Anda di halaman 1dari 24

ACHALASIA ESOFAGUS

I. PENDAHULUAN
Achalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus, yang
memiliki karakteristik berupa kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus.1,2
Achalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1672 oleh Sir Thomas
Willis. Pada tahun 1881, von Mikulicz mendeskripsikan penyakit ini sebagai suatu
kardiospasme, di mana gejalanya lebih disebabkan oleh suatu gangguan fungsional
daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan
bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan spinchter esofagus bawah untuk
berelaksasi. Mereka lalu menyebutnya sebagai “achalasia”, sebuah kata dari bahasa
Yunani yang berarti gagal untuk berelaksasi.2,3

Gambar 1. Achalasia esofagus dilihat secara anatomis (dikutip dari kepustakaan 4)

1
II. ETIOLOGI
Achalasia esofagus dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau secara
sekunder. Achalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau
sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus (Auerbach’s) pada
esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatorik dan
neuron inhibitorik yang menyebabkan spinchter esofagus bawah tidak dapat
berelaksasi. Beberapa penelitian telah mencatat sejumlah ganglion mienterik pada
spesimen-spesimen penyakit esofagus dan menemukan adanya infiltrat limfositik
dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan penemuan ini, agen-agen yang
dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan beberapa mediator radang
akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan ganglion, tetapi
etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan
penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah
pada achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi
neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot
polos esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses achalasia esofagus,
terjadi kehilangan yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada
neuron kolinergik.3
Penyebab sekunder achalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit
Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa,
yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi
neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling
sering terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi
penyebab sekunder terbanyak dari achalasia esofagus. Selain itu, penyebab sekunder
dari achalasia esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung, esofagus),
postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik, amiloidosis,
sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey.3,4

2
III. EPIDEMIOLOGI
Insiden achalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang
per tahun, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Achalasia esofagus lebih
sering terjadi pada orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-
anak, penyakit ini juga sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan
hubungan. Kurang dari 5% dari kasus terjadi pada anak-anak, di mana mengenai
anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dengan rasio 6:1.2,4,5

IV. ANATOMI ESOFAGUS


Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan
makanan dari rongga mulut ke lambung. Dalam perjalanannya dari faring menuju
gaster, esofagus melalui tiga kompartemen, yaitu leher, toraks dan abdomen.
Esofagus yang berada di leher adalah sepanjang lima sentimeter dan berjalan di
antara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks
setinggi manubrium sterni.6
Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior mulai di
belakang lengkung aorta dan membelok ke kiri dari trakea di belakang bronkus
cabang utama kiri, kemudian agak membelok ke kanan beberapa sentimeter pada
area subcarinal dan kembali membelok ke kiri dan depan aorta torakalis, dan masuk
ke dalam rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia
lambung. Panjang esofagus yang berada di rongga perut berkisar dua sampai empat
sentimeter. Diameter rata-rata esofagus pada orang dewasa sekitar 2,5 sentimeter.6,7
Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang
berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah
adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti
ditemukan pada saluran cerna lainnya.6,7
Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang bersifat
spinchter, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara faring dan
esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan

3
kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan
bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat spinchter.6,7

Gambar 2. Struktur esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

4
Gambar 3. Daerah penyempitan esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

Esofagus mendapat darahnya dari banyak arteri kecil. Bagian atas dari
esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari arteri tiroidea
inferior, beberapa cabang arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.
Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari arteri frenika
inferior kiri dan cabang arteri gastrika kiri.6,7
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosa esofagus. Di esofagus
bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan melalui vena
esofagus ke vena azygos dan vena hemiazygos untuk kemudian masuk ke vena cava
superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena
koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena

5
lambung tersebut. Hubungan ini yang menyebabkan timbulnya varises esofagus bila
terjadi bendungan vena porta.6,7

Gambar 4 dan 5. Vaskularisasi esofagus (dikutip dari kepustakaan 8)

6
Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,
lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini
berjalan secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari laring ke kelenjar
di leher, sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus,
seperti pembuluh limfe dari lambung.6
Metastasis dari keganasan esofagus dapat ditemukan antara kelenjar limfe
leher dan kelenjar limfe seliakus di perut, bergantung pada letaknya, stadium dan
tingkat keganasan tersebut.6
Ductus torachicus berjalan di depan tulang belakang toraks di sebelah dorsal
kanan esofagus, kemudian menjelang setinggi vertebra thorakal VI atau VII ke
sebelah kiri belakang esofagus untuk turun kembali dan masuk ke dalam vena
subklavia kiri.6

V. FISIOLOGI ESOFAGUS
Motilitas yang berkaitan dengan esofagus adalah menelan. Menelan dimulai
ketika suatu bolus secara sengaja didorong oleh lidah ke bagian belakang mulut
menuju faring. Tekanan bolus di faring merangsang reseptor tekanan di faring yang
kemudian mengirim impuls aferen ke pusat menelan di medula. Pusat menelan
kemudian secara refleks mengaktifkan serangkaian otot yang terlibat dalam proses
menelan. Menelan adalah suatu contoh refleks all-or-none yang terprogram secara
sekuensial dengan berbagai respons dipicu dalam suatu rangkaian waktu spesifik;
jadi, sejumlah aktivitas yang sangat terkoordinasi dipicu dalam pola teratur selama
periode waktu tertentu untuk melaksanakan tindakan menelan. Menelan dimulai
secara volunter, tetapi setelah dimulai proses tersebut tidak dapat dihentikan.9
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap orofaring dan tahap esofagus.
Tahap orofaring berlangsung sekitar satu detik dan berupa perpindahan bolus dari
mulut melalui faring dan masuk ke esofagus. Saat masuk faring sewaktu menelan,
bolus masuk ke saluran lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata lain,
makanan harus dicegah untuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, dan

7
masuk ke trakea. Semua ini dilaksanakan melalui berbagai aktivitas terkoordinasi
berikut ini:9
 Makanan dicegah kembali ke mulut selama menelan oleh posisi lidah menekan
langit-langit
 Uvula terangkat dan tersangkut di bagian belakang tenggorokan, sehingga
saluran hidung tertutup dari faring dan makanan tidak masuk hidung.
 Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan
erat pita suara melintasi lubang faring, atau glotis. Bagian awal trakea adalah
laring, tempat pita suara terentang di dalamnya. Selama menelan, pita suara
melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan berbicara. Kontraksi otot-otot
laring menyebabkan pita suara merapat erat satu sama lain, sehingga pintu
masuk glotis tertutup. Selain itu, bolus menyebabkan suatu lembaran kecil
jaringan ikat, epiglotis, tertekan ke belakang menutupi glotis yang menambah
proteksi untuk mencegah makanan masuk ke saluran pernapasan.
 Karena saluran pernapasan tertutup sementara saat menelan, pernapasan
terhambat secara singkat sehingga individu tidak mencoba melakukan usaha
yang sia-sia untuk bernapas.
 Dengan laring dan trakea tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk
mendorong bolus ke dalam esofagus.
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh spinchter. Spinchter adalah struktur
esofagus ke lambung, berotot berbentuk cincin yang jika tertutup mencegah
lewatnya benda melalui saluran yang dijaganya. Spinchter esofagus atas adalah
spinchter faringoesofagus, dan spinchter bawah adalah spinchter gastroesofagus.9
Pusat menelan memulai gelombang peristaltik primer yang mengalir dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya melewati esofagus ke
lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi berbentuk cincin otot polos sirkuler
yang bergerak secara progresif ke depan dengan gerakan mengosongkan,
mendorong bolus di depan kontraksi. Apabila bolus berukuran besar atau lengket
tertelan, dan tidak dapat terdorong ke lambung oleh gelombang peristaltik primer,
bolus yang tertahan tersebut akan meregangkan esofagus dan memicu reseptor

8
tekanan di dalam dinding esofagus, menimbulkan gelombang peristaltik kedua yang
lebih kuat yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik di tempat peregangan.
Spinchter esofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik mencapai
bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah
bolus masuk ke lambung, spinchter gastroesofagus kembali berkontraksi.9

VI. PATOFISIOLOGI
Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5
 Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak
berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion
sel
 Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan
oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi
virus.
Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari
penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus
intramural. Secara fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan
neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter
esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan
vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita achalasia esofagus
kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam
transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya
tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.2,4

VII. GEJALA KLINIS


Pasien-pasien yang terdiagnosis dengan achalasia esofagus, biasanya
memiliki riwayat berupa disfagia yang bersifat intermitten, baik ketika menelan
makanan padat maupun makanan cair, yang diperburuk dengan stress emosional
atau cara makan yang terburu-buru. Disfagia ketika menelan makanan cair
merupakan manifestasi klinis yang pertama terjadi. Regurgitasi makanan dapat

9
terjadi karena terdapat retensi sejumlah besar makanan pada esofagus yang
berdilatasi. Regurgitasi ini sering terjadi pada malam hari karena posisi pasien yang
telentang ketika tidur, dan hal ini berpotensi menyebabkan suatu pneumonia
aspirasi. Kadang-kadang, makanan dapat tertinggal pada esofagus (sebelum bagian
yang menyempit) dan biasanya pasien mengatasi hal ini dengan minum air dalam
jumlah yang besar agar meningkatkan tekanan pada esofagus dan memaksa
makanan untuk melaluinya dan masuk ke lambung. Nyeri dada retrosternal yang
berat dapat terjadi karena adanya tekanan yang tinggi pada esofagus, dan para
dokter sering mendiagnosis nyeri ini sebagai nyeri yang berasal dari jantung. Gejala
heartburn-like chest pain juga ditemukan pada beberapa penderita achalasia
esofagus, mungkin disebabkan karena adanya asam laktat yang terbentuk dari
fermentasi sisa-sisa makanan pada lumen esofagus. Pada penderita achalasia
esofagus, kehilangan berat badan mungkin saja terjadi karena pasien berusaha
mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah retrosternal. Jika kehilangan berat badan terjadi dengan cepat, dapat
dipikirkan suatu keganasan sebagai penyebab achalasia esofagus. 1,4,10,11

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis achalasia esofagus,
seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.2,11
1) Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai
menderita achalasia esofagus. Pada achalasia esofagus, foto toraks
menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang
berdilatasi dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung,
karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke
dalam lambung.12

10
Gambar 6. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus
yang berdilatasi hebat (dikutip dari kepustakaan 13)

Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki akurasi


sekitar 95% dalam mendiagnosis achalasia esofagus, dan secara khas
menunjukkan bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian yang
menyempit yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau
menyerupai ekor tikus (mouse tail appereance) akibat kontraksi spinchter
esofagus bawah secara persisten.12

11
Gambar 7. Pemeriksaan esofagografi pada penderita achalasia esofagus, menunjukkan
esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor tikus
(mouse tail appereance) (dikutip dari kepustakaan 12)

2) Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk
mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk
menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di
dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau
hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik
esofagus, antara lain:11,12

12
 Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna
 Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus
secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
 Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang
tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah
saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian
proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung
saat istirahat (relaksasi)

Gambar 8. Teknik pemeriksaan esofagus (dikutip dari kepustakaan 14)

13
Gambar 9. Gambaran manometri esofagus pada pasien dengan achalasia esofagus (dikutip dari
kepustakaan 15)

3) Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus,
untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada
achalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan
mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara
spontan. Jika achalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur
fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit
memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi.12

14
Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi,
C. Esofagografi (dikutip dari kepustakaan 16)

IX. DIAGNOSIS BANDING


Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis yang
serupa dengan achalasia esofagus. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan
gejala dan tanda antara penyakit-penyakit yang memberikan gejala klinis disfagia
dengan achalasia esofagus idiopatik.17
Tabel 1. Diagnosis Banding Achalasia Esofagus Idiopatik
Pemeriksaan yang
Jenis Penyakit Perbedaan Gejala dan Tanda Dilakukan untuk
Menegakkan Diagnosis
 Disfagia pada makanan-
Pemeriksaan esofagografi dan
makanan padat terjadi lebih
Karsinoma endoskopi menunjukkan
awal, meskipun kesulitan
esofagus adanya obtruksi pada
untuk menelan makanan
esofagus akibat adanya tumor
cair dapat terjadi jika

15
progresifitas penyakit sudah
lanjut
 Kehilangan berat badan
dengan cepat
 Pemeriksaan endoskopi
 Disfagia dapat terjadi akibat menunjukkan esofagitis
adanya pembengkakan refluks, dengan atau tanpa
ataupun striktur fibrosis striktur peptikum.
peptikum, dengan atau Mungkin terdapat hernia
tanpa kelainan pada hiatus yang terletak di
Esofagitis refluks endoskopi bawah striktur.
 Pasien biasanya  Pemeriksaan esofagografi
mengeluhkan heartburn memiliki sensitivitas yang
dan/atau regurgitasi sebagai rendah
gejala tambahan dari  Terdapat perbedaan pH
disfagia pada esofagus distal jika
terjadi refluks
Pemeriksaan antibodi
antinuklear, faktor
Terdapat nyeri pada otot dan
Penyakit jaringan rheumatoid, dan kreatin
sendi, Raynaud’s phenomenon,
konektif (misalnya: kinase dapat menjadi skrining
dan perubahan pada kulit
sklerosis sistemik) dalam mendiagnosis
(rash, pembengkakan kulit)
penyakit-penyakit jaringan
konektif.
Pemeriksaan manometri
Gejala nyeri dada lebih esofagus menunjukkan
Spasme esofagus menonjol daripada gejala kontraksi esofagus dengan
disfagia amplitudo yang tinggi,
dibandingkan dengan

16
gambaran aperistaltik yang
ditunjukkan pada achalasia
esofagus.
Gejala klinis berupa disfagia Biopsi pada esofagus
Esofagitis intermitten, lebih sering terjadi menunjukkan infiltrasi
eosinofilik pada laki-laki muda dengan eosinofil (>15 eosinofil per
riwayat atopi lapangan pandang)
 Biopsi gastroskopik pada
 Gejala klinis serupa dengan gastroesophageal junction
achalasia esofagus idiopatik dan kardia menunjukkan
(tidak dapat dibedakan suatu malignansi
secara klinis)  Hasil pemeriksaan
 Penyakit ini disebabkan endoskopi, esofagografi,
Pseudoachalasia
oleh suatu malignansi dan manometri esofagus
 Penderita biasanya berusia mungkin tidak
tua, dan kehilangan berat menunjukkan perbedaan
badan terjadi lebih besar dibandingkan dengan
dan cepat achalasia esofagus
idiopatik
 Merupakan penyakit
 Pemeriksaan mikroskopik
endemik di Amerika
pada darah segar
Tengah dan Selatan,
menunjukkan adanya
terdapat manifestasi klinis
Trypanosoma cruzi
Penyakit Chagas pada berbagai organ berupa
 Pewarnaan Giemsa pada
atonia kolon, miokarditis,
sediaan apusan darah tepi
dan pembengkakan kelopak
menunjukkan adanya
mata pada fase akut
parasit
(Romana sign)

17
X. PENATALAKSANAAN
Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).11
1) Terapi Non-Bedah
a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine,
dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu
membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi
spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel
blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat mengurangi
tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar
10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan
untuk pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap
pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.1,2
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah,
yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin
diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam
dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, di mana jarum
dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar
junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi
secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-
100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada
setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis

18
yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian yang terbatas, di mana
60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan
setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun
setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai
tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi
menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut
usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau
tindakan pembedahan.2,10
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin
telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif
pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah
mendapatkan tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak
sesuai untuk dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini
melibatkan suntikan pada spinchter esofagus bagian bawah yang
menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh sampai dua
puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari
sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan
teknik endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia,
injeksi toksin botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung
rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga
efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian bawah. Beberapa pasien
mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat ruam kulit setelah
perawatan.18

19
Gambar 10. Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 18)

c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-
tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction
yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi
intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun
akan turun menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah
beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika
terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan
perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.
Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah sekitar 25%.
Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi
dengan miotomi Heller.2

20
Gambar 11. Teknik pneumatic dilation pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 18)

2) Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan
bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication
untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan
kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif,
terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien,
dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena
keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan
waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama
dalam penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani
terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau
pengangkatan esofagus (esofagektomi).2

21
Gambar 12. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication (dikutip dari
kepustakaan 2)

XI. PROGNOSIS
Prognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit
gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang
normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik.
Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih
baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum
sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic
dilation dan laparoskopik miotomi Heller.2

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill,
Health Professions Division; 2008.
2. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/169974
3. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease. American
College of Surgeons 2009; 208: 151.
4. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders [online]. 2006
[cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html
5. Fernandez PM, Lucio LAG, Pollachi F. Esophageal achalasia of unknown etiology
in children. Jornal de Pediatria 2004; 80: 524.
6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 499-501.
7. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s anatomy for students. USA: Elsevier;
2007. p. 192-8.
8. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006.
p. 220-1, 225-6.
9. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. h.
548-50.
10. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar P, Clark
M, editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2009. p.
277-8.
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 290.
12. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.

23
13. Wikipedia. Achalasia [online]. 2012 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Achalasia
14. Kalloo A. Gastroesophageal reflux disease: diagnosis [online]. 2012 [cited 2012
April 12]. Available from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=551CDCA7-A3C1-
49E5-B6A0-C19DE1F94871&GDL_Disease_ID=197E00D5-029B-48B8-9A68-
53077FCC9A0F
15. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012
[cited 2012 April 12]. Available from: URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html
16. Kalloo A. Swallowing disorders: causes [online]. 2012 [cited 2012 April 6].
Available from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=83F0F583-EF5A-
4A24-A2AF-0392A3900F1D&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-
766AC830F7BA
17. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011
[cited 2012 April 12]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/872/diagnosis/differential.html
18. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited 2012 April 12].
Available from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-B736-
42CB-9E1F-E79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-
766AC830F7BA

24

Anda mungkin juga menyukai