Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan penyakit yang dapat mengakibatkan gangguan


pekerjaan dan aktivitas sekolah pada anak sehingga menyebabkan memburuknya
kualitas hidup. Kuesioner untuk menilai kualitas hidup saat ini semakin
meningkat penggunaannya dalam penelitian klinis. Beberapa penelitian itu
bertujuan untuk menentukan hasil intervensi medis atau menilai hasil akhir
pelayanan baik operatif atau medikamentosa. Prevalensi rinitis di dunia saat ini
mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia.1,2
Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rinitis alergi. Rinitis
alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan
perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun.
Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di
Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi
pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
Kualitas hidup penderita rinitis alergi dapat dipengaruhi oleh berat
ringannya gejala yang ditimbulkan rinitis alergi. Derajat beratnya rinitis alergi
dibandingkan dengan lama serangan rinitis alergi dapat mempengaruhi kualitas
hidup, aktivitas sehari-hari dan penampilan profesional penderitanya. Pada saat ini
secara luas telah digunakan beberapa kuesioner untuk menilai kualitas hidup
pasien yang menderita penyakit kronis seperti SF-36 dan ECRHS namun tidak
spesifik, begitu pula dengan kuisioner-kuisioner lain yang telah lebih dahulu
dikembangkan. Dalam perkembangannya, saat ini kuesioner Sinonasal Outcome
Test-22 (SNOT-22) merupakan kuisioner yang paling spesifik dan paling banyak
digunakan, merupakan kuisioner pengembangan dari kuisioner SNOT-20. Selain
itu penilaian kualitas hidup secara kualitatif dapat dinilai dari penggunaan VAS
(Visual Analog Scale).

1
Oleh karena itu, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan
mengenai cara penilaian kualitas hidup penderita rinitis alergi dengan
menggunakan instrumen-instrumen tersebut.

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2. 1. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung
(hip), 4) ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang
hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os
frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum.3,4,5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.3,4,5
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os
etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)
kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.3,4,5

3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.3,4,5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.3,4,5
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sfenoid.3,4,5

4
Gambar 1. Anatomi hidung

Kompleks ostiomeatal (KOM )


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.3

Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis
superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area).

5
Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada
anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan
denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial.3,4,6

Gambar 2. Vaskularisasi hidung


Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari
n. Oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf simpatis dari m. Petrosus
superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari n.
Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3,4

6
Gambar 3. Persarafan hidung
Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silis (ciliated peudostratified collumner
epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertia berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel, yaitu sel, penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi
sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respratori berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada
permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada
mukosa hidung mempunyai susunan yangkhas. Arteriol terletak pada bagian yang
lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal.
Arteriol ini memberikan pendarahab pada anyaman kapiler perglanduler dan sub-
epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos.
Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter oto. Selanjutnya sinusoid

7
akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang
erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan
vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.3,4,6

Sistem transpor mukosilier


Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada
epitel dan kelenjar seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender
terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan
cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease sekretorik,
dan IgA sekretorik (s-IgA).3
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan
lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan
mikroorganisma dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen
saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi
inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri. Pada sinus maksila, sistem
transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran serta atap
rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium
alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat
untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa
yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport, dan sekret akan
melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan
terhenti pada mukosa yang mengalami defek.3
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.

8
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya.3
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute
pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Secret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya
berjalalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial
konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba
eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan
proses menelan.3
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada
bagian posterosuperior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertical kea rah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
eustachius.3

2. 2. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu
karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui kondukdi
tulang; 4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas; 5) refleks nasal.3,4,5

9
Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
kearah nasorafing. Aliran udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan menglami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.3,4,5
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c)
palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.3,4,5,7
Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu
indra pencecep adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat.
Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.3,4,5,7
Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan
konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum
mole turun untuk aliran udara.3,4,5,7

10
Gambar 4. Sistem olfaktoris

11
BAB III
RINITIS ALERGI
3.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.1

3.2. Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.8 Di Indonesia belum ada angka yang
pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan
cukup tinggi (5,8%).2

3.3. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,8,10
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.

12
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

3.4. Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,11
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4),

13
Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).1
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan
menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat
akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada
fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca,
dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 5. Patogenesis Rinitis Alergi

14
3.5. Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran
ruang inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-
sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1

3.6. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi: 1,11,12
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat


berlangsungnya dibagi menjadi:1,16
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:1
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

3.7. Gejala Klinis


Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1,8,9,11,12

15
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin,
mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat.8,10,17
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis,
mata terasa terbakar, dan lakrimasi.8,13 Pada telinga bisa dijumpai gangguan
fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.11,13

3.8. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin
ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga
perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma,
eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat
tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 8,9
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertofi.1
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-
gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergig salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta

16
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).1,8,12,13

Gambar 6. Alur Diagnosis Rinitis alergi

c. Pemeriksaan Penunjang1
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

17
Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food
Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).

3.9. Diagnosis Banding


Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:18
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis infeksi

3.10. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebab dan eliminasi.1,8,10,11,13,16,17
b. Medikamentosa1,11
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif1
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,
inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.

18
d. Imunoterapi 1,8,11,13
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
e. Edukasi Pasien 8,16
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang
merupakan allergen.

3.11. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1,8,12,18
1. Polip hidung.
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Gangguan fungsi tuba eustachius

3.12. Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin
dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika
suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat
terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.19

19
BAB IV
INSTRUMEN PENILAIAN KUALITAS HIDUP
PENDERITA RINITIS ALERGI

4.1. Kualitas Hidup


4.1.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah konsep multi-level dan amorf dan populer
sebagai titik akhir dari evaluasi kebijakan publik (misalnya hasil perawatan
kesehatan dan sosial). Kualitas hidup telah didefinisikan secara makro
(kemasyarakatan dan objektif) dan mikro (individu dan subjektif). Konsep
kualitas hidup terdahulu mencakup pendapatan, pekerjaan, tempat tinggal,
pendidikan, serta keadaan kehidupan dan lingkungan lainnya. Konsep
sekarang mencakup persepsi terhadap semua aspek kualitas hidup,
pengalaman, nilai-nilai individu serta mencakup hal-hal terkait indikator
seperti kesejateraan, kebahagiaan, dan kepuasan hidup.20 Menurut Center
For Disease Control and Prevention (CDC), kualitas hidup adalah sebuah
konsep multidimensi yang luas yang mencakup subjektif dari aspek postif
dan negatif dari kehidupan. Meskipun kesehatan merupakan salah satu
aspek penting dalam kualitas hidup, terdapat juga beberapa aspek lain yang
mempengaruhi kualitas hidup seperti budaya, sistem nilai, dan
spiritualitas.21
Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan secara pasti,
hanya orang tersebut yang dapat mendefinisikannya karena kualitas hidup
merupakan suatu yang bersifat subjektif. Dalam istilah umum, kualitas
hidup dianggap sebagai suatu persepsi subjektif yang dibentuk oleh individu
terhadap fisik, emosional, dan kemampuan kognitif (kepuasan) dan
komponen emosional/kebahagiaan. Menurut WHO (World Health
Organization) definisi kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap
posisi mereka dalam konteks budaya dan nilai dimana mereka hidup dan
dalam hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standard dan perhatian.
Hal ini merupakan konsep yang luas yang mempengaruhi kesehatan fisik
seseorang, keadaan psikologis, tingkat ketergantungan, hubungan sosial,

20
keyakinan personal dan hubungannya dengan keinginan dimasa yang akan
datang.20,21
Konsep dasar kualitas hidup mencakup karakteristik fisik, sosial, dan
psikologis yang digambarkan dengan kemampuan individu mengerjakan
sesuatu, perasaan puas terhadap sesuatu yang dikerjakan, hubungan dengan
penyakit atau pengobatan. Menurut Calman, konsep dari kualitas hidup
adalah bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan
perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan “Calman’s
Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara
perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan dengan
membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang berada” dengan
“di mana seseorang ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini
diperluas, ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang
tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada
antara keduanya kecil.21
Secara umum terdapat 5 bidang yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup berdasarkan bidang kuesioner yang dikembangkan oleh
WHO, bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik,
keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara
rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut:21
1. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan
vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.
2. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, daya
ingat dan konsentrasi.
3. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari,
komunikasi, kemampuan kerja.
4. Hubungan sosial (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.
5. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan
kerja.

21
4.1.2. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan
Konsep kualitas hidup terkait kesehatan dan faktor-faktor penentu
telah bervolusi sejak 1980an untuk mencakup aspek-aspek kualitas hidup
yang dapat jelas terbukti mempengaruhi kesehatan baik fisik maupun
mental. Pada tingkat individu, konsep ini mencakup persepsi kesehatan
secara fisik dan mental serta korelasinya, termasuk kondisi dan risiko
kesehatan, status fungsional, dukungan sosial dan status sosio-ekonomi.
Beberapa aspek kesehatan tidak menunjukkan pengaruh langsung terhadap
kualitas hidup pada saat penilaian, misalnya penyakit, paparan,
predisposisi genetik yang tidak diketahui oleh individu tanpa gejala. Pada
tingkat komunitas, kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan mencakup
sumber daya, kondisi, kebijakan dan praktik yang mempengaruhi persepsi
kesehatan dan status fungsional masyarakat.21
Kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan telah diterima sebagai
sebuah hasil pengukuran kualitas hidup. Pertanyaan-pertanyaan tentang
kesehatan fisik dan mental menjadi komponen penting surveilans
kesehatan dan dianggap sebagai indikator yang valid dari penilaian
kebutuhan pelayanan dan hasil intervensi. Penilaian status kesehatan yang
dilakukan sendiri oleh seseorang merupakan prediktor yang kuat terhadap
mortalitas dan morbiditas dibandingkan dengan beberapa pengukuran
kesehatan secara objektif.21
Pengukuran kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan dapat
membantu menentukan beban penyakit yang dapat dicegah, luka, serta
kecacatan. Pengukuran ini dapat memberikan informasi yang bernilai
mengenai hubungan kualitas hidup dengan faktor-faktor risikonya. Selain
itu, pengukuran ini juga membantu memantau kemajuan pencapaian
kesehatan bangsa. Analisis data surveilans kualitas hidup dapat
mengidentifikasi subkelompok dengan kesehatan yang relatif kurang baik
dan membantu memandu intervensi untuk meningkatkan kesehatan
mereka.21

22
4.1.3. Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit alergi yang banyak dijumpai. Rintis
alergi dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi dalam kehidupan sehari-
hari sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Hal ini dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Penderita rinitis alergi rentan
terhadap gangguan tidur dan emosional serta gangguan dalam
menjalankan aktifitas dan fungsi sosial. Gejala-gejala klasik pada hidung
dan gejala non hidung rinitis alergi dinilai mengganggu aktifitas baik di
tempat kerja dan di sekolah. Anak dapat mengalami gangguan dalam
belajar dan pada orang dewasa dapat mengakibatkan penurunan
konsentrasi dan produktifitas.20 Aspek-aspek penderita rinitis alergi
menunjukan adanya penurunan kualitas hidup antara lain kualitas tidur
yang buruk, kelelahan sepanjang hari, gangguan di sekolah atau di tempat
kerja, dan masalah terkait emosional.20
4.1.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Penderita
Rinitis Alergi
Kualitas hidup merupakan pengalaman personal yang
merefleksikan bukan hanya status kesehatan tetapi faktor lain yang
mempengaruhi kehidupan penderita yang hanya bisa dideskripsikan oleh
penderita tersebut sendiri. Salah satu bagian dari kualitas hidup adalah
kualitas hidup yang berhubungan dengan status kesehatan, yang dapat
didefinisikan sebagai pengalaman individu yang subjektif baik secara
langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh tingkat kesehatan,
penyakit, dan disabilitas. Hal tersebut diatas sangat tergantung pada usia
penderita, kebiasaan, ekspektasi dan kemampuan fisik serta mental.22
Kualitas hidup penderita rinitis alergi dapat dipengaruhi oleh berat
ringannya gejala yang ditimbulkan rinitis alergi. Derajat beratnya rinitis
alergi dibandingkan dengan lama serangan rinitis alergi dapat
mempengaruhi kualitas hidup, aktivitas sehari-hari dan penampilan
profesional penderitanya.20

23
4.1.5. Pengukuran Kualitias Hidup Penderita Rinitis Alergi
Instrumen untuk mengukur kualitas hidup masih terus berkembang.
Terdapat keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih instrumen untuk mengukur kualitas hidup seseorang. Kualitas
hidup dapat diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran kualitas
hidup yang telah teruji dengan baik dan memiliki nilai reliabilitas,
sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.20

Gambar 7. Skema pengukuran kualitas hidup.21


Menurut Guyatt dan Jaescke, kualitas hidup dapat diukur dengan
menggunakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang telah diuji
dengan baik. Dalam mengukur kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan semua ranah akan diukur dalam dua dimensi yaitu penilaian
obyektif dari fungsional atau status kesehatan dan persepsi sehat yang
lebih subyektif. Walaupun dimensi obyektif penting untuk menentukan
derajat kesehatan, tetapi persepsi subyektif dan harapan membuat
penilaian obyektif menjadi kualitas hidup yang sesungguhnya. Suatu
instrumen pengukuran kualitas hidup yang baik perlu memiliki konsep,
cakupan, reliabilitas, validitas dan sensitivitas yang baik pula.
Pada saat ini secara luas telah digunakan beberapa kuesioner untuk
menilai kualitas hidup pasien yang menderita penyakit kronis seperti SF-
36 dan ECRHS namun tidak spesifik, begitu pula dengan WPAI dan

24
WHOQoL. Dalam perkembangannya, saat ini kuesioner Sinonasal
Outcome Test-22 (SNOT-22) merupakan kuisioner yang paling spesifik
dan paling banyak digunakan, merupakan kuisioner pengembangan dari
kuisioner SNOT-20.23 Selain beberapa kuisioner yang telah disebutkan
diatas, penilaian kualitas hidup pasien secara kualitatif dapat diukur
menggunakan VAS (Visual Analog Scale), suatu pemeriksaan sederhana
yang digunakan dokter untuk mengevaluasi derajat kesakitaan (termasuk
pada penderita Rinitis Alergi) dan keefektifan suatu pengobatan.26

1. KUISIONER SF-36
Salah satu instrumen umum untuk mengukur kualitas hidup yang
cukup banyak digunakan dalam penelitian adalah The Short-Form-36 (SF
36). Kuesioner SF-36 telah digunakan oleh berbagai studi secara global
dan telah terstandarisasi.24 SF-36 merupakan instrumen umum yang
mendeskripsikan kualitas hidup pada populasi orang dewasa dan telah
tervalidasi untuk penyakit- penyakit alergi saluran pernafasan (Yepes-
Nunez, 2012). Kuesioner SF-36 adalah suatu isian pendek yang berisikan
36 item pertanyaan yang dikembangkan oleh The Research And
Development (RAND) Corporation Santa Monica sejak tahun 1970.
Sebagai instrumen umum, SF-36 dibuat untuk dapat diterapkan secara luas
pada berbagai tipe dan beratnya suatu penyakit. Instrumen umum ini
berfungsi untuk memantau pasien dengan berbagai kondisi kesehatan
untuk selanjutnya dibandingkan dengan status kesehatan pasien dengan
kondisi kesehatan yang berbeda dan dibandingkan juga dengan populasi
umum.24
Pengukuran kualitas hidup dengan SF-36 telah didokumentasikan
pada hampir 5.000 publikasi. Penelitian mereka mulai diterbitkan pada
tahun 1988 sampai tahun 2010 yang didokumentasikan dalam suatu
bibliografi instrumen SF-36 di SF36’user manual. Terjemahan dari SF-36
telah dipublikasi dan melibatkan peneliti di 22 negara. Setiap pertanyaan
kuesioner yang dipilih juga mewakili beberapa indikator operasional

25
kesehatan, termasuk: perilaku fungsi dan disfungsi, kesusahan dan
kesejahteraan, dimana jawaban objektif dan subjektif dinilai valid dan
reliabel dalam mengevaluasi diri dari status kesehatan umum. Informasi
yang lengkap tentang sejarah dan perkembangan SF-36, psikometri
evaluasi, kajian reliabilitas dan validitas, dan data normatif tersedia dalam
SF-36‘user manual.20 Pada penelitian yang dilakukan oleh Simon Salim
pada tahun 2015 di Jakarta bahwa kuisoner SF-36 berbahasa Indonesia
dapat diterima baik oleh pasien dan bersifat valid-reliabel.20
Kuesioner SF-36 memiliki 8 skala kelompok yang secara umum
menunjukkan 2 penilaian yaitu komponen kesehatan fisik dan kesehatan
mental. Kuesioner SF-36 mengukur 8 skala kelompok, antara lain (Ware
dan Sherbourne, 1992):20,24
1. Fungsi fisik (Physical functioning / PF)
2. Pembatasan aktifitas karena adanya masalah fisik (Role limitations due
to physical health problems / RP)
3. Nyeri badan (Body pain / BP)
4. Fungsi sosial (Social functioning / SF)
5. Kesehatan mental secara umum (General mental health / MH)
6. Pembatasan aktifitas sosial karena adanya masalah emosional (Role
limitations due to emotional problems / RE)
7. Vitalitas (Vitality / VT)
8. Persepsi terhadap kesehatan secara umum (General health perceptions
/GH)
Penilaian untuk setiap pertanyaan pada kuesioner SF-36 dapat
dengan menggunakan metode RAND. Untuk menilainya dilakukan
recoding pada setiap pertanyaan dimana nilai yang tinggi menunjukkan
keadaan yang lebih baik. Untuk pertanyaan yang memiliki 2 kategori
jawaban diberi kode 0 dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 3 kategori
jawaban dikode 0, 50 dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 5 kategori
jawaban diberikan kode 0, 25, 50, 75 dan 100, sedangkan untuk
pertanyaan yang memiliki 6 kategori jawaban diberikan kode 0, 20, 40, 60,

26
80 dan 100. Kemudian nilai kode untuk pertanyaan-pertanyaan yang
memiliki skala yang sama dijumlahkan kemudian dirata-ratakan.

Gambar 8. Structure of the SF-36 scheme for the measurement of


health.
Pengukuran kualitas hidup merupakan pengukuran yang bersifat
pribadi pada setiap individu, sehingga akan sulit untuk menyajikan nilai-
nilai normatif yang pasti untuk kualitas hidup yang dikategorikan baik dan
yang dikategorikan buruk. Persentase skor 0% pada suatu skala

27
menunjukkan kemungkinan kualitas hidup terburuk dan 100%
menunjukkan kemungkinan kualitas hidup terbaik. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi skor mengindikasikan kualitas hidup yang lebih
baik. Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah 60, dibawah skor tersebut
kualitas hidup dinilai kurang baik dan nilai skor 100 merupakan tingkat
kualitas hidup yang sangat baik.20,24
2. Kuisoner ECRHS
Eurepean Community Respiratory Health Survey (ECRHS)
merupakan studi intenasional besar mengenai alergi yang telah
mempelajari prevalensi asma dan rinitis alergi di seluruh dunia terutama
wilayah asia pasifik melalui 22 standar kuisoner. Tujuan kuisoner ECRHS
ini salah satunya adalah untuk mengetahui prevalensi dari peyakit alergi
khususnya rinitis alergi pada dewasa.20 Identifikasi individu dengan gejala
rinitis alergi mengandalkan jawaban dari kuisoener ECRHS. Hal ini
dibuktikan dengan korelasi erat dengan uji positif tes kulit yang
merupakan gold standard atau baku emas pemeriksaan rinitis alergi.20
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kuiosner ECRHS memiliki
sensitivitas 89% dan spesifisitas 96%-98%.20
3. KUISIONER SNOT-20
SNOT-20 adalah salah satu instrument yang digunakan untuk
menilai kualitas hidup penderita rinosinusitis. SNOT-20 terdiri dari 20
poin penilaian yang diisi secara personal dengan memberikan skor pada
masing-masing poinnya. Instrumen ini menilai masalah kesehatan yang
berkaitan dengan sinusitis dengan hubungannya pada masalah fisik,
keterbatasan fungsional dan kondisi emosional. SNOT-20 merupakan
modifikasi dari 31-item Rhinosinusitis Outcome Measure. Validitas
SNOT-20 untuk menilai kualitas hidup penderita sudah dilakukan dengan
konsistensi internal, reliabilitas dan hasil tes validitas yang dianalisis.
SNOT-20 merupakan diagnostic yang mudah dilengkapi oleh penderita
dan dapat digunakan pada praktek klinik sehari-hari. SNOT-20 juga dapat

28
membantu menilai derajat dan efek dari rinosinusitis terhadap status
kesehatan, kualitas hidup dan mengukur respon terapi yang diberikan.22
Total skor SNOT-20 dihitung sebagai nilai rata-rata untuk semua
20 item. Kisaran skor SNOT-20 adalah 0-5, dengan skor yang lebih tinggi
menunjukkan terkait rinosinusitis beban kesehatan yang lebih besar.
SNOT-20 terdiri dari 4 konstruksi mayor yaitu pertanyaan yang berkaitan
dengan gejala hidung, gejala hidung dan wajah, fungsi dan gangguan tidur
dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah psikologis. Poin pertanyaan
yang berhubungan dengan gejala rinologi yaitu hidung buntu, bersin,
hidung berair, sekret kental dan post nasal drip. Poin yang berkaitan
dengan gejala telinga dan wajah yaitu telinga terasa penuh, pusing, nyeri
telinga dan nyeri pada wajah atau nyeri tekan. Susah tidur, terbangun pada
malam hari dan tidur kurang berkualitas merupakan poin yang berkaitan
dengan gangguan tidur. Lemas, penurunan produktifitas, penurunan
konsentrasi, frustasi, atau kurang istirahat atau iritabel, sedih dan malu
merupakan poin yang berkaitan dengan masalah psikologis. Dua
pertanyaan lain yaitu batuk dan terbangun dengan lelah tidak
diklasifikasikan sebagai salah satu dari 4 konstruksi mayor diatas.22,25
4. KUISIONER SNOT-22
Sinonasal Outcome Test-22 (SNOT-22) diperkenalkan tahun 2003
dan dibuat juga oleh Dr. Jay Piccirilo, yang merupakan modifikasi dari
SNOT-20 dengan penambahan 2 pertanyaan yaitu sumbatan hidung dan
perubahan dalam penghidu/perasa. Kedua gejala ini merupakan bagian
dari kriteria diagnostik rhinosinusitis kronis. Gejala sumbatan hidung
merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan kepada dokter spesialis
THT-KL, dan gangguan penghidu merupakan gejala yang paling sering
tidak membaik setelah dilakukan tindakan operasi. Perubahan pada
kuesioner ini telah memberikan kontribusi yang baik dalam penilaian
kualitas hidup pasien dengan rhinosinusitis kronis.22,23,25
Pertanyaan pada SNOT-22 dapat dibagi menjadi 4 bagian: 1.
Gejala hidung, 2. Gejala wajah/telinga, 3. Gangguan tidur, 4. Perubahan

29
psikologis, yang dapat memudahkan penilaian terhadap 4 bagian tersebut.
Pada tahun 2009, telah dilakukan validasi Sino-Nasal Outcome Test-22
dalam versi bahasa Inggris dan telah digunakan dalam penelitian evaluasi
perbaikan pasca operasi. Saat ini, Sino-Nasal Outcome Test-22 merupakan
kuesioner spesifik terbaik untuk menilai kualitas hidup pasien
rhinosinusitis kronis. Sino-Nasal Outcome Test-22 telah dialih bahasakan
dan divalidasi di beberapa Negara seperti China, Republik Ceko,
Denmark, Lithuania, Iran, Yunani, Perancis, dan Portugal.23,25 Karena
belum adanya alih bahasa dan adaptasi budaya yang divalidasi ke dalam
Bahasa Indonesia, maka pihak akademisi Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran – Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
melakukan penelitian berjudul “Adaptasi Budaya, Alih Bahasa Indonesia
dan Validasi Sino-Nasal Outcome Test (SNOT)-22” dengan tujuan
penelitian yaitu mengalih bahasakan dan mengadaptasi Sino-Nasal
Outcome Test-22 untuk digunakan di Indonesia. Validasi kuesioner versi
bahasa Indonesia dilakukan dengan cara menterjemahkan kuesioner versi
asli SNOT-22 dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh ahli bahasa
Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris oleh ahli bahasa
Inggris. Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa: hingga sekarang, tidak
terdapat kuesioner tervalidasi untuk mengevaluasi kualitas hidup pada
pasien dengan rinosinusitis kronis di Indonesia. Terjemahan dan validasi
dari SNOT-22 di Indonesia memungkinkan penilaian yang lebih konsisten
terhadap kualitas hidup pasien-pasien RK, begitu juga dengan efektivitas
dari penanganan medis dan operatif. Oleh karena itu, kuesioner ini
merupakan alat ukur yang berguna, dapat dipercaya, dan sangat penting
baik untuk studi prktik klinis maupun ilmiah; yang juga memungkinkan
generalisasi dari hasil dan perbandingan dengan studi internasional. Hasil
terjemahan SNOT-22 dalam versi bahasa Indonesia sebagai berikut:25

30
Tabel Alih Bahasa Kuesioner SNOT-22 ke Bahasa Indonesia25
Di bawah ini anda akan menemukan daftar gejala dan
konsekuensi sosial/emosional dari rinosinusitis anda. Kami ingin
mengetahui lebih banyak mengenai masalah ini dan akan sangat
menghargai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini sebaik anda
bisa. Tidak ada jawaban benar atau salah, dan anda hanya dapat
menyediakan kami dengan informasi berikut ini. Mohon beri penilaian
mengenai masalah yang anda alami dalam dua minggu terakhir.
Terimakasih untuk partisipasinya. Jangan ragu untuk meminta bantuan
bila diperlukan.
1.Mempertimbangkan
Bukan masalah

Maslah sangat ringan

Masalah ringan

Masalah sedang

Masalah serius

Masalah sangat serius

Komponen yang paling penting


betapa parahnya
masalah ketika dialami
anda dan berapa sering
hal itu terjadi, mohon
berikan nilai setiap
komponen di bawah ini
mengenai betapa
“buruk”nya komponen
tersebut dengan
melingkari nomer yang
sesuai dengan perasaan
anda menggunakan
skala berikut ini : 
1.Perlu menyingsing
0 1 2 3 4 5 О
hidung
2.Hidung tersumbat 0 1 2 3 4 5 О
3.Bersin-bersin 0 1 2 3 4 5 О
4.Hidung berair/meler 0 1 2 3 4 5 О
5.Keluhan batuk 0 1 2 3 4 5 О
6.Produksi cairan
hidung bagian 0 1 2 3 4 5 О
belakang
7.Cairan hidung yang
0 1 2 3 4 5 О
kental
8.Rasa penuh pada
0 1 2 3 4 5 О
telinga
9. Pusing 0 1 2 3 4 5 О
10. Nyeri telinga 0 1 2 3 4 5 О
11. Nyeri/ tekanan
0 1 2 3 4 5 О
di wajah

31
12. Berkurangnya
indra 0 1 2 3 4 5 О
penghidu/pengecap
13. Sulit memulai
0 1 2 3 4 5 О
tidur
14. Terbangun
0 1 2 3 4 5 О
malam hari
15. Kurang tidur
malam yang 0 1 2 3 4 5 О
berkualitas
16. Terbangun
0 1 2 3 4 5 О
lelah
17. Kelelahan
0 1 2 3 4 5 О
sepanjang hari
18. Menurunnya
0 1 2 3 4 5 О
produktifitas
19. Menurunnya
0 1 2 3 4 5 О
kosentrasi
20. Frustrasi/mudah
0 1 2 3 4 5 О
marah
21. Sedih 0 1 2 3 4 5 О
22. Malu 0 1 2 3 4 5 О
3. Mohon tandai komponen yang paling penting yang mempengaruhi
kesehatan anda (maksimum 5)___

5. Visual Analog Scale (VAS)


a. Cara penggunaan Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa
intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda
“no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien
diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari
batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan
itulah skornya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skor
tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi
selanjutnya.26,27

32
Gambar 7. Visual Analog Scale (VAS).

b. Kelebihan penggunaan Visual Analog Scale (VAS)


Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri
dari pada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena
responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif
terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut. Skala nyeri
ini simple dan mudah untuk menilai skor nyeri dalam banyak kasus. 26,27

c. Kekurangan penggunaan Visual Analog Scale (VAS)


Pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami
kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS).
Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS
karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti
dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error. Dengan
demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang
akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skor VAS
adalah hal yang vital. 26,27

33
Skala tersebut tidak efektif digunakan pada pasien yang
memiliki gangguan kognitif ataupun motorik, pasien yang
tidak responsif (seperti injuri), anak usia muda, dan pasien dengan
umur yang tua. Skala nyeri ini tidak selalu dapat dijelaskan secara
akurat ataupun diukur berdasarkan tingkat keparahannya saja. Untuk
menggambarkan nyerihanya dalam hal intensitasnya seperti
menggambarkan apa yang dapat kita lihat hanya dari segi cahaya atau
gelap, tanpa mempertimbangkan warna, pola, atau tekstur.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan kualitas rasa
sakit lebih lanjut.26,27

34
Bagan Manajemen Nyeri Pasien Dewasa.28

35
BEBERAPA PENELITIAN YANG MENGGUNAKAN SNOT-22 SEBAGAI
BERIKUT:

1. Putu Dian Ariyanti Putri dan Sari Wulan Dwi Sutanegara, 2016. Dengan
judul penelitian: GAMBARAN SINO-NASAL OUTCOME TEST 20
(SNOT-20) PADA PENDERITA RINOSINUSITIS DI DESA YEH
EMBANG NEGARA, DESA TAMBLANG SINGARAJA DAN DESA
TIHINGAN KLUNGKUNG. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan menggunakan rancangan potong lintang. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan pada hidung dan sinus
paranasal dan kemudian dilanjutkan dengan pengisian SNOT-20 digunakan
untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita rinosinusitis. Pada
penelitian ini didapatkan total 68 orang dari 3 desa yaitu Desa Yeh Embang,
Desa Tamblang dan Desa Tihingan. Distribusi jenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 38 orang (55,9%) dan perempuan 30 orang (44,1%). Usia terbanyak
merupakan rentang usia 25-45 tahun yaitu sebanyak 30 orang (44,1%). Nilai
rata-rata pertanyaan tertinggi didapatkan pada pertanyaan yang berhubungan
dengan gejala hidung yaitu hidung buntu, hidung berair, secret kental, dan
post nasal drip. Nilai rata-rata pertanyaan lainnya didapatkan dari poin yang
berkaitan dengan masalah psikologis yaitu lemas dan penurunan konsentrasi.
2. Putu Dian Ariyanti Putri, 2017. Dengan judul penelitian: Perbandingan Sino-Nasal
Outcome Test 22 (SNOT-22) Penderita Rinosinusitis Kronik Sebelum Dan Sesudah
Pembedahan Di RSUP Sanglah Tahun 2017. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan adanya perbaikan kualitas hidup berdasarkan SNOT-22 antara
sebelum dan sesudah pembedahan pada penderita rinosinusitis kronik di RSUP
Sanglah. Desain penelitian: studi observasional the one-group test postest design
(before-after study). Didapatkan 26 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani
pembedahan dengan rentang usia 19-76 tahun. Dilakukan penilaian kualitas hidup
berdasarkan kuisioner SNOT-22 sebelum dan satu bulan sesudah dilakukan
pembedahan dan kemudian membandingkan skor SNOT-22 antara sebelum dan
sesudah tindakan pembedahan. Hasil: Didapatkan perbaikan kualitas hidup
berdasarkan skor SNOT-22 yang diamati satu bulan setelah dilakukan tindakan

36
pembedahan. Total skor sebelum pembedahan didapatkan 56,0 dengan SD ± 6,9
dan sesudah dilakukan pembedahan didapatkan total skor 19,6 dengan SD ±19,6.
Beda rerata perbaikan didapatkan sebesar 36,4 (p<0,001). Simpulan: didapatkan
adanya perbaikan kualitas hidup pada penderita rinosinusitis berdasarkan kuisioner
SNOT-22 antara sebelum dan sesudah dilakukan pembedahan.
3.

BAB V
KESIMPULAN

Kualitas hidup merupakan konsep yang mencakup karakter fisik maupun


psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran kualitas hidup juga 2
sangat terkait dengan status kesehatan. Dewasa ini aspek kualitas hidup mulai
dipertimbangkan sehubungan dengan pengambilan keputusan untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya penilaian kualitas hidup terkait status kesehatan
berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap penderita dan untuk
mengevaluasi efek terapi.
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan
dan gejala berupa bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
keluar air mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga,
riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada
rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Penatalaksanaan dari rinitis alergi
adalah menghindari kontak dengan allergen, medikamentosa, operatif,
imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang sering terjadi pada
rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis
paranasal.

37
Gejala-gejala klasik pada hidung dan gejala non-hidung rinitis alergi dinilai
mengganggu aktifitas baik di tempat kerja dan di sekolah. Anak dapat mengalami
gangguan dalam belajar dan pada orang dewasa dapat mengakibatkan penurunan
konsentrasi dan produktifitas. Aspek-aspek penderita rinitis alergi menunjukan
adanya penurunan kualitas hidup antara lain kualitas tidur yang buruk, kelelahan
sepanjang hari, gangguan di sekolah atau di tempat kerja, dan masalah terkait
emosional.
Instrumen untuk mengukur kualitas hidup masih terus berkembang.
Terdapat keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
instrumen untuk mengukur kualitas hidup seseorang. Kualitas hidup dapat diukur
dengan menggunakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang telah teruji
dengan baik dan memiliki nilai reliabilitas, sensitifitas dan spesifisitas yang cukup
tinggi. Saat ini kuesioner Sinonasal Outcome Test-22 (SNOT-22) merupakan
kuisioner yang paling spesifik dan paling banyak digunakan, merupakan kuisioner
pengembangan dari kuisioner SNOT-20. Selain itu penilaian secara kualitatif
dapat dinilai dari penggunaan VAS (Visual Analog Scale).

38
39

Anda mungkin juga menyukai