PENGALENGAN
Oleh:
KELOMPOK A-5
SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Kaleng adalah lembaran baja yang disalut timah. Bagi orang awam, kaleng sering
diartikan sebagai tempat penyimpananatau wadah yang terbuat dari logam dan digunakan
untuk mengemas makanan, minuman, atau produk lain. Dalam pengertian ini, kaleng juga
termasuk wadah yang terbuat dari aluminium. Kaleng adalah salah satu jenis kemasan
makanan yang sudah dikenal sejak perang dunia kedua. Mengemas makanan dalam kaleng
merupakan salah satu teknologi pengawetan makanan dengan cara sterilisasi dengan suhu
tinggi. Saat ini makanan dalam kemasan kaleng semakin populer akibat mobilitas masyarakat
yang sangat tinggi, sehingga mengkonsumsi produk makanan kaleng dapat menghemat
waktu. Kerusakan utama yang terjadi pada bahan makanan yang dikemas dalam kaleng
adalah kerusakan yang diakibatkan oleh mikroba yang menyebabkan makanan menjadi
berbau busuk, asam dan bahkan beracun (Shaffiyah, 2008).
Menurut Winarno (1995), kerusakan makanan kaleng dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Flat Sour Apabila permukaan kaleng tetap datar dan tidak mengalami kerusakan
apapun, tetapi produk di dalam kaleng tersebut sudah rusak dan berbau asam.
2. Flipper Apabila dilihat sekilas, bentuk kaleng terlihat normal tanpa kerusakan.
Tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, maka ujung yang lainnya akan
terlihat cembung.
3. Springer Apabila salah satu ujung kaleng tampak rata dan normal, sedangkan
ujung yang lain tampak cembung permanen.
4. Swell (cembung) Apabila kedua ujung kaleng sudah terlihat cembung akibat
adanya bakteri pembentuk gas. Swell (cembung) dapat dibedakan menjadi dua
bagian yaitu soft swell dan hard swell. Soft swlel yaitu kedua ujung kaleng yang
sudah cembung tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke
dalam. Sedangkan hard swell yaitu kedua ujung permukaan kaleng sudah
cembung dan begitu keras sehingga tidak bisa lagi ditekan ke dalam (Shaffiyah,
2008).
Bentuk kemasan dari bahan logam yang digunakan untuk bahan pangan yaitu :
- bentuk kaleng tinplate
- kaleng alumunium
- bentuk alumunium foil
Kaleng tinplate banyak digunakan dalam industri makanan dan komponen utama untuk
tutup botol atau jars. Kaleng alumunium banyak digunakan dalam industri minuman.
Alumunium foil banyak digunakan sebagai bagian dari kemasan bentuk kantong bersama-
sama/dilaminasi dengan berbagai jenis plastik, dan banyak digunakan oleh industri makanan
ringan, susu bubuk dan sebagainya.
Menurut Buckle dkk (1987), kemasan yang dipakai dalam proses pengalengan
adalah kaleng yang dibuat dalam ukuran dan bentuk yang beragam. Ukuran pada
suatu kaleng dapat ditunjukkan dengan kode, misalnya 211x400. Hal ini berarti
kaleng tersebut memiliki diameter 2-11/16 inci dan tingginya 4-0/16 inci. Pada
bilangan pertama menunjukkan diameter dan pada bilangan yang terakhir
menyatakan jumlah dari perenam belas. Overlap pada kaleng dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
𝐵𝐻+𝐶𝐻+𝐸𝑃𝑇−𝐿
% overlap = 𝑋 100%
𝐿−((2𝐸𝑃𝑇0+𝐵𝑃𝑇)
Keterangan :
BH: panjang lipatan pada kaleng (body hook)
CH: panjang lipatan pada tutup kaleng (cover hook)
L : panjang sambungan (seam length)
EPT : ketebalan tutup kaleng (end plate thickness)
BPT : ketebalan badan kaleng (body plate thickness)
BAB III
METODE
3.2 Bahan
1. Gula
2. Larutan NaCl 1%
3. Pepaya
3.3 Cara Kerja
Potongan Pepaya
Penimbangan 80 gr
Exhausting
Penutupan kaleng
Sterilisasi dalam
autoklaf
Pendinginan
Pengamatan:
Tektur, warna, % overlap
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 pH
Tabel 1. Hasil pH berbagai perlakuan pada hari 0,2,7
Hari ke Perlakuan pH
Akuades 5,90
0 Gula disayat 5,50
Gula tidak disayat 5,47
Akuades 5,48
3 Gula disayat 5,48
Gula tidak disayat 5,45
Akuades 5,47
7 Gula disayat 5,47
Gula tidak disayat 5,44
Pada praktikum kali ini dilakukan juga pengamatan terhadap pH larutan perendam
papaya yang dikalengkan. Dari ketiga pelakuan yang dilakukan diketahui bahwa pH papaya
dalam kaleng relatif stabil. Pada hari ke-0 sampai hari ke-7 penurunan pH tidak terlalu
banyak, hanya selisih sedikit dari pH hari ke-0. Hal tersebut tejadi karena kemasan kaleng
memiliki barrier yang baik terhadap uap, air, gas, mikroba, dll, sehingga tidak ada perubahan
kondisi lingkungan dalam kaleng yang mengakibatkan penurunan pH. Stabilnya pH juga
dapat menunjukan bahwa tidak ada kebocoran pada kaleng, karena bila ada kebocoran maka
akan ada udara, uap, air, mikroba yang masuk ke dalam kaleng dan dapat mempengaruhi pH
papaya. Pada pH larutan gula pada kaleng yang disayat memiliki pH paling rendah
dibanding yang lain, hal itu dikarenakan pada bagian yang disayat dapat menyebabkan
adanya reaksi antara komponen kaleng dengan larutan gula sehingga pHnya menjadi lebih
rendah daripada perlakuan lain. Stabilnya pH selama penyimpanan menunjukan bahwa
papaya tidak mengalami kerusakan selama penyimpanan dalam kaleng, karena makanan
yang mengalami kerusakan akan mengalami penurunan pH akibat dari aktivitas
mikroorganisme.
4.2 Tekstur
Tabel 2. Hasil pengamatan tekstur berbagai perlakuan pada hari 0,2,7
4.3 Warna
Tabel 3. Hasil pengamatan warna berbagai perlakuan pada hari 0,2,7.
Perlakuan Warna
Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-7
Akuades Kuning orange (+5) Kuning Orange (+5) Kuning Orange (+3)
Penambahan gula Kuning Orange Kuning Orange (+3) Kuning Orange (+1)
dan sayat (+5)
Penambahan gula Kuning Orange Kuning Orange (+4) Kuning Orange (+2)
dan tidak sayat (+5)
Keterangan : Semakin +, maka warna papaya makin cerah
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan terhadap warna dari pepaya pada hari ke 0,2,
dan 7 dengan cara pengamatan secara langsung secara kualitatif. Secara umum didapatkan bahwa
semakin lama penyimpanan dari pepaya kaleng, semakin memudar warna dari pepaya tersebut. Hal
ini dapat disebabkan karena semakin lama masa penyimpanan, semakin banyak air yang terserap
oleh pepaya sehingga warnanya menjadi memudar. Namun pengurangan warna tersebut tidak terlalu
signifikan sehingga tidak terlalu mempengaruhi sifat organoleptiknya.
Pada pepaya dengan perlakuan akuades saja, diketahui pepaya lebih dapat mempertahankan
warnanya hingga hari ke-7 dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Ini sejalan dengan teori bahwa
beta karoten dapat mempertahankan warnanya saat disimpan dengan baik. Sedangkan pada
perlakuan penambahan gula tanpa penyayatan, warna oranye cerah dapat dipertahankan dengan baik
pula namun tidak sebaik dengan akuades saja. Pada perlakuan penambahan gula dan dengan
penyayatan, diketahui memiliki kemampuan mempertahankan warna yang paling buruk. Hal ini
disebabkan karena penyayatan dapat mengekspos dinding dalam kaleng yang mengandung logam
sehingga mempengaruhi warna dari pepaya. Serta adanya kemungkinan kontaminasi silang bakteri
dari pisau yang digunakan untuk menggores kaleng dapat mempengaruhi warna dari pepaya tersebut.
4.4 Overlap
Tabel 4. Hasilpengamatan% overlap berbagai perlakuan pada hari 0,2,7.
% Overlap
𝐵𝐻+𝐶𝐻+𝐸𝐵𝑇−𝐿
Hari Perlakuan BH CH EBT L BPT x
𝐿−(2𝐸𝐵𝑇+𝐵𝑃𝑇)
(cm) (cm) (cm) (cm) (cm) 100%
Akuades 0,169 0,275 0,020 0,265 0,018 96,13%
Penambahan gula dan
0,165 0,280 0,022 0,260 0,021 106,15%
Hari ke-0 sayat
Penambahan gula dan
0,171 0,270 0,023 0,255 0,020 110,58
tidak sayat
Akuades 0,165 0,255 0,019 0,245 0,018 102,65%
Penambahan gula dan
0,175 0,240 0,023 0,275 0,018 77,25%
Hari ke-2 sayat
Penambahan gula dan
0,160 0,230 0,024 0,235 0,020 107,19%
tidak sayat
Akuades 0,170 0,275 0,023 0,255 0,025 115,76%
Penambahan gula dan
0,165 0,280 0,018 0,255 0,012 100,48%
Hari ke-7 sayat
Penambahan gula dan
0,160 0,270 0,022 0,275 0,020 83,89%
tidak sayat
𝐵𝐻+𝐶𝐻+𝐸𝐵𝑇−𝐿
Rumus % Overlap : x 100%
𝐿−(2𝐸𝐵𝑇+𝐵𝑃𝑇)
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H. and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan diterjemahkan
oleh Hari Purnomo dan Adiono.Jakarta : UI-Press.
Shaffiyah. (2008). Seputar Makanan Kaleng, http://shaffiyah.wordpress.com/> (diakses 12 November
2017)