90124089-Referat-Asma Anak
90124089-Referat-Asma Anak
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi
saluran pernafasan yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang(4).
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya(5).
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker
dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
2
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
3
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).
Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta
Pemicu
penyakit yang terkait (inducer)
dengan Pemacu
penyakit asma (enhancer)
sangat banyak. GenPencetus (trigger)
MHC manusia
yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31(1).
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS
(2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat
asma atau 1,6 per 100 ribu populasi(2).
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan
angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat
nasional Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak
dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan
asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap
sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat
(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
4
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan
164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998(6).
2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik(8).
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik merupakan
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,
sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah
menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif(8).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien
dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat
dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,
basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran
respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel
T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami
polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat
5
terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti
IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini
terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan
profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi
sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat
asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit(8).
6
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid(8).
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus(1).
Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
Faktor Risiko Gejala
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi(1).
7
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).
8
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi
sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot
polos tersebut(9).
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9).
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
9
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai
pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan
saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang
timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan
timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis(9).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan
protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.
Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas(9).
10
adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).
2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau
dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala
yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya
tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit
mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam
11
batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing
terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut
nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11).
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak
dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(11).
12
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan0 Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal ≥20% ≥30% ≥50%
paru
(bila ada serangan)
13
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit
2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan tatalaksana
asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang
anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan
yang ingin dicapai adalah(10) :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,
termasuk bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
14
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
15
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast(12).
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi(12).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS(12).
β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
16
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. (14)
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak(12).
17
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
18
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya
down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai
400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
19
dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu
pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan
lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh
karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
20
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta
efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma
berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada
puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan
yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
21
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
22
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.
25