Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Jeruk merupakan salah satu komoditas buah-buahan penting diindonesia


selain pisang dan mangga. Saat ini usaha untuk meningkatkan produksi jeruk
masih mengalami penghambatan terutama akibat adanya serangan CVPD yang
menghancurkan tanaman jeruk. CVPD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh liberobacteria yang merupakan bakteri gram negatif yang
tergolong subdivisi protobacteria ( Sandrine et al, 1996 ). Menurut Dwiastuti
(2000), serangan penyakit CVPD menyebabkan penurunan produksi jeruk sampai
60%. CVPD adalah penyakit utama yang menyerang tumbuhan anggota jeruk-
jerukan.Upaya penanggulangan penyakit CVPD telah banyak dilakukan,
walaupun demikian penyakit CVPD masih ditemukan di berbagai sentra
pertanaman jeruk dan sampai saat ini belum ditemukan cara pengendalian yang
tepat (Wirawan et al., 2003). Penyakit CVPD sulit untuk dideteksi karena
keberadaannya dan penyebarannya pada tubuh tumbuhan yang cukup sedikit dan
tidak merata.

Penyakit ini sulit untuk dideteksi dengan metode konvensional seperti


menggunakan mikroskop elektron, bioassay, maupun dengan teknik ELISA
(Sandrine, 1996). Beberapa teknik baru yang dikembangkan untuk mendeteksi
penyakit CVPD antara lain menggunakan DNA Probe dan teknik PCR. Proses
deteksi menggunakan hibridisasi titik menggunakan DNA Probe memakan waktu
dua hari sedangkan menggunakan teknik PCR, hanya memerlukan waktu sekitar 6
jam dan juga PCR dapat mendeteksi varian mikroorganisme. Teknik PCR lebih
efektif dan efisien untuk mendeteksi penyakit CVPD pada tanaman jeruk
(Sandrine, 1996). Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian menggunakan
teknik PCR untuk mendeteksi infeksi CVPD dan memastikan bahwa asesi-asesi
tanaman yang ditemukan dapat digunakan sebagai calon indukan yang potensial
untuk pengembangan tanaman jeruk.

1
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik menulis sebuah makalah
seminar kimia dengan judul “DETEKSI PENYAKIT CVPD ( Citrus Vein
Phloem Degeneration ) DENGAN TEKNIK PCR ( Polimer Chain Reaction )
DAN ELEKTROFORESIS GEL AGAROSA PADA TANAMAN JERUK”

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Jeruk

Jeruk merupakan famili Rutaceae, jenis ini hampir selalu berupa semak
atau pohon, dengan daun tunggal atau majemuk yang duduknya tersebar atau
berhadapan, tanpa daun penumpu. Dalam daun dan kulit batang terdapat kelenjar
minyak yang terjadi secara skizolisigen (Tjitrosoepomo, 2002).

Tinggi tanaman jeruk berkisar antara 2-8 m dengan tajuk yang tidak beraturan,
banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun berwarna
hijau mengkilat dan bagian bawahnya hijau muda. Tangkai daun bersayap sangat
sempit sampai boleh dikatakan tidak bersayap, panjang 0,5-1,5 cm. Helaian daun
tanaman jeruk berbentuk bulat telur memanjang, elliptis, atau berbentuk lanset,
dengan ujung tumpul, melekuk ke dalam. Tepi bergerigi beringgit sangat lemah,
panjang 3,5-8 cm (Tjitrosoepomo, 2002). Bunga tanaman jeruk berdiameter 1,5-
2,5 cm. daun mahkota berwarna putih. Buah berbentuk bola. Sedangkan buah
jeruk keprok memiliki panjang 4-7 cm, diameter 5-8 cm, tebal kulit 0,2-0,3 cm.
Kebanyakan daging buah tanaman jeruk berwarna orange, yang diluputi jaringan
seperti reticulatum (Tjitrosoepomo, 2002)

Menurut Tjitrosoepomo (2002) sistematika tanaman jeruk diklasifikasikan


sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Dicotyledomae (biji keeping dua)

Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae

3
Genus : Citrus

Spesies : Citrus maxima (Burn.) Merr. atau C. grandis L,


atau C. decumana L, C. sinensis (L) Osbeck. atau C. aurantium
L. var. sinensis L, C. hystrix , C. nobilis Lous , C. Aurantifolia, C.
medica

Varietas : C. nobilis microcarpa Holsk, C. nobilis chysocarpa

2.2 Penyakit CVPD pada tanaman jeruk

2.2.1 Gejala serangan penyakit CVPD

Penyakit CVPD menyerang tanaman pada bagian Pucuk daun tanaman


jeruk. Gejala serangan penyakit CVPD yang tampak dengan daun tanaman jeruk
yang mengalami klorosis pada sebagian atau seluruh daun tajuk yang ditandai
dengan tulang daun masih berwarna hijau sedangkan daging daun (lamina) yang
berwarna kuning (Semangun,1994). Menurut penelitian BPTP Kalimantan Barat
(2007), melaporkan bahwa Tanaman jeruk yang terjangkit penyakit CVPD ini
menunjukkan gejala kekuning-kuningan pada daun dewasa, seperti halnya
kekurangan unsur Zn, Mn dan Fe. Tulang - tulang daun halus berwarna lebih hijau
daripada jaringan helaian daunnya.

Gambar 2.1 Daun dan buah jeruk yang terkena penyakit CVPD

Pada tanaman muda gejala yang nampak yaitu adanya kuncup yang
berkembang lambat, pertumbuhan mencuat ke atas seperti sikat, lebih kecil dan

4
berbecak. Pada tanaman dewasa, gejalanya bervariasi. Pada gejala sektoral,
diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan
tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti,
2000). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun
primer dan sekunder mengeras (vein corking), dan dapat menguning.

Gejala-gejala ini mirip dengan gejala defisien Zn. Apabila gejala tersebut
disebabkan oleh defisiensi Zn dalam tanah, seluruh tanaman didalam kebun yang
sama biasanya akan menunjukkan gejala. Penyebaran gejala yang tidak merata
merupakan indikator yang sangat penting bagi adanya penyakit CVPD. Selama
musim hujan, gejala defisiensi Zn biasanya tidak begitu tampak. Buah pada
cabang-cabang terinfeksi biasanya tidak dapat berkembang normal dan berukuran
kecil, terutama pada bagian yang tidak terkena cahaya matahari. Pada pangkal
buah biasanya muncul warna orange yang berlawanan dengan buah-buah sehat.
Buah-buah yang terserang rasanya masam dan bijinya kempes, tidak berkembang
dan berwarna hitam (Tirtawidjaja, 1964).

Gejala penyakit CVPD juga ada dalam tanaman. Pada irisan melintang
tulang tengah daun jeruk berturut-turut dari luar hingga ketengah daun akan
terlihat jaringan-jaringan epidermis, kolenkim, sklerenkim dan floem. Gejala
dalam pada tanaman jeruk yang terkena CVPD adalah floem tulang daun tanaman
sakit lebih tebal dari floem tulang daun tanaman sehat. Pada floem tulang daun
tanaman sakit terdapat sel-sel berdinding tebal yang merupakan jalur-jalur mulai
dari dekat sklerenkim sampai dekat xilem. Dinding tebal tersebut adalah eberapa
lapis dinding sel yang berdesak-desakan. Didalam berbagai jaringan dalam daun
terjadi pengumpulan secara berlebihan butir- butir halus zat pati (Tirtawidjaja,
1964).

Sistem tanaman yang terinfeksi berkembang jelek, akar serabut relatif


sedikit karena mungkin terjadi defisiensi unsur hara. Pertumbuhan akar baru
tertekan dan sering mengalami pembusukan, dimulai dari akar-akar kecil
(rootless) (da Graca, 1991).

5
2.2.2 Penyebab Penyakit CVPD

Pada awalnya, penyakit CVPD disebabkan oleh virus (Tirtawidjadja, et


al., 1964), kemudian karena pengembangan penelitian pada penyakit ini,
dikatakan disebabkan oleh mykoplasma-like organisme (MLO). Selanjutnya
penyakit CVPD dikatakan disebabkan oleh BLO (bacterium like organism)
(Sandrine, et al., 1994)

Sandrine et al. (1994), melakukan penemuan dengan teknik PCR


(Polymerase Chain Reaction) mencoba mengamplifikasi fragmen 16S rDNA dari
BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk (varietas poona) yang terserang penyakit
CVPD bahwa mereka telah berhasil mengembangkan satu primer yang spesifik
dari 16S rDNA tersebut untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan
sejak itu disimpulkan bahwa penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang
mereka beri nama Liberobacter (Sandrine, et al., 1996). Ditemukan dua spesies
bakteri terbebut yaitu l. asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk
Indonesia, dan L. africanum yang tersebar di kawasan Africa.

Bakteri L. asiaticum tergolong Kingdom Proteobacteria, Kelas


Rhodospirilli, Ordo Rhizobiales, Famili Rhizobiaceae, Genus Liberobacter
(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura). Bakteri Penyebab penyakit
CVPD ini merupakan bakteri gram negatif, memiliki selubung dinding sel 25 nm.
Bakteri L. asiaticum belum bisa dikultur secara invitro sehingga informasi
mengenai morfologi, fisiologi, biokimia dan genetik bakteri L. asiaticum terbatas.
Pengamatan dengan mikroskop elektron didapatkan, bakteri saat tumbuh
berbentuk memanjang yang flexibel berukuran 100-250 x 500-2500 nm, pada saat
dewasa berbentuk batang yang kaku berukuran 350-550 x 600-1500 nm. Adapula
yang berbentuk badan seperti bola dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800
nm (Su dan Huang, 1990). Menurut Garnier dan Bove (1973) bakteri akan tumbuh
berbentuk memanjang dan fleksibel dengan ukuran 300-1000 nm.

6
Gambar 2.2 Bakteri liberobacter. Asiaticum ukuran 300-1000 nm.

Bakteri L. asiaticum tumbuh secara maksimum dan konstan pada daun


dewasa. Pergerakan bakteri dalam tanaman jeruk cukup lambat yaitu 30-50 cm
kearah bawah dalam waktu 12 bulan (da Graca, 1991)., dan pada tahap awal
infeksi cenderung tetap berada pada cabang yang diinfeksi vektor (Su dan Hung,
2001).

Bakteri penyebab penyakit CVPD terdapat pada floem tanaman dan


endoseluler. Bakteri dalam floem daun pada berbagai tingkat kematangan atau
pada berbagai varietas jeruk, mempunyai kecenderungan berbiak melimpah pada
musim panas dan berkurang pada musim dingin, tetapi dapat dideteksi dalam
jumlah tertentu di sepanjang tahun. Pertumbuhan bakteri akan konstan dilihat
pada daun tanaman jeruk yang yang sudah dewasa.

Penyakit CVPD dapat menular melalui bibit yang terinfeksi penyakit


CVPD dan oleh serangga vektor (Wijaya, 2003). Penyebaran penyakit CVPD
yang cepat pada pertanaman jeruk dapat terjadi walaupun tidak ditemukannya
serangga vektor di lapangan, hal ini diduga karena tanaman yang mengandung
bakteri sejak bibit walaupun belum menunjukkan gejala penyakit (Wirawan,
2003). Penyakit CVPD juga dapat menular lewat penempelan mata tunas atau
grafting (Su, 2001) tetapi kecepatannya bervariasi karena distribusi bakteri tidak

7
beraturan pada tanaman (Hung et al, 2000), yang menyebabkan dapat diperoleh
tanaman bebas penyakit dari tanaman terinfeksi (Planck, 1999). Walau secara
terbatas alat-alat pertanian seperti alat inokulasi dan pemangkasan diduga dapat
menularkan penyakit (Semangun, 1994).

2.2.3 Vektor Diaphorina citri Kuwayama

Bakteri Liberobacter asiaticum diketahui disebarkan oleh serangga sejenis


kutu loncat yang bernama Diaphorina citri KUW. D. citri termasuk filum
Arthropoda, klas Insecta, ordo Homoptera, family Psyllidae, Genus
Diaphorina,spesies D. citri Kuw. (Kalshoven, 1981). Nurhadi (1993) melaporkan
bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke
tanaman lain setelah melalui 1) periode makan akuisisi yaitu waktu 140 hari.
yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan
patogen, 2) periode makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk
makan pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode
retensi yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya
ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit
dan proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD.

D. citri menyerang tangkai, kuncup bunga dan daun, tunas serta daun-daun
muda. Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara perlahan
lahan kemudian mati. Serangan ringan mengakibatkan tunas-tunas muda
mengeriting dan pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi
berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak di atas
daun atau tunas.

D. citri mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa, dan dewasa.
Telur berwarna kuning terang berbentuk seperti buah alpukat, diletakkan secara
tunggal atau berkelompok di kuncup permukaan daun-daun muda, atau
ditancapkan pada tangkai-tangkai daun, setelah 2-3 hari telur menetas menjadi
nimfa. Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok di tunas-tunas dan kuncup
untuk menghisap cairan tanaman. Setelah berumur 2 atau 3 hari, nimfa menyebar

8
dan menyerang daun-daun muda. Nimfa berwana kuning sampai coklat dan
mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa lebih merusak tanaman dari pada kutu
dewasanya. Stadium nimfa berlangsung selama 17 hari. Pada kondisi panas siklus
hidup dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18 hari, sedangkan pada
kondisi dingin berlangsung selama 45 hari. Perkawinan segera berlangsung
setelah kutu menjadi dewasa dan segera bertelur setelah terjadi perkawinan.
Seekor betina mampu meletakkan 800 butir telur selama masa hidupnya. D.citri
mampu menghasilkan 9-10 generasi dalam 1 tahun. Stadium dewasa ditandai oleh
adanya sayap sehingga mudah meloncat apabila terkena sentuhan. Serangga
dewasa berwarna coklat tua, dengan panjang tubuh 2-3 mm. Apabila dalam
keadaan menghisap cairan sel tanaman, D. citri memperlihatkan posisi
menungging. D. citri lebih aktif pada saat tanaman jeruk dalam fase vegetatif.
D.citri dewasa hinggap pada daun tua dan menghisap cairan selnya. Stadium
dewasa ini bisa bertahan hidup selama 80-90 hari (Nurhadi et al., 1986;
Trisnawati, 1998).

Penelitian Wijaya (2010) mengatakan bahwa, pertambahan luas serangan


CVPD berkisar antara 20 – 29% selama 6 bulan. Penelitian dilakukan dengan
pengamatan awal di pengamatan di Desa Taro tanaman terserang CVPD
sebanyak 51% meningkat menjadi 80% pada akhir pengamatan, sedangkan
di Desa Katung berawal dari 39% menjadi 59%. Fenomena ini iperkuat dari
hasil deteksi molekuler yang menunjukkan D. citri mengandung patogen CVPD,
sehingga berpotensi sebagai vektor penyakit CVPD

2.3 Polimer Chain Reaction ( PCR )

2.3.1 Pengertian Polimer Chain Reaction ( PCR )


Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan
amplifikasi DNA secara in vitro (Reece,2004). Teknik ini pertama kali
dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat
digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali
hanya dalam beberapa jam. Prinsip kerja dari PCR adalah menggandakan

9
segmen DNA tertentu dengan memanfaatkan enzim sebagai penginisiasi
replikasi (Roche diagnostics,2006).

2.3.2 Komponen Polimer Chain Reaction (PCR)


Komponen – komponen reaction mixture PCR yaitu DNA template,
primer, DNA polimerase, buffer / dapar, dan dNTPS. Pertama, DNA template.
Fungsi DNA template di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk
pembentukan molekul DNA baru yang sama. DNA template ini dapat berupa
DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asalkan di
dalam DNA template tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju.
Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan
menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA
kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar
(Promega,2012). DNA yang dipakai dalam praktikum Polymerase Chain
Reaction (PCR) yang dilakukan oleh praktikan yaitu DNA kromosom larva
udang yang diisolasi menggunakan teknik Wizard Genomic DNA Purification
Kit.
Kedua, primer. Primer yaitu suatu polimer asam nukleat pendek
(oligonukleotida) yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer
dengan urutan nukleotida DNA templat, dNTPs (Deoxynucleotide
triphosphates), buffer PCR, dan enzim DNA polimerase (Reece,2004). Primer
berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan
sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan
untuk proses eksistensi DNA. Pemilihan primer yang tidak sesuai dapat
menyebabkan tidak terjadinya reaksi polimerasi antara gen target dengan
primer. Terdapat dua dua jenis primer dalam suatu reaksi PCR yaitu primer
reverse dan forward yang bekerja pada dua untai berbeda (sense dan
antisense) dalam satu DNA (Nicholl,2002).
Syarat – syarat primer meliputi panjang primer, kandungan GC, dan
melting temperature. Panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer
dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer

10
rendah sehingga memungkinkan terjadinya mispriming. Kandungan GC yang
ideal dalam primer adalah sekitar 50%. Melting temperatur (Tm) adalah
temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu
primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh di dalam pemilihan
suhu annealing proses PCR. Suhu optimalnya berkisar antara 50 0C sampai 60
0
C. Selain itu, juga tidak boleh terjadi self dimmer, pair dimmer, atau hairpin
(Roche diagnostics, 2006).
Ketiga, DNA polimerase. Polimerase DNA merupakan enzim yang
stabil dalam pemanasan. Umumnya digunakan enzim Taq DNA polimerase
(Taq = Thermus aquaticus). Enzim ini tetap stabil mengamplifikasi DNA
walaupun amplifikasi berjalan pada suhu mendekati titik didih air. Polimerase
DNA berfungsi sebagai katalis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses
PCR enzim ini juga diperlukan untuk tahap ekstensi DNA (Nicholl, 2002).
Keempat, buffer / dapar. Fungsi buffer yaitu untuk menjaga
keseimbangan pH medium. Umumnya buffer PCR mengandung senyawa
MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi
aktivitas DNA polimerase. MgCl 2 tersebut juga akan meningkatkan interaksi
primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP
(senyawa antara) (Handoyo & Rudiretna,2000).
Kelima, dNTPS. dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP
(deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin
trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). dNTPs bertindak sebagai building
block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada
gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer
dengan untai DNA template (Kusuma,2010).

2.3.3 Tahapan PCR


Siklus PCR meliputi tiga tahap yaitu denaturasi, annealing, dan . Pertama,
denaturasi. Jika larutan DNA dipanaskan, maka energi termal akan memecahkan
ikatan hidrogen dan ikatan lain yang menentukan kestabilan heliks ganda, akibatnya
kedua untai akan memisah atau mengalami denaturasi. Molekul DNA heliks tunggal
dari proses denaturasi cukup stabil. Jika suhu diturunkan, molekul tersebut biasanya

11
tidak mengalami renaturasi menjadi molekul DNA heliks ganda asal tetapi
membentuk pola kusut, namun untai yang saling komplemen dapat mengalami
renaturasi secara perlahan-lahan. Sifat ini menjadi dasar teknik hibridisasi asam
nukleat (Moller,2006).
Kedua, annealing. Merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing
primer merupakan tahap yang penting dalam PCR karena jika terdapat sedikit saja
kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir
produk DNA yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu
o
annealing dan primer. Annealing umumnya berlangsung pada suhu 54 C
(Ahluwalia,2002).
Ketiga Extention Setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim
DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari
gabungan antara primer, DNA cetakan, dan nukleotida. Jika dilakukan pengulangan
terhadap ketiga tahapan tersebut, maka untai DNA yang baru dibentuk akan kembali
mengalami proses denaturasi, penempelan, dan pemanjangan untai DNA menjadi
untai DNA yang baru. Pengulangan proses PCR akan menghasilkan amplifikasi
DNA cetakan baru secara eksponensial (Willet,2006).
Secara umum suhu annealing yang digunakan yaitu 54 0C. Pemilihan suhu
annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu
annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) 0C sampai dengan
(Tm + 5) 0C. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus
[2(A+T) + 4(C+G)] (Handoyo & Rudretna,2000).

2.3.4 Cara Menggunakan Mesin Thermal Cycler


Setelah reaction mixture selesai dibuat, mesin thermal cycler dinyalakan
dengan menekan tombol [ON]. Selanjutnya, mesin thermal cycler diatur agar dapat
melangsungkan siklus PCR sebanyak yang diinginkan. Tampilan pada layar awal
(home) yaitu [RUN], [CREATE], [EDIT], dan [UTIL]. Tahap berikutnya yaitu
dipilih menu [CREATE], kemudian ditekan tombol [ENTER]. Setelah itu dipilih
[CYCLE] dan diinput suhu, waktu, dan berapa kali siklus tersebut akan
dilangsungan. Selanjutnya dipilih [STORE] agar siklus tersebut tersimpan dengan
kode yang ditentukan sebelumnya. Kemudian dibuat lagi siklus-siklus lain sesuai
dengan yang akan dilakukan.

12
Setelah semua siklus selesai dibuat, mesin thermal cycler dikembalikan ke
tampilan layar awal dengan menekan tombol [HOME]. Kemudian dipilih
[CREATE] dan [METH] untuk menggabungkan siklus-siklus yang telah dibuat.
Setelah digabungkan, program disimpan [STORE] lalu ditekan tombol [ENTER].
Jika ingin memeriksa kembali program yang sudah dibuat dapat dipilih [EDIT]. Jika
semua sudah selesai dan siap, maka dipilih [RUN] untuk memulai siklus PCR. Hasil
PCR dapat divisualisasikan dengan menggunakan teknik elektroforesis.
Thermal Cycler merupakan suatu alat yang dapat mengatur suhu sesuai
dengan urutan dan waktu yang diinginkan. Saat melakukan metode PCR harus
dilakukan kontrol positif yang diperlukan untuk mengetahui reaksi PCR berjalan
baik atau tidak. Selain itu, juga harus dilakukan kontrol negatif untuk mencegah
kontaminasi pada PCR (Handoyo & Rudiretna,2000). Teknik PCR memiliki
beberapa kelebihan, yaitu reaksi sangat spesifik dan akurat, mudah dilakukan secara
otomatis dan waktu relatif lebih cepat dari teknik lain. Kekurangan dari PCR adalah
biaya relatif mahal, rentan terkontaminasi, dan tidak dapat mengekspresikan mutasi
(Butler,2005). Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam
kebutuhan, diantaranya: Isolasi DNA, DNA sequencing, forensik, dan dia gnose
penyakit (Zein,2013).

Gambar 2.3 mesin Thermal Cycler

13
2.3.5 Kegunaan PCR

PCR dapat digunakan untuk:

1. Amplifikasi urutan nukleotida


2. Menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami
mutasi
3. Bidang kedokteran forensik
4. Melacak asal usul seseorang dengan membandingkan “finger print”
5. Isolasi Gen
6. Diagnosa Penyakit

2.3.6 Kelebihan dan Kelemahan PCR

Kelebihan

1. Memiliki spesifisitas tinggi


2. Sangat cepat, dapat memberikan hasil yang sama pada hari yang sama
3. Dapat membedakan varian mikroorganisme
4. Mikroorganisme yang dideteksi tidak harus hidup
5. Mudah di set up

Kelemahan

1. Sangat mudah terkontaminasi


2. Biaya peralatan dan reagen mahal
3. Interpretasi hasil PCR yang positif belum tervalidasi untuk semua penyakit
infeksi (misalnya infeksi pasif atau laten)
4. Teknik prosedur yang kompleks dan bertahap membutuhkan keahlian
khusus untuk melakukannya.

14
2.4 Elektroforesis Gel Agarosa

2.4.1 Pengertian elektroforesis Gel Agarosa

Elektroforesis adalah teknik yang digunakan untuk memisahkan dan


memurnikan suatu makromolekul khususnya protein dan asam nukleat
berdasarkan perbedaan ukuran. Elektroforesis merupakan metode yang paling
banyak dipakai saat ini dalam percobaan biokimia dan biologi molekuler
(Magdeldin, 2012).
Elektroforesis gel agarosa adalah teknik paling baik yang pernah dibuat
dan secara rutin digunakan di laboratorium klinis untuk analisis protein dan DNA
pada berbagai cairan biologis (serum, urin, CSF). Teknik ini merupakan teknik
yang menggunakan prinsip elektroforesis zona. Seperti yang diketahui, molekul
protein bermigrasi pada medium padat/gel yang direndam dengan suatu larutan
penyangga di bawah pengaruh medan listrik. Migrasi ini tergantung pada muatan
listrik, titik isoelektrik bersih dan massa molekul protein (Jean and Francois G.,
2010)

2.4.2 Prinsip Kerja Elektroforesis Gel Agarosa


Prinsip kerja elektroforesis gel dimulai saat makromolekul yang
bermuatan listrik ditempatkan pada medium berisi tenaga listrik. Molekul-
molekul tersebut akan bermigrasi menuju kutub positif atau kutub negatif
berdasarkan muatan yang terkandung di dalamnya (Magdeldin, 2012). Molekul-
molekul yang bermuatan negatif (anion) akan bergerak menuju kutub positif
(anoda), sedangkan molekul-molekul yang bermuatan positif (kation) akan
bergerak menuju kutub negatif (katoda) (Klug and Cummings, 1994).
Elektroforesis digunakan untuk menyediakan informasi mengenai ukuran,
konfirmasi dan muatan dari protein dan asam nukleat. Elektroforesis dalam skala
besar memungkinkan untuk digunakan sebagai metode pemisahan yang dapat
digunakan untuk menentukan komponen dari protein atau asam nukleat setiap
individu (Fairbanks & Andersen, 1999).

15
Elektroforesis gel memisahkan makromolekul berdasaran laju perpindahannya
melewati suatu gel di bawah pengaruh medan listrik. Elektroforesis gel
memisahkan suatu campuran molekul DNA menjadi pita-pita yang masing-
masing terdiri atas molekul DNA dengan panjang yang sama (Campbell dkk,
2002).
Ada tiga jenis gel yang dapat digunakan dalam elektroforesis DNA, yaitu:
1.Gel poliakrilamida denaturasi, berfungsi untuk memurnikan penanda
oligonukleotida dan menganalisis hasil ekstensi primer.
2.Gel alkalin agarosa, berfungsi untuk memisahkan rantai DNA yang
berukuran besar.
3. Gel agarose formaldehid denaturasi, berfungsi untuk menyediakan sistem
elektroforesis yang digunakan untuk fraksi RNA pada ukuran standar. (Davis
dkk. 1994).
Biasanya, gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang lebih
besar (lebih dari 200 bp) dan gel poliakrilamida digunakan untuk fragmen kecil
(kurang dari 200 bp). Jarak antara dua fragmen DNA yang berbeda ukuran dapat
ditentukan berdasarkan konsentrasi matriks agarose. Mobilitas/pergerakan DNA
relatif tergantung pada faktor-faktor tertentu, terutama pada konsentrasi agarosa
dalam gel, kekuatan arus yang digunakan, kekuatan ionik dari larutan buffer, dan
konformasi fragmen DNA itu sendiri. Molekul DNA bermigrasi melalui pori-pori
kecil yang terbentuk dalam padatan gel agarosa. Secara umum, molekul yang
lebih kecil bergerak lebih cepat dan bermigrasi lebih jauh dari molekul kecil
karena memiliki gesekan yang lebih rendah saat bergerak menuju elektroda
positif. Konsentrasi yang rendah pada gel agarosa memberikan resolusi yang lebih
baik untuk fragmen besar, dengan memberikan pemisahan yang lebih besar antara
band yang secara ukuran tidak terlalu jauh berbeda. Konsentrasi gel yang lebih
tinggi, di sisi lain, dapat mengurangi kecepatan migrasi fragmen panjang yang
sementara itu dapat memfasilitasi pemisahan yang lebih baik pada fragmen DNA
kecil (Lee & Bahaman, 2010).
Namun, fragmen yang lebih besar dapat bermigrasi secara lebih cepat daripada
fragmen yang lebih kecil, karena tegangan pada gel yang ditingkatkan. Selain itu,

16
DNA memiliki muatan yang konsisten untuk rasio massa, sehingga ukuran
molekul DNA merupakan faktor utama yang mempengaruhi migrasi melalui
matriks gel. Terlepas dari kenyataan bahwa penerapan tegangan tinggi dapat
meningkatkan kecepatan migrasi fragmen DNA, tetapi juga dapat menurunkan
resolusi pemisahan (di atas sekitar 5 sampai 8 V/cm). Untuk alasan itu, resolusi
terbaik dari fragmen yang lebih besar dari 2 kb dicapai dengan menerapkan tidak
lebih dari 5 V/cm pada gel (Lee & Bahaman, 2010).
Elektroforesis gel memiliki beberapa komponen yang terdiri dari:
1. Comb: digunakan untuk membentuk well pada gel agarose.
2. Tray : digunakan untuk sebagai cetakan gel agarose.
3. Chamber: digunakan sebagai wadah gel agarose.
4. Sumber listrik: digunakan untuk memberi arus saat proses elektroforesis.
(Birren and Lai, 1993).

17
BAB III

DETEKSI PENYAKIT CVPD MENGGUNAKAN TEKNIK PCR DAN


ELEKTROFORESIS GEL AGAROSA PADA TANAMAN JERUK

Untuk mendeteksi adanya penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (


CVPD) yang terdapat pada tanaman jeruk dapat digunakan teknik Polimer Chain
Reaction ( PCR ). PCR merupakan reaksi rantai polimer yang memiliki prinsip
kerja adalah menggandakan segmen DNA tertentu dengan memanfaatkan
enzim sebagai penginisiasi replikasi atau lebih disingkatnya lagi replikasi
DNA (Roche diagnostics 2006).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan
amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat digunakan untuk
mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam
beberapa jam. (Reece 2004).
Komponen – komponen reaction mixture PCR yaitu sampel, DNA
template, primer, DNA polimerase, buffer / dapar, dan dNTPS. Pertama, DNA
template.

Untuk mendeteksi adanya penyakit CVPD pada tanaman jeruk menggunakan


PCR memiliki beberapa cara kerja yaitu:

Isolasi DNA

Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding
sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari
komponen-komponen lain.

Sampel daun jeruk yang sudah


ditumbuk sampai halus

- disuspensi dalam

280 µl buffer PL mix dan


µl proteinase kit (suspensi)

18
280 µl buffer PL mix dan
µl proteinase kit (suspensi)

- diletakkan dalam tabung mikro ( 1,5 ml )


dan diinkubasi pada suhu 65ºc selama 1 jam
- kemudian disentrifugasi pada 12.000 rpm
selama 5 menit dan didapatkan
Supernatan
Supernatan

- dipindahkan pada tabung mikro baru


- kemudian dicampurkan dengan

600 µl Buffer PB Mix

- Diinkubasi pada suhu 65ºc selama 10 menit


- didapatkan

supernatan

- Ditambahkan

200 µl ethanol 95%.

- Dipindahkan

900 µl supernatan

- didalam kolom dan disentrifugasi pada


12.000 rpm selama 1 menit
- ditambahkan dengan

750 µl wash buffer

19
750 µl wash buffer

- dalam kolom
- disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1
menit
- kemudian disuspensi kembali dalam

50 µl elution buffer untuk


mendapatkan pelet DNA

Amplifikasi PCR

Dalam proses amplifikasi ini tujuanya untuk pembesaran atau bisa juga
disebut penyalinan.Analisis PCR untuk mendeteksi keberadaan penyakit
CVPD dilakukan dengan menggunakan primer spesifik dari 16S rDNA. DNA
hasil isolasi diamplifikasikan dengan reaksi PCR sebagai berikut:

20
DNA hasil isolasi diamplifikasi dengan teknik PCR. Dalam tahap amplifikasi
DNA dengan PCR dilakukan beberapa program dimana yaitu: pre-treatmen
pada suhu 92ºc selama 30 detik dengan satu siklus ulangan, bagian kedua
menggunakan 40 siklus ulangan :1) Denaturasi pada suhu 92ºc selama 60
detik, 2) Anneling pada suhu 70ºc selama 3 menit dan , 3) Extention pada
suhu 72ºc selama 90 detik dengan satu siklus ulangan.

Gambar 3.1 Tahapan proses Ampkifikasi pada teknik PCR

Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal.


Tahap denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 – 95oC.
Denaturasi awal dilakukan selama 1 – 3 menit diperlukan untuk meyakinkan
bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Denaturasi yang tidak
berlangsung secara sempurna dapat menyebabkan utas DNA terputus. Tahap
denaturasi yang terlalu lama dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim
polimerase.

Gambar 3.2 tahapan Denaturasi pada suhu 95oC.

21
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan
pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA
yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing
dan primer. Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya
pita elektroforesis yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat
meningkatkan kespesifikan amplifikasi. Kenaikan suhu setelah tahap annealing
hingga mencapai 70–74oC bertujuan untuk mengaktifkan enzim TaqDNA
polimerase. Kelebihan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini tahan
terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan

Gambar 3.3 tahapan Anneling pada suhu 70oC

Proses pemanjangan primer (tahap extension) biasanya dilakukan pada


suhu 72oC, yaitu suhu optimal untuk TaqDNA polimerase. Selain itu, pada masa
peralihan suhu dari suhu annealing ke suhu extension sampai 70 oC juga
menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan tidak spesifik antara DNA cetakan
dengan primer karena ikatan ini bersifat lemah. Selain suhu, semakin lama waktu
extension maka jumlah DNA yang tidak spesifik semakin banyak.

22
Gambar 3.4 tahapan Extention pada suhu 72ºC

Tahap III : Elektroforesis Gel Agarose dan Visualisasi Hasil PCR

Pada tahapan elektroforesis ini dilakukan untuk mengetahui kemiripan DNA


suatu sampel tersebut. Prinsip kerja elektroforesis gel dimulai saat makromolekul
yang bermuatan listrik ditempatkan pada medium berisi tenaga listrik. Molekul-
molekul tersebut akan bermigrasi menuju kutub positif atau kutub negatif
berdasarkan muatan yang terkandung di dalamnya (Magdeldin, 2012). Molekul-
molekul yang bermuatan negatif (anion) akan bergerak menuju kutub positif
(anoda), sedangkan molekul-molekul yang bermuatan positif (kation) akan
bergerak menuju kutub negatif (katoda) (Klug and Cummings, 1994).

Gel agarose yang terdiri dari 1 %


agarose
- dilarutkan dalam

100 ml TAE buffer ( teridiri dari 40 mM tris


asetat pH 7,9:2 mM Sodium EDTA. ) Sampel
DNA ( 8µl DNA + 2 µl loading bye

- masing-masing diisikan pada sumuran gel.


- Elektroforesis silakukan dengan teganggan
100 volt selama ± 20 menit
- Direndam dalam
Larutan EtBr

23
Larutan EtBr

- Selama ± 15 menit
- Hasil elektroforesis divisualisasi dengan
UV transiluminator
- Untuk melihat posisi pita ( band ) DNA
dari tiap sampel kemudian didokumentasi
Diagram
elektroforegram

Berikut hasil elektroforesis dari sampel.

Gambar 3.5 hasil elektroforesis beberapa sampel jeruk

Pada hasil akhir elektroforesis yang berupa eletkroforegram dapat dilihat


bahwasanya sampel yang mengalami garis terang merupakan sampel yang
terserang penyakit CVPD. Namun tidak semua sampel daun jeruk yang bergejala
penyakit CVPD berhasil diamplifikasi, ada beberapa sampel daun jeruk yang
secara visual menunjukkan gejala khas CVPD tetapi pada saat di amplifikasi hasil
visualisai PCR tidak menunjukkan adanya pita DNA, berarti pada sampel tersebut
tidak ditemukan keberadaan bakteri L. Asiaticum. Hal tersebutdidukung oleh
Wirawan, dkk (2003) yang menyatakan bahwa tidak semua daun-daun pada
ranting yang menunjukkan gejala serangan CVPD positif mengandung bakteri L.
asiaticum. Dapat terjadi daun bagian atas positif mengandung bakteri sedangkan
daun bagian bawahnya negatif. Wirawan, dkk (2003) juga menyatakan bahwa

24
penemuan ini menunjukkan bahwa tidak diperlukan adanya patogen pada bagian
daun tanaman untuk memunculkan gejala penyakit atau dengan kata lain patogen
yang berada pada daun tanaman lain dapat menyebabkan munculnya gejala pada
daun disebelahnya atau diatas dan dibagian bawahnya.

25
BAB IV

KESIMPULAN

Untuk mendetaksi adanya penyakit CVPD pada tanaman jeruk dapat dilakukan
dengan teknik PCR dan Elektroforesis Gel agarosa terdapat beberapa cara kerja

Cara kerja I : Pembutan larutan sampel ( isolasi DNA )

Cara kerja II : Amplifikasi tujuanya untuk pembesaran atau bisa juga disebut
penyalinan. Amplifikasi ini bekerja didalam mesin PCR dimana mesin PCR
tersebut dikenal dengan nama Thermal Cycler. Didalam amplifikasi terjadi
beberapa tahap PCR

1. Denaturasi : proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal.


Dimana tahap Denaturasi ini biasanya dilakukan pada kisaran
suhu 92-95ºC.
2. Anneling : proses penempelan primer. Pada tahap Anneling
dilakukan pada suhu 70-74 ºC.
3. Extension : pemanjangan primer. Tahap extension dilakukan pada
suhu 72 ºC.

Cara III : Visualisai dengan menggunakan Elektroforesis Gel Agarosa


Hasil dari isolasi DNA yang telah di Amplifikasi kemudian di Visualisasi dengan
menggunakan Elektroforesis Gel Agarosa dimana untuk mengetahui kemiripan
dari DNA jeruk hasil isolasi dengan DNA sampel jeruk yang terkena CVPD.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia, K. B. 2009. Genetics. Ed ke-2. New Age International Publisher, New


Delhi: ix + 451 hlm.
Birren, B., E. Lai. 1993. Pulsed field ge electrophoresis: a practical guide.
Academic Press, Inc., San Diego.
BPTPH Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2007. Laporan
Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, kalimantan
barat. Laporan Sementara.
Butler, J. M. 2005. Forensic DNA typing: biology, technology, and genetics of
STR markers. Elsevier Academic Press, London: xvii + 659 hlm.
Campbell, N.A., J. B. Reece & L. G. Mitchell. 2002. BIOLOGI. Ed ke-5.
Erlangga. Jakarta.
Da Graca,j.v.1991. Citrus Greening Disease. Annual Review of
Phytopathology.29: 109-136.
Davis, L., M. Kuehl, & J. Battey. 1994. Basic methods: Molecular biology 2nd ed.
Appleton & Lange, Norwola.
Dwiastuti, M.E. 2000. Evalution Ketahanan Varietas Jeruk Terhadap Penyakit
CVPD Isolat Lumajang. J. Hort.
Fairbanks, D.J., W.R. Andersen. 1999. Genetics: The continuity of life.
Brooks/Cole Publishing Company, New York.
Jean, Francois Giot. 2010. Agarose Gel Electrophoresis – Aplications in Clinical
Chemistry. Journal of Medical Biochemistry 2010; 29 (1).
Kalshoven LGE, A Diakonoff. 1961. Obituary Professor Dr. Walter Karl Johann
Roepke 1882-1961. Tijdschrift voor entomologie Vol. 104, AFL.6 : 78-82.
Klug, W.S., M.R. Cummings. 1994. Concept of genetics 4th ed. Merrill Publishing
Co. : Columbus, Ohio.
Lee, S.V., Bahaman, A.R. 2010. Modified gel preparation for distinct DNA
fragment analysis in agarose gel electrophoresis. Tropical Biomedicine
27(2): 351-354 (2010).

27
Magdeldin, Sameh. 2012. Gel Electrophoresis - Principles and Basics. InTech
Publisher : Rijeka, Croatia.
Moller AR. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory
System. Burlington: Elsevier Science, 2006.
Nicholl, D. S. T. 2002. An Introduction to Genetic Engineering. Ed ke-2.
Cambridge University Press, Edinburgh: 306 hlm.
Reece, J. B. 2004. Analysis of genes and genom. John Wiley & Sons Ltd. The
Atrium, Chicester: 492 hlm.
Roche diagnostics GmbH. 2006. PCR application manual. Mannheim, Germany:
340 hlm.
Semangun, H. 1994. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tirtawidjaja, S. 1964. Citrus Vein Phloem Degeneration Virus, penyebab Citrus
Chlorosis di Jawa. Disertasi, Inst. Pert. Bogor.
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan VII.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wijaya, IN. 2003. Diaphorina citri KUW (Homoptera : Psyllidae) : Bioteknologi
dan Peranannya Sebagai Vektor Penyakit CVPD (Citrus Veinj Phloem
Degeneration) Pada Tanaman Jeruk Siam. [Disertasi] Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Wirawan, I.G.P., Sulistyowati, L. dan Wijaya, I. N. 2003. Mekanisme Tingkat
Molekul Infeksi Penyakit CVPD pada Tanaman Jeruk dan Peran Diaphorina
citri Kuw. Sebagai Serangga Vektor. Universitas Udayana. Denpasar.
Lemlit.
Zein, M.S.A. & D.M. Prawiradilaga. 2013. DNA barcode fauna indonesia.
Kencana, Jakarta : 242 hlm.

28

Anda mungkin juga menyukai