PENDAHULUAN
1
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik menulis sebuah makalah
seminar kimia dengan judul “DETEKSI PENYAKIT CVPD ( Citrus Vein
Phloem Degeneration ) DENGAN TEKNIK PCR ( Polimer Chain Reaction )
DAN ELEKTROFORESIS GEL AGAROSA PADA TANAMAN JERUK”
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jeruk merupakan famili Rutaceae, jenis ini hampir selalu berupa semak
atau pohon, dengan daun tunggal atau majemuk yang duduknya tersebar atau
berhadapan, tanpa daun penumpu. Dalam daun dan kulit batang terdapat kelenjar
minyak yang terjadi secara skizolisigen (Tjitrosoepomo, 2002).
Tinggi tanaman jeruk berkisar antara 2-8 m dengan tajuk yang tidak beraturan,
banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun berwarna
hijau mengkilat dan bagian bawahnya hijau muda. Tangkai daun bersayap sangat
sempit sampai boleh dikatakan tidak bersayap, panjang 0,5-1,5 cm. Helaian daun
tanaman jeruk berbentuk bulat telur memanjang, elliptis, atau berbentuk lanset,
dengan ujung tumpul, melekuk ke dalam. Tepi bergerigi beringgit sangat lemah,
panjang 3,5-8 cm (Tjitrosoepomo, 2002). Bunga tanaman jeruk berdiameter 1,5-
2,5 cm. daun mahkota berwarna putih. Buah berbentuk bola. Sedangkan buah
jeruk keprok memiliki panjang 4-7 cm, diameter 5-8 cm, tebal kulit 0,2-0,3 cm.
Kebanyakan daging buah tanaman jeruk berwarna orange, yang diluputi jaringan
seperti reticulatum (Tjitrosoepomo, 2002)
Kingdom : Plantae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
3
Genus : Citrus
Gambar 2.1 Daun dan buah jeruk yang terkena penyakit CVPD
Pada tanaman muda gejala yang nampak yaitu adanya kuncup yang
berkembang lambat, pertumbuhan mencuat ke atas seperti sikat, lebih kecil dan
4
berbecak. Pada tanaman dewasa, gejalanya bervariasi. Pada gejala sektoral,
diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan
tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti,
2000). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun
primer dan sekunder mengeras (vein corking), dan dapat menguning.
Gejala-gejala ini mirip dengan gejala defisien Zn. Apabila gejala tersebut
disebabkan oleh defisiensi Zn dalam tanah, seluruh tanaman didalam kebun yang
sama biasanya akan menunjukkan gejala. Penyebaran gejala yang tidak merata
merupakan indikator yang sangat penting bagi adanya penyakit CVPD. Selama
musim hujan, gejala defisiensi Zn biasanya tidak begitu tampak. Buah pada
cabang-cabang terinfeksi biasanya tidak dapat berkembang normal dan berukuran
kecil, terutama pada bagian yang tidak terkena cahaya matahari. Pada pangkal
buah biasanya muncul warna orange yang berlawanan dengan buah-buah sehat.
Buah-buah yang terserang rasanya masam dan bijinya kempes, tidak berkembang
dan berwarna hitam (Tirtawidjaja, 1964).
Gejala penyakit CVPD juga ada dalam tanaman. Pada irisan melintang
tulang tengah daun jeruk berturut-turut dari luar hingga ketengah daun akan
terlihat jaringan-jaringan epidermis, kolenkim, sklerenkim dan floem. Gejala
dalam pada tanaman jeruk yang terkena CVPD adalah floem tulang daun tanaman
sakit lebih tebal dari floem tulang daun tanaman sehat. Pada floem tulang daun
tanaman sakit terdapat sel-sel berdinding tebal yang merupakan jalur-jalur mulai
dari dekat sklerenkim sampai dekat xilem. Dinding tebal tersebut adalah eberapa
lapis dinding sel yang berdesak-desakan. Didalam berbagai jaringan dalam daun
terjadi pengumpulan secara berlebihan butir- butir halus zat pati (Tirtawidjaja,
1964).
5
2.2.2 Penyebab Penyakit CVPD
6
Gambar 2.2 Bakteri liberobacter. Asiaticum ukuran 300-1000 nm.
7
beraturan pada tanaman (Hung et al, 2000), yang menyebabkan dapat diperoleh
tanaman bebas penyakit dari tanaman terinfeksi (Planck, 1999). Walau secara
terbatas alat-alat pertanian seperti alat inokulasi dan pemangkasan diduga dapat
menularkan penyakit (Semangun, 1994).
D. citri menyerang tangkai, kuncup bunga dan daun, tunas serta daun-daun
muda. Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara perlahan
lahan kemudian mati. Serangan ringan mengakibatkan tunas-tunas muda
mengeriting dan pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi
berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak di atas
daun atau tunas.
D. citri mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa, dan dewasa.
Telur berwarna kuning terang berbentuk seperti buah alpukat, diletakkan secara
tunggal atau berkelompok di kuncup permukaan daun-daun muda, atau
ditancapkan pada tangkai-tangkai daun, setelah 2-3 hari telur menetas menjadi
nimfa. Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok di tunas-tunas dan kuncup
untuk menghisap cairan tanaman. Setelah berumur 2 atau 3 hari, nimfa menyebar
8
dan menyerang daun-daun muda. Nimfa berwana kuning sampai coklat dan
mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa lebih merusak tanaman dari pada kutu
dewasanya. Stadium nimfa berlangsung selama 17 hari. Pada kondisi panas siklus
hidup dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18 hari, sedangkan pada
kondisi dingin berlangsung selama 45 hari. Perkawinan segera berlangsung
setelah kutu menjadi dewasa dan segera bertelur setelah terjadi perkawinan.
Seekor betina mampu meletakkan 800 butir telur selama masa hidupnya. D.citri
mampu menghasilkan 9-10 generasi dalam 1 tahun. Stadium dewasa ditandai oleh
adanya sayap sehingga mudah meloncat apabila terkena sentuhan. Serangga
dewasa berwarna coklat tua, dengan panjang tubuh 2-3 mm. Apabila dalam
keadaan menghisap cairan sel tanaman, D. citri memperlihatkan posisi
menungging. D. citri lebih aktif pada saat tanaman jeruk dalam fase vegetatif.
D.citri dewasa hinggap pada daun tua dan menghisap cairan selnya. Stadium
dewasa ini bisa bertahan hidup selama 80-90 hari (Nurhadi et al., 1986;
Trisnawati, 1998).
9
segmen DNA tertentu dengan memanfaatkan enzim sebagai penginisiasi
replikasi (Roche diagnostics,2006).
10
rendah sehingga memungkinkan terjadinya mispriming. Kandungan GC yang
ideal dalam primer adalah sekitar 50%. Melting temperatur (Tm) adalah
temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu
primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh di dalam pemilihan
suhu annealing proses PCR. Suhu optimalnya berkisar antara 50 0C sampai 60
0
C. Selain itu, juga tidak boleh terjadi self dimmer, pair dimmer, atau hairpin
(Roche diagnostics, 2006).
Ketiga, DNA polimerase. Polimerase DNA merupakan enzim yang
stabil dalam pemanasan. Umumnya digunakan enzim Taq DNA polimerase
(Taq = Thermus aquaticus). Enzim ini tetap stabil mengamplifikasi DNA
walaupun amplifikasi berjalan pada suhu mendekati titik didih air. Polimerase
DNA berfungsi sebagai katalis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses
PCR enzim ini juga diperlukan untuk tahap ekstensi DNA (Nicholl, 2002).
Keempat, buffer / dapar. Fungsi buffer yaitu untuk menjaga
keseimbangan pH medium. Umumnya buffer PCR mengandung senyawa
MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi
aktivitas DNA polimerase. MgCl 2 tersebut juga akan meningkatkan interaksi
primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP
(senyawa antara) (Handoyo & Rudiretna,2000).
Kelima, dNTPS. dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP
(deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin
trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). dNTPs bertindak sebagai building
block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada
gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer
dengan untai DNA template (Kusuma,2010).
11
tidak mengalami renaturasi menjadi molekul DNA heliks ganda asal tetapi
membentuk pola kusut, namun untai yang saling komplemen dapat mengalami
renaturasi secara perlahan-lahan. Sifat ini menjadi dasar teknik hibridisasi asam
nukleat (Moller,2006).
Kedua, annealing. Merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing
primer merupakan tahap yang penting dalam PCR karena jika terdapat sedikit saja
kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir
produk DNA yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu
o
annealing dan primer. Annealing umumnya berlangsung pada suhu 54 C
(Ahluwalia,2002).
Ketiga Extention Setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim
DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari
gabungan antara primer, DNA cetakan, dan nukleotida. Jika dilakukan pengulangan
terhadap ketiga tahapan tersebut, maka untai DNA yang baru dibentuk akan kembali
mengalami proses denaturasi, penempelan, dan pemanjangan untai DNA menjadi
untai DNA yang baru. Pengulangan proses PCR akan menghasilkan amplifikasi
DNA cetakan baru secara eksponensial (Willet,2006).
Secara umum suhu annealing yang digunakan yaitu 54 0C. Pemilihan suhu
annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk proses PCR. Suhu
annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm – 5) 0C sampai dengan
(Tm + 5) 0C. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus
[2(A+T) + 4(C+G)] (Handoyo & Rudretna,2000).
12
Setelah semua siklus selesai dibuat, mesin thermal cycler dikembalikan ke
tampilan layar awal dengan menekan tombol [HOME]. Kemudian dipilih
[CREATE] dan [METH] untuk menggabungkan siklus-siklus yang telah dibuat.
Setelah digabungkan, program disimpan [STORE] lalu ditekan tombol [ENTER].
Jika ingin memeriksa kembali program yang sudah dibuat dapat dipilih [EDIT]. Jika
semua sudah selesai dan siap, maka dipilih [RUN] untuk memulai siklus PCR. Hasil
PCR dapat divisualisasikan dengan menggunakan teknik elektroforesis.
Thermal Cycler merupakan suatu alat yang dapat mengatur suhu sesuai
dengan urutan dan waktu yang diinginkan. Saat melakukan metode PCR harus
dilakukan kontrol positif yang diperlukan untuk mengetahui reaksi PCR berjalan
baik atau tidak. Selain itu, juga harus dilakukan kontrol negatif untuk mencegah
kontaminasi pada PCR (Handoyo & Rudiretna,2000). Teknik PCR memiliki
beberapa kelebihan, yaitu reaksi sangat spesifik dan akurat, mudah dilakukan secara
otomatis dan waktu relatif lebih cepat dari teknik lain. Kekurangan dari PCR adalah
biaya relatif mahal, rentan terkontaminasi, dan tidak dapat mengekspresikan mutasi
(Butler,2005). Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam
kebutuhan, diantaranya: Isolasi DNA, DNA sequencing, forensik, dan dia gnose
penyakit (Zein,2013).
13
2.3.5 Kegunaan PCR
Kelebihan
Kelemahan
14
2.4 Elektroforesis Gel Agarosa
15
Elektroforesis gel memisahkan makromolekul berdasaran laju perpindahannya
melewati suatu gel di bawah pengaruh medan listrik. Elektroforesis gel
memisahkan suatu campuran molekul DNA menjadi pita-pita yang masing-
masing terdiri atas molekul DNA dengan panjang yang sama (Campbell dkk,
2002).
Ada tiga jenis gel yang dapat digunakan dalam elektroforesis DNA, yaitu:
1.Gel poliakrilamida denaturasi, berfungsi untuk memurnikan penanda
oligonukleotida dan menganalisis hasil ekstensi primer.
2.Gel alkalin agarosa, berfungsi untuk memisahkan rantai DNA yang
berukuran besar.
3. Gel agarose formaldehid denaturasi, berfungsi untuk menyediakan sistem
elektroforesis yang digunakan untuk fraksi RNA pada ukuran standar. (Davis
dkk. 1994).
Biasanya, gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang lebih
besar (lebih dari 200 bp) dan gel poliakrilamida digunakan untuk fragmen kecil
(kurang dari 200 bp). Jarak antara dua fragmen DNA yang berbeda ukuran dapat
ditentukan berdasarkan konsentrasi matriks agarose. Mobilitas/pergerakan DNA
relatif tergantung pada faktor-faktor tertentu, terutama pada konsentrasi agarosa
dalam gel, kekuatan arus yang digunakan, kekuatan ionik dari larutan buffer, dan
konformasi fragmen DNA itu sendiri. Molekul DNA bermigrasi melalui pori-pori
kecil yang terbentuk dalam padatan gel agarosa. Secara umum, molekul yang
lebih kecil bergerak lebih cepat dan bermigrasi lebih jauh dari molekul kecil
karena memiliki gesekan yang lebih rendah saat bergerak menuju elektroda
positif. Konsentrasi yang rendah pada gel agarosa memberikan resolusi yang lebih
baik untuk fragmen besar, dengan memberikan pemisahan yang lebih besar antara
band yang secara ukuran tidak terlalu jauh berbeda. Konsentrasi gel yang lebih
tinggi, di sisi lain, dapat mengurangi kecepatan migrasi fragmen panjang yang
sementara itu dapat memfasilitasi pemisahan yang lebih baik pada fragmen DNA
kecil (Lee & Bahaman, 2010).
Namun, fragmen yang lebih besar dapat bermigrasi secara lebih cepat daripada
fragmen yang lebih kecil, karena tegangan pada gel yang ditingkatkan. Selain itu,
16
DNA memiliki muatan yang konsisten untuk rasio massa, sehingga ukuran
molekul DNA merupakan faktor utama yang mempengaruhi migrasi melalui
matriks gel. Terlepas dari kenyataan bahwa penerapan tegangan tinggi dapat
meningkatkan kecepatan migrasi fragmen DNA, tetapi juga dapat menurunkan
resolusi pemisahan (di atas sekitar 5 sampai 8 V/cm). Untuk alasan itu, resolusi
terbaik dari fragmen yang lebih besar dari 2 kb dicapai dengan menerapkan tidak
lebih dari 5 V/cm pada gel (Lee & Bahaman, 2010).
Elektroforesis gel memiliki beberapa komponen yang terdiri dari:
1. Comb: digunakan untuk membentuk well pada gel agarose.
2. Tray : digunakan untuk sebagai cetakan gel agarose.
3. Chamber: digunakan sebagai wadah gel agarose.
4. Sumber listrik: digunakan untuk memberi arus saat proses elektroforesis.
(Birren and Lai, 1993).
17
BAB III
Isolasi DNA
Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding
sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom / DNA plasmid dari
komponen-komponen lain.
- disuspensi dalam
18
280 µl buffer PL mix dan
µl proteinase kit (suspensi)
supernatan
- Ditambahkan
- Dipindahkan
900 µl supernatan
19
750 µl wash buffer
- dalam kolom
- disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1
menit
- kemudian disuspensi kembali dalam
Amplifikasi PCR
Dalam proses amplifikasi ini tujuanya untuk pembesaran atau bisa juga
disebut penyalinan.Analisis PCR untuk mendeteksi keberadaan penyakit
CVPD dilakukan dengan menggunakan primer spesifik dari 16S rDNA. DNA
hasil isolasi diamplifikasikan dengan reaksi PCR sebagai berikut:
20
DNA hasil isolasi diamplifikasi dengan teknik PCR. Dalam tahap amplifikasi
DNA dengan PCR dilakukan beberapa program dimana yaitu: pre-treatmen
pada suhu 92ºc selama 30 detik dengan satu siklus ulangan, bagian kedua
menggunakan 40 siklus ulangan :1) Denaturasi pada suhu 92ºc selama 60
detik, 2) Anneling pada suhu 70ºc selama 3 menit dan , 3) Extention pada
suhu 72ºc selama 90 detik dengan satu siklus ulangan.
21
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan
pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA
yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing
dan primer. Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya
pita elektroforesis yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat
meningkatkan kespesifikan amplifikasi. Kenaikan suhu setelah tahap annealing
hingga mencapai 70–74oC bertujuan untuk mengaktifkan enzim TaqDNA
polimerase. Kelebihan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini tahan
terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan
22
Gambar 3.4 tahapan Extention pada suhu 72ºC
23
Larutan EtBr
- Selama ± 15 menit
- Hasil elektroforesis divisualisasi dengan
UV transiluminator
- Untuk melihat posisi pita ( band ) DNA
dari tiap sampel kemudian didokumentasi
Diagram
elektroforegram
24
penemuan ini menunjukkan bahwa tidak diperlukan adanya patogen pada bagian
daun tanaman untuk memunculkan gejala penyakit atau dengan kata lain patogen
yang berada pada daun tanaman lain dapat menyebabkan munculnya gejala pada
daun disebelahnya atau diatas dan dibagian bawahnya.
25
BAB IV
KESIMPULAN
Untuk mendetaksi adanya penyakit CVPD pada tanaman jeruk dapat dilakukan
dengan teknik PCR dan Elektroforesis Gel agarosa terdapat beberapa cara kerja
Cara kerja II : Amplifikasi tujuanya untuk pembesaran atau bisa juga disebut
penyalinan. Amplifikasi ini bekerja didalam mesin PCR dimana mesin PCR
tersebut dikenal dengan nama Thermal Cycler. Didalam amplifikasi terjadi
beberapa tahap PCR
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Magdeldin, Sameh. 2012. Gel Electrophoresis - Principles and Basics. InTech
Publisher : Rijeka, Croatia.
Moller AR. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory
System. Burlington: Elsevier Science, 2006.
Nicholl, D. S. T. 2002. An Introduction to Genetic Engineering. Ed ke-2.
Cambridge University Press, Edinburgh: 306 hlm.
Reece, J. B. 2004. Analysis of genes and genom. John Wiley & Sons Ltd. The
Atrium, Chicester: 492 hlm.
Roche diagnostics GmbH. 2006. PCR application manual. Mannheim, Germany:
340 hlm.
Semangun, H. 1994. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tirtawidjaja, S. 1964. Citrus Vein Phloem Degeneration Virus, penyebab Citrus
Chlorosis di Jawa. Disertasi, Inst. Pert. Bogor.
Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan VII.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wijaya, IN. 2003. Diaphorina citri KUW (Homoptera : Psyllidae) : Bioteknologi
dan Peranannya Sebagai Vektor Penyakit CVPD (Citrus Veinj Phloem
Degeneration) Pada Tanaman Jeruk Siam. [Disertasi] Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Wirawan, I.G.P., Sulistyowati, L. dan Wijaya, I. N. 2003. Mekanisme Tingkat
Molekul Infeksi Penyakit CVPD pada Tanaman Jeruk dan Peran Diaphorina
citri Kuw. Sebagai Serangga Vektor. Universitas Udayana. Denpasar.
Lemlit.
Zein, M.S.A. & D.M. Prawiradilaga. 2013. DNA barcode fauna indonesia.
Kencana, Jakarta : 242 hlm.
28