Anda di halaman 1dari 12

SURAT PERNYATAAN

KARTU IDENTITAS
BIODATA PENGIRIM

Nama : Ahmad Sukron


Tempat Tanggal Lahir : Batang, 19 Oktober 1992
Alamat : Jl. Monjali Gang Temulawak No. 20, Sinduadi, Mlati,
Sleman, DIY.
No. HP : 085740663373
NIM : 10/297946/TP/09730
Jurusan : Teknologi Industri Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Perguruan Tinggi : Universitas Gadjah Mada
Tema : Teknologi dan Industri Hilir

Teknologi Fermentasi Kopi Dengan Ragi Saccharomyces cerevisiae, Solusi


Merakyat Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Organik Pinogu
Oleh : Ahmad Sukron*
Pinogu merupakan sebuah kecamatan baru di Kabupaten Bone Bolango,
Provinsi Gorontalo dan terletak di tengah-tengah hutan Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone. Kecamatan ini terdiri atas lima desa, empat di antaranya terletak saling
berdampingan sehingga tampak seperti satu kampung. Untuk menuju ke “kota”,
penduduk Pinogu harus berjalan kaki sejauh 35 km melalui jalan setapak yang
membelah hutan. Bagi penduduk Pinogu yang sudah terbiasa berjalan kaki, jarak sejauh
itu dapat ditempuh dalam waktu 8-9 jam.
Penduduk Kecamatan Pinogu hanya berjumlah 2066 jiwa pada tahun 2012
(Bappeda Bone Bolango, 2013). Dari jumlah tersebut, hampir semuanya berprofesi
sebagai petani. Berdasarkan pengalaman penulis saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN PPM UGM 2013) selama dua bulan di wilayah tersebut, bisa dikatakan bahwa
keadaan ekonomi masyarakat Pinogu masih sangat pas-pasan. Sebagian besar rumah di
sana masih terbuat dari papan kayu dan bahkan masih banyak juga yang terbuat dari
anyaman bambu. Sementara itu, harga barang-barang di sana sangat mahal, yang mana
untuk makanan dan minuman kemasan saja harganya bisa mencapai 2-4 kali lipat dari
pada harga di pulau Jawa atau di kota Gorontalo. Hal ini turut memperparah kemiskinan
yang ada di Kecamatan Pinogu.
Memiliki Banyak Potensi
Meskipun terpencil, Pinogu merupakan sebuah kawasan yang sangat kaya
dengan komoditas pertanian, antara lain kopi, kakao, aren, durian dan padi. Pinogu
merupakan sentra pertanian organik karena pupuk kimia dan pestisida memang sulit
masuk ke Pinogu. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang mengherankan karena akses ke
Pinogu yang begitu sulit.
Tanpa bermaksud memarjinalkan komoditas yang lain, kopi merupakan
komoditas terpenting bagi masyarakat Pinogu. Hampir setiap keluarga di sana memiliki
kebun kopi. Secara keseluruhan, luas kebun kopi di Pinogu mencapai 186 Ha. Kopi
yang ditanam di sana merupakan kopi jenis robusta dan liberica. Kopi Pinogu konon
ditanam tahun 1875, dan merupakan kopi favorit Ratu Wilhelmina saat itu. Perkebunan
kopi di Pinogu sempat menghutan tidak terawat karena masyarakat di sana pernah
berpindah profesi menjadi penambang emas liar. Kini ketika tambang emas mulai surut,
masyarakat mulai kembali lagi merawat kebun kopi mereka.
Kopi Unggul
Kopi Pinogu memiliki keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan kopi-
kopi dari daerah lain. Dengan lokasi perkebunan yang begitu terisolasi dari dunia luar,
kopi Pinogu belum pernah tersentuh dengan zat-zat kimia seperti pestisida, herbisida
maupun pupuk kimia. Oleh karena itu, kopi Pinogu merupakan kopi organik. Dengan
keunggulan organik ini, maka kopi Pinogu sebenarnya sangat mungkin untuk
dikembangkan lebih jauh mengingat semakin digandrunginya produk-produk pertanian
organik di pasar domestik serta di pasar mancanegara.
Selain organik, rasa kopi Pinogu juga tidak dapat diremehkan. Jika ratu
Wilhelmina saja menyukai kopi Pinogu, maka rasa kopi Pinogu tentu tidaklah biasa. Di
sana, pohon kopi ditanam bersama dengan pohon durian sebagai pohon penaungnya.
Hal inilah yang konon memberikan rasa dan aroma yang khas pada kopi Pinogu. Cita
rasa dan aroma khas kopi ini telah dibuktikan langsung oleh menteri BUMN, Dahlan,
Iskan saat kunjungannya ke Kabupaten Bone Bolango pada bulan April 2013.
Melihat keunggulan-keunggulan kopi Pinogu tersebut, pemerintah Kab. Bone
Bolango tidak tinggal diam. Pemerintah Bone Bolango sekarang ini sedang gencar-
gencarnya mengoptimalkan potensi kopi Pinogu untuk mensejahterakan masyarakat di
sana. Beberapa langkah telah dilakukan oleh pemerintah Bone Bolango terkait hal
tersebut. Selama ini, pemerintah Kabupaten Bone Bolango telah cukup gencar untuk
mempromosikan kopi Pinogu ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Jerman.
Pemerintah Bone Bolango juga akan menetapkan kopi Pinogu sebagai komoditas
unggulan daerah di sektor pertanian. Kemudian untuk menghindari klaim dari pihak-
pihak tertentu, kopi Pinogu akan dipatenkan sebagai indikasi geografis komunal
Kabupaten Bone Bolango.
Pengolahannya Masih ”Salah”
Selain memiliki banyak keunggulan, kopi Pinogu juga masih memiliki beberapa
kelemahan yang sebenarnya masih sangat bisa diperbaiki. Berdasarkan pengamatan
penulis, masyarakat Pinogu masih mengolah kopinya secara tradisional dan hanya
berdasarkan pengetahuan dasar saja. Setelah buah kopi dipanen dari kebun, kopi
digeprek untuk menghancurkan kulit buahnya. Kopi lalu dijemur di bawah terik
matahari. Begitu kering, kopi kemudian ditumbuk dengan menggunakan lesung untuk
menghilangkan kulit ari sekaligus kulit buahnya. Kopi beras (biji kopi kering tanpa kulit
ari) yang didapat lalu disangrai secara tradisional dengan menggunakan tungku kayu
dan wajan dari tanah liat. Kopi sangrai kemudian digiling dengan mesin atau ditumbuk
secara manual sehingga diperoleh kopi bubuk.
Dari kacamata teknologi pangan, terdapat beberapa poin masalah yang sangat
umum terjadi pada saat pengolahan kopi Pinogu. Pertama, kopi yang telah dipanen
biasanya tidak langsung diproses. Hal ini terjadi terutama jika petani sedang disibukkan
dengan urusan lain. Padahal telah diketahui secara luas bahwa penundaan pemrosesan
setelah panen ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan cita rasa dan aroma kopi.
Yang ke dua, belum ada proses sortasi buah kopi, yaitu memisahkan antara buah
kopi yang masak sempurna (berwarna merah), belum masak (berwarna hijau) serta buah
kopi yang sudah busuk (berwarna hitam). Buah kopi yang telah masak sempurna
mampu menghasilkan kopi dengan kualitas terbaik, yaitu memiliki cita rasa dan aroma
yang nikmat. Buah kopi seperti inilah yang seharusnya dipilih untuk dijadikan bahan
baku kopi yang akan dipasarkan. Adanya pencampuran dengan buah kopi yang belum
masak serta yang sudah busuk jelas akan menurunkan cita rasa dan aroma kopi Pinogu.
Yang ketiga, petani belum melakukan proses fermentasi pada kopi mereka.
Proses fermentasi ini seharusnya dilakukan setelah buah kopi dikuliti. Proses fermentasi
sangat berpengaruh terhadap cita rasa dan aroma kopi. Proses fermentasi diketahui
dapat menurunkan kadar kafein pada kopi sehingga tercipta cita rasa yang terkesan mild
pada kopi seduhan. Selain itu, proses fermentasi juga membantu mendegradasi lapisan
lendir pada biji kopi yang telah dikupas kulit buahnya. Oleh karena tidak adanya proses
fermentasi, maka lapisan lendir pada biji kopi menjadi terikut dikeringkan. Akibatnya,
terbentuk lapisan kulit ari yang tebal, keras dan melekat erat pada biji kopi kering. Hal
ini akan mempersulit proses penghilangan kulit ari dengan penumbukan. Dengan cara
yang seperti itu, akan didapatkan biji kopi beras dengan kenampakan yang kurang
bagus. Pada biji kopi beras tersebut akan terdapat lapisan kulit ari berwarna gelap yang
belum terkelupas sempurna setelah penumbukan. Lapisan kulit ari yang belum
terkelupas ini tampak seperti noda-noda seperti kurap yang melekat pada biji kopi.
Lapisan kulit ari itu sendiri pada akhirnya juga akan menurunkan cita rasa kopi karena
ikut tersangrai bersama dengan biji kopi.
Yang ke empat, petani kopi Pinogu masih banyak yang mengeringkan biji
kopinya langsung di atas tanah. Hal ini tentunya sangatlan tidak bagus dari sisi sanitasi
karena tanah merupakan tempat hidup berbagai jenis mikroorganisme yang banyak
diantaranya dapat menyebabkan penyakit bagi manusia. Terlebih lagi, tanah di Pinogu
terbilang “sangat kotor” karena banyaknya kotoran-kotoran dari sapi dan ayam yang
dibiarkan berkeliaran.
Yang ke lima, petani kopi Pinogu masih belum melakukan proses sortasi biji
kopi kering, yaitu memisahkan biji kopi kering berdasarkan ukuran dan kecacatannya.
Hal ini berpengaruh terhadap proses selanjutnya, yaitu penyangraian. Karena ukurannya
yang beragam, maka setiap butir biji kopi juga matang dalam waktu yang tidak
bersamaan saat penyangraian. Biji kopi yang ukurannya kecil bisa jadi terlalu gosong
sementara biji kopi yang berukuran besar masih belum matang pada bagian intinya.
Pada akhirnya, cita rasa dan aroma kopi menjadi tidak seperti yang diharapkan.
Yang keenam merupakan masalah yang umum dihadapi oleh industri kopi di
seluruh dunia, tidak hanya di Pinogu. Buah dan biji kopi, seperti hasil pertanian yang
lain, juga bisa terkontaminasi fungi toksigenik. Selain dapat menurunkan kualitas, fungi
tersebut juga dapat meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi okratoksin A pada kopi
(Batista et al., 2009). Keberadaan okratoksin A pada kopi ini telah mendapatkan banyak
perhatian di International Coffee Trade Market (Bhat et al., 2010). Okratoksin A dikenal
sebagai toksin yang bersifat nefrotoksik, karsinogenik, embriotoksik dan teratogenik
(WHO, 2003). Toksin ini merupakan metabolit sekunder yang terutama dihasilkan oleh
Penicillium verrucosum dan Aspergillus ochraceus (Larsen et al., 2001; Batista et al.,
2003). Studi mengenai kontaminasi okratoksin A pada kopi menunjukkan persentase
yang berbeda-beda di berbagai negara, mulai dari 22% sampai 65% dari sampel (Batista
et al.; 2003, Bucheli et al., 1998; Moraes dan Luchese, 2004; Nakajima et al., 1997;
Taniwaki et al., 2003). Kulit ari diketahui merupakan salah satu sumber utama
okratoksin A (Batista et al, 2009). Dengan melihat pada proses pengolahan kopi Pinogu
yang sedemikian kurang memperhatikan kebersihan serta masih terikutnya kulit ari ke
proses penyangraian, maka dapat diduga bahwa kopi Pinogu juga terkontaminasi oleh
okratoksin A.
Meningkatkan Mutu Kopi Pinogu
Mutu kopi Pinogu dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki proses
pengolahannya, yaitu dengan tidak menunda proses pengolahan buah kopi setelah
selesai dipanen, melakukan sortasi buah kopi, memfermentasi biji kopi basah yang telah
dikuliti, menjemur biji kopi di atas alas, dan melakukan sortasi kering. Sortasi buah
kopi dapat dilakukan dengan hanya menggunakan air, dimana buah kopi yang telah
masak sempurna akan tenggelam sedangkan buah yang belum masak serta yang sudah
busuk akan terapung. Sementara itu, sortasi biji kopi kering dapat dilakukan dengan
menggunakan ayakan sederhana dari bambu.
Dari beberapa proses yang belum dilakukan oleh petani Pinogu, proses
fermentasi merupakan proses yang paling menentukan mutu kopi Pinogu secara
keseluruhan, baik dari segi cita rasa, aroma, kenampakan maupun tingkat cemaran
okratoksin A. Oleh karena itu, penulis sangat menyarankan agar proses fermentasi ini
dilakukan selama proses pengolahan kopi di Pinogu.
Sebenarnya, proses fermentasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
fermentasi cara basah dan fermentasi cara kering. Untuk fermentasi cara basah, biji kopi
basah yang telah dikuliti harus direndam dalam bak-bak semen dengan menggunakan
air yang harus sering diganti secara teratur. Meskipun mampu menghasilkan kopi
dengan mutu yang baik, fermentasi cara ini tentunya tidaklah tepat guna untuk
diterapkan di Pinogu karena membutuhkan air dalam jumlah banyak dan investasi dana
dalam jumlah besar. Fermentasi cara ini hanya sesuai untuk dilakukan oleh industri-
industri besar.
Fermentasi kopi cara kering dapat dilakukan dengan hanya menumpuk biji kopi
basah yang telah dikuliti di atas lantai membentuk gundukan berbentuk kerucut. Setelah
itu, gundukan tersebut ditutup dengan karung goni. Fermentasi dengan cara ini sangat
murah dan sederhana serta dapat dilakukan oleh petani-petani kopi di Pinogu. Namun
demikian, fermentasi cara kering yang konvensional tersebut belum bisa menghasilkan
kopi dengan mutu yang sama dengan kopi yang dihasilkan melalui proses fermentasi
basah, meskipun tetap lebih baik dari kopi yang dihasilkan jika tanpa melalui proses
fermentasi (Duarte et al., 2010).
Fermentasi Kering Dengan Memanfaatkan Ragi Saccharomyces cerevisiae
Perlu diketahui bahwa apabila biji kopi basah tanpa kulit buah dibiarkan begitu
saja, biji kopi tersebut tetap akan terfermentasi (fermentasi cara kering konvensional).
Hanya saja, mikroorganisme yang tumbuh akan bermacam-macam. Banyak diantaranya
yang mungkin mendegradasi senyawa tertentu dan menghasilkan senyawa lain yang
membuat mutu kopi menjadi lebih baik dari pada kopi yang dihasilkan tanpa proses
fermentasi. Tetapi, beberapa diantaranya juga mampu menghasilkan asam organik
seperti asam butirat dan asam asetat yang diketahui dapat menurunkan mutu
organoleptik kopi, terutama dari segi aroma (Silva, 2008). Hal inilah yang mungkin
membuat kopi yang dihasilkan melalui proses fermentasi kering tidak dapat sebaik kopi
yang dihasilkan melalui proses fermentasi cara basah.
Dari sini, penulis menyarankan untuk menggunakan ragi Saccharomyces
cerevisiae sebagai starter dalam fermentasi kopi cara kering di Pinogu. Ragi
Saccharomyces cerevisiae merupakan ragi yang biasa digunakan dalam pembuatan roti.
Ragi ini sangat mudah dibeli di pasar dalam berbagai bentuk dan harganya pun sangat
murah. Dengan menggunakan ragi tersebut sebagai starter, diharapkan populasi
Saccharomyces cerevisiae akan lebih dominan selama proses fermentasi berjalan.
Ragi Saccharomyces cerevisiae diketahui memiliki aktivitas enzim pektinase, β-
D-glukosidase, dan xilanase yang tinggi (Strauss et al., 2001). Oleh karena itu, ragi
tersebut diperkirakan bisa dipekerjakan untuk mendegradasi pektin dan karbohidrat lain
yang terdapat pada lendir biji kopi basah. Karena adanya aktivitas degradasi karbohidrat
tersebut, maka setelah biji kopi tersebut dikeringkan, akan didapatkan biji kopi kering
dengan kulit ari yang rapuh. Dengan demikian, kulit ari tersebut mudah dikelupas dan
dipisahkan dari biji kopinya hanya dengan penumbukan atau bahkan dengan
pengupasan manual menggunakan tangan. Hal ini tentu sangat memudahkan petani kopi
Pinogu mengingat di sana tidak ada mesin huller untuk menghilangkan kulit ari pada
biji kopi kering.
Saccharomyces cerevisiae juga diketahui memiliki kemampuan yang rendah
dalam memproduksi H2S (Tristezza et al.,) sehingga penggunaannya sebagai starter
diharapkan dapat menjaga aroma kopi. Saccharomyces cerevisiae juga tidak dapat
mendekarboksilasi asam amino menjadi amina biogenik (Koutsoumanis et al., 2010)
yang dapat merusak aroma kopi. Sementara di lain pihak, Velmourougane et al. (2000)
juga melaporkan bahwa keberadaan ragi saat proses fermentasi secara umum dapat
menghasilkan kopi dengan aroma yang nikmat.
Penggunaan Saccharomyces cerevisiae sebagai starter juga dilaporkan dapat
mengurangi konsentrasi okratoksin A sebesar 6-57,21% pada proses fermentasi anggur
(Petruzzi et al., 2013). Telah diketahui pula bahwa merendam buah kopi utuh dengan
larutan yang mengandung Saccharomyces cerevisiae dapat menekan tumbuhnya jamur
okratoksigenik serta mengurangi terjadinya kontaminasi okratoksin A selama
penanganan buah kopi di lapangan (Velmourougane et al., 2011). Oleh karena itu,
penggunaan Saccharomyces cerevisiae selama proses fermentasi kopi di Pinogu juga
diharapkan mampu menghilangkan sebagian besar okratoksin A pada biji kopi secara
langsung. Selain itu, penggunaan ragi Saccharomyces cerevisiae juga dapat mengurangi
cemaran okratoksin A secara tidak langsung dengan mengurangi kulit ari yang terikut
ke proses penyangraian, karena penggunaan ragi Saccharomyces cerevisiae tersebut
mempermudah terkelupasnya kulit ari saat penumbukan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, kulit ari merupakan salah satu sumber utama cemaran okratoksin A pada
kopi.
Solusi Merakyat dan Tepat Guna
Penambahan proses fermentasi kering dengan menggunakan ragi
Saccharomyces cerevisiae sebagai starter dapat dianggap sebagai solusi yang merakyat
dan tepat guna untuk meningkatkan mutu kopi Pinogu. Proses tersebut sangat mudah
dan murah untuk dilakukan. Petani hanya tinggal mengencerkan ragi yang dibelinya
dari pasar dengan air, lalu menambahkannya pada kopi basah yang kulit buahnya telah
dikupas. Setelah itu, kopi tersebut ditumpuk di atas lantai membentuk gundukan
berbentuk kerucut. Karung goni kemudian digunakan untuk menutup gundukan
tersebut. Agar proses fermentasi berjalan merata, maka kopi harus diaduk secara
periodik. Fermentasi dilakukan maksimum selama tiga hari. Setelah itu, kopi kemudian
dicuci, dikeringkan dan diolah lebih lanjut seperti biasa.
Adanya proses fermentasi kering dengan menggunakan ragi Saccharomyces
cerevisiae dapat memperbaiki kenampakan kopi beras Pinogu, memperbaiki cita rasa
dan aromanya, serta mengurangi cemaran okratoksin A pada kopi sehingga lebih aman
untuk dikonsumsi. Hal ini tentu sangat mendukung program pemerintah kabupaten
Bone Bolango untuk memperkenalkan dan memasarkan kopi Pinogu secara lebih luas.
Selain itu, hal tersebut juga dapat meningkatkan daya saing kopi Pinogu di pasaran yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pinogu secara
keseluruhan.
Tidak Hanya Untuk Kopi Pinogu
Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar ke tiga di dunia setelah
Brazil dan Vietnam. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2011), areal perkebunan
kopi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 1,21 juta hektar dengan total
produksi mencapai 686.921 ton. Dari 1,21 juta hektar tersebut, 96% diantaranya
merupakan areal perkebunan kopi rakyat, dengan jumlah petani yang terlibat sebanyak
1.881.694 KK. Menurut Kustiarti (2007), masalah yang dihadapi Indonesia adalah jenis
kopi robusta yang merupakan produk kopi ekspor utama Indonesia sering dijustifikasi
bermutu rendah.
Dalam hal ini, penggunaan ragi Saccharomyces cerevisiae dalam proses
fermentasi cara kering dapat pula diterapkan di seluruh Indonesia, terutama di
perkebunan kopi milik rakyat yang cara pengolahan kopinya masih relatif mirip dengan
yang ada di Pinogu. Hal ini akan meningkatkan mutu kopi yang mereka hasilkan dan
meningkatkan citra serta daya saing kopi Indonesia di dunia internasional. Pada
akhirnya, kesejahteraan petani kopi di Indonesia diharapkan juga semakin meningkat.

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah


Mada yang pernah melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata PPM di Pinogu selama
bulan Agustus-September 2013
DAFTAR PUSTAKA

Batista, L. R., Chalfoun, S. M., Silva, C. F., Cirillo, M., Varga, E. A., &Schwan, R. F.
2009. Ochratoxin A In Coffee Beans (Coffea arabica L.) Processed By Dry And
Wet Method. Journal Of Food Control 20, 784-790.
Bucheli, P., Meyer, I., Pittet, A., Vuataz, G., & Viani, R. 1998. Industrial Storage Of
Non-ripe Robusta Under Tropical Conditions and Its Impact On Raw Material
Quality And Ochratoxin A Content. Journal Of Agricultural And Food
Chemistry, 46, 4507–4511.
Duarte, G. S., Pereira, A. A., Farah, A. 2010. Chlorogenic acids and other relevant
compounds in Brazilian coffees processed by semi-dry and wet post-harvesting
methods. Food Chemistry, 118, 851–855
Koutsoumanis, K., Tassou, C., & Nychas, G. J. E. 2010. Biogenic Amines In Food.
Washington DC: ASM Press.
Larsen, T. O., Svendesen, A., & Smedsgaard, J. (2001). Biochemical of ocratoxin A-
producing strains of the genus Penicillium. Applied and Environmental
Microbiology, 67, 3630–3635.
Moraes, M. H. P., & Luchese, R. H. 2004. Ochratoxin A On Non-Ripe Coffee: Influence
of Harvest And Drying Processing Procedures. Journal Of Agriculture And
Food Chemistry, 5, 5824–5828.
Petruzzi, L., Bevilacqua, A., Baiano, A., Beneduce, L., Corbo., M. S., &Sinigaglia, M.
2013. Study Of Saccharomyces cerevisiae W13 As A Functional Starter For The
Removal of Ochratoxin A. Journa Of Food Control, 35, 373-377
Silva, C. F., Batista, L. R., Abreu, L. M., Dias, E. S., Schwan, R. F. 2008. Succession of
bacterial and fungal communities during natural coffee (Coffea arabica)
fermentation. Food Microbiology, 25, 951–957
Strauss, M. L. A., Jolly, N. P., Lambrechts, M. G., & Van Rensburg, P. 2001. Screening
For The Production Of Extracellular Hydrolitic Enzymes By Non-
Saccharomyces Wine Yeast. Journal Of Apllied Microbiology, 91, 182-190.
Taniwaki, M. H., Pitt, J. I., Teixeira, A. A., & Iamanaka, B. T. 2003. The Source of
Ochratoxin A in Brazilian Coffee And Its Formation in Relation to Processing
Methods. International Journal Of Food Microbiology, 82, 173–179.
Tristezza, M., Vetrano, C., Bleve, G., Grieco, F., Tufariello, M., Quarta, A., et al. 2012.
Autochthonous Fermentation Starters For The Industrial Production Of
Negroamaro Wines. Journal Of Industrial Microbiology And Biotechnology, 39,
81-92.
Velmourougane, K., Bhat, R., Gopinandhan, T. N., Panneerselvam, P. 2011.
Management Of Aspergillus Ochraceus And Ochratoxin-A Contamination In
Coffee During On-Farm Processing Through Commercial Yeast Inoculation.
Journal Of Biological Control, 57, 215-221.

Anda mungkin juga menyukai