Anda di halaman 1dari 20

Referat IV

14 Desember 2011

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS

ELIANA MUIS
SYAMSU

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
DAFTAR ISI

Lembar Judul ….. i


Daftar Isi ….. ii
I. Pendahuluan ….. 1
II. Patogenesis Sepsis ….. 2
III. Aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) pada Sepsis ….. 7
IV. Kortikosteroid dan Peranannya pada Sepsis ….. 9
V. Kontroversi Penggunaan Kortikosteroid pada Sepsis ….. 11
VI. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid pada Sepsis ….. 14
Ringkasan ….. 16
Daftar Pustaka ….. 17

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS ii


PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS

Eliana Muis, Syamsu*


*Subdivisi Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

I. PENDAHULUAN
Sepsis merupakan sindroma klinis dengan karakteristik disregulasi sistim imun,
inflamasi dan mekanisme koagulasi sebagai respons tubuh akibat infeksi. Manifestasi
klinis sepsis pada keadaan awal ditandai dengan sindroma respons inflamasi sistemik,
yang apabila berkembang menjadi berat, akan menyebabkan syok septik, gagal multi
organ bahkan kematian.1
Insidens dan mortalitas sepsis sangat bervariasi di tiap negara.2 Di Amerika
Serikat insidens sepsis sekitar 132 per 100.000 jiwa dengan mortalitas mencapai 50%,
dan berada di peringkat 10 penyebab kematian tertinggi. Di Inggris, sepsis berat
merupakan penyebab kematian terbanyak pasien yang dirawat di intensive care unit
dengan mortalitas mencapai 46%.3 Di Indonesia, mortalitas akibat sepsis di bangsal
Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo mencapai 53,2%.2 Tingginya angka
mortalitas membuat sepsis masih terus diperdebatkan dalam hal penegakan diagnosis,
patogenesis dan tatalaksana komprehensif yang terus berkembang.4
Dahulu, sepsis hanya dipahami sebagai sindroma akibat reaksi inflamasi
berlebihan. Saat ini, diketahui sepsis merupakan akibat dari interaksi yang kompleks
antara invasi mikroorganisme, respons imun pejamu, dan jalur inflamasi maupun
koagulasi.5
Salah satu farmakoterapi yang diberikan dalam tatalaksana sepsis adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan karena memiliki efek antiinflamasi kuat sesuai
patogenesis sepsis sebagai suatu respons inflamasi.6 Terapi kortikosteroid telah
dimulai sejak tahun 1950.4 Namun ternyata beberapa penelitian klinis gagal
menunjukkan manfaat pemberian kortikosteroid pada sepsis.6 Karena itu, sampai kini
pemberian kortikosteroid pada sepsis masih terus diperdebatkan baik dari segi
manfaat, dosis, maupun saat yang tepat untuk pemberiannya.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 1


Dalam makalah ini, selanjutnya akan dibahas mengenai patogenesis sepsis,
aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) pada sepsis, peran kortikosteroid dalam
tatalaksana sepsis, berbagai penelitian yang menjadi kontroversi dalam hal
penggunaan kortikosteroid pada keadaan sepsis, dan rekomendasi terkini mengenai
penggunaan kortikosteroid pada sepsis.

II. PATOGENESIS SEPSIS


Apabila tubuh terpapar oleh mikroorganisme asing, maka terjadi serangkaian
mekanisme homeostasis untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme tersebut.7
Lapisan epitel merupakan pertahanan fisik pertama melawan invasi mikroorganisme,
disamping dapat mensekresi substansi antimikrobial. Jika pertahanan ini berhasil
ditembus, maka mikroorganisme dapat masuk ke dalam jaringan dimana
mikroorganisme tersebut dikenali, diingesti dan dibunuh oleh sel-sel fagositik. Apabila
virulensi mikroorganisme tersebut tinggi dan respons imun pejamu tidak mampu
melokalisir infeksi, maka mikroorganisme maupun komponen-komponennya dapat
menginvasi sirkulasi darah dan kemudian mengaktivasi sel-sel fagositik yang berada
jauh dari fokus infeksi serta mendatangkan sel-sel inflamasi ke fokus infeksi tersebut.8
Mikroorganisme patogen dikenali oleh sel-sel imun melalui beberapa reseptor
yang terdiri dari toll-like receptor (TLR), peptidoglycan-related protein receptors dan
reseptor intraselular. Ikatan antara reseptor dengan komponen mikroorganisme
mengaktivasi serangkaian respons imun yang bertujuan untuk mengeliminasi
mikroorganisme patogen, membatasi kerusakan jaringan dan mempertahankan
homeostasis organ.6
Aktivasi sel-sel imun menyebabkan pelepasan sejumlah komponen seperti
kemokin, sitokin dan protease. Sitokin merupakan glikoprotein dengan berat molekul
rendah dan terbagi menjadi sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi. 6 Dalam
beberapa jam pertama respons inflamasi dilepaskan sitokin proinflamasi yaitu tumour
necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-1β), didahului oleh aktivasi nuclear
transcription factor-кB (NF-кB) yang mengalami translokasi ke dalam nukleus sel
imun.9 Sitokin tersebut selanjutnya dapat menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 2


lain seperti IL-6, High Mobility Group Box Chromosomal protein 1 (HMGB1), dan sitokin
antiinflamasi yaitu IL-10. Sitokin proinflamasi memiliki bermacam-macam efek yaitu
menurunkan fungsi pertahanan sel-sel epitel, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel
endotel, serta efek metabolik yaitu katabolisme protein dan pelepasan trigliserida dari
jaringan adiposa. Sitokin antiinflamasi ditemukan dalam serum beberapa jam sampai
beberapa hari setelah sepsis dimulai dan berfungsi membatasi respons imun. Dalam
proses stimulasi respons imun, terjadi pula aktivasi komplemen yang selanjutnya saling
mengaktivasi satu sama lain. Manfaat komplemen aktif yaitu untuk melisiskan
mikroorganisme.6
Sitokin proinflamasi akan menstimulasi sel-sel imun, sel endotel dan beberapa
sel epitel sehingga terjadi peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) seperti
superoxide dan nitric oxide (NO).9 Keberadaan NO memberi keuntungan dan kerugian.
Nitric oxide mengatur mikrosirkulasi menuju organ vital dan turut berperan dalam
eliminasi mikroorganisme patogen. Namun demikian, pelepasan NO secara berlebihan
dan berkepanjangan akan menimbulkan vasodilatasi menyeluruh.10 Gangguan endotel
secara difus pada akhirnya juga menyebabkan disfungsi berbagai organ dan hipoksia
jaringan.11

Gambar 1. Respons inflamasi pada keadaan sepsis12

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 3


Mikroorganisme patogen beserta komponen-komponennya dapat menginduksi
sistim koagulasi. Pada awal sepsis terjadi keseimbangan antara koagulasi dan
inhibitornya, fibrinolisis dan inhibitornya, sehingga mikrotrombus yang terbentuk
cepat dilisiskan guna mencegah gangguan perfusi organ. Bila sepsis berlangsung lama
dan semakin berat, terjadi ketidakseimbangan proses homeostasis mengakibatkan
deposit fibrin pada mikrovaskuler, trombosis dan perdarahan sehingga terjadi
koagulasi intravaskuler disseminata (disseminated intravascular coagulation/DIC).12,13
Selain perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh sitokin, pada keadaan
infeksi akut juga terjadi pelepasan berbagai hormon stres dalam jumlah besar, meliputi
kortisol, katekolamin, vasopressin, insulin dan glukagon. Hormon-hormon ini berperan
mempertahankan transpor oksigen ke jaringan dan memobilisasi karbohidrat, lemak
dan protein sebagai bahan bakar sintesis protein fase akut.9
Pada sebagian besar individu, dapat tercapai keseimbangan antara mediator
proinflamasi dengan mediator antiinflamasi, sehingga homeostasis organ tercapai.7
Pada sebagian individu, respons antiinflamasi lebih kuat sehingga terjadi anergi dan
kecenderungan untuk menderita infeksi nosokomial.14 Pada sebagian individu pula,
keseimbangan terganggu dengan respon proinflamasi lebih kuat hingga menimbulkan
sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS),
disfungsi organ multisistim (multi-system organ dysfunction/ MODS), syok septik dan
akhirnya kematian.7
Berdasarkan konsensus the American College of Chest Physician dan the Society
of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) tahun 1992, sindroma respons inflamasi
sistemik ditegakkan bila terdapat lebih dari satu gejala klinis berikut: (1) Suhu tubuh
>38°C atau <36°C; (2) Denyut jantung >90 kali/menit; (3) Frekuensi pernapasan >20
kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg; dan (4) Lekosit darah >12.000/μL atau <4.000/μL.15
Kriteria sindroma respons inflamasi sistemik tersebut dinilai terlalu sensitif
namun tidak spesifik. Sehingga pada tahun 2001, the International Sepsis Definitions
Conference menetapkan beberapa tanda dan gejala inflamasi sistemik sebagai respons
terhadap infeksi, seperti yang tertera pada tabel 1.15

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 4


Tabel 1. Kriteria diagnostik sepsis15
INFEKSI
Bukti adanya infeksi atau dicurigai infeksi, diserta beberapa kritera berikut:

PARAMETER UMUM
Demam (suhu >38,3oC)
Hipotermia (suhu <36oC)
Denyut jantung >90 kali/menit atau >2 SD diatas nilai normal untuk usia
Takipneu >30 kali/menit
Perubahan status mental
Edema nyata atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg/24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >110 mg/dL) tanpa diabetes

PARAMETER INFLAMASI
Lekositosis (lekosit >12.000/μL)
Lekopenia (lekosit <4.000/μL)
Hitung lekosit normal dengan >10% bentung lekosit muda (immature)
C Reactive Protein (CRP) plasma >2 SD diatas nilai normal
Procalcitonin plasma >2 SD diatas nilai normal

PARAMETER HEMODINAMIK
Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure (MAP)
<70, atau tekanan darah sistolik menurun >40 mmHg pada orang dewasa atau <2
SD dibawah nilai normal untuk usia
Saturasi oksigen vena campuran >70%
Indeks kardiak >3,5 l/menit.m2

PARAMETER DISFUNGSI ORGAN


Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
Oliguri akut (urin <0,5 ml/kg/jam selama minimal 2 jam)
Peningkatan kreatinin ≥0,5 mg/dl
Gangguan koagulasi (international normalized ratio/INR >1,5 atau aPTT >60 detik)
Ileus (tidak adanya bising usus)
Trombositopenia (hitung trombosit <100.000/μL)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dl atau 70 mmol/l)

PARAMETER PERFUSI JARINGAN


Hiperlaktatemia (>3 mmol/l)
Penurunan capillaru refill atau mottling
SD=standar deviasi

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 5


Sepsis adalah suatu keadaan dimana terjadi infeksi atau dugaan adanya infeksi
disertai respons inflamasi sistemik terhadap infeksi dengan karakteristik beberapa
tanda dan gejala perubahan parameter umum, parameter inflamasi, parameter
hemodinamik, parameter disfungsi organ dan parameter perfusi jaringan. Sepsis berat
adalah sepsis dengan komplikasi disfungsi organ.15 Kriteria disfungsi organ berdasarkan
the Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) score yang meliputi gangguan
pernapasan, koagulasi, fungsi hati, kardiovaskuler, sistim saraf pusat dan fungsi ginjal
(tabel 2).16 Skor SOFA dibuat sederhana untuk memudahkan penggunaannya secara
klinis. Rentang total skor SOFA yaitu 0-24 merupakan gabungan skor masing-masing
parameter sistim organ, dimana nilai tinggi menunjukkan disfungsi organ berat. 17 Syok
septik adalah kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi arterial persisten yang
bukan disebabkan oleh penyebab lain. Kriteria hipotensi yaitu tekanan arterial sistolik
<90 mmHg, mean arterial pressure (MAP) <60, atau penurunan tekanan sistolik >40
mmHg dari baseline, walaupun sudah diberi resusitasi cairan adekuat, tanpa penyebab
lainnya.15

Tabel 2. SOFA (the Sequential Organ Failure Assessment) score (0-24)16


Parameter 0 1 2 3 4
RESPIRASI
PaO2/FiO2 >400 ≤400 ≤300 ≤200 ≤100
Bantuan napas
KOAGULASI
Trombosit (x103/mm3) >150 ≤150 ≤100 ≤50 ≤20
HATI
Bilirubin (mg/dl) <1,2 1,2-1,9 2,0-5,9 6,0-11,9 >12,0
KARDIOVASKULER
Hipotensi Tidak ada MAP <70 Dopamin ≤5/ Dopamin <5/ Dopamin >5/
Dobutamin Epi ≤0,1/ Epi <0,1/
Norepi ≤0,1 Norepi >0,1
SSP
Glasgow Coma Scale 15 13-14 10-12 6-9 <6
RENAL
Kreatinin (mg/dl) atau <1,2 1,2-1,9 2,0-3,4 3,5-4,9 atau >5,0 atau
jumlah urin <500 ml/hr <200 ml/hr

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 6


III. AKSIS HYPOTHALAMIC-PITUITARY-ADRENAL PADA SEPSIS
Berbagai jenis stres akut maupun kronis, termasuk inflamasi, infeksi dan sepsis,
dapat mencetuskan serangkaian respons fisiologis untuk mempertahankan
homeostasis. Respons terhadap stres terdiri dari komponen sentral yaitu hipotalamus
dan batang otak, dan komponen perifer yang meliputi aksis HPA, juga sistim simpatetik
sistemik dan adrenomedular.18 Pada keadaan ini terjadi peningkatan kadar
kortikotropin (adrenal corticotropin hormone/ACTH) plasma yang diproduksi kelenjar
hipofisis dan peningkatan sekresi kortisol dari zona fasikulata korteks adrenal (gambar
2).19 Kortisol merupakan hormon steroid yang memiliki peran penting untuk menjaga
tonus vaskuler, integritas endotel, permeabilitas vaskuler dan distribusi cairan tubuh
intravaskuler.20

Stress

Activation

Hypothalamus

Corticotropin-releasing
hormone (CRH)
Activation

Anterior pituitary

Adrenal corticotropin
hormone (ACTH)
Activation
Inhibition
Adrenal gland

Cortisol

Gambar 2. Aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)19

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 7


Insufisiensi adrenal merupakan ketidakmampuan kelenjar adrenal dalam
merespons rangsang yang ada untuk menghasilkan kortisol dalam jumlah cukup guna
mempertahankan homeostasis organ maupun tingkat seluler.19 Tanda dan gejala
insufisiensi adrenal termasuk demam, mual, muntah, nyeri perut, penurunan
kesadaran, hipotensi yang refrakter terhadap terapi cairan dan vasopresor,
hipoglikemia, hiponatremia dan hipereosinofilia.21 Insufisiensi adrenal pada kondisi
penyakit kritis merupakan kondisi yang meningkatkan risiko kematian jika tidak segera
ditangani secara optimal. Adapun penyebab tersering insufisiensi adrenal akut adalah
sindroma respons inflamasi sistemik dan sepsis yang bersifat reversibel jika proses
inflamasinya segera ditangani.19
Pada sepsis, sitokin juga berperan dalam menstimulasi dan mensupresi aksis
HPA. Pemberian IL-1β dan IL-6 di perifer dapat meningkatkan kadar corticotropin-
releasing hormone (CRH), ACTH dan glukokortikoid. Sitokin-sitokin inflamasi juga
mampu merangsang hipofisis dan adrenal secara langsung untuk mensekresi ACTH dan
glukokortikoid. Selain menstimulasi, beberapa sitokin juga mengganggu aksis HPA.
Tumor necrosis factor-α mengganggu stimulasi hipofisis oleh CRH dan fungsi kelenjar
adrenal, serta menghambat sintesis kortisol. Waktu paruh kortisol memanjang akibat
menurunnya afinitas kortisol terhadap reseptor glukokortikoid atau menurunnya
jumlah reseptor glukokortikoid. Secara umum, pada sepsis terjadi gangguan aksi
glukokortikoid intraseluler. Hal inilah yang menjadi dasar penggunaan glukokortikoid
sebagai terapi utama pada insufisiensi adrenal.4,18,19
Untuk menilai insufisiensi adrenal, terdapat beberapa cara tes stimulasi, namun
pada kondisi penyakit kritis yang digunakan adalah pemeriksaan kortisol bebas plasma
dan saliva. Pada beberapa pasien dengan klinis lebih ringan (tidak ada hipotensi,
hipoksemia atau nyeri) dapat digunakan tes stimulasi kortikotropin dengan dosis 250
μg/dL intravena atau intramuskuler. Konsentrasi kortisol pada menit 30 dan 60 yang
kurang dari 18 μg/dL atau kenaikan kortisol kurang dari 9 μg/dL disepakati oleh
beberapa ahli sebagai parameter penegakan insufisiensi adrenal.19,21

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 8


IV. KORTIKOSTEROID DAN PERANANNYA PADA SEPSIS
Korteks adrenal memproduksi dua kelas utama hormon steroid (kortikosteroid)
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid terutama berperan pada
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sedangkan mineralokortikoid berperan
dalam pengaturan keseimbangan elektrolit dan air. Beberapa jenis kortikosteroid
menunjukkan kedua aktivitas tersebut dalam berbagai derajat, dan lainnya hanya
memiliki satu aktivitas.20,22-24
Kortisol atau hidrokortison merupakan glukokortikoid alami yang paling kuat.
Sedangkan obat-obat semisintetik seperti prednison, prednisolon dan deksametason
merupakan turunan hidrokortison.22 Penggolongan kortikosteroid alami dan sintetik
yang sering digunakan dalam praktek klinis sehari-hari dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kortikosteroid alami dan sintetik yang sering digunakan23


Activity1 Equivalent Forms
Agent Anti- Topical Salt- oral dose Available
inflammatory retaining (mg)
Short-to medium-acting glucocorticoids
Hydrocortisone (cortisol) 1 1 1 20 Oral, injectable,
topical
Cortisone 0,8 0 0,8 25 Oral, injectable,
topical
Prednisone 4 0 0,3 5 Oral
Prednisolone 5 4 0,3 5 Oral, injectable,
topical
Methylprednisolone 5 5 0 4 Oral, injectable,
topical
Meprednisone 5 0 4 Oral, injectable
Intermediate-acting glucocorticoids
Triamcinolone 5 5 0 4 Oral, injectable,
topical
Paramethasone 10 0 2 Oral, injectable
Fluprednisolone 15 7 0 1,5 Oral
Long-acting glucocorticoids
Betamethasone 25-40 10 0 0,6 Oral, injectable,
topical
Dexamethasone 30 10 0 0,75 Oral, injectable,
topical
Mineralocorticoids
Fludrocortisone 10 10 250 2 Oral, injectable,
topical
Desoxycorticosterone acetate 0 0 20 Injectable, pellets
1 Potency relative to hydrocortisone

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 9


Kortikosteroid telah banyak digunakan dalam tatalaksana berbagai jenis
penyakit. Manfaat kortikosteroid diperlukan pada beberapa kondisi termasuk terapi
substitusi (hipoaldosteronisme), efek supresi (malignansi, penyakit autoimun), manfaat
antiinflamasi (infeksi dan non-infeksi), dan terapi berbagai kasus alergi.20
Kortikosteroid diketahui memiliki efek yang luas dalam tubuh oleh karena
reseptornya juga tersebar luas di seluruh bagian tubuh.23 Beberapa efek dari
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
A. Efek metabolik
Kortikosteroid mampu meningkatkan glukosa melalui stimulasi glukoneogenesis
dan mensintesis glikogen pada keadaan puasa. Kortikosteroid juga dapat
menstimulasi pelepasan insulin dan menghambat ambilan glukosa oleh jaringan
adiposa, serta menstimulasi hormone-sensitive lipase sehingga terjadi
lipolisis.19,21,23
B. Efek katabolik dan antianabolik
Kortikosteroid memiliki efek katabolik dan antianabolik di jaringan limfoid dan
jaringan ikat, otot, lemak dan kulit. Kortikosteroid pada dosis berlebihan dapat
menyebabkan penurunan massa otot, kelemahan dan penipisan kulit, serta
osteoporosis.23
C. Efek antiinflamasi dan imunosupresif
Kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi farmakologik utama dalam berbagai
kondisi inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi. Penggunaan kortikosteroid pada
sepsis berlandaskan teori bahwa sepsis merupakan respons inflamasi sistemik
terhadap infeksi.24 Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif
kuat dan melibatkan berbagai mekanisme yang kompleks, yaitu :23,25,26
- Peningkatan jumlah neutrofil dalam sirkulasi dan penurunan jumlah limfosit (sel
T maupun sel B), monosit, eosinofil dan basofil. Peningkatan kadar neutrofil
disebabkan peningkatan influks ke dalam sirkulasi dari sumsum tulang dan
penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga terjadi penurunan jumlah sel
di fokus inflamasi. Penurunan jumlah limfosit, monosit, eosinofil dan basofil
disebabkan karena sel-sel tersebut dialihkan ke jaringan limfoid.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 10


- Penghambatan fungsi makrofag jaringan dan antigen-presenting cells lain.
Akibatnya, respons sel-sel tersebut terhadap antigen menurun. Kemampuan
makrofag dalam memfagositosis mikroorganisme menurun dan produksi TNF-α,
IL-1β, metalloproteinase dan aktivator plasminogen juga menurun.
- Penurunan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-activating factor.
- Penurunan permeabilitas kapiler akibat hambatan pelepasan histamin oleh
basofil dan sel mast.
- Penghambatan aktivitas kaskade komplemen.
- Penurunan produksi antibodi.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kortikosteroid menimbulkan efek
yang begitu luas terhadap sistim imun. Efek ini lebih banyak melibatkan respons imun
seluler dibanding respons imun humoral. Mungkin sekali efek antiinflamasi yang
sangat jelas dari kortikosteroid yaitu menekan jumlah sel-sel lekosit pada fokus infeksi.
Hal ini tampaknya merupakan keuntungan dalam tatalaksana penyakit-penyakit yang
didasari inflamasi, meskipun di satu sisi ada kecenderungan meningkatnya risiko infeksi
oportunistik setelah penggunaan kortikosteroid pada pasien yang bersangkutan. 22

V. KONTROVERSI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS


Penggunaan kortikosteroid pada sepsis telah menjadi kontroversi selama lima
ekade lebih. Kortikosteroid digunakan pada sepsis karena memiliki efek antiinflamasi
kuat. Dalam beberapa dekade awal, kortikosteroid diberikan dalam dosis tinggi.
Namun adanya beberapa laporan efek samping yang timbul dan tidak adanya
perbedaan mortalitas dibanding plasebo, maka penggunaan kortikosteroid pada sepsis
dihentikan. Lebih dari satu dekade terakhir, kortikosteroid pada sepsis semakin banyak
digunakan namun dengan dosis yang lebih mendekati kadar fisiologis. Walau demikian,
sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.27 Berikut adalah uraian
kontroversi penggunaan kortikosteroid pada sepsis.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 11


A. Penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis tinggi
Pada tahun 1950an sampai pertengahan 1980an, para klinisi menggunakan
kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan pasien sepsis. Obat-obat yang
diberikan yaitu metilprednisolon 30 mg/kg atau deksametason 3-6 mg/kg dalam 2-
4 dosis intravena.27 Salah satu penelitian awal mengenai terapi tambahan pasien
dengan sepsis berat dan syok septik dilakukan oleh Bennett dkk.,dikutip dari 25 tahun
1963. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan angka harapan hidup
antara subyek yang diberi kortikosteroid dibanding kontrol.
Keberhasilan pemberian kortikosteroid dalam pengobatan sepsis pada hewan
coba memacu para ahli untuk melakukan penelitian serupa terhadap manusia. 25
Satu penelitian fenomenal dilaporkan oleh Schumer,28 tahun 1978 yang terdiri dari
dua bagian yaitu penelitian prospektif dan retrospektif. Penelitian prospektif
dilakukan terhadap 172 subyek syok septik: 43 subyek diberi metilprednisolon 30
mg/kg, 43 subyek diberi deksametason 3 mg/kg, dan 86 subyek diberi larutan salin.
Subyek penelitian kemudian diikuti selama 8 tahun. Mortalitas pada plasebo
38,4%, sedang subyek yang diberi metilprednisolon 11,6% dan deksametason 9,3%.
Pada penelitian retrospektif terhadap 328 subyek: 160 subyek tidak diberi steroid,
dan 168 subyek diberi deksametason atau metilprednisolon. Mortalitas pada
subyek tanpa steroid 42,5%, sedang subyek dengan steroid 14%. Penelitian ini
dikritik oleh banyak ahli, karena pemakaian dua preparat kortikosteroid berbeda,
tidak ada standarisasi pemberian antibiotik dan terapi suportif, kurangnya data
mengenai terapi tambahan yang diberikan, dan waktu penelitian terlalu lama. 25
Sprung dkk.,29 tahun 1984 meneliti 59 pasien syok septik dan melaporkan
bahwa pasien yang diberi kortikosteroid dosis tinggi terutama pada fase awal
mengalami perbaikan syok, namun hal ini tidak terjadi pada pasien dengan syok
berat dan berlangsung lama. Bone dkk.,30 tahun 1987 melakukan penelitian
terhadap 382 subyek dengan sepsis berat dan syok septik dimana kelompok yang
diterapi steroid dosis tinggi menggunakan metilprednisolon 30 mg/kg. Hasilnya,
tidak ada perbedaan dalam hal pencegahan syok, perbaikan syok, atau mortalitas
secara keseluruhan. Bahkan, mortalitas meningkat pada kelompok steroid dosis

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 12


tinggi akibat infeksi sekunder. Hasil serupa juga diperoleh the Veterans
Administration Systemic Sepsis Cooperative Study Group (VASSCg)31 yang tidak
menemukan perbedaan mortalitas subyek dengan steroid dosis tinggi dibanding
plasebo. Bahkan pada kelompok steroid juga terjadi infeksi sekunder yang waktu
penyembuhannya lebih lama dibanding plasebo. Setelah beberapa laporan ini para
klinisi tidak lagi menggunakan kortikosteroid dosis tinggi pada septik syok. 27

B. Penelitian yang menggunakan kortikosteroid dosis rendah


Pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, para klinisi kembali menggunakan
kortikosteroid namun dalam dosis lebih rendah, yaitu 200-300 mg hidrokortison 3
kali sehari intravena. Hal ini didasarkan pada terjadinya insufisiensi adrenal relatif
dalam kondisi sepsis.27 Terapi ini sering disebut sebagai terapi fisiologis atau
replacement dari kortikosteroid.4 Kemudian berbagai studi pada kondisi syok septik
menemukan perbaikan parameter hemodinamik setelah pemberian steroid dosis
rendah.
Bollaert dkk.,32 meneliti pasien syok septik yang diberi hidrokortison 100 mg
tiap 8 jam intavena selama minimal 5 hari, dan menemukan perbaikan syok hari ke-
7 dan ke-28 pada pasien yang diberi steroid. Oppert dkk.,33 meneliti hiperdinamik
dini pasien syok septik dan menemukan bahwa pasien yang diberi hidrokortison 50
mg intravena dilanjutkan infus 0,18 mg/kg/jam memiliki durasi terapi vasopresor
lebih cepat dibanding plasebo. Cicarelli dkk.,34 meneliti pasien syok septik
kelompok deksametason 0,2 mg/kg intravena tiap 36 jam selama 5 hari dan
plasebo. Ternyata mortalitas hari ke-7 lebih rendah secara signifikan pada
kelompok deksametason dibanding plasebo dan cenderung lebih rendah pada hari
ke-28.
Annane dkk.,35,36 melakukan dua kali meta-analisis dan tinjauan sistematis
tahun 2004 dan 2009, tentang penggunaan kortikosteroid pada sepsis berat dan
syok septik. Disimpulkan bahwa kortikosteroid telah digunakan dengan berbagai
dosis dalam terapi sepsis selama lebih dari 50 tahun, tanpa bukti jelas akan
manfaatnya terhadap mortalitas pasien. Namun sejak 1998, sejumlah penelitian
secara konsisten menggunakan kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, dan

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 13


analisis subgrup tersebut menyokong manfaat terhadap mortalitas jangka pendek
yang menguntungkan.
The CORTICUS study,37 meneliti penggunaan hidrokortison pada 499 pasien
syok septik dan mendapatkan hasil bahwa perbaikan syok terjadi dalam 3,3 hari
pada pasien yang diberi hidrokortison dan 5,8 hari pada plasebo. Hanya saja,
insidens superinfeksi dan miopati lebih tinggi pada kelompok hidrokortison.

VI. REKOMENDASI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS


The International Sepsis Forum (ISP) melakukan koordinasi dengan the
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) dan the International Society of
Critical Care Medicine (ISSM) sejak tahun 2001. Forum tersebut merekomendasikan
pedoman internasional penatalaksanaan sepsis berat dan syok septik berdasarkan
bukti klinis terbaik yang selalu diperbaharui bila ditemukan bukti-bukti baru. Pedoman
yang diperbaharui tahun 2007 bertujuan mengurangi mortalitas akibat sepsis sebesar
25% tahun 2009. Kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti klinis didasarkan pada
kriteria Grades of Recommendation, Assessment, Development and Evaluation
(GRADE). Kriteria ini membagi kualitas bukti menjadi high (grade A), moderate (grade
B), low (grade C), atau very low (grade D). Sementara itu, rekomendasi dibagi menjadi
strong (grade 1) atau weak (grade 2).38
Rekomendasi dari the Surviving Sepsis Campaign 2008 mengenai penggunaan
kortikosteroid dalam penatalaksanaan sepsis berat dan syok septik yaitu:38
1. Disarankan, pemberian hidrokortison intravena hanya untuk pasien syok septik setelah
dipastikan tidak berespon terhadap resusitasi cairan dan terapi vasopresor (Grade 2C).
Dasar pemikiran yaitu satu penelitian di Perancis dan dua penelitian lain berskala kecil
pada pasien syok septik yang tidak responsif terhadap vasopresor menunjukkan perbaikan
signifikan dan penurunan mortalitas. Akan tetapi, hasil peneltian CORTICUS yang gagal
menunjukkan perbaikan mortalitas signifikan ditambah efek samping steroid berupa
tingginya insidens superinfeksi dan miopati menimbulkan kesepakatan baru bahwa
rekomendasi harus diturunkan dari pedoman 2004.
2. Disarankan, tes stimulasi ACTH tidak digunakan untuk identifikasi pasien syok septik mana
yang harus diberi hidrokortison (Grade 2B).

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 14


Dasar pemikiran yaitu satu penelitian menyatakan potensi manfaat interaksi antara
kortikosteroid dan tes stimulasi ACTH pada pasien sepsis berat dan syok septik tidak
signifikan secara statistik. Selain itu, untuk mengukur konsentrasi kortisol umumnya
digunakan metode immunoassay total kortisol (protein-bound dan kortisol bebas) sehingga
tidak menggambarkan kosentrasi kortisol bebas yang sebenarnya.
3. Disarankan, deksametason tidak boleh diberikan pada pasien syok septik jika tersedia
hidrokortison (Grade 2B).
Dasar pemikiran yaitu deksametason dapat menekan aksis HPA berkepanjangan.
4. Disarankan, pemberian fludrokortison oral 50 ug jika hidrokortison tidak tersedia dan
steroid yang digunakan tidak memiliki aktivitas mineralokortikoid. Fludrokortison dianggap
opsional jika terapi steroid menggunakan hidrokortison (Grade 2C).
Dasar pemikiran yaitu ada satu penelitian yang menambahkan fludrokortison oral 50 ug.
Karena hidrokortison memiliki aktivitas mineralokortikoid intrinsik, maka penambahan
fludrokortison sampai saat ini masih kontroversial.
5. Disarankan, penghentian kortikosteroid ketika pasien tidak lagi memerlukan terapi
vasopresor (Grade 2D).
Dasar pemikiran yaitu belum ada penelitian yang membandingkan antara penggunaan
dosis tetap dan rejimen klinis, atau antara penghentian steroid secara mendadak dan
perlahan (tappering). Tiga penelitian menggunakan kortikosteroid dosis tetap, dan pada
dua penelitian diantaranya steroid diturunkan perlahan setelah syok membaik. Dalam
empat penelitian steroid di-tappering setelah beberapa hari, sedang dua penelitian lain
menghentikan steroid secara mendadak. Satu studi menunjukkan efek rebound
hemodinamik dan imunologik setelah penghentian mendadak kortikosteroid. Akibatnya,
masih belum jelas apakah luaran dipengaruhi oleh metode penghentian steroid atau tidak.
6. Direkomendasikan, dosis kortikosteroid yang ekuivalen dengan hidrokortison >300 mg per
hari tidak digunakan pada pasien sepsis berat atau syok septik (Grade 1A).
Dasar pemikiran yaitu dua uji klinis prospektif acak dan meta-analisis menyimpulkan
bahwa untuk terapi sepsis berat atau syok septik, terapi kortikosteroid dosis tinggi tidak
efektif atau bahkan berbahaya.
7. Direkomendasikan, kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan pasien sepsis tanpa
syok. Akan tetapi, tidak ada kontraindikasi untuk melanjutkan steroid dosis pemeliharaan
atau stress-dose jika riwayat penyakit endokrin atau pemberian kortikosteroid pada pasien
tersebut jelas (Grade 1D).

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 15


Dasar pemikiran yaitu tidak ada studi yang secara khusus meneliti pasien sepsis berat
tanpa syok sehingga belum ada data pendukung penggunaan steroid stress-dose pada
populasi pasien yang serupa. Steroid dapat diindikasikan jika jelas ada riwayat terapi
steroid atau insufisiensi adrenal.

RINGKASAN
Sepsis merupakan sindroma klinis dengan karakteristik disregulasi sistim imun,
inflamasi dan mekanisme koagulasi sebagai respons tubuh akibat infeksi. Tingginya
mortalitas membuat sepsis masih terus diperdebatkan dalam hal penegakan diagnosis,
patogenesis, dan tatalaksana yang terus berkembang. Kortikosteroid, salah satu
farmakoterapi dalam tatalaksana sepsis, diberikan karena memiliki efek antiinflamasi
kuat. Pada sepsis juga terjadi gangguan aksis HPA yang mengakibatkan insufisiensi
adrenal, dan untuk mendeteksinya dilakukan pemeriksaan kortisol bebas atau tes
stimulasi kortikotropin. Penggunaan kortikosteroid pada sepsis telah menjadi
kontroversi selama lima dekade lebih. Awalnya, diberikan dalam dosis tinggi. Namun,
lebih dari satu dekade terakhir, digunakan kortikosteroid dosis rendah yang lebih
mendekati kadar fisiologis.
Rekomendasi SSC 2008 mengenai penggunaan kortikosteroid dalam
tatalaksana sepsis berat dan syok septik yaitu: (1) Disarankan, pemberian hidrokortison
hanya untuk pasien syok septik yang dipastikan tidak berespon terhadap resusitasi
cairan dan terapi vasopresor; (2) Disarankan, tes stimulasi ACTH tidak digunakan untuk
identifikasi pasien syok septik mana yang harus diberi hidrokortison; (3) Disarankan,
deksametason tidak boleh diberikan pada pasien syok septik jika tersedia hidrokortison; (4)
Disarankan, pemberian fludrokortison oral 50 ug jika hidrokortison tidak tersedia dan steroid
yang digunakan tidak memiliki aktivitas mineralokortikoid. Fludrokortison dianggap opsional
jika terapi steroid menggunakan hidrokortison; (5) Disarankan, penghentian kortikosteroid
ketika pasien tidak lagi memerlukan terapi vasopresor; (6) Direkomendasikan, dosis
kortikosteroid yang ekuivalen dengan hidrokortison >300 mg per hari tidak digunakan pada
pasien sepsis berat atau syok septik; dan (7) Direkomendasikan, kortikosteroid tidak diberikan
untuk pengobatan pasien sepsis tanpa syok. Akan tetapi, tidak ada kontraindikasi untuk
melanjutkan steroid dosis pemeliharaan atau stress-dose jika riwayat penyakit endokrin atau
pemberian kortikosteroid pada pasien tersebut jelas.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 16


DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro. Disfungsi mikrosirkulasi dan disfungsi mitokondria pada sepsis. Naskah Lengkap PIT
Penyakit Dalam 2010. Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S, et al. (Eds.). Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam 2010:184-201.
2. Pohan HT. Sepsis update: Pemilihan terapi antimikroba. Naskah Lengkap PIT Penyakit Dalam 2010.
Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S, et al. (Eds.). Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam 2010:202-9.
3. Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. Cardiac dysfunction due to sepsis. J Kardiologi Indonesia
2010;31(3):177-86.
4. Aryana S, Biran SI. Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis. Dexa Media
2006;19(4):177-81.
5. Cribbs SK, Martin GS. Treating sepsis: An update on the latest therapies, part 1. J Respir Dis.
2009;30(1):1-15.
6. O'Callaghan A, Redmond HP. Treatment of sepsis: Current status of clinical immunotherapy.
Surgeon 2006;4(6):355-361.
7. Raghavan M, Marik PE. Management of sepsis during the early "Golden Hours". J Emergency Med
2006;31(2):185-199.
8. Seam N, Suffredini AF. Mechanisms of sepsis and insights from clinical trials. Drug discovery today:
Disease Mechanisms, Respiratory disorders. Vol 4. Bethesda, Elsevier 2007:83-93.
9. Carre JE, Singer M. Cellular energetic metabolism in sepsis: The need for a systems approach.
Biochimica et Biophysica Acta 2008;1777:763-71.
10. Opal SM. The host response to endotoxin, antilipopolysaccharide strategies, and the management
of severe sepsis. International J Med Microbiol 2007;297:365-77.
11. Nguyen HB, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, Huang DT, Osborn T,
Stevens D, Talan DA. ED-SEPSIS Working Group. Severe Sepsis and Septic Shock: Review of the
Literature and Emergency Department Management Guidelines. Ann Emerg Med 2006 2006;48:28-
54.
12. Russell JA. Management of sepsis. N Engl J Med 2006;355:1669-713.
13. Nasronudin. Imunopatogenesis sepsis dan prinsip penatalaksanaan. Penyakit Infeksi di Indonesia
Solusi Kini & Mendatang. Edisi Kedua. Nasronudin, Hadi U, Vitanata M, et al (Eds.). Pusat Penerbitan
dan Percetakan UNAIR, Surabaya 2011:320-4.
14. Pinsky MR. Pathophysiology of Sepsis and Multiple Organ Failure: Pro- versus Anti-Inflammatory
Aspects. Sepsis, Kidney and Multiple Organ Dysfunction. Vol 144. Ronco C, Bellomo R, Brendolan A
(Eds.). Vicenza, Karger 2004:31-43.
15. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference. Intensive Care Med 2003;29:530-8.
16. Ferreira FL, Bota DP, Bross A, Melot C, Vincent J-L. Serial Evaluation of the SOFA Score to Predict
Outcome in Critically Ill Patients. JAMA 2001;286:1754-8.
17. Toma T, Abu-Hanna A, Bosman RJ. Discovery and inclusion of SOFA score episodes in mortality
prediction. J of Biomed Informatics 2007;40:649-60.
18. Arafah BM. Hypothalamic Pituitary Adrenal Function during Critical Illness: Limitations of Current
Assessment Methods. J Clin Endocrinol Metab 2006;91:3725-45.
19. Purnamasari D. Insufisiensi Adrenal pada Pasien Critically Ill. Naskah Lengkap PIT Penyakit Dalam
2010. Setiyohadi B, Sumariyono, Salim S, et al. (Eds.). Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
2010:210-21.
20. Nasronuddin. Penggunaan Steroid pada Tatalaksana Sepsis. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini
& Mendatang. Edisi Kedua. Nasronudin, Hadi U, Vitanata M, et al (Eds.). Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR, Surabaya 2011:377-81.
21. Polito A, Aboab J, Annane D. The Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis in Sepsis. Sepsis: New Insights,
New Therapies. John Wiley & Sons, Ltd., British 2007:182-203.
22. Subowo. Steroid dan Respons Imun. Imunologi Klinik, Edisi Ke-2. Sagung Seto, Jakarta 2010:375-88.
23. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists. Basic & Clinical Pharmacology.
th
9 Ed. Katzung BG (Ed.). Boston, McGraw-Hill 2004:641-660.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 17


24. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Hormon Steroid. Farmakologi: Ulasan Bergambar, Edisi 2
(Terjemahan). Penerbit Widya Medika, Jakarta 2001:267-82.
25. Balk RA. Steroids for Septic Shock: Back From the Dead? (Pro). Chest 2003;123:490S-499S.
26. Oshima H. Mechanisms of the molecular action of glucocorticoids. Japanese J Rheumatol
1997;7(1):1-11.
27. Sprung CL, Goodman S, G.Weiss Y. Steroid Therapy of Septic Shock. Crit Care Clin 2009;25:825-34.
28. Schumer W. Steroid in the treatment of clinical septic shock. (Abstract). Ann Surg 1976;184(3):333-
41.
29. Sprung C, Caralis P, Marcial E, Pierce M, Gelbard M, Long W, Duncan R, Tendler M, Karpf M. The
effects of high-dose corticosteroids in patients with septic shock. A prospective, controlled study.
(Abstract). NEJM 1984;311:1137-43.
30. Bone R, Fisher C, Clemmer T, Slotman G, Metz C, Balk R. A controlled clinical trial of high-dose
methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and septic shock. (Abstract). NEJM
1987;317:653-8.
31. The Veterans Administration Systemic Sepsis Cooperative Study Group. Effect of high-dose
glucocorticoid therapy on mortality in patients with clinical signs of systemic sepsis. (Abstract) NEJM
1987;317:659-65.
32. Bollaert PE, Charpentier C, Levy S, et al. Reversal of Late Septic Shock with Supraphysiologic Doses
of Hydrocortisone. (Abstract) Crit Care Med 1998;27:723-32.
33. Oppert M, Schindler R, Husung C, et al. Low-dose Hydrocortisone Improves Shock Reversal and
Reduces Cytokine Levels in Early Hyperdynamic Septic Shock, Crit Care Med 2005;33:2457-64.
34. Cicarelli DD, Viera JE, Martin-Besensor FE. Early Dexamethasone Treatment for Septic Shock
Patients: A Prospective Randomized Clinical Trial. Sao Paulo Med J 2007;125:237-41.
35. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid for Severe Sepsis and Septic Shock: A
Systematic Review and Meta-analysis. BMJ 2004;1:1-9.
36. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, et al. Corticosteroid in the Treatment of Severe Sepsis and Septic
Shock in Adults – A Systematic Review. JAMA 2009;301(22):2362-75.
37. Sprung CL, Annane D, Keh D, et al. for the CORTICUS Study Group. The CORTICUS Randomized,
Double-blind, Placebo-controlled Study of Hydrocortisone Therapy in Patients with Septic Shock. N
Engl J Med 2008;358:111-24.
38. Dellinger RP, Levy MM, Carlet J, Bion J, Parker M, Jaeschke R, Reinhart K, Angus D, Brun-Buisson C,
Beale R, Calandra T, Dhainaut J-F, Gerlach H, Harvey M, Marini JJ, Marshall J, Ranieri M, Ramsay G,
Sevransky J, Thompson BT, Townsend S, Vender JS, Zimmerman J, Vincent J-L. Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008.
Intensive Care Med 2008;34:17-60.

Referat | PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA SEPSIS 18

Anda mungkin juga menyukai