Anda di halaman 1dari 41

JOURNAL READING

PEMBARUAN PATOFISIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN


MANAJEMEN PTERIGIUM

OLEH :

Luh Gita Arnitasari Devi (017.06.0039)

PEMBIMBING :

dr. I Ketut Ngurah Geradanta, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN / KSM MATA

RUMAH SAKIT UMUM KOTA MATARAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL AZHAR


MATARAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan laporan hasil Journal Reading ini tepat pada
waktunya. Laporan ini membahas mengenai sebuah jurnal yang berudul
“Pembaruan Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Dan Manajemen Pterigium”.
Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada :

1. dr. I Ketut Ngurah Geradanta, Sp.M sebagai dosen tutor yang


senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
journal reading.

2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi


dalam berdiskusi.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk


menyusun laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Saya berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 3 Februari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii
JURNAL ASLI
TELAAH JURNAL
 Abstrak…………………………………………………………….. 1
 Pendahuluan……………………….................................................. 2
 Epidemiologi..................................................................................... 3
 Histopatologi..................................................................................... 3
 Etiologi dan Faktor Risiko................................................................. 6
 Pertimbangan Klinis dan Sistem Grading......................................... 12
 Komplikasi Pterigium........................................................................ 15
 Manajemen Bedah pada Pterigium.................................................... 19
 Kesimpulan....................................................................................... 30

CRITICAL APPRAISAL……………………………………………....... 31
TELAAH JURNAL METODE PICO-VIA
 PICO-VIA………………………………………………………..... 33

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ringkasan dari Teknik Bedah dan Pilihan Terapi


Adjuvant pada Pterigium................................................................. 22

iv
PEMBARUAN PATOFISIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN
MANAJEMEN PTERIGIUM

Abstrak

Pterigium adalah penyakit pada area permukaan mata yang relatif


umum. Aspek klinis dan pilihan pengobatan telah dipelajari sejak bertahun –
tahun yang lalu, tetapi masih banyak ketidakpastian. Jalur patologis utama
dan peran hereditas dalam perkembangan pterigium masih merupakan bidang
yang menarik bagi para peneliti. Peran pterigium dalam iregularitas kornea
terhadap faktor pembiasan dari penghilangan pterigium, sudah semakin
dipercaya berkat adanya banyak penelitian terkait. Hubungan antara
pterigium dan ocular surface neoplasia pada kepercayaan tradisional
sebelumnya mengenai profil penyakit yang aman masih diragukan.
Kebutuhan akan sistem klasifikasi klinis yang komprehensif telah mendorong
homogenisasi percobaan dan prediksi tingkat kekambuhan pterigium setelah
operasi pengangkatan. Metode bedah yang berkembang telah dikaitkan
dengan beberapa komplikasi, yang diagnosis dan manajemennya diperlukan
untuk ahli bedah mata. Menurut review, faktor risiko utama perkembangan
pterigium yaitu paparan ultraviolet. Bagian utama dari evaluasi klinis harus
terdiri dari perbedaan antara pterigia tipikal dan atipikal, di mana yang
terakhir dapat dikaitkan dengan risiko ocular surface neoplasia. Efek
pterigium pada astigmatisme dan aberasi kornea dapat menyebabkan
perlunya pengangkatan dini dengan tujuan mengurangi gangguan refraksi
sekunder. Di antara metode bedah, conjungtival autografting atau
conjungtival-limbal autografting tampaknya menjadi pilihan pertama bagi
ahli bedah mata karena tingkat kekambuhan setelah prosedur dilaporkan lebih
rendah, dibandingkan dengan prosedur lain. Penggunaan opsi terapi adjuvant
didukung dalam literatur, dimana pemberian mitomycin C intraoperatif dan
pascaoperasi telah menjadi pengobatan adjuvant pilihan. Kemanjuran dan
keamanan dari pemberian anti-vascular endothelial growth factor agent dan

1
siklosporin telah dipotulasikan; namun, peran pastinya dalam pengobatan
pterigium membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Kata kunci: Terapi Ajuvan, Komplikasi, Patofisiologi, Pterigium, Operasi


Pengangkatan

Latar belakang

Pterigium (juga dikenal sebagai “Sufer’s eye”) adalah penyakit pada


permukaan mata yang ditandai terutama oleh pertumbuhan jaringan limbal
dan konjungtiva yang berbentuk sayap di atas kornea yang berdekatan.
Sebagai akibat dari perubahan homeostasis permukaan okular lokal,
komponen utama pterigium diantaranya termasuk kelompok proliferatif
limbal stem cell (LSC), metaplasia epitel, jaringan fibrovaskular aktif,
peradangan, dan gangguan lapisan Bowman di sepanjang puncak pterigium
yang menginvasi. Karena model eksperimental telah gagal untuk
menginduksi pembentukan pterigium pada hewan, tampaknya pterigium
adalah penyakit mata yang hanya diamati pada manusia.2 Meskipun
merupakan kondisi mata yang terkenal sejak bertahun-tahun yang lalu, masih
banyak penelitian dilakukan pada patofisiologi dan pengelolaan pterigium
belum menghilangkan beberapa ketidakpastian utama tentang penyakit
permukaan mata yang umum ini.

Tinjauan ini memberikan tinjauan utama tentang etiologi, faktor


risiko, komplikasi, dan manajemen bedah pterigium, dengan fokus pada
pembaruan dan fitur baru dari literatur. Tinjauan literatur dilakukan
berdasarkan hasil pencarian database PubMed, Embase, Web of Science,
Scopus, dan Cochrane menggunakan kata kunci berikut: pterigium,
komplikasi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, dan pengobatan. Artikel yang
diterbitkan dalam bahasa Inggris dari tahun 1948 hingga 2020 dianalisis dan
dimasukkan dalam ulasan ini.

2
Epidemiologi

Bergantung pada studi populasi, prevalensi pterigium berada dalam


kisaran 1% hingga lebih dari 30%.3–7 Menurut meta-analisis dari 20 studi
yang diterbitkan pada tahun 2015, kumpulan prevalensi pterigium adalah
sekitar 10%.8 Tingkat prevalensi maksimum untuk pterigium telah dilaporkan
dalam sebuah penelitian di Cina pada populasi pedesaan, yaitu dihasilkan
sekitar 33%.9

Beberapa faktor risiko pterigium yang dilaporkan adalah usia, 3,4 jenis
kelamin laki-laki,10,11 pengalaman pekerjaan di luar ruangan,3,12 pendidikan
rendah,5 tempat tinggal pedesaan,11 pendapatan rendah,5 warna kulit lebih
gelap,3 dan merokok.5 Penelitian di Amerika Utara, prevalensi pterigium
dilaporkan 2,5 – 3 kali lebih tinggi pada populasi kulit hitam dibandingkan
dengan kulit putih.3 Meskipun distribusinya di seluruh dunia, pterigium
adalah yang paling umum di garis lintang geografis 40° di sekitar
khatulistiwa.13 Tingkat prevalensi pterigium dalam daerah ini dilaporkan
lebih dari 10 kali lebih tinggi daripada di luar daerah tersebut,14 yang sangat
mendukung peran penyinaran ultraviolet (UV) dalam patogenesis pterigium.

Histopatologi.

Sel epitel pterigium.

Temuan histologis utama dalam spesimen pterigium dari permukaan


hingga kedalaman termasuk invasi sel epitel pterigium dengan bentuk
proliferatif, metaplasia skuamosa, hiperplasia sel goblet, lapisan Bowman
yang terganggu, fibroblas stroma dan pembuluh stroma, perubahan
extracellular matrix (ECM) dengan akumulasi kolagen dan serat elastin, dan
infiltrasi inflamasi.

Lebih dari satu abad yang lalu, Fuchs menggambarkan kelompok sel
primitif kecil di epitel basal pterigium,15 yang kemudian divisualisasikan
dengan slit-lamp dan mikroskop confocal.16 Dinamakan sebagai Fuch’s
flecks, kelompok ini diungkapkan oleh Dushku dan rekan17,18 untuk

3
mengubah sel basal epitel limbal dengan fitur migrasi yang terlibat dalam
inisiasi patogenesis pterigium. LSC abnormal ini dikenal sebagai sel
pterigium dan telah diselidiki dalam beberapa penelitian.

Penemuan sel pterigium dan kemampuan migrasi dan proliferatifnya


telah merevolusi kepercayaan tradisional sebelumnya mengenai patogenesis
pterigium. Untuk waktu yang lama, perkembangan pterigium dianggap
sebagai hasil dari dua peristiwa berturut – turut di daerah limbal:

1. Gangguan utama limbal barrier karena paparan sinar UV kronis, dan


2. Proliferasi ekstensif jaringan konjungtiva, pembuluh darah, dan sel-
sel inflamasi di atas kornea yang berdekatan melalui proses aktif yang
disebut konjungtivalisasi.19

Diyakini bahwa proses konjungtiva berlangsung di seluruh jaringan


pterigium yang menyerang, dari kepala hingga badan pterigium. Namun,
temuan penelitian lebih lanjut tidak konsisten dengan kesan sebelumnya. Bai
dan rekan20 mendemonstrasikan keberadaan spasial sel punca yang
berkembang biak di atas jaringan pterigium. Terungkap bahwa sel epitel
dengan penanda proliferatif seperti p63 dan CK15 terletak di atas kepala
pterigium, sedangkan area di atas limbus tidak memiliki faktor-faktor ini.
Juga, PAX6 dilaporkan menjadi dominan di wilayah kepala, dan matrixs
metalloproteinase (MMP) 2 dan 9 terletak hanya di atas margin kepala. Data
topografi ini menunjukkan bagian depan yang bermigrasi dan kapasitas
proliferasi LSC yang terletak di kepala pterigium yang bertindak sebagai
baterai proliferatif untuk pertumbuhan progresif dan sebagai kekuatan
migrasi melalui degradasi ECM yang diinduksi MMP. Menurut divergensi
spasial ini, sekarang diyakini bahwa kepala pterigium dengan LSC yang
berubah berperan dalam patogenesis pterigium, dan peristiwa patologis
mungkin tidak dibenarkan hanya oleh kerusakan pada limbal barrier dan
konjungtivalisasi.20 Faktor kritis untuk inisiasi pterigium adalah reorganisasi
limbal melalui pembentukan sel pterigium, bukan kegagalan limbal
sederhana. Reorganisasi ini diduga terkait dengan kerusakan akibat sinar UV
atau kerentanan genetik. Beberapa penelitian telah menyelidiki atipia pada sel

4
epitel pterigium. Gaton dkk22 hanya menemukan displasia ringan pada sekitar
6% kasus mereka.21 Dalam penelitian lain, atypia ringan ditemukan pada
lebih dari 50% spesimen pterigium. Meskipun tingkat atipia berbeda,
tampaknya laporan sebelumnya setuju satu sama lain bahwa atipia sel
pterigium muncul di sekitar stadium ringan.

Di luar sel pterigium, sitologi populasi sel superfisial pada spesimen


pterigium telah mengungkapkan fitur unik dari permukaan pterigium:
metaplasia skuamosa yang terkait dengan peningkatan populasi sel goblet.23

Metaplasia skuamosa merupakan konsekuensi dari berbagai macam


penyakit pada area permukaan mata, termasuk dry eye syndrome dan
defisiensi vitamin A.24 Hal ini ditandai dengan stratifikasi sel epitel yang
berhubungan dengan keratinisasi abnormal. Pada tingkat seluler, metaplasia
skuamosa dimanifestasikan oleh pendataran dan pembesaran sel epitel
superfisial dan perubahan piknotik dari inti seluler.24 Metaplasia skuamosa
telah dilaporkan terjadi pada lebih dari 70% kasus pterigium,23 dan telah
membuat beberapa penulis mengusulkan hubungan antara pterigium dan dry
eye syndrome.25,26 Para penulis ini percaya bahwa lapisan air mata yang tidak
stabil memainkan peran penting dalam patogenesis pterigium. Selain
perubahan skuamosa, peningkatan kepadatan dan distribusi sel goblet yang
melimpah telah dilaporkan dalam studi histologis.23,27 Hal ini juga merupakan
fitur unik dari permukaan okular pada pterigium, karena metaplasia skuamosa
biasanya diharapkan berkaitan dengan berkurangnya jumlah sel goblet. Perlu
dicatat bahwa dalam penelitian baru – baru ini, lebih dari 80% kasus
menunjukkan hiperplasia epitel; namun, hiperplasia sel goblet lebih jarang
daripada yang dilaporkan sebelumnya; hanya 31,9% kasus yang mengalami
hiperplasia sel goblet22

Meskipun dapat terjadi akibat hasil dari distribusi abnormal film air
mata pada permukaan yang tinggi, metaplasia skuamosa terlihat di seluruh
konjungtiva bulbi secara bertahap, dimana paling parah terjadi pada
permukaan pterigium. Setelah epitel yang menutupi pterigium, konjungtiva
bulbar interpalpebral dan inferior menunjukkan perubahan skuamosa paling

5
parah tanpa adanya penyakit klinis, dan konjungtiva superior di bawah
kelopak mata atas (dimana dapat dilindungi dari radiasi UV) menunjukkan
sedikit perubahan epitel permukaan. Metaplasia skuamosa difus dengan seri
bertingkat di atas konjungtiva bulbar, terjadi proses apoptosis yang cacat pada
sel epitel konjungtiva, dan peningkatan kepadatan sel goblet semuanya
konsisten dengan hipotesis bahwa pterigium adalah penyakit difus epitel
permukaan okular.

Fitur lain yang diamati pada sekitar 50% kasus adalah pigmentasi
epitel.22 Adanya deposit pigmen dapat dibenarkan dengan paparan sinar UV.

Stroma pterigium.

Degenerasi solar basophilic elastoid diamati pada stroma pterigium


pada semua kasus.22 Adanya pembuluh darah stroma merupakan masalah
kosmetik dan target terapi dalam pengelolaan pterigium. Pembuluh darah ini
berhubungan dengan fibrosis stroma, dimana vaskularisasi biasanya lebih
menonjol daripada fibrosis.22 Respon inflamasi kronis ringan, baik di stroma
atau epitel, telah dilaporkan pada sebagian besar kasus pterigium.28,29

Etiologi dan Faktor Risiko.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa banyak faktor risiko


30,31
yang terkait dengan pterigium, termasuk radiasi UV, iritan lingkungan
seperti debu dan angin, 13 agen virus, 32,33
faktor keluarga dan keturunan, 34

dan faktor imunologi dan inflamasi. 35,36

Faktor risiko lain yang disarankan oleh penelitian terbaru mungkin


termasuk faktor transkripsi protein cAMP response element-binding ,37
fosfolipase D,38 protein sitokrom P450 1A1,39 dan aquaporin-1 dan
aquaporin-3,40 Terlepas dari pengetahuan penulis jurnal yang berkembang
baru – baru ini tentang peran berbagai faktor dalam patogenesis pterigium,

6
paparan sinar matahari tetap menjadi faktor risiko yang paling penting untuk
inisiasi dan perkembangan pterigium.

Paparan ultraviolet.

Hubungan antara perkembangan pterigium dan radiasi UV dapat


disimpulkan dari berbagai studi epidemiologi.41 “Zona pterigium” telah
digambarkan sebagai area antara 40° utara dan selatan khatulistiwa, di mana
intensitas radiasi UV yang lebih tinggi mempengaruhi populasi daerah
tersebut.42 Kesamaan antara temuan histopatologi kerusakan kulit akibat sinar
UV dan pterigium mendukung gagasan tersebut.43 Selain itu, predisposisi
nasal dari kejadian pterigium diketahui berkorelasi dengan peningkatan lebih
dari 20 kali lipat dalam iradiasi limbus nasal, membuat area tersebut lebih
rentan terhadap cedera akibat sinar UV dan perkembangan pterigium.13,44

UVA dan UVB adalah subtipe utama dari sinar UV matahari yang
mencapai permukaan mata. Meskipun studi awal berfokus pada peran UVB
dalam kerusakan DNA dan perubahan sinyal intraseluler pada penyakit
permukaan okular, studi epidemiologi telah mengungkapkan bahwa baik
UVB dan UVA terkait dengan perkembangan pterigium. Melalui proses
induksi oksigen reaktif, UVA menyebabkan kerusakan tidak langsung pada
DNA dan aktivasi faktor transkripsi, yang mengatur ekspresi beberapa gen
yang terlibat dalam perubahan ECM.45,46

Sinar UV dapat menginduksi perkembangan pterigium melalui


kerusakan LSC limbus,16,47 mengubah fungsi fibroblas stroma,17 atau
menginduksi respon inflamasi.48 Di antara mereka, respon inflamasi mungkin
kurang penting.49,50 Sebuah hipotesis dua tahap telah diusulkan untuk peran
UV dalam perkembangan pterygium yaitu inisiasi prosesnya bergantung pada
kerusakan LSC dan pembentukan sel pterigium, dan progresi dilakukan oleh
gangguan limbal barrier, peningkatan regulasi sitokin inflamasi, dan
produksi faktor pertumbuhan dan MMPs.42

7
Setidaknya selama satu dekade, jalur utama kerusakan LSC yang
diinduksi UV diyakini sebagai mutasi p-53.51 Reid dan Dushku menemukan
ekspresi protein p-53 yang sangat tinggi dalam sel basal epitel pterigium dan
berhipotesis bahwa UV dapat menyebabkan p-53 mutasi dan akumulasi
konsekuen protein p-53 pada pewarnaan imunohistokimia pterigium.52 Jalur
p-53 bertanggung jawab atas kematian sel terprogram, dan defisiensinya
menghasilkan pembentukan LSC yang berubah dan berevolusi menjadi sel
pterigium proliferatif.52 Namun, hipotesisnya mutasi p-53 dikritik oleh
temuan lebih lanjut. Terutama, beberapa penelitian gagal mendeteksi
peningkatan kadar protein p-53 di pterigium, hal ini melemahkan hipotesis
terjadinya proses mutasi p-53 untuk pembentukan sel pterigium.53 Lebih jauh,
beberapa analisis sekuensing DNA menggambarkan tidak ada mutasi pada
gen p-53 di pterigium.54 Juga, melalui beberapa prosedur molekuler,
terungkap bahwa akumulasi protein p-53 dalam jaringan mungkin sekunder
untuk paparan normal sinar matahari, karena UV dapat menstabilkan protein
ini melalui mekanisme pasca-transkripsi.55 Respon normal terhadap radiasi
UV ini dapat menjelaskan akumulasi protein p-53 dalam studi awal. Dengan
demikian, peran pasti p-53 dalam perkembangan sel pterigium masih harus
dijelaskan, dan variabilitas ekspresi p-53 ini mungkin menunjukkan bahwa
mutasi pada gen supresor tumor lain mungkin terlibat dalam inisiasi
pembentukan pterigium.42

Paparan UV juga bertanggung jawab atas perilaku abnormal fibroblas


pterigium. Fibroblas ini telah dinyatakan memiliki kapasitas proliferasi yang
lebih besar, dibandingkan dengan sel stroma konjungtiva normal.17 Mereka
dapat membentuk koloni dalam media kultur, memerlukan faktor
pertumbuhan eksogen yang lebih sedikit untuk aktivasi, dan dicirikan oleh
inti yang memanjang dengan pori-pori inti yang tidak teratur dalam
mikroskop elektron.56,57 Tiga jalur berbeda telah diusulkan untuk aktivasi
fibroblas pterigium yang diinduksi UV yaitu:

1. Mereka dapat dirusak secara langsung oleh radiasi UV melalui


beberapa perubahan DNA;

8
2. LSC yang diubah oleh UV dapat mengaktifkan fibroblas yang
mendasarinya melalui mekanisme yang bergantung pada
transforming growth factor-β (TGF-β) dan fibroblast growth factor
(b-FGF);52 atau
3. Kerusakan sel endotel konjungtiva dapat mengubah metabolisme
stroma fibroblas, yang dimanifestasikan oleh perubahan ekspresi serat
kolagen dan elastin.58

Meskipun radiasi UV diyakini memainkan peran utama dalam


pembentukan fibroblas pterigium, ada gagasan yang kontras mengenai
masalah ini.59,60 Hipotesis ini mungkin meragukan peran UV dalam
perubahan fibroblas pterigium.

Akhirnya, peradangan yang diinduksi UV dan remodeling jaringan


terlibat dalam patogenesis pterigium. Beberapa penelitian telah melaporkan
tingkat yang lebih tinggi dari inflamasi sitokin, growth factors, dan MMPs
pada pterigia.43,61 Eksperimen in vitro mengungkapkan bahwa peningkatan
ekspresi factor – factor ini dalam sel pterigium dapat diinduksi oleh radiasi
UV.42 Perubahan yang dimediasi UV dari limbal stem cells menginduksi
produksi berbagai faktor inflamasi dan MMP, berkontribusi pada inflamasi,
angiogenesis, dan invasi pterigium. Demikian pula, fibroblas pterigium yang
diaktifkan oleh UV menghasilkan faktor pertumbuhan dan enzim
ekstraseluler tingkat tinggi, yang memfasilitasi invasi pterigium melalui
remodeling ECM dan peleburan lapisan Bowman.42

Keturunan.

Untuk pertama kalinya pada tahun 1893, insiden familial pterygia


dilaporkan oleh Gutierrez-Ponce, dimana lima laki – laki yang terkena
terdeteksi dalam tiga generasi keluarga.62 Laporan selanjutnya
mengungkapkan tingginya insiden pterigium dalam keluarga tertentu selama
beberapa generasi berturut – turut, menunjukkan peran faktor keturunan
dalam predisposisinya pada konjungtiva untuk memperburuk reaksi terhadap

9
rangsangan lingkungan.63-66 Dalam laporan ini, berbagai mode herediter,
termasuk autosomal dominan dengan penetrasi berkurang, poligenik,
multifaktorial, dan non-Mendel herediter, telah dijelaskan; kembar
monozigot yang sesuai telah diusulkan; dan perempuan dilaporkan terkena
sesering laki-laki.66-68

Beberapa gen dan jalur familial telah diusulkan untuk terlibat dalam
pewarisan pterigium. Cacat familial di sebagian besar jalur ini mempengaruhi
individu yang terkena untuk respon fibrovaskular abnormal terhadap radiasi
UV.34,69,70 Sebagai kandidat gen, MMP-1 telah diusulkan untuk terlibat dalam
pterigium familial. Diyakini bahwa polimorfisme tertentu dari promotor
MMP-1 dapat mempengaruhi pembawa untuk mengembangkan pterigia
melalui hilangnya proses heterozigositas.2 Polimorfisme gen proangiogenik
telah memberikan bidang minat lain pada pterigium familial. Karena
polimorfisme khusus vascular endothel growth factor (VEGF) dikaitkan
dengan vaskularitas pterigium yang lebih tinggi dan respons yang bervariasi
terhadap agen anti-VEGF, diusulkan bahwa variasi gen VEGF dapat
menjelaskan insiden penyakit dalam keluarga71 yang terlibat dalam
patogenesis pterigium. Hal tersebut yaitu RNA noncoding kecil yang secara
tidak langsung mengatur tingkat protein khusus dan ekspresi gen. Kehadiran
molekul – molekul ini terkait dengan sifat anti-neoplastik di jaringan okular.72
Baru-baru ini, terungkap bahwa level microRNA-145 berkorelasi negatif
dengan pterigia yang lebih luas dan tebal. Selain itu, penurunan tingkat
microRNA telah terdeteksi pada pterigium berulang.73,74 Oleh karena itu,
microRNA dapat menarik perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor
prognostik, target terapeutik, dan bahkan petunjuk pewarisan pterigium.
Target lain dari studi genetik dalam pewarisan pterigium adalah gen yang
diekspresikan secara berbeda, termasuk FN1, KPNB1, DDB1, NF2, BUB3,
PRSS23, MEOX1, ABCA1, KRT6A, SSH1, RBM14, dan UPK1B. Gen – gen
ini disarankan untuk memainkan peran penting dalam patogenesis pterigium,
dimana mereka dapat berfungsi sebagai penanda diagnosis atau target
terapeutik.75

10
Meskipun banyak penelitian dan gen kandidat yang berbeda, dasar
genetik pterigium masih harus dijelaskan dan cara pewarisan harus dievaluasi
lebih dalam.

Etiologi virus.

Sebagai bagian dari patofisiologi multitahap, dan di samping radiasi


UV dan faktor genetik yang diturunkan, agen virus dianggap terlibat dalam
perkembangan pterigium. Peran agen ini adalah aspek lain dari teori 'second
hit', dimana infeksi virus onkogenik merangsang pembentukan pterigium
pada individu yang rentan secara genetik.76 Kemungkinan peran Human
Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Virus Simplex (HSV) dalam patogenesis
pterigium berasal dari sejumlah penelitian yang melaporkan adanya virus ini
pada spesimen pterygium.

Prevalensi infeksi HPV pada pterigium telah dilaporkan berkisar dari


sangat rendah hingga 100%.33,77,78 Dalam sebuah meta-analisis, prevalensi
keseluruhan 18,6% telah dilaporkan untuk infeksi HPV pada pterigia.79
Perbedaan antara penelitian prevalensi HPV pada pasien pterigium
disebabkan oleh berbagai teknik yang digunakan untuk deteksi virus,
berbagai wilayah geografis, dan gaya hidup yang berbeda.80 HPV tipe 16 dan
18, yang dianggap sebagai strain berisiko tinggi untuk perkembangan kanker,
adalah yang paling sering melaporkan genotipe yang terkait dengan
pterigium.77 Mekanisme yang diusulkan dari pterigium yang diinduksi HPV
adalah produksi faktor E6 dan E7 oleh virus, yang mempengaruhi fungsi
normal p-53.78 Selain peran HPV dalam patogenesis pterigium, kekambuhan
pterigium setelah operasi pengangkatan juga disarankan terkait dengan
HPV.32

Perbedaan serupa terlihat jelas antara penelitian yang melaporkan


deteksi virus herpes pada pterigium yang diperiksa. Penelitian di Yunani
melaporkan adanya HSV dan cytomegalovirus pada hingga 45% pasien,81,82
sedangkan penelitian yang dilakukan di Taiwan mengungkapkan prevalensi

11
hanya 5% untuk deteksi HSV pada pterigia.83 Penelitian lain dari Turki
melaporkan Epstein-Barr virus (EBV) dan terdeteksi DNAnya pada 10%
pasien yang diperiksa.84

Meskipun ada ketidakpastian tentang peran virus onkogenik dalam


patogenesis pterigium, literatur saat ini menampilkan perbedaan pada topik,
yang menunjukkan sifat heterogen dari patofisiologi pterigium. Menurut
pengetahuan saat ini, mungkin disarankan bahwa ada kemungkinan peran
virus dalam perkembangan pterigium, setidaknya pada sebagian pasien.

Pertimbangan Klinis dan Sistem Grading.

Anatomi pterigium dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu puncak atau
kepala, leher, dan badan. Bagian konjungtiva dengan dasar menuju canthus
medial dikenal sebagai corpus. Bagian yang menyerang yang berisi apeks
jaringan disebut kepala, dan bagian yang berhubungan antara tubuh dan
kepala, yang menutupi limbus, disebut leher.85 Mungkin ada kabut kornea
superfisial di depan apeks (cap atau halo), bahkan dapat terjadi pada tahap
awal pertumbuhan pterigium.

Diagnosis banding pterigium termasuk phlyctenule kornea, elevated


pinguecula, dermoid limbal, limbal scuamosa cell carcinoma (SCC) atau
ocular surface squamous neoplasia (OSSN), papiloma, dan skleritis nodular.
Di antara mereka, diagnosis yang paling penting adalah OSSN. Diagnosis
OSSN biasanya dibuat secara klinis, di mana feeder vessel, pewarnaan positif
untuk rose bengal, dan penampakan leukoplakic atau papilliform terlihat
jelas. Namun, dalam praktik nyata, lesi neoplastik terkadang tidak memiliki
beberapa gejala, sehingga tidak mungkin untuk membedakannya dari kondisi
benign ocular surface seperti pterigium, pannus, atau papiloma.86 Analisis
histopatologi tetap menjadi gold standard untuk diagnosis OSSN, dan
bahkan lebih sering direkomendasikan karena laporan terbaru telah
meragukan batas diskrit OSSN dan pterigium. Biopsi cross-sectional optik
melalui optical coherence tomography (OCT) resolusi tinggi juga dapat

12
membantu dokter untuk membedakan antara kondisi jinak dan ganas tanpa
melakukan biopsi eksisi. Dalam sebuah penelitian dengan tujuan menyelidiki
korelasi antara temuan OCT dan bukti patologis OSSN dan pterigium,
dilaporkan bahwa pasien dengan lesi limbus yang mencurigakan yang tidak
menunjukkan penebalan epitel pada OCT scan dapat ditangani tanpa biopsi
insisional.87 Sebaliknya untuk OSSN, gambar pterigia mengungkapkan epitel
tipis normal dengan lapisan subepitel menebal, dan fitur ini di OCT
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas 94% dan 100% untuk membedakan
pterigia dari OSSN.87

Peradangan atau trauma permukaan okular yang kronis dan parah,


ulkus kornea marginal, atau pembedahan dapat menyebabkan perlengketan
antara konjungtiva dan kornea superfisial, yang dikenal sebagai
pseudopterigium. Sebagai ciri yang membedakan, diyakini bahwa
pseudopterigium tidak melekat pada kornea di bawahnya sepanjang seluruh
panjangnya, di mana probe tidak dapat dilewati dengan mudah di bawah
jaringan perekat (tes probe Bowman). Perlu dicatat bahwa pseudopterigium
terutama merupakan proses inflamasi, sedangkan pterigium dianggap sebagai
respons degeneratif. Selain itu, pseudopterigium adalah kondisi stasioner,
sedangkan pterigium sejati adalah penyakit permukaan okular yang progresif.

Tan dan rekan,88 dalam sebuah laporan pada tahun 1997, menilai
pterigium berdasarkan translusensi jaringan. Mereka percaya bahwa
hilangnya translusensi berkorelasi dengan ketebalan jaringan fibrovaskular,
dan karakteristik morfologi ini dapat memprediksi tingkat kekambuhan
pterigium setelah operasi pengangkatan. Mereka memilih visibilitas
pembuluh episklera sebagai penanda tembus cahaya. Dengan demikian,
pterigia dengan pembuluh darah episklera yang terlihat di bawah tubuh dinilai
sebagai T1 atau pterigia atrofi. Pada grade T3, semua pembuluh darah
episklera tertutup oleh jaringan fibrovaskular opak pada badan pterigium.
Pterygia lain yang tidak termasuk dalam dua kelas ini dikategorikan sebagai
kelas T2.88

13
Sistem penilaian lain mengevaluasi efek pterigium pada topografi
kornea, yang ditentukan oleh ekstensi kepala di atas kornea.89 Oleh karena
itu, tingkat 1 mengacu pada pterigium yang kepalanya terletak di antara
limbus dan titik di tengah antara limbus dan pupil. Derajat 2 menunjukkan
pterigium dengan kepala terletak di antara titik tengah antara limbus dan
margin pupil. Di derajat 3, kepala melewati batas pupil.89

Sistem penilaian yang diusulkan oleh Tan dkk88 dan Maheshwari89


secara klinis sederhana dan klasifikasi yang berguna untuk pterigia primer.
Namun, karena pembuluh darah episklera tidak terlihat pada sebagian besar
kasus rekuren, sistem penilaian yang berbeda diperlukan untuk pterigia
rekuren. Oleh karena itu, sistem penilaian untuk pterigium rekuren diusulkan
dengan tujuan untuk memprediksi keberhasilan intervensi bedah.90
Berdasarkan penampilan luar, pterigium rekuren dibagi menjadi empat
tingkatan. Grade 1 terdiri dari kasus dengan situs operasi normal. Derajat 2
menunjukkan adanya pembuluh darah episklera halus tanpa jaringan fibrosa.
Grade 3 mewakili kasus dengan jaringan fibrosa yang tidak menginvasi
kornea. Grade 4 menunjukkan pterygia rekuren sejati dengan jaringan
fibrovaskular yang menyerang kornea.90

Dalam penelitian lain, morfologi karunkel menentukan tingkat


pterigium rekuren.91 Kerataan karunkel dan jaraknya dari kepala pterigium
rekuren menunjukkan sistem penilaian. Menurut sistem penilaian ini, penulis
berhasil memprediksi hasil operasi untuk pterigia berulang.91

Meskipun sebagian besar klasifikasi diusulkan untuk menentukan


hasil bedah pengangkatan pterigium atau efek pterigium pada kornea yang
berdekatan, sistem penilaian komprehensif pertama pterigium primer untuk
digunakan dalam penelitian klinis diwakili oleh Johnston dan rekan.92
komponen dari sistem penilaian ini termasuk hiperemia, translusensi, dan
jaringan vaskular pterigium yang ditentukan oleh gambar yang diambil pada
pandangan primer dan lateral. Hiperemia kepala dan badan pterigium
dipertimbangkan. Pada derajat 0, tidak ada jaringan pterigium. Grade 1 terdiri
dari jaringan tembus pandang yang tidak dapat dibedakan dengan pembuluh

14
darah episklera di bawahnya yang terlihat. Gambaran utama pterigium pada
grade ini adalah pembuluh darah yang melebar, dibandingkan dengan
pembuluh darah konjungtiva normal di sekitarnya. Grade 2 pterigium
menunjukkan jaringan merah muda dengan peningkatan kepadatan pembuluh
darah. Pterigium cukup transparan untuk memungkinkan pemeriksa
membedakan pembuluh darah episklera. Pada pterigium sedang (derajat 3),
pterigium berwarna merah, pembuluh darah membesar dan berliku-liku, dan
pembuluh darah episklera di bawahnya tidak dapat dibedakan. Grade 4 atau
pterigium berat adalah jaringan merah yang dalam dan difus yang
mengaburkan jaringan sklera di bawahnya. Perpanjangan pterigium di atas
kornea diukur dengan mengukur permukaan jaringan yang masuk ke kornea
pada pandangan utama melalui foto celah standar dan perhitungan dengan
bantuan komputer. Sistem penilaian ini telah dilaporkan memiliki keandalan
intra dan intergrader yang sangat baik untuk pengukuran warna dan ukuran
pterigium.92

Komplikasi pterigium

Silindris kornea

Meskipun pengaburan fisik sumbu visual oleh pterigium merupakan


indikasi mutlak untuk intervensi bedah, fungsi visual pasien mungkin
terpengaruh jauh lebih awal dalam perjalanan penyakit, membujuk dokter
mata untuk campur tangan sebelum mencapai tahap akhir. Pterigium dapat
memiliki dampak penting pada indeks keteraturan permukaan kornea melalui
menginduksi astigmatisme dan asimetri permukaan.93,94 Pterigium biasanya
menghasilkan astigmatisme dengan aturan karena perataan meridian
horizontal di sepanjang kepala depannya.95 Pembentukan robekan meniskus
antara pusat kornea dan apeks pterigium telah diusulkan untuk mekanisme
yang mendasari pendataran kornea horizontal.96 Perubahan kelengkungan
kornea yang disebabkan oleh pterigium tidak dapat dievaluasi dengan refraksi
atau keratometri konvensional karena perubahan ini terjadi pada kornea
parasentral nasal di meridian horizontal.95 Oleh karena itu, videokeratografi

15
terkomputerisasi tampaknya menjadi alat terbaik dalam mengevaluasi
perubahan topografi kornea pada pasien pterigium.

Sekarang diyakini bahwa perubahan topografi yang disebabkan oleh


pterigium hampir selalu reversibel setelah pengangkatan pterigium.97-99
Namun, astigmatisme yang diinduksi pterigium harus dievaluasi melalui
pendekatan yang dapat diandalkan untuk memprediksi dampak pengangkatan
pterigium pada fungsi visual. Berdasarkan kelainan refraksi praoperasi, sisa
astigmatisme pascaoperasi dapat diprediksi melalui beberapa persamaan yang
diusulkan; namun, dokter mata harus selalu berhati – hati dalam
menggunakan rumus matematika dalam situasi klinis dunia nyata. Persamaan
berikut adalah contohnya:

Silinder bias pasca operasi = 0,283 + 0,266 × silinder bias pra operasi.89

Pterigium yang lebih besar diyakini menyebabkan kesalahan refraksi


yang lebih tinggi, dan pengangkatannya dikaitkan dengan perubahan yang
lebih signifikan pada topografi kornea.89,95,100-102 Lin dan Stern melaporkan
bahwa pterigium menginduksi astigmatisme yang signifikan ketika melebihi
45% radius kornea.100 Tomidokoro dan rekan95 menyarankan perluasan
persentase pterigium pada kornea sebagai faktor prediksi untuk derajat
ketidakteraturan kornea. Mereka mengusulkan persamaan berikut untuk
mengekspresikan hubungan:

Perubahan kornea yang diinduksi oleh pterigium

(D)= 0,097×ekstensi pterigium 1,028.95

Demikian pula, Hochbaum dkk103 mempostulasikan bahwa


astigmatisme kornea terkait pterigium dapat dihitung melalui model prediktif
menggunakan ekstensi horizontal pterigium dan gaya traksi yang dihasilkan
pada kornea. Oner dkk104 melaporkan bahwa panjang dan lebar pterigium
bertanggung jawab atas astigmatisme yang diinduksi pterigium. Mohammad
Salih105 dan rekan menunjukkan bahwa pterigium dapat menyebabkan
astigmatisme lebih dari 2 D ketika luas totalnya 6,2 mm2. Dalam studi terbaru,
analisis multivariat mengungkapkan bahwa dua parameter, vaskularisasi dan

16
panjang horizontal, mempengaruhi derajat astigmatisme yang disebabkan
oleh pterigium. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keandalan model
prediksi, penulis menambahkan indeks vaskularisasi ke persamaan regresi:93

Silindris akibat pterigium=0,080×RL (%)+0,039×VI – 0,823,

di mana RL adalah panjang pterigium dibagi dengan diameter horizontal


kornea dan VI adalah singkatan dari vascularity index yang ditentukan
melalui foto segmen anterior menggunakan algoritma komputerisasi.

Korelasi antara perkembangan pterigium dan peningkatan iregularitas


kornea dibuktikan dalam penelitian terbaru pada 456 mata. Dalam studi ini,
analisis harmonik Fourier untuk serangkaian data mengungkapkan prioritas
iregularitas topografi karena pregresi pterigium.94

Efek pterigium pada high-order aberrations pada kornea juga telah


dijelaskan. Melalui analisis data disk Placido atau output OCT segmen
anterior, telah terungkap bahwa eksaserbasi aberasi tingkat tinggi karena
perkembangan pterigium berubah dengan ukuran pterigium dan diameter
analisis.106,107 Dalam penelitian terbaru, ditunjukkan bahwa aberasi tingkat
tinggi yang signifikan diinduksi pada diameter 5,0 mm ketika kepala
pterigium melebihi 25% dari diameter kornea.107 Temuan awal
mengasumsikan bahwa aberasi tingkat ketiga sebagian besar disebabkan oleh
pterigium, sedangkan kontribusi dari aberasi tingkat tinggi relatif kecil.108
Saat ini diyakini bahwa kontribusi dari coma dan coma-like aberrations
adalah yang tertinggi, diikuti oleh spherical-like aberrations. Hubungan
seperti itu tidak teramati pada aberasi sferis.107 Minami dan rekan
menunjukkan bahwa ketika ukuran pterigium lebih dari 45% dan 40% dari
diameter kornea, coma-like aberation dan sferis-like aberation meningkat
secara signifikan, masing – masing. Sebaliknya, tidak ada peningkatan
aberasi sferis.107 Anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT)
dan analisis Zernike dapat memfasilitasi penilaian objektif perkembangan
pterigium berdasarkan perubahan optik kornea.107

17
Ocular Surface Squamous Neoplasia

OSSN mengacu pada spektrum kondisi permukaan okular mulai dari


displasia ringan hingga SCC invasif.109 Ada faktor risiko yang sama untuk
OSSN dan pterigium, sehingga kedua kondisi ini dapat hidup berdampingan
atau bahkan terkait. Faktor risiko umum ini termasuk radiasi UV, peradangan
kronis, paparan kronis terhadap iritasi permukaan mata (seperti debu), dan
virus onkogenik (seperti HPV).16,110-112

Dua penelitian dari Australia dan tiga penelitian dari Amerika Utara
telah mengevaluasi koeksistensi OSSN dan pterigium dalam studi patologis
pterigium yang diangkat melalui pembedahan. OSSN terdapat pada hampir
10% sampel pterigium di Brisbane112 dan pada 5% kasus di Sydney,
Australia.16 Dalam studi dari Amerika Utara, prevalensi koeksistensi OSSN
dan pterigium telah dilaporkan lebih sedikit: sekitar 2% di Montreal,110
kurang dari 2% di Florida,113 dan 0% di Toronto.114 Perbedaan yang diamati
dalam penelitian ini disebabkan oleh variasi paparan UV di seluruh wilayah
geografis. Ada kemungkinan pterigia yang didiagnosis di daerah dengan
paparan UV tinggi lebih rentan untuk membawa fitur neoplastik. Faktor lain
yang mengacaukan prevalensi atypia terkait dengan pterigium adalah kriteria
yang digunakan untuk operasi pengangkatan oleh penelitian yang berbeda.

Usia yang lebih tua dan pterigium yang terletak lebih rendah adalah
dua faktor yang dilaporkan terkait dengan prevalensi OSSN yang lebih tinggi
pada sampel pterigium.113 Sebaliknya, Kao dan rekan115 melaporkan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam usia rata-rata pasien dengan pterigium yang
terkait dengan OSSN dan pasien yang memiliki pterigium tanpa OSSN.
Mereka menyimpulkan bahwa usia bukanlah faktor risiko yang signifikan
untuk perkembangan OSSN pada kasus pterigium.

Hirst dkk112 melaporkan tidak ada kasus kekambuhan setelah


pengangkatan pterigium dalam sampel OSSN dan pterigium simultan,
sementara tingkat kekambuhan 11% pada 1 tahun dilaporkan untuk pterigium
yang terkait dengan OSSN dalam studi Florida. Hal ini sama dengan tingkat
kekambuhan yang dilaporkan untuk OSSN yang tidak terkait dengan

18
pterigium, yaitu sekitar 12%.116 Sebagian besar kasus OSSN di studi Florida
dan Montreal ditemukan memiliki corneal intraepithelial neoplasia (CIN) I,
sedangkan CIN II adalah neoplasia yang paling sering dalam kasus Australia.
Ini juga dapat dibenarkan sebagian oleh paparan UV yang lebih tinggi di
Australia, yang dapat menyebabkan perkembangan lesi yang cepat.

Menurut data yang disajikan di atas, disarankan untuk mengirim


semua spesimen pterigium untuk studi patologis setelah operasi
pengangkatan. Dalam kasus dengan OSSN yang bersamaan, tindak lanjut
yang ketat untuk skrining kekambuhan atau lesi baru direkomendasikan.

Manajemen bedah pterigium.

Indikasi intervensi.

Karena pterigium yang dieksisi akan menyebabkan skar kornea, eksisi


pterigium yang progresif lebih awal sebelum melibatkan kornea sentral akan
menyelamatkan aksis visual dari pengaburan oleh kekeruhan kornea
permanen. Perkembangan yang dilaporkan oleh pasien mungkin lebih rendah
daripada pertumbuhan yang didokumentasikan oleh ahli bedah, yang
dimungkinkan melalui pencatatan ukuran pterigium selama pemeriksaan
lanjutan.117 Demikian pula, gerakan mata terbatas sekunder untuk pterigium
besar merupakan indikasi yang jelas untuk intervensi pembedahan. Adanya
gambaran atipikal yang menyerupai displasia merupakan indikasi lain untuk
intervensi dini, karena eksisi yang tertunda dari lesi neoplastik yang
mencurigakan akan mempengaruhi pasien untuk keterlibatan intraokular atau
sistemik. Di luar indikasi yang pasti, ada beberapa kondisi lain yang mungkin
menimbulkan kontroversi di kalangan dokter mata. Pterigium mungkin
bertanggung jawab atas astigmatisme yang merusak penglihatan bahkan
sebelum mencapai pusat kornea, dan hal itu dapat meyakinkan ahli bedah
untuk operasi awal dengan tujuan mengoreksi kesalahan refraksi pasien.
Namun, menurut literatur saat ini, sulit untuk memprediksi jumlah reversi
astigmatisme setelah operasi. Manfaat pengurangan kemungkinan

19
astigmatisme kornea harus dipertimbangkan terhadap biaya dan komplikasi
operasi, terutama tingkat kekambuhan pterigium. Pengangkatan pterigium
untuk mengontrol tanda dan gejala kronis, termasuk kemerahan dan iritasi,
masih diperdebatkan; kondisi permukaan okular dan kebetulan lainnya
daripada pterigium, termasuk blepharitis dan mata kering, harus selalu
dipertimbangkan oleh ahli bedah sebagai etiologi dari gejala yang ada. Ada
situasi yang kira-kira sama untuk pengangkatan pterigium sebagai intervensi
kosmetik. Dalam keadaan ini, penting untuk berkonsultasi dengan pasien
tentang prosedur, periode pemulihan setelah operasi, dan tingkat kekambuhan
pterigium.117

Hasil bedah

Titik akhir utama dalam operasi pterigium tetap menjadi tingkat


kekambuhan. Hal ini biasanya didefinisikan sebagai kekambuhan jaringan
fibrovaskular kornea dan telah banyak digunakan dalam artikel ilmiah untuk
perbandingan antara metode penghapusan pterigium yang berbeda.
Kekambuhan pterigium harus dibedakan dari kekeruhan kornea umum pasca
operasi dan bekas luka yang tersisa setelah pengangkatan jaringan yang
memadai. Langkah paling penting dalam pengelolaan pterigium tampaknya
menjadi modifikasi risiko kekambuhan menggunakan informasi klinis dan
memilih metode bedah yang sesuai.

Meskipun banyak penelitian telah difokuskan pada peran teknik


bedah dan faktor-faktor yang berhubungan dengan operasi dalam tingkat
kekambuhan, ada fitur pra operasi lain yang dapat memprediksi kemungkinan
kekambuhan pterigium, terlepas dari jenis operasi. Usia yang lebih muda
telah dilaporkan terkait dengan tingkat kekambuhan pterigium yang lebih
tinggi.118 Ha dan rekan118 percaya bahwa usia yang lebih muda merupakan
faktor risiko kekambuhan pterigium setelah eksisi dan operasi cangkok, dan
mungkin terkait dengan re-epitelisasi yang cepat, angiogenesis agresif, dan
sintesis kolagen yang cepat pada pasien muda. Aidenloo dan rekan,119 dalam
studi observasional yang dilakukan pada 310 pasien, melaporkan bahwa usia

20
yang lebih muda, jaringan yang lebih besar, dan pterigia berulang dikaitkan
dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi setelah autograft
limbalkonjungtiva. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 205 mata,
ukuran pterigium dilaporkan sebagai satu-satunya fitur pra operasi yang
terkait dengan tingkat kekambuhan setelah teknik bedah saat ini, khususnya
autografting.120 Dalam penelitian lain, etnis terungkap terkait dengan tingkat
kekambuhan, di mana pasien Hispanik dan berkulit gelap mengalami tingkat
kekambuhan pterigium yang lebih tinggi setelah eksisi dan pencangkokan
autologus limbus.121 Tan dan rekan88 menpostulasikan bahwa morfologi
seperti daging pterigium berkorelasi dengan tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi, ketika pterigium dieksisi dengan sklera kosong, atau teknik
autografting. Karakteristik terkait pasien lainnya yang diusulkan untuk
dikaitkan dengan kekambuhan yang lebih tinggi adalah pertumbuhan
pterigium praoperasi yang aktif, kerusakan karunkel praoperasi, penyakit
permukaan okular yang tidak disengaja, dan kecenderungan genetik.122

Faktor-faktor yang berhubungan dengan operasi, bagaimanapun,


adalah pilihan utama yang dapat dimodifikasi untuk menurunkan
kekambuhan pterigium pascaoperasi.122 Faktor-faktor ini telah dipelajari
dalam tiga bidang utama: optimalisasi pengangkatan jaringan pterigium,
modifikasi metode bedah dasar untuk memperbaiki lokasi operasi, dan
menggunakan terapi adjuvant praoperasi, intraoperatif, dan pascaoperasi.

Fitur penting dari operasi pterigium yang optimal termasuk


pengangkatan sel epitel proliferatif yang tepat, pengangkatan jaringan
fibrovaskular subkonjungtiva secara menyeluruh, dan penutupan tempat
operasi yang memadai.122 Sel pterigium harus diangkat karena mereka
mengubah LSC yang seharusnya menjadi inisiator pterigium perkembangan
melalui fitur proliferatif mereka. Fibroblas pterigium juga terlibat dalam
kekambuhan dan merupakan target utama terapi tambahan yang diusulkan
untuk operasi pterigium, seperti mitomisin C (MMC) dan 5-fluorouracil (5-
FU). Akhirnya, penutup yang tepat untuk bare sclera yang mendasarinya
akan mengurangi nyeri pasca operasi yang parah dan memfasilitasi re-
epitelisasi. Peradangan pasca operasi yang parah mungkin bertanggung jawab

21
atas respons perbaikan yang berlebihan di tempat operasi dan pertumbuhan
kembali pterigium selanjutnya.123

Teknik bare sclera adalah teknik bedah pertama di mana konjungtiva


pterigium dan bekas luka subepitel dan Tenon diangkat, meninggalkan sclera
yang terbuka.124 Teknik ini dikaitkan dengan tingkat kekambuhan pterigium
yang tinggi dan komplikasi pasca operasi seperti nekrosis sklera dan infeksi.
Modifikasi teknik bare sclera termasuk penutupan konjungtiva sederhana,
autograft konjungtiva atau limbal, dan amnion membran transplantation
(AMT). Pilihan adjuvant, seperti iradiasi beta, mitomycin, 5-FU, agen anti-
VEGF, dan Ciklsporin A (CsA), telah ditambahkan ke metode bedah ini
untuk mengurangi kekambuhan pterigium (Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan dari Teknik Bedah dan Pilihan Terapi Adjuvan pada
Pterigium.

Teknik Bedah Utama Pilihan Adjuvant Rating Rekurensi


berdasarkan
perbandingan
prospektif atau studi
nonkomparatif (%)
Bare Sclera Tidak ada 24-89
Beta irradiation 0.5-52
Topical postoperative 3-45
thiotepa
Intraoperative 5-FU 11-36
Preoperative MMC 4-6
injection
Intraoperative MMC 3-38
application
Postoperative topical 0-38
MMC
Intraoperative 57.6
subconjunctival
bevacizumab injection

22
Postoperative topical 0-41.7
bevacizumab
Postoperative topical 12-22.2
cyclosporine
0.05%
Conjunctival or Tidak ada 1-40
conjunctivalimbal
autografting
Intraoperative 5-FU 3.7-12
Intraoperative MMC 0-9
Postoperative topical 6.5-21
MMC
Subconjunctival 0-18.8
bevacizumab
injection
Postoperative topical 3.4-7.5
cyclosporine
0.05%
Amniotic membrane Tidak ada 2.6-42.3
transplantation
Intraoperative MMC 16-21
FU, fluorouracil; MMC, mitomycin C.

Antibiotik topikal, steroid topikal, dan analgesik secara rutin


digunakan dengan protokol yang berbeda pada periode pascaoperasi segera.
Meskipun protokol yang dipilih umumnya tergantung pada preferensi ahli
bedah dan kondisi pasien, ada beberapa penelitian terbaru dengan tujuan
membandingkan protokol ini, masing-masing dengan kepatuhan pasien dan
tingkat komplikasi. Sebagai contoh, penelitian terbaru dari 120 operasi
pterigium melaporkan bahwa steroid topikal selama 4 bulan secara bertahap
setelah pengangkatan pterigium menunjukkan tingkat kepatuhan yang lebih
tinggi dan komplikasi yang lebih sedikit, dibandingkan dengan protokol
steroid topikal yang diturunkan selama 5 minggu.125

23
Teknik bedah dasar dan pilihan adjuvant.

Teknik bare sclera yang terisolasi adalah pendekatan bedah tercepat


untuk menghilangkan pterigium, yang membutuhkan manipulasi jaringan
paling sedikit. Namun, itu ditinggalkan karena tingkat kekambuhan pasca
operasi yang tinggi. Beberapa laporan memperkirakan tingkat kekambuhan
hampir 90% setelah teknik bare sclera.126 Sebuah meta-analisis dari uji klinis
acak menyimpulkan bahwa risiko kekambuhan pterigium untuk teknik bare
sclera hingga 25 kali lebih tinggi, dibandingkan dengan teknik autograft
konjungtiva. 127

Untuk mengurangi risiko kekambuhan, radiasi beta dengan strontium-


90, dan triethylene thiophosphoramide (thiotepa) dan 5-FU digunakan
sebagai perawatan adjuvant untuk teknik bare sclera.128-132 Sebagian besar
opsi adjuvant ini telah ditinggalkan karena adanya alternatif yang lebih aman
dan efektif.

MMC intraoperatif atau pascaoperasi adalah pilihan adjuvant lain


yang telah dipelajari secara luas selama beberapa dekade terakhir. Penurunan
kekambuhan pterigium telah dilaporkan setelah pemberian 0,02% dan 0,04%
MMC, dan durasi pengobatan yang paling umum adalah 3-5 menit. Dalam
sebuah penelitian, pendekatan bare sclera dengan MMC 0,02% diterapkan
selama 5 menit menurunkan tingkat kekambuhan dari 45% menjadi 5%, dan
tidak ada komplikasi yang dilaporkan.133 Beberapa percobaan acak pada
pterigium primer telah menyimpulkan bahwa aplikasi intraoperatif MMC
dengan konsentrasi yang berbeda (0,002-0,04%) dan waktu aplikasi (3-5
menit) secara signifikan mengurangi tingkat kekambuhan, dibandingkan
dengan eksisi bare sclera.134-136

MMC pascaoperasi juga telah digunakan dengan konsentrasi dan


protokol dosis yang berbeda, di mana semua penelitian telah melaporkan
penurunan yang signifikan dalam tingkat kekambuhan, dibandingkan dengan
teknik bare sclera yang diisolasi.50,137 Dalam dua percobaan, 0,02% MMC
digunakan dua kali sehari selama 5 hari setelah operasi.50.137 Konsentrasi yang
lebih tinggi digunakan dalam uji coba lain, di mana 0,04% MMC diberikan 4

24
kali sehari selama 1 atau 2 minggu pascaoperasi.137.138 Menurut uji coba ini,
tingkat kekambuhan pterigium setelah gabungan bare sclera dan
pascaoperasi MMC berkisar dari 3% hingga 38%.126 Beberapa penelitian
membandingkan hasil antara penerapan MMC intraoperatif dan pascaoperasi
dan melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat
kekambuhan untuk pterigium primer atau rekuren.139-142

Selain itu, ada penelitian yang mengevaluasi kemanjuran injeksi


MMC subkonjungtiva pra operasi sebagai terapi tambahan untuk operasi
pterigium. Dalam sebuah studi prospektif dari 36 pasien, 0,1 ml 0,15 mg/ml
MMC disuntikkan secara subkonjungtiva ke kepala pterigium 1 bulan
sebelum eksisi bedah sklera.143 Tingkat kekambuhan 6% diamati setelah 2
tahun, dan tidak ada komplikasi luka penyembuhan dilaporkan. Dalam studi
perbandingan acak, 50 mata dengan pterigium berulang secara acak dibagi
menjadi kelompok injeksi MMC pra operasi dan kelompok MMC topikal
pasca operasi. Pada kelompok pertama, 0,1 ml 0,15 mg/ml MMC disuntikkan
sehari sebelum operasi eksisi sklera pterigium. Perbedaan antara tingkat
kekambuhan dan komplikasi secara statistik tidak signifikan, dan penulis
menyimpulkan bahwa injeksi subkonjungtiva preoperatif MMC dosis rendah
adalah modalitas yang efektif untuk pengelolaan pterigium berulang.144

Banyak randomized controlled trials (RCT) baru-baru ini dilakukan


untuk menilai kemanjuran agen anti-VEGF, dikombinasikan dengan teknik
penghapusan pterigium dasar, dalam mengurangi tingkat kekambuhan pasca
operasi. Empat percobaan telah mengevaluasi kemanjuran bevacizumab
topikal atau subkonjungtiva adjuvant, dan membandingkan tingkat
kekambuhan dengan teknik bare sclera terisolasi. Shenasi dkk145
mengevaluasi efek bevacizumab subkonjungtiva segera setelah eksisi
pterigium primer dan menyimpulkan bahwa terapi kombinasi dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi tidak dapat secara signifikan mengurangi
kekambuhan pterigium. Kasetsuwan dkk146 menilai kemanjuran bevacizumab
topikal 0,05% setelah eksisi pterigia primer pada 22 pasien. Kekambuhan
ditemukan pada 33,3% dan 90,00% pasien di kelompok bevacizumab dan
plasebo, masing-masing, tanpa efek samping yang signifikan. Hwang dan

25
Choi147 membandingkan tingkat kekambuhan operasi pengangkatan
pterigium yang terkait dengan MMC topikal, siklosporin, dan bevacizumab.
Mereka mengamati tidak ada perbedaan antara kelompok kontrol dan
kelompok yang menerima bevacizumab 2,5% topikal setelah operasi bare-
sclera. Dalam penelitian baru-baru ini, dua konsentrasi berbeda dari
bevacizumab topikal (5 berbanding 10 mg/ml) digunakan setelah
pengangkatan pterigium pada 90 pasien, dan tingkat kekambuhan
dibandingkan antara kedua kelompok. Pterigia kambuh pada 13,3% pada
kelompok 5 mg/ml, sementara tidak ada kekambuhan yang diamati pada
kelompok 10 mg/ml. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa
konsentrasi 10 mg/ml bevacizumab topikal lebih efektif daripada dosis 5
mg/ml dalam mencegah kekambuhan pterigium.148

CsA topikal pasca operasi adalah pengobatan adjuvant lain yang


digunakan untuk mengurangi tingkat kekambuhan pterigium setelah operasi
pengangkatan.149 Dalam studi perbandingan dari 31 pasien yang telah
menjalani pengangkatan pterigium bilateral menggunakan teknik bare sclera,
pterigium kambuh pada 12,9% mata yang dirawat pasca operasi dengan CsA
0,05%, sedangkan tingkat kekambuhan adalah 45,2% pada kelompok kontrol.
Kelompok kontrol memiliki risiko kekambuhan pterigium 7,37 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan.149 Dalam penelitian lain,
disimpulkan bahwa operasi pengangkatan pterigium yang dikombinasikan
dengan topikal 0,5 g/l CsA efisien untuk pencegahan kekambuhan
pterigium.150 Dalam penelitian oleh Hwang dan Choi,147 20,6% mata pada
kelompok siklosporin menunjukkan kekambuhan, yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dalam sebuah penelitian terkontrol
secara acak yang mendaftarkan 36 mata yang menerima eksisi pterigium
sklera, Turan-Vural dan rekan151 menyelidiki efektivitas CsA 0,05%
pascaoperasi (4 kali sehari selama 6 bulan) dalam pencegahan kekambuhan
pterigium. Mereka melaporkan bahwa kekambuhan terjadi pada 22,2% mata
pada kelompok perlakuan, yang serendah setengah dari tingkat kekambuhan
pada kelompok kontrol.

26
Autografting konjungtiva atau Autografting konjungtiva-limbal

Dijelaskan oleh Kenyon dan rekan152 pada tahun 1985, autografting


konjungtiva terdiri dari menutupi dasar sklera dengan cangkok bebas yang
diambil dari konjungtiva yang berdekatan setelah pengangkatan pterigium.
Meskipun teknik autografting konjungtiva membutuhkan waktu dan keahlian
operasi yang lebih banyak, prosedur ini dikaitkan dengan tingkat kekambuhan
yang lebih rendah, dibandingkan dengan teknik bare sclera saja. Cangkok
dapat difiksasi ke jaringan yang berdekatan dengan jahitan atau produk
perekat; komplikasi utama dari prosedur tetap menjadi ketidaknyamanan dan
iritasi mata pasca operasi, dan jarang perpindahan atau retraksi cangkok.
Jaringan Tenon yang terkait dengan cangkok dapat berfungsi sebagai
reservoir baru untuk proliferasi fibroblas lebih lanjut dan kekambuhan
pterigium. Penting untuk memiliki cangkok bebas duri untuk menghindari
tingkat kekambuhan, seperti yang telah ditetapkan dalam penelitian
terbaru.153

Beberapa percobaan telah menunjukkan keunggulan teknik autograft


konjungtiva atas metode bare sclera dalam pengurangan kekambuhan pasca
operasi pada pterigia primer dan rekuren.50,153-155 Selanjutnya, teknik
autograft konjungtiva sama efektifnya dengan teknik gabungan bare sclera
dan MMC dalam mengurangi tingkat kekambuhan.156-159 Namun, penelitian
lain melaporkan tingkat kekambuhan yang lebih rendah setelah autografting
konjungtiva, dibandingkan dengan gabungan bare sclera dan MMC.160
Tingkat kekambuhan pterigium yang dilaporkan setelah autografting
konjungtiva berkisar dari 1% hingga sekitar 40%.126 Untuk pterigium primer,
banyak penelitian telah melaporkan tingkat kekambuhan lebih rendah dari
15%, sedangkan untuk pterigium berulang itu terletak dalam kisaran 30-
33%.161-165 Ketika dikombinasikan dengan pilihan adjuvant, kekambuhan
pterigium 3 bulan setelah autografting konjungtiva berkisar dari 0% sampai
16,7%, sedangkan kekambuhan pada 6 bulan setelah operasi berkisar antara
3,33% hingga 16,7%.166

27
Tingkat kekambuhan setelah teknik autografting dapat lebih rendah
bila operasi dikombinasikan dengan terapi MMC intraoperatif atau
pascaoperasi.167,168 Tingkat kekambuhan setelah kombinasi teknik MMC
intraoperatif dan autograft konjungtiva bervariasi dari 6,7% menjadi
22,5%.169-172 Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dilaporkan
antara penerapan MMC intraoperatif dan pascaoperasi dalam operasi cangkok
konjungtiva, meskipun tingkat kekambuhan setelah penerapan MMC
intraoperatif lebih rendah (0-16% dibandingkan 6-22,5%, masing-masing).126

Lem fibrin merupakan alternatif penjahitan cangkok pada operasi


pterigium.173 Waktu operasi yang lebih singkat dan tingkat kekambuhan yang
lebih rendah merupakan keuntungan dari lem fibrin pada operasi pterigium;
biaya yang lebih tinggi, risiko infeksi menular, dan risiko dehiscence yang
lebih tinggi dan pencabutan cangkok, bagaimanapun, telah membatasi
penggunaannya. Koranyi dan rekan174 melaporkan tingkat kekambuhan 5,3%
ketika lem fibrin digunakan, sementara teknik bantuan jahitan menghasilkan
tingkat kekambuhan 13,5%. Teknik in situ blood coagulum juga telah
diusulkan untuk mengurangi risiko penularan infeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang terkait dengan produk fibrin. Autografting konjungtiva
yang dibantu lem fibrin telah sebanding dengan in situ blood coagulum
sehubungan dengan tingkat kekambuhan; namun, yang terakhir telah
dikaitkan dengan risiko perpindahan cangkok yang lebih tinggi.175.176 Kumar
dan Singh melakukan percobaan pada 60 kasus pterigium dan
membandingkan tiga metode fiksasi cangkok konjungtiva: lem fibrin,
penjahitan, dan darah autologus. Mereka melaporkan bahwa lem fibrin adalah
teknik yang paling efisien untuk fiksasi cangkok konjungtiva pada operasi
pterigium dengan waktu operasi paling sedikit, ketidaknyamanan okular, dan
tingkat kekambuhan.177

Transplantasi selaput ketuban

Amniom Membran (AM) dapat bermanfaat selama rekonstruksi bedah


situs pterigium yang dieksisi melalui sejumlah mekanisme. Komponen

28
stroma dan lamina basal AM di atasnya menyerupai arsitektur konjungtiva
manusia normal, di mana ia dapat menyediakan platform untuk pertumbuhan
lapisan epitel konjungtiva dan kornea. Fitur penutup AM mengurangi nyeri
pasca operasi melalui melindungi ujung saraf sklera dan mengurangi
penguapan. Sebagai teori, kehadiran AM dapat memberikan penghalang
untuk pertumbuhan abnormal sel induk konjungtiva di limbus yang
mendasarinya, memfasilitasi proliferasi LSC normal.178

Ada beberapa percobaan yang memeriksa tingkat kekambuhan


pterigium setelah menggunakan cangkok AM, dibandingkan dengan
autograft konjungtiva atau limbal. Empat penelitian menunjukkan tingkat
kekambuhan pterigium yang lebih tinggi pada kelompok AMT.155.157.179
Sebuah meta-analisis dari 20 penelitian pada tahun 2016 mengungkapkan
bahwa AMT dikaitkan dengan risiko kekambuhan yang lebih tinggi 6 bulan
setelah operasi, dibandingkan dengan autograft konjungtiva, dan inferioritas
AMT adalah hadir pada pterigium primer dan berulang.166 Menurut literatur
saat ini, kekambuhan pterigium 3 dan 6 bulan setelah operasi dengan AMT
berkisar antara 4,76% hingga 26,9% dan 2,6% hingga 42,3%, masing-
masing.166

MMC intraoperatif adalah pilihan adjuvant yang diusulkan untuk


mengurangi kekambuhan pterigium setelah teknik AMT, sementara
percobaan melaporkan tidak ada perbedaan dalam tingkat kekambuhan ketika
AM digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan MMC 0,025% yang
diterapkan intraoperatif selama 3 menit.180 Dalam penelitian lain, tingkat
kekambuhan pterigium setelah kombinasi teknik AMT dan MMC
intraoperatif berkisar antara 16% hingga 21%, yang tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok, dibandingkan dengan AMT saja.126.180 Namun,
dalam penelitian terbaru, teknik autograft konjungtiva-limbal dengan MMC
0,02% intraoperatif ditemukan sama efektifnya dalam mengobati pterigium
berulang seperti AMT dengan MMC.181

29
Komplikasi Operasi Pterigium.

Hiperemia intraoperatif dan perdarahan konjungtiva adalah kejadian


yang umum. Mengontrol perdarahan melalui kauter termal atau hemostasis
tekanan mengurangi waktu operasi dan memfasilitasi teknik bedah. Baru-
baru ini, telah direkomendasikan untuk menerapkan brimonidine tartrat
sebelum operasi untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan area bedah
dengan pemutihan konjungtiva terkait brimonidin.182

Komplikasi pascaoperasi dalam pengangkatan pterigium dapat


berhubungan dengan teknik pembedahan itu sendiri atau dengan salah satu
pilihan ajuvan yang digunakan. Sebagian besar komplikasi pascaoperasi
langsung dari operasi pterigium tidak mengancam penglihatan dan sembuh
dengan cepat. Komplikasi ini termasuk edema cangkok, perdarahan atau
hematoma di bawah cangkok, dan jaringan parut kornea. Perban tekanan dan
pengobatan anti-inflamasi topikal dapat mempercepat resolusi kondisi ini.
Jarang, bekas luka kornea yang dalam dan parah mungkin memerlukan
keratoplasti pipih. Defek epitel kornea dan kemosis pascaoperasi awal yang
dicatat pada pemeriksaan awal pascaoperasi biasanya sembuh dalam 24
jam.129

Penipisan atau ulserasi sklera adalah komplikasi yang mengancam


penglihatan yang terkait dengan penggunaan iradiasi beta intraoperatif atau
MMC intraoperatif dan pascaoperasi, baik AMT atau cangkok autologus
digunakan untuk menutupi bare sclera atau tidak. Rentang tingkat penipisan
sklera yang serupa telah dilaporkan untuk MMC intraoperatif dan
pascaoperasi dengan konsentrasi 0,02% dan 0,04%.126 Beberapa penelitian
telah melaporkan hubungan antara tingkat penipisan sklera yang lebih tinggi
dan peningkatan konsentrasi MMC dan durasi aplikasi.136.183 Epitelisasi
tertunda adalah komplikasi serius lain dari MMC dalam operasi pterigium.
Mirip dengan penipisan sklera, epitelisasi tertunda dapat terjadi pada MMC
intraoperatif dan pascaoperasi.50,136,141 Iritis juga telah dilaporkan setelah
penggunaan MMC intraoperatif dan pascaoperasi.134,140,142

30
Keamanan dan tolerabilitas bevacizumab dan CsA sebagai pilihan
tambahan dalam operasi pterigium telah ditekankan dalam beberapa
penelitian. Dalam meta-analisis dari 18 RCT, dilaporkan bahwa komplikasi
pasca operasi operasi pterigium tidak berbeda secara signifikan antara
kelompok bevacizumab ajuvan dan kelompok kontrol.184 Dalam meta-
analisis lain dari percobaan menggunakan CsA sebagai adjuvant untuk
operasi pterigium, hasil menunjukkan bahwa penggunaan adjuvant CsA
tampaknya meningkatkan keamanan operasi masing-masing untuk semua
komplikasi dan granuloma konjungtiva, sedangkan dalam kasus penipisan
sklera tidak ada perbedaan antara kelompok CsA dan kelompok kontrol.
Dengan demikian, pemberian CsA dan bevacizumab dapat dianggap sebagai
tambahan yang aman untuk pengobatan pterigium.185 Pemberian
bevacizumab topikal pascaoperasi dapat meningkatkan risiko defek epitel
kornea.

Kesimpulan

Faktor risiko utama untuk perkembangan dan progresi pterigium


adalah paparan sinar UV. Peran agen virus dan keturunan telah disarankan,
tetapi literatur tidak memiliki kesimpulan yang dapat diandalkan. Selain itu,
hipotesis ini tidak mengubah praktik, atau menyajikan pilihan profilaksis dan
pengobatan tambahan. Pterigium harus dianggap sebagai penyakit
permukaan okular difus, dan kondisi yang menyertai seperti dry eye syndrome
harus ditangani. Sel-sel yang bertanggung jawab untuk perkembangan
pterigium adalah limbal stem cells yang berubah, dan perubahan stroma
terlibat dalam perkembangan penyakit. Karena limbal stem cells yang
berubah terutama terletak di kepala pterigium, pengangkatan apeks secara
lengkap sangat penting dalam eksisi bedah pterigium. Pemeriksaan klinis
pasien dengan pterigium harus diberikan lebih penting daripada masa lalu,
sebagai fitur atipikal dan iregularitas kornea sekunder dapat membenarkan
intervensi bedah sebelumnya. Asosiasi pterigium dengan neoplasia
permukaan okular telah dilaporkan dalam beberapa penelitian. Pterigium

31
dapat menyebabkan astigmatisme dan aberasi tingkat tinggi pada kornea, di
mana jumlah keduanya berkorelasi dengan ukuran pterigium. Operasi
pengangkatan pterigium dapat mengurangi iregularitas kornea, memberikan
nilai refraksi pada intervensi bedah sebelumnya. Juga, klasifikasi
pretreatment berdasarkan ukuran, tekstur, dan vaskularisasi pterigium dapat
memberikan prediksi untuk tingkat kekambuhan pasca operasi.
Direkomendasikan bahwa eksisi pterigia, terutama dalam kasus atipikal,
dikirim untuk studi histopatologi. Prosedur yang paling disarankan untuk
perbaikan situs bedah adalah autografting konjungtiva dan autografting
konjungtiva-limbal, dan penggunaan MMC intraoperatif adjuvant tampaknya
lebih efektif daripada pilihan adjuvant lain untuk mengurangi risiko
kekambuhan pasca operasi. Penerapan CsA dan bevacizumab di lokasi
pterigium yang dipotong telah dilaporkan aman; namun, laporan tentang
kemanjuran pengobatan adjuvant ini masih belum meyakinkan.

Kontribusi penulis

A A. dan T.S. melakukan dan menganalisis literatur dan berkontribusi pada


penulisan naskah. S.F. mengedit dan merevisi naskah.

Pernyataan konflik kepentingan

Para penulis menyatakan tidak ada potensi konflik kepentingan sehubungan


dengan penelitian, kepenulisan, dan/atau publikasi artikel ini.

Pendanaan

Para penulis tidak menerima dukungan finansial untuk penelitian,


kepenulisan, dan/atau publikasi artikel ini.

32
CRITICAL APPRAISAL
No. Kriteria
1. Judul : Judul jurnal telaah ini adalah “Pembaruan
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Dan
Manajemen Pterigium”. yang dimuat singkat
dan jelas.
2. Pengarang : Toktam Shahraki, Amir Arabi and Sepehr Feizi
3. Waktu Publikasi : 6 Mei 2021
4. Dipublikasi oleh : journals.sagepub.com/home/oed
Journal Therapeutic Advances in Ophthalmology
5. Abstrak : Abstrak dalam jurnal ini memuat isi jurnal yang
ditulis secara singkat dan jelas, dengan jumlah
kata yang tidak lebih dari 250 kata.
6. Desain Penelitian : Jurnal ini merupakan suatu Artikel Review,
sehingga tidak menggunakan desain penelitian.
7. Tempat Penelitian : Jurnal ini merupakan suatu Artikel Review,
sehingga tidak mencantumkan tempat penelitian.
8. Sampel Penelitian : Jurnal ini merupakan suatu Artikel Review,
sehingga sampel penelitian diambil berdasarkan
literatur sebelumnya yang dijadikan tinjauan
pustaka jurnal.
9. Hasil Penelitian : Jurnal ini merupakan suatu Artikel Review
sehingga tidak ada hasil penelitian melainkan
suatu kesimpulan dari telaah pustaka yang
dilakukan dalam jurnal. Dengan tinjauan literatur
dilakukan berdasarkan hasil pencarian database
PubMed, Embase, Web of Science, Scopus, dan
Cochrane menggunakan kata kunci berikut:
pterigium, komplikasi, etiologi, patofisiologi,
klasifikasi, dan pengobatan. Artikel yang
diterbitkan dalam bahasa Inggris dari tahun 1948

33
hingga 2020 dianalisis dan dimasukkan dalam
ulasan ini.
10. Ucapan : Pada jurnal ini tidak ada ucapan terimakasih.
Terimakasih

34
TELAAH JURNAL METODE PICO-VIA
PICO
1. Population
Jurnal ini merupakan Artikel Review (jenis jurnal yang
merangkum pemahaman terkini tentang suatu survey baik kelebihan
maupun kekurangan dari objek yang direview) Artikel ini tidak
menyediakan penelitian baru sebab review artikel merupakan
rangkuman dari dokumen asli.
2. Intervention
Tidak terdapat intervensi yang dilakukan karena bukan
merupakan jurnal penelitian.
3. Comparison
Penulis tidak melakukan perbandingan variabel karena dalam
jurnal berisi tentang pembaruan informasi terkait patofisiologi,
manifestasi klinis dan manajemen dari pterigium yang merupakan
hasil tinjauan dari pustaka sebelumnya.
4. Outcome
Artikel ini memberikan informasi terkini terkait gambaran
patofisiologi, manifestasi klinis dan manajemen dari pterigium. Serta
membahas tentang beberapa perubahan terkait etiologi, faktor risiko,
komplikasi, dan manajemen bedah pterigium, dengan fokus pada
pembaruan dan fitur baru dari literatur.

35
VIA
VALIDITAS
Jurnal ini merupakan jurnal review yang valid karena dilengkapi
dengan identitas jurnal yang lengkap dan telah tercantum nomor ISSN serta
adanya alamat korespondensi. Jurnal ini merupakan review jurnal tentang
membahas tentang pembaruan informasi terkait patofisiologi, manifestasi
klinis dan manajemen dari pterigium yang merupakan hasil tinjauan dari
pustaka sebelumnya.

IMPORTANCE
Jurnal ini merupakan jurnal yang menjelaskan tentang beberapa
perubahan terkait etiologi, faktor risiko, komplikasi, dan manajemen bedah
pterigium, dengan fokus pada pembaruan dan fitur baru dari literatur.
Tinjauan literatur dilakukan berdasarkan hasil pencarian database PubMed,
Embase, Web of Science, Scopus, dan Cochrane dari berbagai artikel yang
diterbitkan dalam bahasa Inggris dari tahun 1948 hingga 2020 dianalisis dan
dimasukkan dalam ulasan ini. Sehingga pembaruan ilmu yang diberikan
penting untuk diketahui baik bagi tenaga medis maupun mahasiswa.

APLIKABILITAS
Aplikabilitas dari jurnal ini sangat berperan sebagai panduan bagi
klinisi atau dokter dalam mendiagnosis dan memanajemen pterigium, karena
jurnal sudah memberikan gambaran klinis terbaru yang dapat menunjang
diagnosis dan juga manajemen dari pterigium.

36
Kelebihan Peneletian

1. Jurnal ini merupakan jurnal riview sebagai suatu panduan bagi klinisi
atau dokter dalam mendiagnosis dan manajemen dari pterigium.
2. Jurnal menjelaskan secara rinci mengenai etiologi, faktor risiko,
komplikasi, dan manajemen bedah pterigium, dengan fokus pada
pembaruan dan fitur baru dari literatur.
3. Jurnal disajikan dalam bahasa yang mudah untuk dipahami.

Kekurangan Penelitian

1. Pada jurnal ini juga masih menggunakan referensi di atas 10 tahun.


2. Tidak dicantumkan gambar atau foto yang dapat memvisualisaikan
pterigium baik dari patofisiologi hingga manajemennya, sehingga
perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk memahami jurnal.

37

Anda mungkin juga menyukai