DI SUSUN OLEH :
DEWI ZAKIYAH
Mahasiswa
(Dewi Zakiyah)
( ) ( )
Mengetahui
Kepala Ruangan Drupadi II
( )
LAPORAN PENDAHULUAN
Hipertensi gestasional
o TD > 140/90 mmHg untuk pertama kali selama kehamilan
o Tidak ada proteinuria
o TD kembali normal setelah <12 minggu postpartum.
o Diagnosis akhir hanya dapat dibuat postpartum
o Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklamsi, misalnya
nyeri epigastrium atau trombositopenia
Preeklamsia
Kriteria minimum
TD > 140/90 mmHg setelah gestasi 20 minggu
Proteinuria > 300mg/24 jam atau > +1 pada dipstik
Peningkatan kepastian preeklamsi
TD > 160/100 mmHg
Proteinuria > 0,2g/24 jam atau > +2 pada dipstik
Kreatinin serum > 1,2 mg/dl kecuali apabila telah diketahui
meningkat sebelumnya
Trombosit <100.000/mm3
Hemolisis mikroangiopati (LDH meningkat)
SGPT (ALT) atau SGOT (AST) meningkat
Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan
lainnya
Nyeri epigastrium menetap
Eklampsia
Kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita
dengan preklamsi
Preeklamsi pada hipertensi kronik
Proteinuria awitan baru > 300 mg/24 jam pada wanita pengidap
hipertensi tetapi tanpa proteinuria sebelum gestasi 20 minggu
Terjadi peningkatan proteinuria atau tekanan darah atau hitung
trombosit < 100.000 /mm3 secara mendadak pada wanita dengan
hipertensi dan proteinuria sebelum gestasi 20 minggu
Hipertensi kronik
TD > 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis
sebelum gestasi 20 minggu
Hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah gestasi 20
minggu dan menetap setelah 12 minggu postpartum (Marjono,
1999).
Diagnosis dari preeklamsia berat dapat ditentukan secara klinis maupun
laboratorium.
Klinis :
- Nyeri epigastrik
- Gangguan penglihatan
- Sakit kepala yang tidak respon terhadap terapi konvensional
- Terdapat IUGR
- Sianosis, edema pulmo
- Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau ≥ 110 mmHg untuk tekanan
darah diastolik (minimal diperiksa dua kali dengan selang waktu 6 jam)
- Oliguria (< 400 ml selama 24 jam)
Laboratorium :
- Proteinuria (2,0 gram/24 jam atau > +2 pada dipstik)
- Trombositopenia (<100.000/mm3)
- Creatinin serum >1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat
sebelumnya
- Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)
- Peningkatan LFT (SGOT,SGPT) (Wibowo, 2005).
5. Differential Diagnosis
a. Hipertensi gestasional
b. Hipertensi kronik
6. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial
serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat
(Angsar, 2003).
Pada preeklamsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.
Karena preeklamsia sendiri bisa membunuh janin.
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi,
dan kemudian ditentukan jenis perawatan/tindakannya. Perawatannya
dapat meliputi :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.
2). Janin :
a). Adanya tanda-tanda gawat janin
b). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
3). Laboratorium :
Adanya sindroma HELLP .
Pengobatan Medikamentosa
1). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
2). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
3). Pemberian obat : MgSO4.
b. Pengelolaan Konservatif
Pengelolaan konservatif ini berarti bahwa kehamilan tetap
dipertahankan
Indikasi
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklamsi dengan keadaan janin baik (Sarwono, 2005).
Medikamentosa
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO 4
40% 8 gr i.m.).
Penggunaan obat hipotensif pada preeklamsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Namun, dari penggunaan obat-
obat antihipertensi jangan sampai mengganggu perfusi uteropalcental.
OAH yang dapat digunakan adalah hydralazine, labetolol, dan
nifedipin.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20
% secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat
ini masih kontroversi.
Untuk penderita preeklamsia diperlukan anestesi dan sedativa
lebih banyak dalam persalinan. Namun, untuk saat ini teknik anestesi
yang lebih disukai adalah anestesi epidural lumbal.
Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan
dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi,
hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat
janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II
dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum (Sarwono,
2005).
7. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra
uterin (Rambulangi, 2003).
8. Komplikasi
a. Proteinuria
Penurunan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh menurunnya aliran
darah ke ginjal akibat hipovolemia dan kerusakan sel glomerulus. Hal
ini mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis,
terjadi kebocoran, sehingga terjadi proteinuria. Selain itu,
ketidakseimbangan peroksida lipid akibat preeklampsia menghambat
pembentukan siklooksigenase dan prostasiklin sintase, yang akan
menurunkan jumlah prostasiklin, mengakibatkan proteinuria
(Cunningham et al., 2010).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan proses akhir dari
vasokonstriksi pembuluh darah akibat kerusakan endotel dan proses
inflamasi yang disebabkan oleh preeklampsia. Peningkatan diastol
utamanya diakibatkan oleh peningkatan resistensi perifer, sedangkan
sistol menunjukkan besarnya curah jantung (Cunningham et al., 2010).
c. Eklampsia
Eklampsia merupakan kejang tonik-klonik yang merupakan akibat
akhir dari hipoperfusi jaringan, vasokonstriksi pembuluh darah, dan
pengaktifan kaskade koagulasi pada preeklampsia. Eklampsia
merupakan suatu ensefalopati hipertensif, yaitu ketika resistensi
vaskuler serebral berkurang, sehingga terjadi peningkatan aliran
pembuluh darah ke otak, oedema serebral, dan selanjutnya konvulsi
(Cipolla, 2007).
d. Hemolisis
Preeklampsia yang cukup parah sering diikuti dengan hemolisis,
yang mana dapat dilihat dari jumlah lactate dehydrogenase (LDH)
atau keberadaan sel ekinosit pada darah tepi. Hal ini disebabkan karena
hemolisis mikroangiopati akibat disrupsi endotelial dengan adhesi
platelet dan deposit fibrin, sehingga menyebabkan aliran darah yang
kencang (Cunningham et al., 2010).
e. Trombositopenia
Karena banyaknya cedera jaringan akibat proses inflamasi dan
kerusakan sel endotel, konsumsi trombosit menjadi berlebihan
(aktivasi kaskade koagulasi). Kurangnya jumlah prostasiklin juga ikut
mengakibatkan trombositopenia (Cunningham et al., 2010).
f. Peningkatan enzim hepar
Proses disfungsi multiorgan yang paling banyak terjadi pada
preeklampsia yaitu disfungsi hepar. Perdarahan pada sel periportal
lobus perifer menyebabkan nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim
hepar. Perdarahan ini meluas hingga bawah kapsula hepar, subkapsular
hematoma, yang menimbulkan rasa nyeri di epigastrium (salah satu
tanda impending eklampsia) (Cunningham et al., 2010).
g. Gangguan neurologik
Nyeri kepala, mual, muntah disebabkan oleh hipoperfusi otak,
menimbulkan vasogenik edema. Akibat vasospasme arteri retina dan
edema retina, terjadi gangguan visus (skotomata/ blurred vision/
diplopia) (Cunningham et al., 2010).
HELLP syndrome memiliki pengertian adanya hemolysis yaitu
terjadinya peningkatan pemecahan eritrosit yang akan ditandai dengan
Hb yang turun < 12 g/dl, laktat dehidrogenase > 600 ul/l dan bilirubin
yang meningkat > 1.2 mg/dl, elevated liver enzyms (liver function)
nampak pada hasil SGOT dan SGPT yang juga mengalami
peningkatan melebihi nilai normalnya dan serum aspartat
amniotransferase > 70 U/L, dan low platelets counts terlihat dari angka
trombosit yang menurun dibandingkan nilai normal, yaitu < 150.000
u/l. Diagnosis HELLP syndrome ditegakkan bila didapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium yang abnormal dari ketiga komponen di atas
pada trismester III di usia kehamilan 26-40 minggu. Jika hanya
memenuhi 1 atau 2 dari 3 kriteria, maka disebut dengan partial HELLP
syndrome.
Penanganan yang paling mungkin dari pasien HELLP adalah
segera melahirkan bayinya. Selama tindakan konvensional masih
berjalan, maka tatalaksana yang dilakukan seperti pada
penatalaksanaan PEB dengan ditambahkan pemberian transfusi pada
pasien jika didapatkan low platelet count. HELLP syndrome biasa
merupakan tanda awal terjadinya preeklampsia. Gejala dan tanda yang
biasanya nampak berupa nyeri kepala, retensi cairan dengan
peningkatan berat badan, nyeri perut atas, dan pandangan kabur. Dari
pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya pembesaran hati dan
peningkatan tekanan darah melebihi nilai normal.
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien ini adalah terjadi
gangguan koagulopati berupa Disseminated Intravaskular Coagulation
(DIC), edem pulmo, gagal ginjal, dan placental abruption (Budiono,
2009 ; William, 2010).
B. OBESITAS
1. Definisi
Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya
ketidakseimbangan antara berat badan dan tinggi badan hal ini
disebabkan karena adanya jaringan lemak yang berlebih di dalam tubuh
sehingga menyebabkan terjadi berat badan yang berlebih atau
obesitas23 . Beberapa ahli yang lain menyatakan bahwa berat badan
merupakan keadaan akumulasi lemak yang berlebih dan dapat
mempengaruhi kesehatan tubuh. Salah satu cara yang biasanya
digunakan untuk mengetahui berat badan berlebih atau tidak adalah
dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). IMT dapat dihitung
dengan cara membagi berat badan (dalam satuan kilogram) dengan
kuadrat dari tinggi (dalam satuan meter), setelah didapatkan hasil dari
penjumlahan maka hasilnya dibulatkan menjadi satu desimal.
Obesitas saat kehamilan umumnya dapat terjadi pada wanita
dengan usia berapun, namun biasanya berat badan akan lebih meningkat
pada ibu yang berusia lebih dari 35 tahun. Normalnya kenaikan berat
badan pada masa kehamilan adalah 12-16 kg, jika kenaikan berat badan
lebih dari itu ibu hamil beresiko mengalami obesitas. Ibu yang
mengalami obesitas beresiko mengalami penyakit yang lain seperti
diabetes gastasional, hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia .
Penentuan obesitas pada ibu hamil sering kali menggunakan metode
pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) dibanding dengan metode
yang lainnya seperti metode rasio waist-to-hip circumferrencia,
pengukuran lingkar pinggang termasuk juga dengan menggunakan alat-
alat seperti USG (Ultrasonografi), MRI (Magnetic Resonance Imaging)
dan CT-scan (Computed Tomography Scanning).
2. Etiologi dan faktor resiko obesitas pada kehamilan
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadi obesitas
selama kehamilan yaitu faktor herediter (faktor internal) dan faktor non
herediter (faktor eksternal). Faktor herediter terdiri dari riwayat keluarga,
sedangkan faktor non herediter teridiri dari aktivitas fisik dan pola
makanan. Riwayat keluarga dapat menjadi faktor obesitas pada ibu
obesitas saat masa kehamilan hal ini dikarenakan unsur lemak yang
terdapat didalam tubuh dengan jumlah yang banyak atau tidak normal,
secara otomatis akan diturunkan pada keluarga, selain itu riwayat
keluarga yang mempunyai gaya hidup dan mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi makanan tertentu dapat menjadi faktor terjadi nya
obesitas dalam masa kehamilan.
Pola makan pada ibu hamil, ibu hamil dengan obesitas akan
makan jika ia ingin makan, bukan karena kebutuhan akibat lapar, hal ini
dapat menyebabkan terjadi peningkatan asupan energi yang berlebih
dengan kandungan lemak dan karbohidrat yang tinggi, jika hal ini
dilakukan secara terus menerus tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik
dapat meningkatkan resiko obesitas pada ibu hamil. Aktivitas fisik juga
berpengaruh terhadap terjadinya obesitas pada ibu hamil, aktivitas fisik
yang teratur berpengaruh terhadap pengeluaran kalori tubuh yang teratur,
dalam hal ini dapat disimpulkan kurangnya aktivitas fisik pada ibu hamil
dapat menyebabkan terjadi nya penumpukan lemak sehingga dapat
menyebabkan obesitas pada ibu hamil.
3. Patofisiologi
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh 3 mekanisme
fisiologi yaitu mempengaruhi laju pengeluaran energi, regulasi sekresi
hormone dan mengendalikan rasa lapar dan kenyang. Proses
penyimpanan energi terjadi melalui sinyal-sinyal eferen setelah
mendapatkan sinyal aferen dan perifer. Sinyalsinyal tersebut bersifat
anabolik serta dapat juga bersifat katabolik, dan dibagi menjadi 2
kategori sinyal, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
berpengaruh terhadap porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
juga dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal yang
diperankan oleh kolesistokinin (hormon yang menyebabkan terjadinya
kontraksi kadung empedu) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh insulin yang mengatur
penyimpanan dan keseimbangan energi dan hormon leptin (hormon
untuk metabolisme).
Kebutuhan energi melebihi dari yang dibutuhkan akan
menyebabkan terjadinya peningkatan jaringan adipose yang disertai
dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin nantinya
akan merangsang anorexigenic center di hipotalamus untuk menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu
makan. Sebaliknya, jika kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi
maka jaringan adipose akan berkurang sehingga menyebabkan terjadi
nya rangsangan anorexigenic center dibagian hipotalamus sehingga
terjadilah peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar orang yang
mengalami obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar
leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.
C. SECTIO CAESARIA
a. Definisi
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut
juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar,
1998)
1. Indikasi SC :
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar section caesarea
adalah
a. Prolog labour sampai neglected labour.
b. Ruptura uteri imminen
c. Fetal distress
d. Janin besar melebihi 4000 gr
e. Perdarahan antepartum (Manuaba, 2001)
Sedangkan indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan
sectio adalah :
a. Malpersentasi janin
1) Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah
jalan /cara yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala
letak lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua
primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio
caesarea walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara
dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong dengan cara lain.
2) Letak belakang
Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang
bila panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
b. Plasenta previa sentralis dan lateralis
c. Presentasi lengkap bila reposisi tidak berhasil.
d. Gemeli menurut Eastman, sectio cesarea dianjurkan bila janin
pertama letak lintang atau presentasi bahu, bila terjadi interior
(looking of the twins), distosia karena tumor, gawat janin dan
sebagainya.
e. Partus lama
f. Partus tidak maju
g. Pre-eklamsia dan hipertensi
h. Distosia serviks
2. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio
Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan
kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah
defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada
pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan
insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah
insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin
yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka
post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah
risiko infeksi.
3. Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi
kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.
4. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
a. Abdomen (SC Abdominalis)
1. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang
pada corpus uteri.
Sectio caesarea profunda : dengan insisi pada segmen bawah
uterus.
2. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis
dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
b. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila:
- Sayatan memanjang (longitudinal)
- Sayatan melintang (tranversal)
- Sayatan huruf T (T Insisian)
c. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira 10cm.
Kelebihan :
- Mengeluarkan janin lebih memanjang
- Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
- Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
- Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
- Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
- Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
- Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi.
Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
d. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan :
- Penjahitan luka lebih mudah
- Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
- Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
- Perdarahan kurang
- Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan :
- Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
- Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
5. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya
peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum
atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan
vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan
pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali,
terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC
transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Komplikasi - komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan
embolisme paru - paru
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya
perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan
sesudah sectio caesarea klasik.
6. Prognosis
Dengan kemajuan teknik pembedahan, adanya antibiotika dan
persediaan darah yang cukup, pelaksanaan sectio ceesarea sekarang jauh
lebih aman dari pada dahulu.
Angka kematian di rumah sakit dengan fasilitas baik dan tenaga yang
kompeten < 2/1000. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
pembedahan adalah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi
pembedahan dan lamanya persalinan berlangsung.
Anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria nasibnya tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut
statistik, di negara - negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal
yang baik, angka kematian perinatal sekitar 4 - 7% (Mochtar, 1998).
7. Pemeriksaan Penunjang
- Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
- Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
- Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
- Urinalisis / kultur urine
- Pemeriksaan elektrolit
8. Penatalaksanaan Medis Post SC
a. Pemberian cairan
b. Diet
c. Mobilisasi
d. Kateterisasi
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan (Manuaba, 1999).
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Tahap dasar dari seluruh proses keperawatan dengan tujuan
mengumpulkan informasi dan data-data pasien. Supaya dapat
mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.
2. Diagnosa keperawatan
3. Intervensi
Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Lana K. Wagener, M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeklampsia.
American Family Physician. Volume 70, Number 12 Pp : 2317-
24.http://www. Aafp.org
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC