Ketua:
Anggota:
Nurjaman 1111140976
Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.
Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan
memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan
yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
B. Rumusan masalah.................................................................................... 1
A. Kesimpulan ............................................................................................. 32
B. Saran ...................................................................................................... 33
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Indonesia menunjukan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbing dalam mengejar kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk
mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Melestarikan kesaktian Pancasila itu, perlu usaha secara nyata dan
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap
lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di
daerah.
Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki peran dan
fungsi sebagai dasar sekaligus tujuan dari berbagai bidang kehidupan yang
terus berkembang seirama dengan perkembangan aspirasi masyarakat dan
perubahan zaman dari masa ke masa.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
C. Tujuan Makalah
Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
dan memahami hal-hal di bawah ini:
TINJAUAN PUSTAKA
1
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm 190-191.
2
Bandingkan dengan pasal sebelum amandemen yang menyatakan, bahwa majelis menetapkan
GBHN, memilih, dan mengangkat Presiden/Mandaris dan Wakil Presiden untuk membantu
presdiden serta memberikan mandat kepada presiden untuk melaksanakan GAris-Garis Besar
Haluan Negara dan ketetapan najelis lainnya.
3
Titik Triwulan Tutik, Op.cit., hlm 190-191.
b) Melantik wapres menjadi presiden apabila mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya;
c) Memilih wapres dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wapres;
d) Memilih presiden dan wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya;
e) Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.
Anggota MPR mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi
setiap anggota MPR. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam UU Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebagai berikut:
D. KEDUDUKAN MPR
Menurut Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1999 jumlah anggota MPR adalah 700
orang dengan perincian: (1) Anggota DPR sebanyak 500 orang; (2) Utusan daerah
sebanyak 135 orang, yaitu 5 (lima) orang dari setiap Daerah Tingkat I; dan (3)
Utusan golongan sebanyak 65 orang.
4
Ismail Suny, “Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-amandemen 1945”, Kertas Kerja, Seminar
Pemerintahan Indonesia Pasca-amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan Badan Pembina
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI Provinsi Jawa Timur dengan Fak. Hukum
Unair, Surabaya: 9-10 Juni 2004, hlm 1.
Untuk benar-benar melaksanakan demokrasi, maka UUD 1945 pasca-
amandemen dalam Psal 2 ayat (1) UUD, 1945 menetapkan bahwa MPR terdiri
atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.5 Selanjutnya mengenai kedudukan MPR Pasal 10 UU
No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan MPR DPR DPD dan DPRD
menetapkan: MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga Negara.6
5
Bandingkan dengan ketentuan sebelumnya (menurut UUD 1945 sebelum amandemen) yang
menyebutkan bahwa keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan-utusan golongan
yang diangkat, misalnya ABRI, utusan daerah dan utusan golongan minoritas dan profesi. Hal ini
mengandung arti bahwa keanggotaan MPR tersebut kurang representatif karena ada anggota
yang dipilih tanpa pemilu yaitu mereka yang berasal dari utusan golongan, dengan kata lain
penunjukan mereka berrdasarkan kekuasaan dan keentingan politik semata.
6
Bandingkan dengan pasal sebelum amandemen yang menyatakan, bahwa sebgai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat, MPR adalah pemegang kekuasaan Negara tertinggi dan
pelaksanaan dari kedaulatan rakyat tersebut.
Menurut UUD 1945 keperluan yang istimewa itu adalah apabila DPR
mengundang MPR untuk mengadakan persidangan istimewa dalam rangka
meminta pertanggungjawaban presiden, karejna DPR menganggap presiden
sungguh-sungguh telah melanggar hukum berup penghianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau/wapres berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi.
F. PUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
7
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Materi Sosialisasi Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI,
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005, hlm 7-8.
b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis;
c. Menggunakan nomor putusan Majelis.
Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara
(staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm).
Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat
kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan
UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi
salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut
mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan
kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini sejalan dengan
penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, “Oleh karena Majelis
8
Ibid, hlm 8.
Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya
tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis
memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan
menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari”.
Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan
dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan
atau meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah
“sunset clouse”, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR
sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga
yang mendasari proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran
terhadap TAP MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud
MD menyebut agenda ini sebagai “Sapu Jagat”, yakni TAP MPR yang menyapu
semua TAP MPR(S) yang pernah ada untuk diberi status baru.
Puncak dari agenda “sunset clouse” dan “sapu jagat” ini adalah diterbitkannya
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu
sumber hukum. Namun apakah tidak dimasukkannya TAP MRP dalam undang-
undang tersebut, berarti roh dan keberadaan TAP MPR benar-benar hilang sama
sekali dalam sistem perundang-undangan Indonesia? Tidak. Eksistensi TAP MPR
seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda.
Mengutip pendapat Mahfud MD, bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan
dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat
beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden,
TAP tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap
dijadikan sebagai sumber hokum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber hokum, TAP MPR dapat
dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun
bukan sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber
hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hokum seperti halnya nilai-nilai
keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan sosial dan
ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya bangsa dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Triwulan Tutik, Titik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-
indonesia/
http://beritasepuluh.com/2014/10/08/sejarah-mpr-majelis-permusyaratan-rakyat-
dari-masa-ke-masa/
http://tunas63.wordpress.com/2009/09/30/hak-dan-kewajiban-anggota-mpr/