Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

TATALAKSANA FASE KRISIS BLAST PADA


LEUKIMIA GRANULOSITIK KRONIK DALAM PENGOBATAN IMATINIB

Oleh:

dr. Canggih Dian Hidayah


1606969453

Chief of Ward:

dr. Hikmat Pramukti

Moderator:

dr. Diana Paramita, SpPD KHOM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
JAKARTA, JANUARI 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus

Tatalaksana Fase Krisis Blast Pada


Leukimia Granulositik Kronik Dalam Pengobatan Imatinib

Oleh :

dr. Canggih Dian Hidayah

PPDS Ilmu Penyakit Dalam Tahap I

NPM 1606969453

Telah disetujui untuk dipresentasikan di RSUP Persahabatan

Pada bulan Januari 2018

Supervisor Chief of Ward,

dr. Diana Paramita, SpPD KHOM dr. Hikmat Pramukti

ii
PERYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
karya ilmiah saya berupa presentasi kasus dengan judul:

“Tatalaksana Fase Krisis Blast Pada


Leukimia Granulositik Kronik Dalam Pengobatan Imatinib”
Saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan yang dapat
digolongkan sebagai plagiarisme atas karya ilmiah ini, saya akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.

Jakarta, Januari 2018

dr. Canggih Dian Hidayah

NPM: 1606969453

SK Rektor Universitas Indonesia No. 208/SK/R/UI/2009 tanggal 17 Maret 2009 tentang


Pedoman penyelesaian masalah plagiarisme yang dilakukan oleh sivitas akademika
Universitas Indonesia

Plagiarisme adalah tindakan seseorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah dituangkan
dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain dan yang digunakannya dalam tulisannya
seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran, dan/atau tulisan sendiri
sehingga merugikan orang lain baik material maupun nonmaterial, dapat berupa pencurian
sebuah kata, frasa, kalimat, paragraph, atau bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku
seseorang, tanpa menyebutkan sumbernya, termasuk dalam plagiarisme adalah plagiarisme diri.

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Lembar Pengesahan ......................................................................................... ii
Pernyataan Bebas Plagiarisme ......................................................................... iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
Daftar Singkatan............................................................................................... v
Daftar Gambar .................................................................................................. vii
Daftar Tabel ..................................................................................................... viii
BAB 1 Pendahuluan ....................................................................................... 1
BAB 2 Ilustrasi Kasus .................................................................................... 2
BAB 3 Diskusi ................................................................................................. 7
3.1 Epidemiologi.................................................................................... 8
3.2 Etiologi dan Patogenesis ................................................................. 8
3.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis .................................................. 9
3.4 Tatalaksana ..................................................................................... 11
3.4.1 Tatalaksana Suportif ............................................................ 14
3.4.2 Tatalaksana Terapi Target .................................................. 17
3.5 Prognosis .......................................................................................... 19
BAB 4 Kesimpulan ......................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

iv
DAFTAR SINGKATAN

BM Bone Marrow
CCyR Complete Cytogenetic Response
CHR Complete Hematologic Response
CST Cangkok sumsum tulang
DNA Deoxyribonucleic Acid
EKG Electrocardiography
ELN European LeukimiaNet
ESMO European Society of Medical Oncology
Hb Haemoglobin
IBMTR Internatinonal Bone Marrow Transplant Registry
IRIS The International Randomized Study of Interferon and STI57
ISK Infeksi saluran Kemih
iv intravena
JVP Jugular Venous Pressure
L liter
LGK Leukimia Granulositik Kronik
Mg milligram
ml milliliter
MMR Major Molecular Response
NCCN National Comprehensive Cancer Network
Ph Phiadelphia Chromosome
Po Per oral
PRC Packed Red Cell
ROS Reactive Oxygen Species
RS Rumah Sakit
SSTI Skin and Soft Tissue Infections
Supp Suppositoria
TB Tuberculosis
TKI Tyrosine Kinase Inhibitors

v
USG Ultrasonography
VAS Visual Analoge Scale
WHO World Health Organizatio

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pemeriksaan fisk abdomen pasien................................................ 5


Gambar 2.2 Pemeriksaan rontgen thoraks pasien saat masuk.......................... 6
Gambar 2.3 Pemeriksaan rontgen thoraks pasien evaluasi .............................. 6
Gambar 2.4 Pemeriksaan EKG pasien ............................................................. 6
Gambar 2.5 Pemeriksaan USG Abdomen pasien ............................................ 6

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kriteria LGK Fase Akselerasi Menurut M.D. Anderson


Cancer Center, World Health Organization (WHO) dan
Internatinonal Bone Marrow Transplant Registry (IBMTR).......... 10
Tabel 3.2 Kriteria LGK Fase Krisis Blastik Menurut WHO, IBMTR
dan ELN ................................................................................... 11
Tabel 3.3 Definisi Respons Terapi menurut ELN ............................................ 13
Tabel 3.4 Definisi Pencapaian Respons terhadap TKI sebagai Lini Pertama
Menurut ELN ................................................................................... 14

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan salah satu keganasan


dengan estimasi prevalensi 15% - 20% dari total keseluruhan kasus keganasan
hematologi dan merupakan jenis keganasan kedua terbanyak setelah leukemia
limfositik kronik1 sehingga tidak dipungkiri kasus LGK akan sering ditemui
dalam praktik sehari – hari.

LGK sesuai namanya termasuk kelainan hematologi kronik dengan


karakteristik ditemukannya kromosom Philadelphia yaitu adanya translokasi
materi genetik antara kromosom 9 dan 22 dengan hasil fusi pada gen yang
mengkode BCR dan ABL yang bersifat leukemogenik protein tirosin kinase yang
menghasilkan pertumbuhan dan replikasi sel secara progresif yang ditandai
dengan proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi sehingga pada
hapusan darah tepi dapat ditemui tingkatan diferensiasi seri granulosit dari
mieloblas sampai granulosit.23456

Patogenesis penyakit LGK telah diketahui dengan baik sehingga tujuan


pengobatan pada umumnya dapat terjadi pada 85% kasus dengan menggunakan
strategi terapi target dengan lini pertama tyrosine kinase inhibitor atau TKI2, akan
tetapi pasien LGK yang pada awalnya memberikan respon baik terhadap terapi
TKI dapat progresif menjadi fase krisis blas dengan segala komplikasinya
sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya progresivitas penyakit atau
resistensi obat67 dan diperlukan tatalaksana yang baik pada fase krisis blast
tersebut.

Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai tatalaksana pada pasien
seorang laki- laki dewasa muda penderita LGK dalam terapi imatinib selama tiga
tahun dengan tanda dan gejala klinik fase krisis blast. Dengan mengetahui
gambaran klinik tahapan fase patogenesis penyakit dan komplikasi yang dapat
timbul pada fase krisis blast pada penyakit LGK diharapkan dapat memberikan
wawasan mengenai perjalanan penyakit dan melakukan tatalaksana dengan baik.

1
BAB 2

ILUSTRASI KASUS

Seorang laki – laki usia 42 tahun datang dengan keluhan demam tinggi
sejak 5 hari SMRS terus menerus sepanjang hari, demam turun beberapa saat
setelah minum obat parasetamol namun akan kembali naik dalam beberapa jam
kemudian. Terdapat keringat malam, tidak ada keluhan batuk, sesak dan nyeri
dada. Didapatkan keluhan mual dan muntah setiap makan dan minum, pasien
menjadi lemas dan mudah lelah, terdapat penurunan nafsu makan, perut terasa
mudah penuh bila makan. Perut terasa begah, membesar dan terdapat benjolan
yang membesar dan keras di bagian perut sebelah kiri, tidak nyeri bila disentuh.
Keluhan perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah, bintik – bintik merah di kulit
disangkal, tidak ada BAB hitam. BAK dirasa tidak ada keluahan.

Pada enam tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan lemas,
dan sering demam berkepanjangan disertai perut kiri atas keras, membuncit dan
terdapat gusi berdarah tiba- tiba. Pasien berobat ke RS Pondok Kopi dan
dilakukan pemeriksaan darah didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih dan
ditemukan sel darah merah serta trombosit yang rendah lalu dilakukan tranfusi
darah serta pemeriksaan sumsum tulang dengan diagnosis leukimia, kemudian
dilakukan pemeriksaan BCR-ABL di RS Dharmais dengan hasil positif. Pasien
pada awalnya mendapat terapi hidrea 2x 500 mg selama 4 tahun dan dikatakan
respon kurang baik, pasien akhirnya dirujuk ke RSUP Persahabatan dan
mendapat terapi Imatinib dengan dosis 1x400 mg rutin dan teratur kontrol, dan
dosis pernah diubah menjadi 2x200 mg dengan alasan penyesuaian dosis. Pasien
rutin kontrol setiap 2 minggu sekali untuk mengambil obat dan cek darah dan
pengobatan tidak pernah terputus. Selama pengobatan pasien mengaku perut tidak
pernah buncit lagi namun selama 1 tahun terakhir dirawat inap sebanyak 7 kali
karena jumlah sel darah merah dan trombosit turun dan dilakukan tranfusi darah.

Dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien dirawat di RS


Persahabatan dengan keluhan serupa, demam tinggi, lemas, dan terdapat
pembesaran perut dengan bagian perut kiri yang mengeras serta tidak ada tanda
2
perdarahan. Pasien kemudian mendapatkan tranfusi darah merah dan trombosit,
dengan konsumsi Imatinib dihentikan selama 4 hari, setelah pemeriksaan darah
dikatakan normal Imatinib kembali dilanjutkan dengan dosis yang sama 1x400 mg
kemudian disarankan kontrol melalui rawat jalan.

Pasien tidak memiliki sakit darah tinggi dan kencing manis. Terdapat
riwayat TB paru 17 tahun SMRS dengan pengobatan obat paru selama 6 bulan
dan dinyatakan sembuh. Tidak ada riwayat sakit kuning, bicara pelo, kelemahan
anggota gerak ataupun alat kelamin yang menegang. Tidak ada riwayat keganasan
pada keluarga. Pasien bekerja sebagai karyawan swasta di Ancol, ada riwayat
merokok sebanyak 15 batang per hari dan tidak ada kebiasaan minum alkohol dan
promiskuitas. Pasien tidak mengkonsumsi obat – obatan lain selain resep dokter
yang diberikan saat kontrol.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit


sedang, sadar penuh, suhu aksila 38.3C, tanda vital lain dalam batas normal,
konjungtiva anemis, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal, abdomen
buncit, dengan lien teraba schuffner 4, tidak ada nyeri palpasi pada abdomen dan
tidak didapatkan edema serta ptekie pada ekstrimitas.

Pada pemeriksaan penunjang awal didapatkan bisitopenia dengan Hb 6,7


(pakai satuan) dan trombosit 32.000(pakai satuan) dengan leukosit 14.200(pakai
satuan) dengan hitung jenis basofil eosinophil neutrofil limfosit monosit
0/0/75/6.5/18.3 dan hasil gambaran darah tepi ditemukan jumlah cukup,
limfopenia, neutrofil shift to left, ditemukan mielosit, vakuolisasi, sel blast positif
> 20%, trombositopenia dengan giant trombosit, dan albumin 3.2. gr/dl
Pemeriksaan urine dalam batas normal.

Gambaran EKG menunjukkan sinus takikardi dengan akis normal,


gelombang P normal dengan PR interval dan lebar QRS yang normal. Tidak
didapatkan perubahan segmen ST ataupun gambaran hipertrofi ventrikel dan
bundle branch block. Pemeriksaan foto thoraks tidak didapatkan kelainan
radiologis pada jantung dan paru.

Berdasarkan sintesis dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang awal maka perumusan masalah awal pada pasien ini adalah Leukimia
granulotik kronik fase krisis blast dengan bisitopenia, dispepsia dengan intake

3
kurang dan hipoalbuminemia. Tatalaksana awal pada pasien adalah pemberian
hidrasi cairan infus NaCl 0.9% 500ml/6 jam, tirah baring total, diet nasi lunak
dengan kalori 1900 kkal per hari, parasetamol 3x500 mg, sukralfat 3x15 ml
peroral, Ceftriaxone 1x2 gram iv (asessmennya apa?), Imatinib dihentikan
sementara, serta rencana tranfusi PRC 600 ml dengan target Hb > 10. Pasien
kemudian direncanakan pemeriksaan darah lengkap serial dan evaluasi tanda –
tanda leukostasis.

Pada hari ke lima perawatan pasien demam tinggi sepanjang hari, tidak
ada keluhan batuk dan sesak, perut masih terasa begah, keras dan nyeri yang
bertambah terutama pada bagian perut yang mengeras. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan suhu febris 39 C, pada pemeriksaan paru didapatkan rhonki basah
kasar superior dan medius paru kanan, tidak ada wheezing, pemeriksaan abdomen
didapatkan lien schufner 5 dan nyeri palpasi di Regio Lumbal kiri. Pemeriksaan
fisik lain dalam batas normal. Hasil pemeriksaan penunjang Hb 11 leukosit
77.860, dan trombosit 111.000, rontgen thoraks didapatkan gambaran pneumonia.
Maka rumusan masalah pada pasien menjadi pneumonia akibat kuman rumah
sakit, LGK fase krisis blast dengan bisitopenia dan cancer pain curiga ruptur
limpa dengan diagnosis banding thrombus arteri mesenterika akibat leukostasis,
dispepsia dengan intake kurang dengan perbaikan klinis. Pasien kemudian
direncanakan pemeriksaan tambahan kultur darah, kultur sputum, kultur urine,
gambaran darah tepi ulang, dan USG abdomen. Tambahan tatalaksana pada
pasien dengan hidrasi NaCl 0.9% 500ml/ 4 jam, antibiotik Ceftazidine 3x1 gram
iv, Deksamethasone 3x5 mg iv (untuk asseesmen?), Natrium Bicarbonat
3x500mg, CaCO3 3x500mg, Allopurinol 1x300 mg, Inpepsa 3x10ml,
Domperidon 3x10mg, Paracetamol 4x500 mg po dan Ketoprofen Supp 100mg
bila nyeri dengan VAS>5 dan terapi Imatinib dilanjutkan 1x400 mg po.(bukan
pakai hydrea?)

Hasil pemeriksaan darah serial Hb 10, leukosit 106.000 dan trombosit


36.000 dengan hapusan darah tepi blast> 20%, hasil kultur darah steril, kultur
sputum tidak didapatkan spesimen sputum, kultur urin steril, pemeriksaan USG
abdomen didapatkan spleenomegali dan organ lain dalam batas normal. Evaluasi
pada hari ke sepuluh perawatan pasien bebas demam dalam 3x24 jam, tidak ada
keluhan sesak, nyeri di bagian perut menetap dengan VAS 6, nafsu makan

4
membaik, tidak ada tanda perdarahan. Pemeriksaan fisik didapatkan edema
palpebra bilateral, peningkatan JVP 5+3 cm H2O, terdapat rhonki basah halus
pada bagian basal paru bilateral, edema kedua tungkai pitting. Pasien kemudian
diperiksakan fungsi ginjal, elektrolit natrium, kalium, klorida, kalsium,
magnesium dan phospat serta albumin dengan hasil dalam batas normal, dan
albumin 3.30, evaluasi gambaran darah tepi sel blast ditemukan 21%. Maka
tambahan rumusan masalah pada pasien adalah sindrom overload dengan edema
paru dan edema tungkai bilateral dengan tatalaksana tambahan restriksi cairan,
infus dengan venflon, furosemide 2x40 mg iv, spironolakton 1x100 mg po dan
batasan asupan cairan 600 ml/ 24 jam dengan target balans negatif.

Pada evaluasi hari perawatan ke tiga belas, keluhan nyeri perut berkurang,
pasien bebas demam, bengkak pada mata dan kaki perbaikan. Hasil pemeriksaan
darah lengkap Hb 9.6 leukosit 98.000 trombosit 76.000 degan gambaran darah
tepi 14%. Pasien direncanakan rawat jalan dengan terapi fentanyl patch 25 mcg/
72 jam, imatinib 1x400 mg po, laxadine 3x10 ml, omeprazole 2x20 mg po dan
edukasi mengenai perjalanan penyakit pasien serta ketaatan untuk rutin kontrol
dan minum obat.

LIEN

Gambar 2.1 Pemeriksaan fisk abdomen pasien

5
Gambar 2.2 Pemeriksaan rontgen thoraks Gambar 2.3 Pemeriksaan evaluasi rontgen
pasien saat masuk thoraks pasien

Gambar 2.4 Pemeriksaan EKG pasien

6
Gambar 2.5 Pemeriksaan USG Abdomen pasien

BAB 3
DISKUSI
Pasien (CML/LGK) dengan demam disertai leukositosis perlu dipikirkan
adanya inflamasi, infeksi, penggunaan obat – obatan seperti steroid atau
keganasan. Anamnesis perjalanan penyakit, keluhan yang muncul, profil tampilan
klinis yang ditampilkan dan hasil pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat
membantu mengarahkan pada salah satu diagnosis banding. Pada pasien pengguna
steroid jangka panjang dapat terjadi kondisi imunosupresi sehingga demam dapat
merupakan manifestasi dari infeksi yang timbul akibat kondisi tersebut,
sedangkan pada proses inflamasi yang bersifat sistemik seperti pada kondisi luka
bakar, infark miokard, emboli paru, leukositosis dapat pula ditemukan pada
pemeriksaan darah. Infeksi bakteri biasanya akan menunjukkan gambaran
leukositosis dengan granula toksik, fokus infeksi tertentu akan sesuai dengan
keluhan yang timbul seperti batuk dengan sputum pada infeksi paru, dysuria
dengan pyouria pada ISK atau luka dengan pus, jaringan kulit hiperemi yang nyeri
pada SSTI. Leukositosis pada keganasan myeloproliferatif dengan demam
paraneoplastik dapat menjadi persangkaan utama pada pasien dengan tampilan
klinis yang sesuai seperti pada usia > 60 tahun dengan tipe pola demam tinggi
yang khas pada B symptoms dengan tentunya didukung oleh pemeriksaan
penunjang selanjutnya seperti gambaran darah tepi dan pemeriksaan sumsum
tulang.

Pasien laki- laki usia 41 tahun dengan keluhan demam tinggi menetap
sepanjang hari turun dengan minum obat penurun panas dalam beberapa saat dan
akan kembali tinggi, disertai keluhan lemas, mudah lelah, berkeringat banyak di
malam hari, dengan perut yang membuncit dan terdapat massa padat keras yang
membesar di bagian perut sebelah kiri, tanpa ada perdarahan, nyeri kepala, telinga
berdenging. Keluhan batuk, sesak, nyeri berkemih disangkal. Pasien dengan

7
riwayat menderita LGK selama 6 tahun dengan pengobatan Imatinib 3 tahun
terakhir, teratur kontrol dan tidak terputus pengobatan, dan dalam 1 tahun terakhir
muncul keluhan serupa dengan riwayat tranfusi berulang. Berdasarkan anamnesis
demam lebih dicurigai akibat paraneoplastik dengan pola demam dan gejala B
symptoms, tidak ditemukannya riwayat pengobatan steroid dan keluhan terhadap
fokus infeksi saluran nafas dan saluran kemih tidak ada dengan pasien yang
merupakan pengidap LGK dalam pengobatan Imatinib.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu aksila 38.3C, konjungtiva anemis,


pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal, abdomen buncit, dengan lien
teraba schuffner 4, tidak ada nyeri palpasi pada abdomen dan tidak didapatkan
edema serta ptekie pada ekstrimitas. Hasil pemeriksaan penunjang Hb 6,7 dan
trombosit 32.000 dengan leukosit 14.200 dengan hitung jenis basophil eosinophil
neutrophil limfosit monosit 0/0/75/6.5/18.3 dan hasil gambaran darah tepi
ditemukan jumlah cukup, limfopenia, neutrophil shift to left, ditemukan
promielosit dan mielosit, vakuolisasi, sel blast positif > 20% trombositopenia
dengan giant trombosit, dan albumin 3.2. Pemeriksaan urinalisis dalam batas
normal, sehingga sintesis awal masalah pada pasien adalah LGK fase krisis blast
dengan bisitopenia dan cancer pain dengan hipoalbuminemia.

3.1 Epidemiologi
Insiden LGK berkisar antara 10- 15 kasus per 1.000.000 orang di seluruh
dunia tanpa ada perbedaan geografi maupun etnis.25 Umur rata- rata penderita
didiagnosis dengan LGK antara 60 hingga 65 tahun di Eropa dan Amerika
Serikat289 dan dapat lebih muda pada negara dengan populasi muda lebih banyak.2
(esmo). Insidens LGK di Amerika Serikat pada tahun 2018 diperkirakan mencapai
8.430 penderita.8 Di Indonesia tidak diketahui pasti jumlah prevalensi penderita
LGK. Pada tahun 2004, US Census Bureau, International Data Base
mengekstrapolasikan insidens LGK di Indonesia berdasarkan data statistik di
Amerika Serikat, Kanada, United Kingdom dan Australia. Menurut ekstrapolasi
data tersebut insidens LGK di Indonesia 4.032 dari 238.452.952 penduduk dan
pada tahun 2010, Reksodiputro dkk. melaporkan median usia pasien LGK di
Indonesia adalah 37 tahun (kisaran usia 16–67 tahun), hanya 7% pasien yang
berusia ≥ 60 tahun.3 Sesuai dengan epidemiologi, pasien laki-laki berusia 41 tahun
dengan awitan penyakit usia 35 tahun dan tinggal di Indonesia.

8
3.2 Etiologi dan Patogenesis
Leukemia granulositik kronik (LGK) adalah kelainan mieloproliferatif
yang ditandai oleh adanya fusi gen BCR-ABL akibat translokasi resiprokal
kromosom 9 dan 22 yang menghasilkan protein yang mengalami autofosforilasi
tirosin diikuti dengan aktivasi tirosin kinase (TK) berkesinambungan yang
mengirimkan berbagai sinyal transduksi di bawahnya, sehingga menimbulkan
proliferasi, gangguan diferensiasi, dan hambatan apoptosis sel seri mieloid.2-6
Mekanisme molekuler pathogenesis memang telah diketahui dengan baik namun
penyebab terjadinya translokasi gen tersebut masih belum dapat diketahui.2

3.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Leukemia granulositik kronik terdiri dari tiga fase yaitu fase kronik, fase
akselerasi dan fase krisis blastik. Sebagian besar pasien (90-95%) ditemukan
dalam fase kronik dan biasanya ditemukan secara kebetulan pada saat
pemeriksaan darah perifer. 50% pasien yang didiagnosis LGK di Eropa
asimptomatik dan dalam fase kronik.2

Tanda dan gejala yang biasanya muncul merupakan manifestasi dari


anemia dan splenomegali (pada 40-50% pasien), seperti mudah lelah, lemas,
penurunan berat badan, dan rasa penuh pada perut sebalah kiri atas (keluhan
mudah kenyang atau merasa ada bagian perut kiri atas yang keras dan membesar).
Manifesatsi perdarahan kadang dapat timbul akibat adanya trombositopenia
namun lebih jarang muncul, trombosis (akibat tromositosis dan atau leukositosis),
perdarahan retina dan ulkus pada saluran cerna bagian atas (akibat basophilia yang
meningkatkan kadar histamin). Manifestasi leukostasis seperti priapismus, sesak,
penurunan kesadaran, kelemahan anggota gerak, confusion biasanya jarang
muncul meski leukosit >100.000 namun tetap perlu menjadi perhatian.
Hepatomegali dapat ditemukan, infiltrasi ekstramedular seperti ke kulit, kelenjar
getah bening, saraf pusat , tulang dan paru paru jarang terjadi. Gejala seperti nyeri
kepala, tulang, sendi, nyeri infark pada lien dan demam biasanya sering pada
transformasi LGK ke fase akselerasi atau blast.2-6

Pada pemeriksaan fisis yang sering ditemukan adalah splenomegali. Pada


pemeriksaan darah tepi umumnya ditemukan leukositosis dengan basofilia dan
granulosit muda terutama metamielosit, mielosit, promielosit dan kadang-kadang

9
ada beberapa sel blas. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi tentang
selularitas sumsum tulang, adanya fibrosis, morfologi selular dan jumlah sel blas.
Kariotyping standar berguna untuk mendokumentasikan adanya kromosom Ph dan
abnormalitas kromosom tambahan saat diagnosis, yang mendukung adanya
evolusi klonal. Kromosom Ph ditemukan pada sekitar 90% pasien LGK dengan
pemeriksaan sitogenetik rutin. Sisanya dapat dideteksi adanya translokasi BCR-
ABL dengan teknik fluorescent in situ hybridization (FISH) atau reversed-
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR).1,2 Dengan dilakukan
pemeriksaan tersebut di atas maka diagnosis dan fase LGK pada pasien dapat
dikategorikan.

Tabel 3.1 Kriteria LGK Fase Akselerasi Menurut M.D. Anderson Cancer
Center, World Health Organization (WHO) dan Internatinonal Bone Marrow
Transplant Registry (IBMTR).1

Kriteria Kriteria WHO** Kriteria


M.D. Anderson IBMTR
Cancer Center*
Blas ≥ 15% di darah tepi 10−19% di darah ≥ 10% di darah
tepi dan atau tepi
sumsum tulang
Blas dan ≥ 30% di darah tepi Tidak ditentukan Tidak ditentukan
promielosit
Basofil ≥ 20% ≥ 20% ≥ 20% (basofil
dan eosinofil)
Trombosit ≤ 100 X 109/L < 100 X 109/L Meningkat yang
yang menetap dan tidak responsif
tidak dengan terapi atau
berhubungan menurun menetap
dengan terapi atau
> 1000 X 109/L
yang menetap dan
tidak responsif
dengan terapi
Sitogenetika Evolusi klonal Evolusi klonal Evolusi klonal
tidak pada saat
diagnosis
Leukosit Tidak ditentukan Peningkatan Sulit dikendalikan
jumlah leukosit atau menjadi dua
yang tidak kalinya dalam
responsif dengan waktu < 5 hari

10
terapi
Anemia Tidak ditentukan Tidak ditentukan Tidak responsif
dengan terapi
Splenomegali Tidak ditentukan Peningkatan besar Peningkatan besar
limpa yang tidak limpa
responsif dengan
terapi
Lain-lain Tidak ditentukan Tidak ditentukan Kloroma,
mielofibrosis
*Kebanyakan digunakan pada uji klinis
**Kebanyakan digunakan oleh ahli patologi

Tabel 3.2 Kriteria LGK Fase Krisis Blastik Menurut WHO, IBMTR dan
ELN1,2
Kriteria WHO Kriteria IBMTR Kriteria ELN
Blast ≥ 20% di darah ≥ 30% di darah ≥ 30% di
tepi atau sumsum tepi atau sumsum darah tepi atau
tulang tulang atau sumsum
keduanya tulang atau
keduanya
Ekstramedular Proliferasi sel blas Infiltrasi sel Ada
leukemik
Biopsi sumsum Fokus besar atau Tidak dilakukan Tidak
tulang kelompokan sel dilakukan
blas

Pasien dengan keluhan demam sepanjang hari selama 5 hari disertai


keringat malam, rasa begah, mudah kenyang, dan perut yang membesar pada
bagian kiri ada bagian yang mengeras dan membesar, lemas, letih. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat dan spleenomegali, pada
pemeriksaan darah perifer ditemukan bisitopenia dengan Hb trombosit dan jumlah
leukosit 14.660 dan gambaran darah tepi terdapat leukositosis dengan ditemukan
mielosit dan blast > 20%. Pasien sebelumnya sudah diperiksakan karyotyping
dengan hasil ditemukan kromosom Phiadelphia. Berdasarakan data di atas maka
pasien termasuk LGK fase krisis blast berdasarkan kriteria WHO. Pemeriksaan
BM phenotyping sebaiknya diperiksakan pada pasien untuk mengetahui fase
krisis blast pada pasien termasuk jenis limfoblastik atau mieloblastik untuk
penetalaksanaan selanjutnya dan mengetahui prognosis penyakit.

11
3.4 Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan adalah terjadinya remisi lengkap baik secara


hematologik, sitogenetik dan molekuler. Respons hematologi dievaluasi
berdasarkan jumlah sel darah dan diferensiasinya, respons sitogenetik dievaluasi
berdasarkan pemeriksaan kromosom Philadelphia dengan metaphase karyotyping
sumsum tulang, sedangkan respons molekular dievaluasi berdasarkan pemeriksaan
kuantitatif transkrip BCR-ABL/ABL.1,2,9

Sejak ditemukan pada tahun 2001, TKI menjadi lini awal pengobatan
LGK karena merupakan inhibitor selektif terhadap kerja gen BCR-ABL yang
menginduksi protein kinase.2,4,9 Protein BCR-ABL yang dimiliki oleh penyakit
LGK memiliki domain tirosin kinase yang apabila berikatan dengan ATP pada
kondisi fisologis akan memfosforilasi residu tirosin pada substrat yang akan
mengaktifkan transduksi signal pada beberapa jalur dengan hasil akhir
leukemogenesis. Penggunaan TKI akan menghambat proses tersebut. Pada
pengobatan LGK penggunaan inhibitor tirosin kinase yang selektif pada BCR-
ABL di tempat pengikatan ATP bertujuan menghambat fosforilasi dan merupakan
targeting terapy dengan prognosis yang lebih baik dibanding pengobatan pada
jenis leukimia lainnya.2-9 Imatinib, nilotinib dan dasatinib merupakan contoh TKI
selektif BCR-ABL dan lini awal pengobatan LGK. Pemberian terapi TKI
menghasilkan kesintasan 5 tahun sebesar 85% dengan tidak ada perbedaan
bermakna secara signifikan antara imatinib dan kedua TKI lainnya.2

Pada pasien yang tidak diberikan terapi sama sekali, sebanyak 40% akan
meninggal dunia pada 2-3 tahun pertama. Pada hasil penelitian IRIS menunjukkan
CCyR setelah 12 bulan terapi Imatinib adalah 76%, setelah follow up median 60
bulan angka CCyR menjadi 82%. Angka MMR (Singkatan dari?) meningkat dari
24% pada 6 bulan menjadi 39% pada 12 bulan. Angka MMR terbaik dicapai
setelah follow up 8 tahun yaitu 86%. Tidak satu pun pasien yang mencapai MMR
setelah 12 bulan berlanjut menjadi fase akselerasi atau krisis blastik. Hasil itu
tersebut memperlihatkan bahwa terapi terus menerus dengan Imatinib
menginduksi tingginya durasi respons dengan menurunkan angka kekambuhan
Semakin banyak pasien yang mencapai MMR pada 12 bulan terapi Imatinib,
semakin banyak pasien yang tidak berlanjut menjadi fase akselerasi dan krisis

12
blastik. Dengan tercapainya deep MMR (molecular response 4.5 atau tidak
terdeteksinya transkripsi BCR-ABL1) 39-45% pasien dapat tetap mencapai remisi
selama 3 tahun tanpa pengobatan.4 Pada studi di Indonesia, angka CHR (meski
sudah ada daftar singkatan sebaikya pertama ketemu singkatan tetap dijelaskan )
pada 53 pasien LGK fase kronik lanjut yang diobati dengan imatinib sebesar
74%.3

Agen sitoreduksi seperti hydorxyurea yang memiliki efek cepat, harga


terjangkau, profil keamanan yang baik, terkadang masih digunakan untuk
mengontrol penyakit pada fase awal diagnosis sembari menunggu uji tes diagnosis
karyotyping secara temporer dan masih dipertimbangkan untuk diberikan pada
pasien yang tidak dapat atau resisten terhadap TKI, akan tetapi perlu diketahui
meski dapat meningkatkan kualitas hidup penderita selama fase kronik,
pengobatan dengan jenis sitoreduksi tidak mencegah progresivitas penyakit dan
tidak menambah kesintasan penderita LGK.9

Dalam pemberian terapi TKI terdapat parameter respon yang dijadikan


monitor selama pemberian terapi dan dapat dijadikan tindak lanjut tatalaksana
selanjutnya.

Tabel 3.3 Definisi Respons Terapi menurut ELN1,2

Respon Definisi
CHR Hitung sel darah normal:
Hitung trombosit < 450.000/mm3
Leukosit < 10000/mm3
Hitung jenis: basofil < 5%, tidak ada mielosit, tidak
ada promielosit, atau mieloblas
Limpa tak teraba
Respons Sitogenetik
Tidak ada respons > 95% metafase Ph+
Respons minimal 66–95% metafase Ph+
Respons minor 36–65% metafase Ph+
PCyR 1–35% metafase Ph+
CCyR 0% metafase Ph+

13
Respons Molekular
MMR Rasio BCR-ABL/ABL ≤ 0,1% pada skala
internasional
Tidak terdeteksinya mRNA BCR-ABL oleh
CMR quantitative real time polymerase chain reaction
(qRT-PCR)
CHR: Complete Hematologic Response; PCyR: Partial Cytogenetic Response; CCyR; Complete
Cytogenetic Response; MMR: Major Cytogenetic Response; CMR: Complete Molecular Response.

Tabel 3.4 Definisi Pencapaian Respons terhadap TKI sebagai Lini Pertama
Menurut ELN1,2
Evaluasi Waktu RESPON
OPTIMAL GAGAL WARNING
(Bulan)

Data Dasar Tidak ada Tidak ada Risiko TInggi;


CCA/Ph+

3 BCR-ABL/ABL ≤ Tidak CHR atau BCR-ABL/ABL >


10% dan atau Ph+ ≤ Ph+ > 95% 10% dan atau Ph+
35% 36–95%

6 BCR-ABL/ABL < BCR-ABL/ABL > BCR-ABL/ABL


1% dan/atau Ph+ 0 10% dan/atau Ph+ 1−10% dan atau Ph+
> 35% 1–35%

12 BCR-ABL/ABL ≤ BCR-ABL/ABL > BCR-ABL/ABL >


0,1% 1% dan/atau Ph+ 0,1–1%
>0

Kapanpun BCR-ABL/ABL ≤ Hilangnya CHR; CCA/Ph- (-7, atau -


sepanjang 0,1% Hilangnya CCyR, 7q) atau BCR-
pengobatan mutasi, CCA/Ph+ ABL/ABL > 0,1%

Pasien awalnya mendapat terapi hydroxyurea pada awal pengobatan


selama 4 tahun (karena/atas alasan /pertimbangan?) lalu digantikan dengan
Imatinib selama 3 tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah perifer dan
hapusan darah tepi, pasien kehilangan respon hematologi dengan tidak memenuhi
kriteria CHR dan termasuk dalam kategori gagal terapi, sedangkan pemeriksaan
respon sitogenetik dan molekuler belum diperiksakan.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan krisis blastik diantaranya


adalah terapi (kegawatdaruratan hematologi dan suportif karena pada fase ini

14
merupakan fase kegawatdaruratan hematologi serta selanjutnya evaluasi keperluan
pemberian targeting terapi lini kedua.

3.4.1. Tatalaksana suportif

Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan British, pasien dengan akut


limfoblastik atau myeloid leukimia dengan leukosit > 100x109 / L dikategorikan
sebagai risiko tinggi terjadinya sindrom lisis tumor.10 Sindrom lisis tumor sendiri
berdasarkan dengan kriteria Cairo-Bishop ditandai dengan adanya 2 atau lebih
nilai abnormal laboratorium pada pasien keganasan atau menjalani terapi untuk
keganasan dalam 3 hingga 7 hari setelah inisiasi terapi :

a. kadar asam urat ≥476 µmol/l atau meningkat 25% dari data awal
b. kadar kalium ≥ 6 mmol/l atau meningkat 25% dari data awal
c. kadar fosfat ≥1.45 mmol/l atau meningkat 25% dari data awal
d. kadar kalsium ≥ 1.75 mmol/L atau menurun 25% dari data awal

(sebaiknya ada dalam satuan metrik yang lazim kita gunakan)

Dan memenuhi kriteria klinis salah salah satu :

a. kadar kreatinin ≥ 1.5x ambang atas normal


b. aritmia
c. kematian mendadak
d. kejang

Tatalaksana pada pasien dengan risiko tinggi sindrom lisis tumor diantaranya :

a. Hidrasi
Jumlah volume hidrasi yang diberikan tidak ada ketentuan baku dengan
estimasi hingga 3 liter dalam 24 jam dengan target urin 100ml/m2/ jam
dengan target pengukuran balans setiap 6 jam. Perhatian khusus diberikan
pada pasien dengan gangguan ginjal atau penyakit kardiovaskular
sebelumnya untuk risiko kelebihan cairan. Pemberian agen alkalinisasi
urin tidak direkomendasikan karena penelitian berbasis bukti yang tidak
jelas dan meningkatkan risiko presipitasi kalsium- fosfat dan menurunkan
kelarutan xanthine pada kondisi pH urin yang basa (sertakan sumbernya).
(Hidrasi menggunakan cairan apa?)
b. Allopurinol

15
Dalam mencegah SLT dosis allopurinol yang diberikan adalah 200-400
mg/m2/hari dibagi dalam 1-3 kali. Secara umum dalam keganasan
hematologi diberikan dosis 300mg/ hari dan terbukti efektif. Penggunaan
allopurinol dapat diberikan hingga 7 hari pasca kemoterapi. Allopurinol
sebagai xanthine oxydase inhibitor bekerja dengan mencegah
pembentukan kristal asam urat pada tubulus ginjal akibat pemecahan inti
sel yang terjadi pada lisisnya sel kanker saat diberikan kemoterapi, akan
tetapi tidak dapat mengurangi jumlah asam urat yang sudah dideposisi
pada tubulus ginjal.
c. Rasburicase
Rasburicase adalah rekombinan urate oksidase dengan mekanisme kerja
memetabolisme urat secara langsung menjadi zat yang mudah larut,
memecah langsung urat yang telah terdisposisi pada tubulus ginjal
sehingga dapat secara langsung menurunkan kadar asam urat lebih cepat
dibanding allopurinol. Obat ini diberikan dengan dosis 0.2mg/kgbb/ hari
dengan pemberian secara infus selam 5-7 hari.
d. Manajemen hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Hipokalsemia asimptomatik tidak diberikan terapi secara khusus, namun
bila hipokalsemia terlalu rendah < 1.75 atau turun 35% dari data dasar
dapat diberikan kasium glukonas. Sedangkan manajemen hiperfosfatemia
cukup dengan hidrasi yang cukup dan dengan rasburikasi bila diperlukan.
Apabila dengan kedua cara tersebut tidak dapat tertangani dialysis dapat
dipertimbangkan. (terapi yang lain? sumber?)
e. Hiperkalemia
Pada kondisi peningkatan hiperkalemia > 6 mmol/L pemantauan fungsi
jantung diperlukan dan apabila >7mmol/L dan refrakter dengan koreksi
medikamentosa dialysis secara urgen diperlukan. (terapi hiperkalemia
yang lain?)
f. Dialisis
Apabila kondisi di atas tidak dapat ditangani secara medikamentosa
ditambah dengan penurunan fungsi ginjal secar signifikan, sindoma
overload yang refrakter, hiperkalemia, hiperurisemia, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia maka dialysis dapat diindikasikan untuk dilakukan.10

16
Terapi diet bagaimana? gizi?

Tatalaksana suportif yang diberikan pada pasien NaCl 0.9% 500ml/ 4 jam,
Natrium bicarbonat 3x500mg po, CaCO3 3x500mg po, Allopurinol 1x300 mg po,
Inpepsa 3x10ml po, Domperidon 3x10mg po, Paracetamol 4x500 mg po, dan
Ketoprofen Supp 100mg bila nyeri dengan VAS>5 dan terapi Imatinib dilanjutkan
1x400 mg po.
Selain ini itu pada kondisi fase krisis blast, pembesaran lien yang masif
dapat mengakibatkan terjadi ruptur lien atau infark pada limpa akibat perfusi yang
tidak adekuat.2 Evaluasi kondisi klinis pada pasien, rasa nyeri hebat pada regio
kiri atas yang menetap, kadar haemoglobin yang turun serta gambaran
pemeriksaan penunjang seperti USG abdomen yang mendukung diperlukan untuk
monitor kondisi pasien.
Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian kiri dan kanan atas, awalnya
hanya rasa tidak nyaman, begah dan mudah kenyang dan dari pemeriksaan fisik
didapatkan pembesaran limpa schuffner 4. Keluhan tersebut dapat muncul akibat
desakan ukuran limpa yang membesar. Selama perawatan ukuran lien membesar
menjadi schuffner 5 dengan keluhan nyeri yang dirasa menetap dan bertambah
(nilai VAS yang meningkat dari 3 menjadi 6) maka diperlukan evaluasi lebih
lanjut yaitu dengan melakukan pemeriksaan USG abdomen untuk mencari
kemungkinan ruptur atau infark lien (dan CT bila infark dicurigai)dengan hasil
tidak didapatkan penurunan kadar Hb yang signifikan, dan hasil USG abdomen
hanya ditemukan spleenogali, tidak ditemukan infark ataupun ruptur limpa maka
selanjutnya tatalaksana pada pasien adalah dengan pemberian antinyeri yang
dieskalasi dari golongan NSAID menjadi golongan opioid yaitu fentanyl patch
25mcg/72 jam pada manajemen antinyeri untuk cancer pain.
Pasien LGK pada fase krisis blast lebih rentan terkena infeksi7 dan observasi
kejadian perdarahan juga diperlukan. Pasien terkena infeksi paru akibat kuman
nosokomial selama perawatan dan diberikan terapi antibiotik pada pasien.
Pemberian antibiotik empiris yang sesuai dengan fokus infeksi dalam hal ini
infeksi paru – paru dapat diberikan sembari menunggu hasil data definitif agar
kondisi umum pasien tidak mengalami perburukan. Pada pasien diberikan
antibiotik Ceftazidime 3x1 gram selama 5 hari dan pasien memberikan respon

17
klinis yang baik dan selama perawatan tidak ditemukan adanya manifestasi
perdarahan.

3.4.2 Tatalaksana Terapi Target


Pasien datang dengan kondisi awal fase blastik dengan riwayat telah
mendapatkan terapi Imatinib selama 3 tahun dengan evaluasi rutin pemeriksaan
darah setiap 2 minggu, terapi suportif pemberian tranfusi PRC dan trombosit lebih
sering dalam 1 tahun terakhir dan riwayat pasien tidak pernah putus pengobatan
Imatinib. Pada pasien kemudian diperlukan evaluasi lebih lanjut kemungkinan
terjadinya resistensi atau intoleransi terapi atau progresivitas penyakit LGK
sendiri.
Beberapa teori menyebutkan bahwa progresivitas LGK dapat terjadi akibat
aktivitas protein BCR-ABL secara dependen seperti point mutasi pada domain
kinase yang berhubungan dengan resitensi terhadap TKI disamping BCR-ABL
sendiri secara independen dapat meningkatkan stress oksidatif dan menginduksi
produksi ROS yang mengakibatkan kerusakan DNA secara langsung atau
menyebabkan berkurangnya fungsi perbaikan DNA sehingga sering terjadi
evolusi klonal dan mutasi genetik yang mengakibatkan fase kronik progresif
menjadi fase blastik2,5,6 sehingga pada pasien yang telah mendapat terapi Imatinib
tetap dapat terjadi progresivitas penyakit, sebanyak 33% pasien berlanjut menjadi
fase akselerasi atau krisis blastik.4
Terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi respon terapi Imatinib
diantaranya tidak adanya blas dan basofil di darah tepi, adanya blas kurang dari
5% di sumsum tulang, leukosit kurang dari 10 x 109 /L dan tidak adanya
splenomegali (p < 0,01) kadar hemoglobin yang lebih dari 12 g/dL, adanya blas
kurang dari 5% di sumsum tulang, waktu antara diagnosis LGK sampai mulai
diterapi dengan Imatinib kurang dari 12 bulan merupakan prediktor tingginya
pencapai CCyR pada terapi Imatinib.6
Sebelum memutuskan bahwa pasien resisten terhadap TKI harus dievaluasi
kepatuhan minum obat dan interaksi TKI terhadap obat lain yang diberikan.
Terdapat dua kategori resisten terapi yaitu resistensi primer, yakni kegagalan
pencapaian target baik hematologic, sitogenetik dan molekuler sesuai kategori
dari guideline NCCN dan ELN. Resistensi primer respon hematologi terjadi pada
2-4% kasus dengan hasil pemeriksaan darah perifer yang tidak normal dalam 3-6

18
bulan inisial terapi, pada resistensi sitogenetik primer kegagalan remisi sitogenetik
gagal dicapai dalam 6 bulan, sitogenetik mayor dalam 12 bulan atau sitogenetik
komplit dalam 18 bulan. Sedangkan yang dimaksud dengan resistensi sekunder
adalah kasus yang pada awalnya dapat mencapai target remisi namun seiring
berjalannya waktu kehilangan respon terapi.6
Efek samping penggunaan imatinib tersering adalah neutropenia,
trombositopenia, anemia, peningkatan enzim transaminase, edema, mual, muntah,
kram pada otot, nyeri tulang dan persendian, ruam, rasa mudah lelah, diare dan
nyeri kepala. Keadaan intoleransi pada imatinib dapat berarti keadaan tersebut
diatas yang dapat mengancam jiwa atau menetap lebih dari satu bulan dengan
pemeberian terapi suportif optimal.4,6
Pasien sudah mengkonsumsi Imatinib selama 3 tahun dengan penilaian
kepatuhan minum obat yang baik. Berdasarkan riwayat pengobatan pasien
memberikan respon hematologik yang baik akan tetapi dalam 2 bulan terakhir
terdapat kecurigaan resistensi sekunder dengan berkurangnya respon Imatinib
dengan ditemukannya progresivitas penyakit dari fase kronik ke fase blastik
sehingga berdasarkan rekomendasi ESMO sebaiknya pasien diperiksakan
flowcytometry untuk mengetahui fenotip myeloid dan limfoid, sitogenetik untuk
mengetahui evolusi klonal, dan molekuler genetik untuk melihat profil mutasi dan
pilihan TKI dan pencarian donor sumsum tulang untuk persiapan cangkok
sumsum tulang alogenik.7
Tatalaksana pada kegagalan terapi Imatinib yang direkomendasikan
diantaranya eskalasi dosis Imatinib dari dosis standar 400mg / hari menjadi 600 -
800 mg / hari yang berdasarkan penelitian IRIS bermakna secara statistik
mencapai CHR dalam 3 bulan dan CCyR dalam 12 bulan sebanyak 86% dan 25%
dan pada pasien yang mengalami progresivitas penyakit akan kembali normal
jumlah leukosit sebanyak 67%. Rekomendasi selanjutnya adalah pemberian
generasi kedua TKI seperti dasatinib 2x70 mg/ hari atau nilotinib 2x400 mg / hari
meningkatkan kesintasan 80% dan 87% pada follow up 2 tahun.6 Pada akhirnya
terapi yang direkomendasikan untuk menyembuhkan pasien dengan LGK fase
blastik adalah cangkok sumsum tulang alogenik apabila respon terhadap generasi
kedua TKI gagal dalam memberikan remisi sesuai kriteria. Pasien dengan kriteria
usia< 60 tahun, menemukan donor yang cocok dan termasuk kategori risiko

19
rendah berdasar Sokal, alogenik CST merupakan terpi pilihan dengan
meningkatkan remisi > 9 tahun dengan kesintasan.2,6,7
Berdasarkan analisis di atas, pasien sudah dapat dipertimbangkan untuk
eskalasi dosis Imatinib atau menganti TKI dengan generasi kedua apabila dalam
evaluasi 3 bulan tidak tercapai respon hematologic yang diinginkan dan apabila
memungkinkan untuk dilakukan cangkok sumsum tulang sebagai terapi kuratif
terakhir bila kedua pilihan diatas gagal.

3.5 Prognosis
Median kesintasan pada fase kronik diestimasi 25 hingga 30 tahun dengan
progresivitas 1%-1.5% kasus menjadi fase blastik pada era terapi Imatinib,
sedangkan kesintasan pada fase blastik saat ini berkisar antara 7 hingga 11 bulan
dengan prognosis yang tidak lebih baik dibandingkan terapi konvensional.7

BAB 4
KESIMPULAN

LGK merupakan kasus keganasan hematologi pada dewasa dengan


prevalensi nomor dua terbanyak dan ditemukan mayoritas pada fase kronik
dengan manifestasi klinik yang asimptomatis namun perjalanan penyakit ini tetap
progresif sesuai dengan patogenesisnya.
Pendekatan diagnosis LGK berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang darah tepi, sumsum tulang dan karyotyping standar yang mendukung
kriteria diagnosis dan fase penyakit sesuai dengan kriteria yang berlaku
internasional.
Tatalaksana LGK pada fase kronik dengan TKI merupakan targeting terapi
dengan kesintasan yang baik dalam mencapai remisi total baik secara hematologi,
sitogenetik, dan molekular, namun 7% penderita yang telah mendapatkan terapi
TKI lini pertama dapat progresif menjadi fase akselerasi dan blastik.

20
Fackor – faktor yang mempengaruhi progresivitas LGK diantaranya
aktivitas protein BCR-ABL secara dependen termasuk di dalamnya resistensi
terhadap TKI dan faktor independen yang menyebabkan evolusi klonal sehingga
penyakit berkembang progresif dari fase kronik hingga krisis blastik. Evaluasi
kepatuhan pengobatan dan menyingkirkan interaksi TKI dengan obat lain
diperlukan dalam penilaian resistensi terhadap TKI.
Pada LGK fase blastik tatalaksana meliputi pemberian terapi suportif dan
pemilihan targeting terapi yang sesuai baik dengan mengeskalasi dosis Imatinib
atau mengganti regimen dengan TKI generasi kedua namun terapi kuratif yang
paling baik adalah cangkok sumsum tulang alogenik.
Prognosis LGK fase blastik berkisar antara 7 – 11 bulan sejak awitan
diagnosis fase blast ditegakkan sedang fase kronis dapat mencapai kesintasan
hingga dekade kedua, sehingga tatalaksana LGK fase blastik pada akhirnya
bertujuan untuk menginduksi remisi atau mengembalikan ke fase kronik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Quintás-Cardama A, Cortes JE. Chronic myeloid leukemia: Diagnosis and


treatment. Mayo Clin Proc. 2006;81(7):973–88.

2. Hochhaus A, Saussele S, Rosti G, Mahon F-X, Janssen JJWM, Hjorth-


Hansen H, et al. Chronic myeloid leukaemia: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol.
2017;28(suppl_4):iv41-iv51. Available from:

3. Reksodiputro AH, Syafei S, Prayogo N, Karsono B, Rinaldi I, Rajabto W,


et al. Clinical characteristics and hematologic responses to Imatinib in
patients with chronic phase myeloid leukemia (CML) at Cipto
Mangunkusumo Hospital. Acta Med Indones . 2010;42(1):2–5.

4. Hochhaus A, Larson RA, Guilhot F, Radich JP, Branford S, Hughes TP, et


al. Long-Term Outcomes of Imatinib Treatment for Chronic Myeloid
Leukemia. N Engl J Med. 2017;376(10):917–27.

5. Perrotti D, Jamieson C, Goldman J, Skorski T. Chronic myeloid leukemia:


Mechanisms of blastic transformation. J Clin Invest. 2010;120(7):2254–64.

21
6. Bhamidipati PK, Kantarjian H, Cortes J, Cornelison AM, Jabbour E.
Management of imatinib-resistant patients with chronic myeloid leukemia.
Ther Adv Hematol. 2013;4(2):103–17.

7. Diger Hehlmann R. How I treat CML blast crisis How I treat How I treat
CML blast crisis. Bloodjournal. 2012;120(4):737–48.
8. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures. Cancer. 2017
9. Baccarani M, Castagnetti F, Gugliotta G, Palandri F, Rosti G. Treatment
recommendations for chronic myeloid leukemia. Mediterr J Hematol Infect
Dis. 2014;6(1).

10. Jones GL, Will A, Jackson GH, Webb NJA, Rule S, on Behalf of the
British Committee for Standards in Haematology. Guidelines for the
management of tumour lysis syndrome in adults and children with
haematological malignancies on behalf of the British Committee for
Standards in Haematology. Br J Haematol. 2015;169(5):661–71.

22

Anda mungkin juga menyukai