Ontologi Estimologi Dan Aksilogi Ilmu Geologi Batu Bar
Ontologi Estimologi Dan Aksilogi Ilmu Geologi Batu Bar
OLEH ERBIT
ASKAR
F1G1 14 010
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kesehatan
dan kekuatan serta rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Sains dan Konsep Teknologi ini, dengan inti materi “Ontologi,
pihak, terutama kepada dosen yang penulis hormati Dr. Ida Usman., M.Si selaku
dosen pembimbing, Selain itu, bantuan dari teman-teman yang telah membantu,
baik moril maupun material. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya.
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulisi miliki sangat terbatas. Oleh kerena itu penulis harapkan
membangun demi kesempurnaan makalah ini dan akhirya penulis ucapkan sekian
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan
untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang
lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman
membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi
seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan
pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan. Filsafat
membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat
abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk
faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-
pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang
lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian
yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang
hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai
yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang
tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang
lingkup dan pembahansannya. Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama
membahas tentang hakikat, hanya saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan
yang beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan membahas tentang
bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan
dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana
wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi
sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas,
klasifikasi, tujuan dan perkembangannya.
2.1 Epistemologi
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh
pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan
mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui.
Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan
setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa
mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai
kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-
kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas- batas
antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
3.3 Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan
saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan
perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
“bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu
jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari
alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat
seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas
wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus
diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan
seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang
hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan
hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan
ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling
kepada hakikat moral.Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait
dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika
Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan
sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
Chester, R and T. Jickells, 2012. Geophysic method(3 Edt). Science Jhon Wiley
& Sons Pub. London, 436 p.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993 Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis
dan Kerangka Operasionalnya. Bandung: Trigenda karya.