DISUSUN OLEH:
Nama : Augie Davin Siagian
NIM : 012100003
Kelompok :B
Rekan Kerja : 1. Desalsa Anggoro Diani
2. Nasywa Hasna Aisyi
Program Studi : D-IV Teknokimia Nuklir
Acara : Pembuatan Biogas dari Kotoran Sapi
Dosen : Harum Azizah Darojati, M.T.
Tanggal Pelaksanaan Praktikkum : 27 November – 18 Desember 2023
Tanggal Pengumpulan Laporan : 24 Desember 2023
II. TUJUAN
a. Mengetahui teknik pengolahan limbah kotoran sapi menggunakan mikroorganisme
b. Mengetahui zat yang dihasilkan dari proses penguraian limbah menggunakan
mikroorganisme
c. Dapat membuat neraca massa dari biogas yang dihasilkan
V. LANGKAH KERJA
Densitas:
H2 gas (0,08375 kg/m3)
CO2 gas (1,98 kg/m3)
CH4 gas (0,657 kg/m3)
H2O gas (0,598 kg/m3)
Massa (gr)
Yield (%)
Hari ke- V gas V CO2 V H2 V CH4 V H2O CO2 H2 CH4 H2O
21 281,2638 144,3332 133,2306 3,70085 7,4017 0,2858 0,0112 0,0024 0,0044 0,0019
Tabel 2. Rincian volume gas produksi
Neraca Massa
𝑚𝑖𝑛 − 𝑚𝑜𝑢𝑡 = 𝑚𝑎𝑐𝑐
Asumsi steady state, dimulai ketika terjadi pengurangan kotoran sapi, dan perolehan gas
pada hari pengamatan terakhir konstan.
𝑚𝑖𝑛 = 𝑚𝑜𝑢𝑡
𝑚𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 = 𝑚𝐻2 + 𝑚𝐶𝑂2 + 𝑚𝐶𝐻4 + 𝑚𝐻2 𝑂 + 𝑚𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛
125 𝑔𝑟𝑎𝑚 = (0,0112 + 0,2858 + 0,0024 + 0,0044) 𝑔𝑟𝑎𝑚 + 𝑚𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛
𝑚𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 = 124,6962 𝑔𝑟𝑎𝑚
300,0000
250,0000
Volume total gas (mL)
200,0000
150,0000
100,0000
50,0000
0,0000
0 5 10 15 20 25
Hari ke-
VII. PEMBAHASAN
Tujuan dari praktikum kali ini adalah mengetahui teknik pengolahan limbah
kotoran sapi menggunakan mikroorganisme, mengetahui zat yang dihasilkan dari proses
penguraian limbah menggunakan mikroorganisme, dapat membuat neraca massa dari
biogas yang dihasilkan. Biogas merupakan bahan bakar yang bersumber dari makhluk
hidup, dimana sebagian besar bersumber dari kotoran hewan. Kotoran hewan mengandung
banyak senyawa organik sehingga mudah untuk dikonversi menjadi senyawa hidrokarbon.
Salah satu penerapannya adalah biogas karena komponen utama penyusun biogas adalah
metana (CH4). Pembuatan biogas biasanya dilakukan di dalam biodigester yang dirancang
khusus karena reaksi yang terdapat di dalam alat tersebut sangatlah sensitif terhadap
parameter-parameter yang berkaitan dengan kinetika reaksi serta produksi biogas. Dalam
proses pembuatannya, biogas menggunakan bantuan bakteri untuk menguraikan senyawa-
senyawa organic sehingga diperoleh hasil akhir berupa metana.
Secara umum, proses pembuatan biogas terdiri dari beberapa tahap, yaitu hidrolisis,
asidogenesis, acetogenesis, dan metanogenesis. Pada praktikum, dimulai dari tahap
preparasi bahan, dimana digunakan kotoran sapi kering sebanyak 250 gram sebagai bahan
baku pembuatan biogas yang dilarutkan dengan EM4 sebagai sumber bakteri pengurai
senyawa kompleks. EM4 mengandung bakteri mikroba hasil dari fermentasi perubahan zat
glukosa menjadi bakteri, atau bakteri yang terbuat dari zat yang mengandung glukosa. EM4
adalah salah satu jenis larutan yang mengandung bakteri antara lain decomposer,
lactobacillus sp, bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik, Streptomyces, jamur pengurai
selulosa, bakteri pelarut fosfor yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik secara
alami. Pada praktikum juga ditambahkan gula sebagai suplai “makanan” untuk bakteri
sehingga dapat berkembang dengan baik. Dibuat juga instalasi digester sederhana yang
terbuat dari botol kaca dengan selang yang direkatkan sehingga memungkinkan untuk
melaksanakan proses anaerob. Terdapat gelas ukur yang dipasang terbalik dalam sebuah
bak yang berisi air sebagai indikator volume gas yang dihasilkan.
Praktikum dilanjutkan dengan tahap hidrolisis dimana dilakukan pencampuran air
dengan kotoran. Hidrolisis merupakan proses penguraian senyawa organic komplek,
seperti protein, lipid, dan karbohidrat menjadi molekul-molekul sederhana berupa asam
amino, asam lemak, gula, dan alkohol menggunakan bakteri hidrolisis, seperti clostridia,
streptococcus, bakteri yang bersumber dari EM4, seperti lactobacillus dan jamur
Streptomyces dengan bantuan air. Proses ini berjalan secara anaerob karena bakteri yang
berperan merupakan bakteri anaerob. pH yang optimal pada proses ini adalah 6 - 7. Namun,
pada praktikum tidak dilakukan kontrol pH. Reaksi yang terjadi dalam proses ini adalah
sebagai berikut.
𝐿𝑖𝑝𝑖𝑑 →𝑙𝑖𝑝𝑎𝑠𝑒 𝐴𝑠𝑎𝑚 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 + 𝑔𝑙𝑖𝑠𝑒𝑟𝑜𝑙
𝑃𝑜𝑙𝑖𝑠𝑎𝑘𝑎𝑟𝑖𝑑𝑎 →𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎,𝑎𝑚𝑖𝑙𝑎𝑠𝑒 𝑀𝑜𝑛𝑜𝑠𝑎𝑘𝑎𝑟𝑖𝑑𝑎
𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 →𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑎𝑠𝑒 𝐴𝑠𝑎𝑚 𝑎𝑚𝑖𝑛𝑜
Sistem biogas kemudian memasuki tahapan asidogenesis, yaitu proses dimana
terjadi dekomposisi bahan kimia seperti karbohidrat oleh enzim, bakteri, dan yeast dalam
keadaan anaerob menjadi senyawa asam lemak yang volatil. Proses ini menggunakan
metabolisme dari aktivitas bakteri hidrolitik dan nonhidrolitik. Hasil akhir proses ini adalah
asam asetat, propionate, butirat, hydrogen, dan CO2. Terdapat pula produk samping, seperti
formiat, laktat, valerat, metanol, etanol, dan aseton. Pada tahap ini, suhu yang
direkomendasikan adalah 25 – 30oC. Namun, pada praktikum tidak dilakukan kontrol suhu.
Produk yang terbentuk dari reaksi ini merupakan substrat yang akan digunakan dalam
proses selanjutnya. Reaksi tersebut terjadi seperti di bawah ini.
𝐶6 𝐻12 𝑂6 → 𝐶𝐻3 𝐶𝐻2 𝐶𝐻2 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐶𝑂2 + 2𝐻2
𝐶6 𝐻12 𝑂6 + 2𝐻2 → 2𝐶𝐻3 𝐶𝐻2 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐻2 𝑂
𝐶6 𝐻12 𝑂6 + 2𝐻2 → 2𝐶𝐻3 𝐶𝐻2 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐶𝑂2
Kemudian, dilanjutkan dengan proses asetogenesis, yaitu fermentasi karbohidrat
menjadi asam asetat menjadi asam-asam lemak, CO2, dan hydrogen dari molekul-molekul
sederhana. Bakteri yang digunakan dalam tahap ini adalah bakteri acetogen penghasil
hydrogen, seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomas wolfei. Namun, dalam tahap ini
dapat terjadi akumulasi H2 yang menyebabkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat.
Reaksi yang terjadi adalah sebaga berikut.
𝐶𝐻3 𝐶𝐻2 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐻2 𝑂 → 𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 𝐶𝑂2 + 3𝐻2
𝐶𝐻3 𝐶𝐻2 𝐶𝐻2 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐻2 𝑂 → 2𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 2𝐻2
Secara teoritis keseluruhan proses di atas mulai dari hidrolisis hingga asetogenesis
memakan waktu 8 hari. Setelah 3 hari, dilakukan pengecekan gas yang terbentuk karena
terjadi penumpukan gas di dalam botol kaca yang menyebabkan kotoran sapi keluar dari
selang gas. Hal tersebut terjadi karena botol kaca terisi penuh sehingga tidak terdapat
rongga udara agar gas tersalur dengan baik yang menyebabkan gas mendorong kotoran
sapi menuju selang gas. Kondisi tersebut diatasi dengan mengurangi kotoran sapi menjadi
sekitar setengah kali dari semula sehingga terdapat ruang kosong antara kotoran sapi
dengan selang. Hari selanjutnya dilakukan pengecekan terhadap gas untuk mengetahui
kandungan gas secara kualitatif. Dilakukan uji pembakaran dengan korek pada ujung
selang gas dan menyebabkan api mati. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kandungan gas
CO2 pada gas keluaran karena massa CO2 yang lebih berat dari oksigen akan mengikat
oksigen dan mengisolasinya, sehingga oksigen tidak bisa bereaksi dengan bahan bakar
pada korek dan menyebabkan api mati. Sesuai dengan pernyataan teori bahwa produksi
gas CO2 berlangsung pada hari ke-8 dengan total volume gas 281,2638 mL.
Yang terakhir, adalah tahap metanogenesis, yaitu proses pembentukan gas metana
dari senyawa asetat, atau dari gas hydrogen dan CO2 oleh bakteri methanogenic. Bakteri
metanogen adalah bakteri obligate anaerob yang pertumbuhannya lebih lambat dari pada
bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri ini sangat tergantung pada tahap satu
dan dua untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Salah satu fungsi bakteri
metanogen adalah mengurangi hidrogen seminimal mungkin di dalam medium dengan
jalan menggunakan hidrogen untuk mereduksi CO2 menjadi produk akhir yang inert (gas
yang tidak dapat bereaksi secara kimia dengan zat lain) yaitu CH4. Proses ini berlangsung
pada pH mendekati netral, berkisar 6,8 – 7,4.
Pada proses ini juga terjadi pemanfaatan kelebihan hydrogen oleh bakteri
metanogenesis untuk proses konversi asam asetat ke bentuk metana seperti pada reaksi di
bawah ini.
𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻 + 𝐻2 → 2𝐶𝐻4 + 2𝐻2 𝑂
Reaksi lain yang terjadi dalam proses ini adalah reaksi hydrogen-utilizing methane bacteria
seperti pada di bawah ini.
4𝐻2 + 𝐻𝐶𝑂3− + 𝐻 + → 𝐶𝐻4 + 𝐻2 𝑂 + 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖
Ion bikarbonat dapat diperoleh dari reaksi antara bakteri acetolastic pada tahap sebelumnya
dengan ion asetat seperti pada reaksi di bawah ini.
𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂− + 𝐻2 𝑂 → 𝐶𝐻4 + 𝐻𝐶𝑂3− + 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖
Selain itu, terdapat reaksi utama pembuatan biogas sebagai berikut.
𝐶𝑂2 + 4𝐻2 → 𝐶𝐻4 + 2𝐻2 𝑂
Setelah hari ke-8 hingga hari ke-14 terjadi kenaikan ketinggian air dari semula
bervolume 500 mL menjadi 240 mL. Hal tersebut mungkin diakibatkan karena gas yang
dihasilkan dari reaksi fermentasi mendifusi ke dalam air sehingga menambah volume air
dan ketinggian air menjadi berkurang. Terdapat pula kemungkinan bahwa tekanan selang
lebih kecil dibandingkan tekanan gas dalam gelas ukur sehingga mendorong gas masuk ke
dalam selang dengan menurunkan ketinggian air. Hal tersebut juga menyebabkan
masuknya air ke dalam digester. Akibat hal tersebut volume gas yang dimasukkan ke
dalam perhitungan adalah 0 mL dengan mengasumsikan bahwa gas produksi setelah hari
ke-8 hingga hari ke-14 tidak dapat masuk ke dalam gelas ukur akibat kurangnya tekanan
dalam digester. Air yang masuk menyebabkan reaksi hidrolisis dari kotoran sapi semakin
meningkat karena kandungan air bertambah sehingga menambah jumlah CO2 yang
dihasilkan.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan volume gas setelah hari ke-14
hingga akhir pengamatan. Senyawa CO2 yang terbentuk juga dibuktikan dengan
melakukan uji bakar dimana mematikan nyala api ketika gas dialirkan. Oleh karena itu,
kondisi nyata tidak sesuai dengan pernyataan teoritis yang mana setelah hari ke-8, gas CO2
yang dihasilkan berjumlah banyak sehingga diperoleh kesimpulan bahwa persentase proses
asido-asetogenesis besar dalam digester. Namun, terdapat kemungkinan bahwa telah
terjadi proses metanogenesis. Akan tetapi, jumlah metana yang dihasilkan masih sangat
sedikit sehingga jumlahnya belum terlalu banyak untuk menyalakan nyala api saat uji
bakar. Dengan mengasumsikan bahwa proses setelah hari ke-14 adalah asido-asetogenesis
dan metanogenesis, didapat bahwa volume total gas yang diproduksi adalah 123,7561;
236,2616; dan 281,2638 cm3. Diasumsikan bahwa gas yang terkandung dalam hasil
produksi, ialah metana, karbondioksida, dan hydrogen. Asumsi lain menggunakan data
rasio H2/CO2 yang bernilai 1 dengan konversi CH4 adalah 2,5% (%v) terhadap hydrogen
(Leu dkk, 2011) dan densitas H2 (0,08375 kg/m3), CO2 (1,98 kg/m3), H2O (0,598 kg/m3)
dan CH4 (0,657 kg/m3) pada senyawa murninya. Asumsi tersebut digunakan untuk
menunjang bukti bahwa kandungan metana yang dihasilkan pada proses metanogenesis
sangat kecil sedangkan konsentrasi CO2 masih besar.
Didapat senyawa metana yang dihasilkan adalah 0,0024 gram dari setelah hari ke-
14 dengan yield sebesar 0,0019%. Dengan mengasumsikan bahwa hari terakhir
pengamatan (hari ke-21) perolehan gas telah konstan, didapat neraca massa dengan massa
kotoran sapi mula-mula, gas H2, CO2, CH4, H2O, dan sisa kotoran sapi secara berurutan
sebesar 125; 0,0112; 0,2858; 0,0024; 0,0044 dan 124,6962 gram. Yield metana yang
diperoleh cukup rendah dapat diakibatkan tidak adanya kontrol terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembuatan biogas, seperti pH, rasio C/N, suhu, retention time, dan
jumlah air. Diprediksi nilai pH berada pada daerah asam karena pembentukan VFA
(volatile fatty acid) yang menurunkan pH dari rentang optimum. Apabila pH terlalu rendah,
maka bakteri metanogen tidak dapat bekerja yang mengakibatkan yield metana menjadi
rendah. Walaupun telah ada efek buffer dari senyawa bikarbonat, namun masih kurang
karena produksi asam organic yang cukup banyak sehingga diperlukan buffer tambahan
berupa ammonia.
Lalu, diprediksi rasio C/N bahan sangat tinggi sehingga bakteri metanogen justru
menggunakan N2 untuk kebutuhan protein dan tidak bereaksi dengan hydrogen untuk
menghasilkan metana yang menyebabkan yield menjadi rendah. Pengaruh suhu bergantung
pada jenis bakteri metanogen yang terdapat pada kotoran sehingga tidak dapat diberikan
rentang optimum dari operasi suhu karena tidak diketahui jenis bakteri metanogen yang
bereaksi. Namun, lingkungan juga mempengaruhi suhu dimana digester diletakkan pada
lingkungan luar yang mengalami penurunan suhu pada malam hari. Saat suhu turun pada
malam hari, bakteri metanogen tidak dapat bekerja dengan baik dimana hal ini berkaitan
dengan kinetika reaksi sehingga yield metana yang didapatkan juga rendah. Kemudian,
waktu tinggal sangat menentukan yield yang dihasilkan, dimana waktu tinggal yang kecil
menghasilkan lama kontak antara bahan dengan bakteri pada keadaan fermentasi juga kecil
sehingga tidak dapat menghasilkan metana dalam jumlah banyak.
Yang terakhir, yaitu jumlah air karena jumlah air yang ditambahkan saat
pencampuran dengan kotoran sapi cukup sedikit dimana mempengaruhi banyaknya mol
yang bereaksi sehingga tidak dapat menghasilkan CO2 dan H2 yang cukup banyak untuk
memproduksi metana pada proses metanogenesis. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Putri (2012), diperoleh kesimpulan bahwa kenaikan rasio antara biogas dengan air akan
menghasilkan kenaikan volume biogas. Masuknya air yang terjadi pada selang waktu hari
ke-8 hingga ke-14 juga dapat meningkatkan reaksi hidrolisis yang mengakibatkan
pembentukan VFA yang banyak. Penumpukan VFA ini menyebabkan rendahnya yield
metana akibat penurunan pH dari rentang kerja optimalnya.
VIII. KESIMPULAN
a. Proses pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dilakukan dengan bantuan bakteri
decomposer dengan menambahkan EM-4 serta gula sebagai nutrient bakteri agar
proses dekomposisi bisa berjalan dengan maksimal. Proses ini juga menggunakan
bantuan bakteri pada tahapan asidogenesis, asetogenesis, serta metanogenesis
dengan mengondisikan lingkungan digester pada keadaan anaerob.
b. Produk utama yang dihasilkan adalah gas metana, karbondioksida, dan hydrogen.
Produk samping lain, seperti VFA (asam asetat, asam etanoat, dan asam
propionate), gas nitrogen, buffer bikarbonat, serta air.
c. Neraca massa yang dihasilkan, yaitu massa kotoran sapi mula-mula, gas H2, CO2,
CH4, H2O dan sisa kotoran sapi secara berurutan sebesar 125; 0,0112; 0,2858;
0,0024; 0,0044; dan 124,6962 gram.
Gambar 2. Digester