Anda di halaman 1dari 15

Disusun

Oleh Kelompok 4 :

 Juniarti Syahputri
 Khairunnisa
 Fauziah Nur
 Suci Rahayu
 Vina Andini
 M. Nurul Azmi
 Budiono

Kelas : XI Agama

MA. AL – WASHLIYAH
Kota Tebing Tinggi
Tahun Ajaran 2017 / 2018
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat serta

anugerah darinya sehingga kami mampu untuk merampungkan makalah dengan judul

“Salahuddin Al-Ayyubi” ini. Sholawat dan salam selalu kita ucapkan dan curahkan untuk

junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW yang sudah menyampaikan petunjuk Allah

SWT untuk kita semua, sebuah petunjuk paling benar yakni syariah agama islam yang sempurna

dan satu satunya karunia paling besar kepada seluruh alam semesta.

Penulis benar benar berterima kasih sebab mampu menyelesaikan makalah yang termasuk

dari tugas Mata Pelajaran Akhlak “Salhuddin Al-Ayyubi”. Selain itu, kami menyampaikan terima

kasih yang banyak terhadap seluruh pihak yang sudah membantu kami selama berlangsungnya

penyelesaian makalah ini sampai bisa terselesaikan makalah ini.

Begitulah yang bisa kami haturkan, kami berharap supaya makalah ini bisa berguna

kepada setiap pembaca. Kami memohon kritik dan saran untuk makalah ini supaya selanjutnya

bisa kami revisi kembali. Karena kami menyadari dengan sangat, bahwa makalah yang kami tulis

ini masih banyak kekurangannya.

Tebing Tinggi, February 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Salahuddin Al-Ayyubi ........................................ 3
2.2 Jejak Peperangan Salahuddin Al-Ayyubi ......................... 4
2.3 Peran Shalahuddin dalam perang salib ............................. 8

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................... 11
3.2 Saran ................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 12

ii
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Shalahuddin Al-Ayyubi atau Salah ad-Din yang mempunyai nama asli Yusuf bin
Najmuddin dijuluki sebagai kesatria padang pasir terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit
(140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Ia dipandang sebagai
kesatria sejati baik oleh lawan maupun kawan karena soal kepiawaiannya dalam taktik
pertempuran dan tentang kesalehan dan kemuliaan hatinya.. Keberanian dan kepahlawanannya
tercatat sejarah di kancah perang salib.
Sebagian besar kisah Shalahuddin Al-Ayyubi yang tersebar baik di Barat maupun di
Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke-12 itu adalah cerita tentang seorang
yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Dimana
ketika Shalahuddin Al-Ayyubi ingin merebut kembali Yerusalem di musim panas 1187. Tapi
menjelang serbuan, ia memberi kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri
agar mereka bisa melawan pasukannya dengan terhormat. Dan setelah pasukan Kristen sudah
siap dengan segala persenjatan dan pertahanan barulah Shalahuddin Al-Ayyubi memerintahkan
untuk berperang tapi akhirnya pasukan Kristenpun kalah juga. Kemudian setelah peperangan
dimenangkan oleh pasukan Muslim dan banyak tawanan perang yang berhasil ditangkap tapi
yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap tawanan perang dan penduduk Nasrani
bukanlah menjadikan mereka budak-budak. Shalahuddin Al-Ayyubi malah membebaskan
sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang
Salib dari Eropa merebut Yerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang
Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
Banyak kisah-kisah unik dan menarik tentang Shalahuddin al-Ayyubi yang layak
dijadikan teladan, terutama sikap kesatria dan kemuliaan hatinya.
Kita tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam ini bersikap baik kepada Raja Richard berhati
Singa yang datang dari Inggris untuk menghancurkan pasukan muslim. Tapi Ketika raja Richard
sakit dalam pertempuran, Shalahuddin Al-Ayyubi malah mengiriminya buah pir yang segar
dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu raja Richard pun tersentuh dan bersedia
melakukan perdamaian yang ditandatangani pada 1 September 1192, dan pesta pun diadakan
dengan berbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan
orang sebaik itu.
Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah atau peperangan
karena dia pernah berpesan menjelang wafat kepada anaknya Az-Zahir : “Jangan Tumpahkan
Darah, Sebab Darah yang Terpercik Tak Akan Pernah Tertidur."
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu.
Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari abad
ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan.
1
Bahkan ketika Shalahuddin Al-Ayyubi wafat dan rakyat membuka peti hartanya ternyata
hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, karena hartanya banyak ia berikan kepada
rakyatnya yang membutuhkan.
“Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.”
Itulah kata-kata sebagai bukti Kezuhudan dan kesahajaan dari seorang Shalahuddin Al-Ayyubi.
Mungkin kata-kata mutiara inilah yang harus dipegang oleh para penguasa sekarang ini dan
Kepemimpinan seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang kita harapkan muncul dizaman millennium
yang serba berantakan seperti ini, walaupun itu sebuah pengharapan yang hampir mustahil
terwujud, tapi kita tetap berharap saja ada Shalahuddin – Salahuddin baru yang akan memimpin
dengan sebuah kebijaksanaan yang luar biasa. Kisah Kepemimpinan dan ke Suri Tauladannya
masih tetap dikenang banyak orang tak terkecuali orang-orang barat baik itu melalui puisi, novel
dan sebuah saksi sejarah.
Shalahudin Al Ayyubi atau sering juga di sebut sebagai “Saladin” di dunia barat,
merupakan panglima perang Muslim yang dikagumi kepiawaian berperang serta keshalihannya
baik kepada kawan dan lawan-lawannya. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di
kancah perang salib.
Shalahuddin Al Ayyubi adalah seorang pejuang islam tersohor yang dilahirkan pada tahun
1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup
tersohor, yakni Najmuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga
memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Salahuddin, yakni Asaduddin
Syirkuh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Juli 1192 sepasukan muslim dalam perang salib menyerang tenda-tenda pasukan salib
diluar benteng kota Jaffa, termasuk didalamnya ada tenda Raja Inggris, Richard I. Raja Richard
pun menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya.
Perbandingan pasukan muslim dengan Kristen adalah 4:1. Shalahudin Al Ayyubi yang melihat
Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja
berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang
laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “. Fragmen diatas
dicatat sebagai salah satu karakter yang pemurah dari Shalahudin, bahkan kepada musuhnya
sekalipun. Walalupun sedang diatas angin tetap berlaku adil dan menghormati lawan-lawannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Siapakah Shalahuddin Al Ayyubi?
2. Bagaimana jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi?
3. Bagaimana peran Shalahuddin Al Ayyubi dalam perang salib?
1.3 Tujuan
1. Agar pembaca mengetahui Sejarah Shalahuddin Al Ayyubi
2. Agar pembaca mengetahui jejak peperangan Shalahuddin Al Ayyubi
3. Agar pembaca mengetahui peran Shalahuddin dalam perang salib

2
Bab II
Pembahasan

2.1 Biografi Shalahuddin Al Ayyubi.


Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan
pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau
Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532
H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun
pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika
Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub
(ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah
Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan
menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan
pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam
lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir
(konselor).
Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari
Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak
ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak
mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang
anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria,
dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang
tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah
meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-
Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara
sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama.
Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin,
yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasiyah. Saladin merevitalisasi
perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya,
menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi
pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa
tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu
mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.
Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia
memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti
Ayyubiyah dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah
barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa
pemberontakan dari bekas pendukung Fathimiyah, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk

3
menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim
Sunni.
Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana
Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamannya meninggal, jabatan Perdana Menteri
dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan
Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin
memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan
mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September).
Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya
di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada
puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali
terjadi perebutan kekuasaan di antara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nuruddin
menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan
keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan
persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk
wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga
Mousul, Irak bagian utara.
Sultan al-Malik al-Nashir Shalah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19
Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam
menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan
mempertahankan Bait al-Maqdis.

2.2. Jejak Peperangan Shalahuddin Al Ayyubi


Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-
Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir
baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap institusi kerajaan secara
berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan
membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga
Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Tetapi sayang, Syirkuh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan
setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya
Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir)
dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat
di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud
sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-
sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari
serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang bersekutu dengan
4
Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yang optimis bahwa
ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi
pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi
wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas
pasukan Syi’ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid. Namun
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan
pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah
Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al
’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan
Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin
mengambil alih kekuasaan Dinasty Fathimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah
Fathimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara
resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada dibawah
Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumat hari itu
ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi
pemimpin Mesir, Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan
militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin,
pemimpinnya yang resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fathimiyah yang dikuasai oleh kaum
Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan
Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar
Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan
Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan
Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan
kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak
dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yang
selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal
Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan
Yerusalem kepada putranya yang baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit
lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan efektif. Di tahun
yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yang termasyhur itu
juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus
Saleh.
Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang wali
yang bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara

5
putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin
mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-
khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat
tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi.
Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat
perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin
al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya, Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan
memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Seljuk serta menyatakan diri sebagai
sultan untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan
militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu
mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yang tidak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin
kepada Tentara Salib Perancis dari Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini
dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Syirkuh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan
meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk
meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu
menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus dengan sebuah
pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin
Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa
akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk
memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda
Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan
Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah
dengan beliau sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin
dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke
dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh Laskar Salib dari
Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan
Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara
Kristen yang menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun merebut Kota Yerussalem. Sekarang
Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yang diduduki
Pasukan Salib Templar dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-
mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya,

6
Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima
perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian,
maka hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah
membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin
memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai
lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian
ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud atau
Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yang
lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib
yang dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ini
masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini terkenal dengan nama Battle of
Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke
markasnya serta menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang
bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi
pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa
pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-
iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan
Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut
dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu
datang untuk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri
terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah terjadi. Sultan sangat
marah terhadap pengkhianatan gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke Yerussalem agar
semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan
keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum salib yang sering mengkhianati janji itu
dengan mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung
Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon
dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ini Tentara Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak
sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun 1187. Seluruh
Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya
menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yang tertawan
diperlakukan dengan sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani
itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan

7
pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara
Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang
telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan
dibawa ke hadapan Shalahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yang telah
begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam dan
penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi,
karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti
keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya,
tentara salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga
panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya,
seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan
dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak reputasi Shalahuddin yang makin ditakuti
oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi
Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya ke langit,
Shalahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ini
membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan makanan.
Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam
Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60.000 orang yang terdiri dari
Kesatria Templar.
Pada hari Minggu, tanggal 20 September 1187, Shalahuddin mencapai Yerusalem dengan
banyak pasukan mendirikan kemah dan memulai pengepungan. Pada tanggal 21 September
pasukan Shalahuddin mulai ke utara dan barat laut tembok mulai menyerang Yerusalem. Karena
mendapat perlawanan sengit dan matahari yang menyilaukan penyerang serta benteng Kerajaan
Yerusalem terbukti terlalu kuat Shalahuddin harus menunda serangan. Pada malam 25 sampai 26
September, ia pindah kemahnya di Bukit Zaitun di sisi timur laut kota akhirnya pada tanggal 29
September pasukan Shalahuddin telah telah berhasil merobohkan dinding benteng. Pertempuran
ini berakhir dengan menyerahnya Yerusalem pada 2 Oktober 1187. Shalahuddin berhasil merebut
Yerusalem pada 2 Oktober 1187 setelah usia 88 tahun dikuasai Kristen. Tanggal itu juga
memiliki makna simbolis khusus bagi Muslim karena bertepatan dengan tanggal 27 Rajab yaitu
tanggal peringatan Isra dan Mikraj.

2.3 Peran Shalahuddin dalam perang salib


Shalahuddin al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa dengan nama Saladin, ia juga
bergelar Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti Ayyubiyyah di
Mesir yang bertahan selama 80 tahun. Shalahuddin berasal dari keluarga Kurdi di Azerbaijan,
yang berimigrasi ke Irak. Shalahuddin al-Ayyubi merupakan pahlawan paling mengagumkan,

8
yang pernah dipersembahkan oleh peradaban Islam di sepanjang abad VI dan VII Hijriah. Berkat
Shalahuddin, umat dan peradaban Islam terselamatkan dari kehancuran, akibat serangan dari
kaum Salib.

Pada periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib, Bait al-Maqdis kembali direbut
oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke
tangan kaum Salib, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan untuk
menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zanqi, Gubernur Mosul (Halab), kaum
muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib.

Pasukan Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M.
Sebelum pasukannya merebut kembali daerah-daerah Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam
pertempuran pada tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanqi. Di bawah
kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan wilayah Islam di Timur
dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskannya, antara lain: Damaskus
(1147), Antiokia (1149), Edessa (1151), dan Mesir pada tahun 1169 M.

Kejatuhan Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib II. Paus
Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis, Louis VII dan
Raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di
Syiria. Namun gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil
memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya.
Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin al-Ayyubi
yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.

Shalahudddin al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya


melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya, pasukan Salib tidak mampu menghadapi
pasukan Islam, maka mereka terpaksa mengajukan permintaan damai. Dengan adanya
permintaan damai itu, Shalahuddin menghentikan peperangan. Namun karena tahun 1186 M.
tentara Salib mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan menunaikan haji, maka
pertempuran kembali berkobar dan tentara Salib menderita kekalahan serta kebanyakan di antara
mereka menjadi tawanan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait al-
Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.

Pada periode ketiga (1189-1192 M.), Shalahuddin berhasil mempertahankan Bait al-
Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya berawal dari jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan
orang Islam, menggerakkan semangat yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk
merebut kembali kota suci itu. Dengan kekalahan itu, maka dibangunlah angkatan Perang Salib
III pada tahun 1189 M. dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari
Jerman, Philip Augustus dari Perancis dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan Perang
Salib III ini berhasil merebut Accon (Aka), namun sesudah itu pasukan Salib pecah, karena Philip
berselisih dengan Richard, yang berakhir dengan pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum
terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar Barbarosa telah meninggal di tengah perjalanan.

9
Setelah itu, Shalahuddin berperang melawan Richard yang dikenal sebagai panglima yang
tindakannya sangat berani sehingga diberi gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam peperangan di
Arsuf, Shalahuddin berhasil dikalahkan Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis
belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara
Shalahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November 1192 M., yang isinya sebagai berikut :

1. Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk
menjalankan ibadah di tanah suci.
2. Orang-orang Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
3. Umat Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada umat
Kristen.

Setahun berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Shalah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia
pada tanggal 19 Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan
Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan
mempertahankan Bait al-Maqdis.

10
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan
pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau
Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532
H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun
pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanqi, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika
Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub
(ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah
Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan
menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Beliau meninggal dunia pada tanggal 19
Februari 1193 M. Setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam
menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan
mempertahankan Bait al-Maqdis.

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki sifat bijaksana dalam kehidupan sehari-hari dan


bersikap adil dalam menyelesaikan masalah. Ketika perangpun beliau sangat gagah berani dan
perkasa mengalahkan musuhnya, meskipun begitu beliau juga sangat berperikemanusiaan
terhadap lawan dan tidak semena-mena, padahal mereka memperlakukan umat islam sebelumnya
dengan penuh kebencian, karena sifat inilah beliau disegani musuh-musuhnya.

3.2 Saran
Saya selaku penulis menyadari bahwa makalah yang berjudul “SHALAHUDDIN AL
AYYUBI” masih banyak kesalahan atau sangat jauh dari hasil yang diharapkan, maka dari itu
kami mohon saran dan kritik yang membangun agar dalam makalah berikutnya saya bias
mengetahui kekurangan dalam makalah sebelunnya. Dengan demikian hasil yang terbaik selalu
diharapkan. Dalam pepatah yaitu, “TAK ADA GADING YANG TAK RETAK”.

11
Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Pengepungan_Yerusalem_%281187%29
http://esq-news.com/2011/berita/11/24/shalahuddin-al-ayyubi-pemimpin-perang-yang-cerdas-
nurani.html
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-salahudin-al-ayubi-1138-1193-m.html
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sholahuddin-al-ayyubi-532-589-h.html
http://kamiluszaman.blogspot.co.id/2015/12/shalahuddin-al-ayyubi.html

12

Anda mungkin juga menyukai