Monitor tekanan darah
Sdki D.0014 hal: 46 teratasi dengan
2. Monitor nadi (frekuensi,
kekuatan, irama)
KH : 3. Monitor pernapasan
- tekanan darah cukup ( frekuensi, kedalaman)

- tekanan arteri cukup 4. Monitor suhu tubuh

- takikardi cukup 5. Monitor oksimetri nadi

-bradikardi cukup 6. Monitor tekanan nadi


7. Identifikasi penyebab
perubahan tanda vital
Terapeutik :
8. Atur interval
pemantauan sesuai
kondisi pasien
9. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
10. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
11. Informasikan hasil
pemantauan
Kolaborasi :
12. Kolaborasi dengan tim
medis
2. Berat badan lebih b/d Tujuan: setelah dilakukan Manajemen berat badan
kenaikan berat badan tindakan keperawatan
selama 2x 24 jam SIKI I.03097
diharapkan masalah dapat Observasi :
teratasi dg
SDKI D.0018 hal : 54 1. Identifikasi kondisi
kesehatan pasien yang
KH : dapat mempengaruhi
berat badan
- Berat badan cukup
Terapeutik :
- Tebal lipatan cukup
2. Hitung berat badan ideal
- Indeks massa tubuh pasien
cukup
3. Hitung persentase lemak
dan otot pasien
4. Fasilitasi menentukan
target berat badan yang
realistis
Edukasi :
5. Jelaskan hubungan
antara asupan makanan,
aktivitas fisik,
penambahan berat badan
dan penurunan berat
badan
6. Jelaskan faktor resiko
berat badan lebih dan
berat badan kurang
7. Jelaskan mencatat berat
badan setiap minggu
8. Anjurkan melakukan
pencatatan asupan
makan, aktivitas fisik
dan perubahan berat
badan
Kolaborasi:
9. Kolaborasi dengan ahli
gizi dan tim medis
DAFTAR PUSTAKA

Ananth K, Bdolah Y, Vikas P, Sukhatme (2004). Angiogenic Imbalance in the


Patophysiology of Preeclampsia : Newer Insight. Semin Nephrol. 24: 548-
556. Elsevier Inc.
Angsar MD. 2003. Hipertensi Dalam Kehamilan. Bagian Obstetri Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Pp: 3-8

Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis).


Surabaya: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr.
Sutomo.

Budiono W (2009). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham, FG,Leveno KJ,Bloom SL,Hauth JC,Rouse DJ, andSpong CY


(2013). Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics23th Edition.
USA: The McGraw-Hil Companies.
Cunningham, FG. Et all. 2010. Obstetri Williams. USA:McGraw Hill

Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Lana K. Wagener, M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeklampsia.
American Family Physician. Volume 70, Number 12 Pp : 2317-
24.http://www. Aafp.org

Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai