Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prestasi dalam bidang olahraga sangat kompleks, tidak terbatas pada
kemampuan fisik, penguasaan teknik dan taktik , tetapi juga kematangan jiwa
seorang atlet baik pada saat latihan maupun dalam pertandingan. Kematangan
jiwa seorang atlet, dapat bisa terasah dengan baik bilamana atlet tersebut dibina
dan ditangani oleh orang yang mengerti dan memahami sang atlet tersebut secara
individu yang terdiri dari raga dan jiwa. Bahwa persoalan yang timbul dalam
pencapaian prestasi selama ini yang sering terabaikan oleh pembina olahraga,
pelatih, adalah masalah psikis(jiwa) dan interakasi sosial atlet tersebut.
Adanya interaksi antar individu, dalam olahraga tentu menjadi masalah
tersendiri dari akibat dari kemampuan individu dalam berinteraksi, bertingkah
laku.dalam kelompok tim atau regu dalam olahraga. Seorang atlet harus mampu
berinteraksi dengan rekan-rekan satu tim, regu, atau kelompoknya.sehingga dapat
berakibat positif terhadap individu-individu dalam kelompoknya.
Adanya gejala-gejala yang bisa timbul akibat dari interaksi atlet dengan
atlet lainnya dalam satu kelompok, tim atau regu, bisa timbul berupa kehilangan
motivasi dan berbaurnya rasa tanggung jawab. Sehinngga kemampuan atlet
berprestasi tidak optimal. Masalah tersebut disebut juga “Reingelmen Effect”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang penulisan makalah ini, maka rumusan
masalahnya adalah: “Reingelmen Effect dan Pembinaan Tim dalam pencapaian
prestasi atlet”
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
Mengetahui bagaimana “Reingelmen Effect dalam pembinaan tim dalam
pencapaian prestasi atlet”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Reingalmenn Effect
Silba III Weinberg (1984) mengemukakan hasil penelitian psikologi
Jerman yang terkenal, yaitu Reingelmann, yang kemudian diteliti oleh Ingham
dkk. Dalam studinya Reingelmann meniliti kemampuan menarik tambang
individu dalam kelompok. Kelompok yang terdiri dari 8 orang ternyata tidak
menunjukkan kemampuan menarik 8 kali kemampuan individu, tetapi hanya 4
kali kemampuan individu. Lebih terinci lagi, kelompok yang terdiri dari 2 orang
kemampuannya 93% rata-rata kemampuan individu, kelompok yang terdiri dari 3
orang kemampuannya 85% persen rata-rata kemampuan individu, kelompok 8
orang 49% kemampuan rata-rata individu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Reingelmann tersebut terbukti terjadi
penurunan penampilan rata-rata individu apabila terjadi peningkatan jumlah
anggota kelompok, dan ini dikenal sebagai”Reingelmann Effect”. Menurut
Latane, dkk. Gejala tersebut terjadi karena hilangnya motivasi dan berbaurnya
rasa tanggung jawab.
“Reingelmann effect” atau dampak bagaimana kiranya tidak terjadi pada
semua bentuk kelompok dalam olahraga atau tim olaharaga tim panahan tidak
sama proses interaksinya dengan regu estafet dalam atletik, dan berbeda pula
dengan interaksi yang terjadi dalam tim sepak bola, basket dan sebagainya.
Penampilan dan prestasi atlet berkaitan atlet berkaitan dengan motivasi
atlet, khususnya motivasi untuk berprestasi dan motivasi berafliasi atau motivasi
untuk berprestasi dan motivasi ketergabungan anggota dalam ikatan tim. Pada
permainan ganda bulu tangkis, dapat saja terjadi pemain A kalah lawan X pada
permainan tunggal, pemain B kalah Y pada permainan tunggal, tetapi pasangan
AB dapat menang lawan pasangan XY pada permainan ganda. Disamping segi-
segi keterampilan teknis, aspek psikologis seperti tanggung jawab dan kerjasama
juga ikut menentukan; tidak akan lepas dari interaksi yang terjadi antara pemain
yang berpasangan tersebut. Interaksi interpersonal akan sangat besar pengaruhnya
terhadap penampilan dan prestasi dari pemain ganda dalam bulu tangkis, misalnya
saling pengertian, tidak saling menyalahkan, tidak ingin menguasai dan
menonjolkan diri, dan sebagainya, dampak reingelmann jelas tidak tidak berlaku
dalam hal ini.
Dalam ikatan kelompok atau tim tidak harus kehilangan atau menurun
motivasinya untuk berprestasi, atau melemah rasa tanggung jawabnya,
peningkatan atau merosotnya prestasi atlet dalam ikatan tim dipengaruhi oleh
banyak faktor, yang timbul dikelompokkan faktor-faktor eksternal yang timbul
dalam proses interaksi atlet dengan orang lain dan sekitarnya, termasuk faktor
internal misalnya “competitive trait anxiety”(CTA) atau rasa cemas menghadapi
pertandingan; ketergabungannya dalam ikatan tim dari pada kalau bermain tidak
dalam ikatan tim. Hal ini juga erat hubungannya dengan situasi interaksi dalam
tim tersebut; misalnya apabila atlet tersebut dituntut untuk berprestasi yang
dirasakan melebihi dari kemampuannya, sudah barang tentu akan timbul pula
hambatan untuk dapat berprestasi dengan baik. Faktor eksternal yang berupa
tuntutan dari anggota tim atau dari masyarakat juga memberi dampak psikologis
tertentu pada atlet; dalam hal ini reaksi atlet tidaklah selalu sama, dan sangat
ditentukan kepribadian atlet yang bersangkutan.
Dari uraian dan beberapa contoh di atas jelaslah bahwa dampak,
reingelmann atau “Reingelmann effect” sebagaimana digambarkan dalam hasil
penelitian Reingelmann dan Ingham, tidak selalu relevan untuk menganalisis
gejala merosotnya prestasi kelompok atau tim dalam olahraga. Tugas-tugas dan
tantangan yang dihadapi anggota-anggota tim dengan menurunnya rasa tanggung
jawab, kurang gairah karena kemampuan individual kurang menonjol,
menimbulkan kecemasan karena rasa takut akan kalah, dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya dapat juga menimbulkan rasa kebersamaan untuk membela nama baik
tim, tidak ingim jadi penyebab kurang berhasilnya penampilan tim, dan
sebagainya.
B. Motif Berprestasi Dalam Ikatan Tim
Tanpa memiliki motivasi berprestasi yang kuat dari anggota-anggotanya,
maka suatu tim tidak mungkin mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Motif
berprestasi adalah motif atau dorongan untuk berpacu dengan keunggulan, baik
keunggulan diri sendiri maupun keunggulan orang lain; oleh karena itu, memilki
motif berprestasi yang kuat seorang atlet akan selalu berusaha lebih baik dari apa
yang pernah dicapainya sendiri, dan juga selalu untuk berpacu dengan prestasi
orang lain.
Bryan J. Cratty (1973) mengetengahkan hasil penelitian Klein dan
Christensen yang telah membuktikan bahwa diantara 19 tim bola basket, ternyata
16 tim menunjukkan motif berprestasi anggota-anggota berbeda-beda, ada yang
kuat dan ada yang kurang kuat, justru penampilannya sangat baik; sedangkan 3
tim yang menunjukkan motif berprestasi anggotanya sama, dapat memperlihatkan
penampilan yang tinggi tetapi tidak dapat dikategorikan sangat baik. Kenyataan
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa adanya perbedaan motif berprestasi,
mengakibatkan meningkatkan motivasinya, sehingga secara keseluruhan tim
tersebut dapat lebih meningkatkan penampilannya.
Hasil penelitian Klein dan Christensen yang lain menunjukkan bahwa di
dalam suatu tim dimana suatu tim dimana sebagaian besar anggota-anggotanya
motif berprestasi kuat atau tinggi, ternyata tim tersebut lebih sering mengalami
konflik-konflik antara anggota timnya (intergroup conflict). Konflik terjadi karena
antara anggota terjadi persaingan yang tidak terarah, atau persaingan tidak sehat,
dimana masing-masing anggota tim lebih mementingkan kepentingan diri sendiri
dari pada kepentingan timnya.
Hasil penelitian Klein dan Christensen tentang terjadinya konflik dalam
tim karena anggota-anggotanya memilki motif berprestasi lebih tinggi, tidak harus
dan tidak perlu terjadi. Situasi tim secara keseluruhan, yaitu situasi hubungan
sebagai hasil interaksi interpersonal antara anggota kelompok dengan
pembinaanya, akan besar pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya konflik
atau hubungan yang akrab dan penuh pengertian.
Konflik antar kelompok dalam suatu tim juga dapat terjadi apabila suatu
tim tersebut mengalami frustasi, sehingga ketakutan akan gagal juga terjadi pada
diri tiap-tiap individu anggota tim tersebut; gejala frustasi yang menghinggapi
individu dapat menyebabkan timbulnya sikap-sikap yang agresif, sehingga mudah
pula menimbulkan konflik-konflik antar anggota tim tersebut.
Suatu penelitian yang pernah diselenggarakan (Sudibyo, 1962)
membuktikan bahwa timbulnya sentiment ingroup atau jiwa beregu yang kuat,
dalam suasana kompetetif tidak perlu menimbulkan sikap negatif terhadap out-
group atau regu lain, penelitian yang menggunakan subjek eksperimen para
remaja di Yogyakarta tersebut, sekaligus juga membuktikan pelatih dan pembina
mempunyai peranan yang sangat besar terhadap penanaman sikap-sikap yang
posistif-positif pada para anggotanya.
C. Pembinaan Tim
Pembinaan tim pada akhirnya bertujuan untuk mencapai puncak
penampilan dan prestasi yang setinggi-tingginya, dengan tetap menghindari
kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak-dampak yang bersifat negatif,
baik yang terjadi dalam ikatan tim maupun terhadap tim lainnya.
Upaya pembinaan tim diawali dengan menumbuhkan rasa kesatuan
sebagai anggota tim sehingga terbentuk “team cohesion” sebaik-baiknya. Menurut
Tukto dan Richards (1971) dalam hubungan ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Saling menghormati, baik antara pemain maupun antara pemain dengan
pelatih.
2. Menciptakan komunikasi yang efektif, setiap anggota harus menunjukkan
kesediaan berkomunikasi dengan penuh mengerti satu terhadap yang lainnya.
3. Perasaan menjadi “anggota yang penting” sebagai anggota tim perasaannya
harus diperhatikan, mendapat pengakuan atas pengorbanan yang diberikan,
dan dibantu anggota lain serta pelatihnya.
4. Perlakuan yang adil; setiap pemain merasa membutuhkan perlakuan yang
sama dan mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat secara
maksimal.
Hasil utama dari suatu “team work” yang baik adalah terciptanya
kerjasama antar anggota tim yang sebaik-baiknya, suasana kekeluargaan dan
hubungan yang erat antar anggota tim yang sebaik-baiknya, suasana kekeluargaan
dan hubungan yang erat antar anggota, dan setiap anggota tim meletakkan
kebahagiaan tim di atas kepentingan sendiri.
Pada tahun 1982 Williams dan Hecker meneliti pemain-pemain hoki putri,
dan berkesimpulan bahwa sukses dalam penampilan dan “teamwork” akan
mendorong timbulnya kepuasan yang lebih besar, tetapi kepuasan tidak akan
mendorong timbulnya kepuasan yang lebih besar, tetapi kepuasan tidak akan
mendorong apapun.
Perkembangan satu tim akan ditentukan atau dipengaruhi individu-
individu yang dominant dalam tim tersebut, oleh karena itu peranan pelatih sangat
penting untuk lebih mengarahkannya. Tutko & Richards (1997) menekankan arti
pentingnya pembentukan citra atau “image building”, karena seseorang akan
bereaksi atas dasar pemandangannya tentang diri sendiri dan orang lain. Sebagai
anggota tim mereka cenderung mereka bertindak sesuai dengana keyakinan
mereka tentang diri. Mereka; misalnya kurang percaya diri, sikap – sikap agresif,
dan sebagainya merupakan reaksi yang didasarkan atas perasaan mereka tentang
diri mereka sendiri.
Tutko & Richards(1997) juga menekankan arti pentingnya menciptakan
citra yang positif atau” Positif atau positife image” tentang timnya, dan
menghindarkan citra negatif atau “negative image” yang hanya akan merugikan
perkembangan sikap anggota tim tersebut.
Mengenai pembentukan citra positif suatu tim dapat dilakukan dengan
mengembangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Menggambarkan tim tersebut sebagai tim pemenang lebih menguntungkan


dari pada menggambarkan sebagai tim yang seering mengalami kekalahan.
2. Citra positif sebagai berkembangnya dalam suatu tim dengan disiplin yang
baik, sedangkan citra negatif biasanya terdapat dalam tim yang kurang
disiplin.
3. Ketegasan seorang pelatih; nilai-nilai etik seorang pelatih adalah sangat
penting, untuk menciptakan citra positif seorang pelatih harus bertindak tegas
terhadap pelanggaran peraturan yang disepekati bersama.
4. Sub kultural dalam tim; setiap tim memilki budayanya sendiri dan mereka
yang tidak dapat mnyesuaikan diri dengan budaya kelompok / tim akan
terasing atau diminta meninggalkan tim.

Rasa keterikatan sebagai anggota tim merupakan hal sangat penting dalam
pembinaan tim, oleh karena itu banyak dibicarakan oleh para ahli psikologi
olahraga. Dalam rangka mengembangkan rasa kesatuan dalam ikatan tim,
Richards H. Cox. (1985) juga mengajukan beberapa hal yang perlu diperahtikan,
yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Dengan penuh tanggung jawab setiap pemain memahami / mengenal tugas


dan tanggung jawab pemain lain.
2. Pelatih lebih mengenal kehidupan pribadi pemain dalam tim.
3. Mengembangkan rasa “memiliki”, setiap pemain dalam tim.
4. Mengembangkan rasa bangga dalam menyesuaikan tugas-tugas untuk
kepentingan tim.
5. Menentukan bersama tujuan yang akan dicapai dan menumbuhkan rasa
bangga untuk dapat mencapainya.
6. Setiap pemain mempelajari perannya tersebut penting.
7. Jangan menuntut atau mengharap ketenangan kelompok secara mutlak tanpa
adanya gesekan antara pemain akan berkurang pula minat untuk mencapai
tujuan kelompok.
8. Apabila ada tanda-tanda kelompok kecil menunjukkan oposisi terhadap
pencapaian tim, maka keberadaan kelompok kecil tersebut harus dihindarkan.
9. Dengan metode drill (“Team drill”) dikembangkan kerja sama antara anggota
tim.
10. Memberikan gambaran tentang kesuksesan tim, meskipun tim tersebut sedang
mengalami kekalahan. Ini penting untuk menimbulkan kesatuan dan
kepuasan bahwa permainan anggota tim juga ada yang baik.
Dari segi kepelatihan, berbagai cara dapat dilakukan, namun yang penting
setiap pelatih harus menyadari sepenuhnya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai,
yaitu meningkatkan rasa tanggung jawab rasa memilki dan rasa ketergabungan
sebagai anggota tim, disiplin, kepercayaan pada diri sendiri, kesediaan berkorban
untuk kepentingan tim, kebanggaan sebagai anggota tim, motivasi untuk
mencapai prestasi tim yang setinggi-tingginya, dan sebagainya.
Taylor (2009), menjelaskan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam
sebuah pertandingan atau kompetisi diperlukan beberapa komponen psikologi
yang tersusun dan berkaitan satu dengan lainnya. Berikut adalah visualisasi
komponen tersebut yang kemudian diikuti oleh penjelasannya masing-masing.
Pyramid Jelaslah bahwa untuk pencapaian prestasi yang maksimal
diperlukan kompleksitas psikologis yang terdiri dari: Motivasi, percaya diri,
intensitas, fokus, Emosi, seperti yang di gambarkan Taylor(2009). Motivasi
sebagai pemicu, penggerak untuk berbuat, dan motivasi bisa hilang atau
berkurang diakibatkan oleh masalah kelompok , tim, atau regu, seperti dampak
dari akibat Reingalmenn effect. Bilamana motivasi sudah tergannggu, atau hilang
akan mengakibat dampak yang tidak baik kepada rasa percaya diri, intensitas,
fokus atau konsentrasi, emosional, dan akhirnya berujung kepada kegagalan atlet
untuk meraih prestasi maksimal.

D. Pembinaan Olahraga Prestasi dan Permasalahannya


Pembinaan olahraga prestasi dan permasalahannya Oleh: Dr. dr. H. Zainal
Abidin, DSM, Internist, Sp.GK.
Menurut UU Nomor 3 Tahun 2005 pembinaan olahraga prestasi
diselenggarakan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Kemenpora dan dibantu
pelaksanaannya oleh KONI.
Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan penyandang dana pembinaan
olahraga prestasi, sedangkan KONI sebagai pihak yang menjalankan pembinaan
olahraga tersebut. Hal ini tertuang dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2010
mengenai Program Satlak Prima.
Dalam strukturnya, Menpora merupakan Ketua Dewan Pembina,
sedangkan Ketua Umum KONI merupakan Ketua Dewan Pelaksana Satlak
PRIMA yang dibantu oleh sekretaris dari Kemenpora, dewan pakar, dan beberapa
anggota dari unsur KONI dan pemerintah.
Ketua Satlak PRIMA, ketua tim seleksi dan beserta jajarannya diangkat
dan diberhentikan oleh Ketua Dewan Pelaksana sesuai dengan waktu dan rencana
penyelenggaraan multi event, seperti Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade.
Kedudukan Satlak PRIMA dan tim seleksi saling berdampingan dan sama tinggi.
Kesemuanya melaksanakan program dan bertanggung jawab kepada Ketua
Dewan Pelaksana. Mengenai penganggarannya ditetapkan besarannya sesuai
dengan program, urgensi, dan target sasaran yang akan dicapai, misalnya untuk
kepentingan Sea Games, Asean Games, maupun Olimpiade.
Kualifikasi yang dipersyaratkan untuk atlet-atlet binaan tidak cukup hanya
berdasarkan portofolio hasil PON dan Kejurnas, melainkan perlu dilengkapi
dengan hasil tes laboratorium dan lapangan yang dilakukan pada awal Pelatnas
dan tes evaluasi 2 sampai 3 kali pada waktu telah selesai persiapan umum dan
khusus untuk mendukung program kepelatihan Satlak Prima.
Pengetesan dilakukan oleh tim seleksi sesuai pasal-pasal dan ketentuan
yang terdapat dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2010, yang berdiri berdampingan
dengan Satlak Prima dan berada di bawah naungan serta bertanggung jawab
kepada Ketua Dewan Pelaksana.
Sarana dan prasarananya serta kemajuan di bidang olahraga prestasi harus
dapat mengikuti perkembangan zaman, dilakukan secara profesional, cepat dan
akurat agar bisa dipakai tepat waktu; dapat melayani serta mengimbangi capaian
prestasi tingkat tinggi dan dikerjakan oleh tim pengetes yang profesional, terdidik,
berpengalaman serta berdedikasi.
Pengetesan dan evaluasi yang tidak profesional dan lambat akan merusak
tatanan dan capaian prestasi yang optimal. Pada perjalanannya, terdapat kendala-
kendala mengenai pemahaman pasal-pasal dan ayat- ayat dari UU Nomor 3 Tahun
2005 dengan pasal-pasal utama dan turunannya. Begitu juga mengenai Perpres
Nomor 22 Tahun 2010, pemahamannya masih perlu ditelusuri lebih mendalam
dan seksama sehingga pelaksanaannya menjadi lebih mudah, efisien, dan efektif.
E. Metode Sosiometri
Metode ini yang ditemukan oleh J.L. Moreno, merupakan metode baru di
dalam kalangan ilmu sosial dan bermaksud untuk meneliti “intra-group-relations”
atau saling hubungan antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok.
Dengan penelitian sosiemetri dapat ditunjukkan adanya “formal group”
dan “ informal group”, atau adanya kemungkinan adanya sub-kelompok dalam
suatu kelompok atau tim. Hal ini dimungkinkan karena dengan penelitian
sosiometri digambarkan adanya hubungan antara anggota kelompok.
Menurut Moreno (1951) sosiometri berkembang kearah tiga pola riset,
yaitu:
1. “diagnostic sociometry”, dikembangkan oleh Lunberg dan Bogardus,
dimaksudkan untuk membuat diagnosa mengenai saling hubungan yang
terjadi dalam kelompok.
2. “dynamics sociometry” diselidiki secara mendalam oleh Moreno dan
Jennings, dimaksudkan untuk menyelidiki dinamika atau perubahan-
perubahan yang terjadi dalam saling hubungan dan struktur kelompok
3. “mathematical sociometry”, dikembangkan oleh Lazarfeld dan stewart,
terutama dimaksudkan untuk meneliti kekuatan-kekuatan (forces) yang
berkembang dalam suatu kelompok.

Untuk memperoleh keterangan mengenai saling hubungan antar anggota


sekelompok itu, maka diajukan sebuah daftar pertanyaan kepada semua anggota-
anggota kelompok yang ingin diselidiki, misalnya sebuah kelas di sekolah. Daftar
pertanyaan itu merupakan ajakan untuk menentukan sikap anggota kelompok
terhadap anggota kelompok lainnya yang ia kenal. Ia misalnya diajak untuk
memilih antara kawannya sekelompok kelas, siapa yang menurut pendapatnya
paling memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kawan yang paling cakap
sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai pemimpin
kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai kawan sekerja, dan lain-lain
tergantung kepada sifat-sifat saling hubungan yang ingin kita selidiki dengan
metode ini.
Khususnya dalam olahraga, dengan mengetahui hubungan sosial yang
terjadi dalam kelompok yang dibina, seorang pelatih lebih dapat meningkatkan
saling hubungan dengan lebih positif, mengatasi kemungkinan terjadinja
perpecahan atau hubungan disharmonis yang dapat merugikan perkembangan
kelompok atau tim yang dihina. Dengan mengetahui hubungan-hubungan sosial
yang terjadi di dalam tim, seorang pelatih dapat memberikan bimbingan yang
lebih terarah dan tepat dalam menghadapi berbagai masalah; antara lain dalam
kelompok ini dapat memanfaatkan tokoh kunci yang ada dalam kelompok.
 Kegunaan Metode Sosiometri
Dalam rangka pembinaan tim maka metode sosiometri banyak sekali
manfaatnya. Motivasi, sikap, dan tingkah laku kelompok sebagian besar
dipengaruhi oleh individu-individu yang dominan dalam kelompok; melalui
penelitian sosiometri dapat diketahui adanya tokoh kunci atau “key-person” yang
biasanya memiliki kelebihan dan dominan dalam kelompok atau sub-kelompok
dimana ia tergabung.
Di samping kegunaan untuk manjaga keutuhan tim, maka dengan metode
sosiometri juga dapat diketahui siapa di antara anggota tim yang kurang disenangi
anggota tim lainnya. Hal ini juga perlu mendapat perhatian agar anggota tersebut
tidak terisolasi dari lingkungan kehidupan kelompok.
Dengan selalu memperhatikan tata-hubungan sosial yang terjadi dalam
tim, maka keharmonisan tim dapat selalu dipelihara dan kemungkinan terjadinya
hubungan yang kurang harmonis dapat segera ditanggulangi. Hal ini penting
sekali dalam upaya membina tim, karena kuat atau lemahnya tim tidak hanya
tergantung pada kemampuan satu atau dua orang saja, tetapi lebih ditentukan oleh
kemampuan gabungan dari seluruh anggota tim.
Kuatnya rasa kesatuan tim atau “sentiment ingroup” akan besar sekali
dampaknya pada motivasi dan sikap positif anggota untuk membela dan
menjunjung tinggi timnya atau groupnya. Dengan kuatnya rasa kesatuan tim akan
timbul rasa memiliki dan rasa tanggumg jawab pada kelompok (belongingness
and responsibility).
 Pertimbangan Khusus dalam Persiapan Tim
Ada sejumlah faktor khusus yang harus dipertimbangkan pelatih dalam
menyiapkan timnya untuk menghadapi pertandingan. Perhatian pada faktor-faktor
tersebut dapat membuat perbedaan antara kalah dan menangnya suatu
pertandingan olahraga. Persiapan adalah salah satu strategi yanglebih efektif
untuk menghindarkan olahragawan dari stres. Hal ini sangat penting mengetahui
lebih dahulu peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah penting untuk
mempersiapkan keterampilan.
 Petandingan sebelum musim pertandingan
Kegiatan ini dirancang untuk menyiapkan tim dengan membentuk rasa
percaya diri pada kemampuan tim, strategi dan pelaksanaannya. Seringkali,
latihan sebelum masa bertanding tidak berlangsung dengan mulus. Pelaksanaanya
mungkin berantakan, strategi mungkin tidak berhasil dengan baik, olahragawan
(dan pelatih) mungkin mulai berpikir ulang. Tanggapan ini harus di antisipasi.
Menjelang latihan olahragawan harus di ingatkan untuk berkonsentrasi dan
melakukan yang terbaik, namun harus sadar bahwa hal ini barulah awal dari masa
bertanding.
 Memandang rendah dan menilai terlalu tinggi
Pandangan merendahkan dapat menbawa pada penampilan tim yang tidak
efektif karena kekurangsiapan. Sedangkan penilaian yang terlalu tinggi
menyebabkan penampilan buruk kkarena pelatih kehilangan rasa percaya diri dan
memutuskan mengubah strategi yang telah dijalankan timnya dengan baik.
Strategi baru mungkin dirancang debgan cermat namun tidak efektif sebab
pelaksanannya buruk. Banyak pelatih seperti menampar dirinya sendiri pada saat
mereka membuat perubahan khusus di menit-menit terakhir untuk lawan tertentu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Reingelmenn effect adalah penurunan penampilan individu apabila terjadi
peningkatan jumlah anggota kelompok, dan ini dikenal sebagai”Reingelmann
Effect”. Menurut Latane, dkk. Gejala tersebut terjadi karena hilangnya
motivasi dan berbaurnya rasa tanggung jawab.
2. Reingelmenn effect tidak terjadi pada semua semua bentuk kelompok dalam
olahraga atau tim olaharaga tim panahan tidak sama proses interaksinya
dengan regu estafet dalam atletik, dan berbeda pula dengan interaksi yang
terjadi dalam tim sepak bola, basket dan sebagainya.
3. Memilki motif berprestasi yang kuat seorang atlet akan selalu berusaha lebih
baik dari apa yang pernah dicapainya sendiri, dan juga selalu untuk berpacu
dengan prestasi orang lain.
4. Hal penting dalam upaya pembinaan tim, adalah kuat atau lemahnya tim
tidak hanya tergantung pada kemampuan satu atau dua orang anggota saja,
tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan dari seluruh anggota tim.
5. Untuk mencapai prestasi yang maksimal diperlukan upaya komprehensif baik
pembina, pelatih olahraga kepada atletnya untuk membina terus. Termasuk
segi psikogis untuk menumbuhkan motivsai yang kuat, kepercayaan diri,
ketekunan-kegigihan-semangat pantang menyerah, fokus-konsentrasi, dan
kematangan Emosi.

Kuatnya rasa kesatuan tim atau “sentimen inground” akan besar sekali
dampaknya pada motivasi dan sikap positif anggota untuk membela dan
menjunjung tinggi timnya.
B. Saran
Para pembina olahraga, pelatih, guru pendidikan jasmani hendaknya dalam
pencapaian prestasi yang tinggi, agar faktor kejiwaan(psikologi), sosial
lingkungan atlet untuk betul-betul memperhatikan kedua faktor tersebut .
DAFTAR PUSTAKA

Bryant J. Gratty, Ed. D, 1973, Psikologi In Contemporary Sport. Prentice hall,


Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.

Harsono, Dr. M.Sc. 1986, Ilmu Jiwa Kepelatihan, Bandung.

Lawthers, Jhon D. 1951,Psychology of Coaching. Prentice Hall, Prentice-Hall,


Inc, Englewood Cliffs. New Jersey.

Singgih D. Gunarsah, Prof.DR., Dkk. 1989. Psikologi Olahraga, PT. BPK Gunung
Mulia, Jakarta

Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.

Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.

Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Sears, David O, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.

Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Anda mungkin juga menyukai