Anda di halaman 1dari 7

Makalah Agama Hubungan Aqidah dan Syari'ah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berisi tentang “Hubungan Aqidah dengan Syariah” sebagai salah satu tugas mata pelajaran
“Pendidikan Agama Islam”. Kami juga mengucapkan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan informasi yang sebagian besar di ambil dari internet.
Kami juga menyadari bahwa dalam penyususnan makalah masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun
makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya. Kami juga memohon maaf apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan
pembaca dalam memahami maksud penulis.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasul-
Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan
ihsan (akhlak). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini.
Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.
Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
Dr. Asmaran As., M.A. 2002

Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
Hal yang melatar belakangi kami membuat makalah ini ialah selain sebagai tugas kami
selaku Mahasiswa juga kami ingin lebih mengetahui dan memahami tentang apa pengertian
Aqidah, Syariah, dan bagaimana hubungan antara aqidah dan syariah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan aqidah ?


2. Bagaimana kedudukan aqidah dalam Islam ?
3. apa yang dimaksud dengan Syariah ?
4. Bagaimana Hubungan akidah dengan syariah ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu aqidah.


2. Untuk mengetahui kedudukan aqidah dalam islam.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan syariah.
4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan aqidah dengan syariah serta diharapkan dapat
bermanfaat bagi kita semua.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqidah

Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (‫)العَ ْقد‬ْ yang berarti ikatan, at-
tautsiiqu (‫ )الت َّ ْوثِيْق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫ )اْ ِإلحْ كَام‬yang
artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫الربْط‬
َّ
‫ ) ِبق َّوة‬yang berarti mengikat dengan kuat.
Pengantar Studi Akhlak

menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam
hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak
dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan
al-Banna menyatakan akidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga
menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.

Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa ciri-ciri akidah dalam Islam adalah
sebagai berikut:

1. Akidah didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab
ada masalah tertentu yang tidak rasional dalam akidah;
2. Akidah Islam sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan
ketentraman dan ketenangan;
3. Akidah Islam diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah
harus penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4. Akidah dalam Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah”
dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5. Keyakinan dalam akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang
dipergunakan dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan
manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term akidah identik dengan term iman, tauhid,
ushuluddin, ilmu kalam, fiqih akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu
tersendiri.

Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau
diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan
dengan banyaknya nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit
menjelaskan persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama kali ajaran
Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada
para Rasul sebelumnya.

B. Kedudukan Aqidah dalam Islam

Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan
akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah
suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk
sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur
berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan
diterimanya suatu amal.
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul
mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya.
Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan
menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu
selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang
merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu
kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan
penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih
singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai
betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
C. Pengertian Syari’ah
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan
umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah
seluruh kehidupan ini.
Secara umum Sayariah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.

1. Syari'ah Dalam Arti Luas


Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma
ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah
laku konkrit (legal-formal) yang individual dan kolektif.
Dalam arti ini, al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang
pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan
seterusnya.

2. Syari'ah Dalam Arti Sempit


Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah
laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, al-syari’ah dibatasi
hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih.

Ibn Jaza al-Maliki, seorang ulama dari mazhab Maliki mengelompokkan fikih menjadi
dua, yakni: (1) ‘ibadah, dan (2) mu’amalah. Adapun cakupan mu’amalah adalah: perkawinan dan
perceraian, pidana (uqubah), yang mencakup hudud, qisas dan ta‟zir, jual beli (buyu’), bagi hasil
(qirad), gadai (alrahn), perkongsian pepohonan (al-musaqah), perkongsian pertanian
(almuzara’ah), upah dan sewa (al-ijarah), pemindahan utang (al-hiwalah), hak prioritas pemilik
lama/tetangga (al-shuf’ah), perwakilan dalam melakukan akad (al-wakalah), pinjam meminjam
(al-‘ariyah), barang titipan (alwadi’ah), al-gasb, barang temuan (luqathah), jaminan (al-
kafalah), sayembara (al-ji’alah), perseroan (syirkah wa mudlorabah), peradilan (alqadla’), wakaf
(al-waqf atau al-habs), hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), wasiat, pembagian harta
pusaka (fara’id).

Terkait dengan susunan tertib syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka
umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan
ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna
ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS 5:101) yang menyatakan bahwa
hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai
perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu'
Syara'.
Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau
Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara'
dan Al Hadits itu asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam
keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang
membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau
tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak
berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang
berlaku.
Furu' Syara' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran
dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak
mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai
peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
D. HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARIAH

Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar
diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian
ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman (Aqidah), Islam (Syariat),
dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan malaikat Jibril itu,
Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam, dan Ihsan tersebut sebagai berikut
:

Iman (Aqidah) : Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-


Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat serta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan)
baik dan buruk.

Islam (Syariat) : Engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa
Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.

Ihsan : Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika


engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.

Ditinjau dari hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antar
ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat dipisahkan antara akar (Aqidah),
batang (Syariat), dan daun (Akhlak).

Hubungan aqidah dengan syariat akan dijelaskan lebih terperinci disini.

Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan
syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di
atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah
tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena
adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan
akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Ada juga yang menyatakan bahwa hubungan aqidah dengan syariat adalah hubungan di
antara budi dan perangai. Dalam undang-undang budi, suatu budi yang tinggi hendaklah
dilatihkan terus supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang telah mengakui percaya
kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul
Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan itu mendorongnya supaya mencari
perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia
telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di
dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah
berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui
dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang
yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya
perkatannya jangan bercampur bohong.
Inilah aqidah yang kuat, aqidah yang sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah
dipegang dan dilaksanakan, maka seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai prinsip
yang benar dan kokoh. Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang dengan penuh rasa
tanggung-jawab dan waspada dalam segala urusan. Apabila mereka berada di atas dasar
kebenaran, maka ia dapat bekerja sama dengan mereka. Kalau ia melihat mereka menyimpang
dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan sendiri.

Rasulullah bersabda:
‫ ولكن وظنوا انفسكم ان حسن الناس ان‬،‫ ان احسن الناس احسنث وان اساءوا اسأث‬،‫ انا مع الناس‬: ‫اليكن احدكم أمعة يقول‬
)‫ثحسنوا وان اساءوا ان ثجثنبوا اساءثهم (رواه الترذي‬

Artinya : “Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian,
ia berkata: Saya ikut bersama orang-orang. Kalau orang berbuat baik, saya juga berbuat baik; dan
kalau orang berbuat jahat, saya juga berbuat jahat. Akan tetapi teguhlah pendirianmu. Apabila
orang berbuat baik, hendaklah kamu juga berbuat baik dan kalau mereka berbuat jahat,
hendaklah kamu jauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmuzi)

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa iman itu merupakan satu hal yang sangat
fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam kehidupan. Untuk memantapkan uraian
ini, iman laksana mesin bagi sebuah mobil yang menggerakkan segala kekuatannya untuk
berjalan. Tanpa mesin, maka mobil itu tak ubahnya seperti benda-benda mati yang lain yang
tidak bisa bergerak dan berjalan.
Kemantapan iman dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-
Allah (Tiada tuhan selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah;
dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendket kata, kebahagiaan
dan kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi mengemukakan beberapa pengaruh kalimat
tauhid ini dalam kehidupan manusia :
1. Manusia yang percaya dengan kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit dan
berakal pendek.
2. Keimanan mengangkat manusia ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai
manusia.
3. Bersamaan dengan rasa harga diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri
manusia rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
4. Keimanan membuat manusia menjadi suci dan benar.
5. Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun.
6. Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh
kepada Allah SWT.
7. Keimanan membuat keberanian dalam diri manusia.
8. Keimanan terhadap kalimat La Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai
dan keadilan menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
9. Pengaruuh yang terpenting adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-
hukum Allah.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Kaitan antara aqidah, syariah dan akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar,
batang dan daun, yang saling menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi kehancuran
untuk pohon tersebut.
Aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah,
syariat dan akhlak yang baik tidak akan terbentuk, atau pun sebaliknya. Rasulullah pernah
menjelaskan tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang kepadanya sebagai seorang
manusia.
Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama
lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syariah dan akhlak akan kehilangan
keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara ketiganya
dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.

B. SARAN

Kami menyarankan bahwa dalam pembahasan telah banyak dijelaskan betapa pentingnya
aqidah, syariah, dan akhlak bagi seorang mukmin dan muslim. Tanpa ketiga hal tersebut maka
seorang mukmin atau muslim akan kehilangan keimanannya. Maka dari itu kita harus benar –
benar menjaga aqidah. Kaerena aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariah dan
akhlak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Asmaran As., M.A. 2002. . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


Mahmud Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al-
Kalam.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas
Muhammad al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
1970, Al Aqidah Islam, Kuwait: Dar al Bayan.
Abdul Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of Allah
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang.
- See more at: http://kmplnmakalah.blogspot.co.id/2013/07/makalah-hubungan-aqidah-
dan-syariah.html#sthash.2whVnnkv.dpuf

Anda mungkin juga menyukai