Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK EKOLOGI (BI3102)

ANALISIS EKOSISTEM TERESTRIAL: ANALISIS VEGETASI SERTA


PENCUPLIKAN BIOTA TANAH

Disusun oleh:
Hasna Firdaus Aryantha
10619076
Kelompok 11

Asisten:
Kanda Damianputra
10618067

Tanggal Praktikum: 7 September 2021


Tanggal Pengumpulan: 13 September 2021

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
BAB I: PENELITIAN MANDIRI
1.1 Tujuan

Tujuan dari dilaksanakannya praktikum mandiri ini meliputi:

1. Menentukan jenis serta keanekaragaman vegetasi pada lahan di Jalan Dago Pakar Barat,
Cidadap, Jawa Barat.
2. Menentukan jenis serta keanekaragaman Arthropoda tanah pada lahan di Jalan Dago
Pakar Barat, Cidadap, Jawa Barat.

1.2 Lokasi Pengambilan Data

Penelitian mandiri ini melibatkan pengambilan data mikroklimat, data pencuplikan vegetasi,
serta data pencuplikan Arthropoda tanah pada lokasi lahan yang terdapat pada Jalan Dago
Pakar Barat, Cidadap, Jawa Barat. Lokasi pengambilan data ini memiliki titik koordinat
6°51'35.99"S; 107°37'45.85"E, dengan elevasi 942 m. Suhu pada lokasi ini saat waktu
pengamatan memiliki nilai sekitar 27°C. Kelembapan relatif pada waktu pengamatan memiliki
nilai sekitar 65%. Rona lingkungan saat itu cerah, dengan penyinaran matahari yang cukup.

Gambar 1.1 Plot sekitar 5x5m, digambarkan dengan kotak merah, pada Jalan Dago Pakar Barat. (Gambar
diperoleh dari aplikasi Google Earth Pro)
Gambar 1.2 Daerah pembuatan plot.

1.2.1 Metode Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan pada lokasi yang telah dideskripsikan yaitu pada lahan di dekat
fasilitas PLTA pada Jalan Dago Pakar Barat, Cidadap, Jawa Barat. Lokasi plot untuk analisis
vegetasi direkam menggunakan aplikasi Trails, kemudian file ini di-export dan diakses
menggunakan aplikasi Google Earth untuk mendapatkan titik koordinat serta elevasi yang tepat.
Pengukuran data mikroklimat yang meliputi suhu dan kelembapan relatif dilakukan
menggunakan aplikasi Weather yang terdapat pada iOS.

Pencuplikan biota tanah berupa Arthropoda dilakukan dengan memasang pitfall trap pada
lokasi yang ingin dianalisis. Pitfall trap terbuat dari gelas plastik yang diisi oleh larutan
deterjen. Deterjen berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan (Rezić, 2011) sehingga
serangga yang jatuh akan langsung tenggelam dan mati. Pitfall trap dilindungi dari air hujan
maupun gangguan lainnya oleh infraboard yang disangga oleh sumpit. Tiga buah pitfall trap
dipasang dengan susunan yang membentuk segitiga, dengan jarak antar masing-masing pitfall
trap sekitar 30 – 50 cm. Pitfall trap kemudian dibiarkan selama 24 jam. Sampel Arthropoda
tanah yang diperoleh kemudian diambil, dibersihkan, diawetkan menggunakan ethanol 96%,
kemudian diidentifikasi lebih lanjut.
Gambar 1.3 Konfigurasi pemasangan pitfall trap.

Analisis vegetasi dilakukan pada plot yang disusun dengan metode nested plot. Plot
keseluruhan merupakan plot besar berukuran sekitar 5x5 m; dengan dua subplot yang
berukuran sekitar 3x3 m serta 1x1 m. Susunan plot ini dibuat dengan pertimbangan bahwa
vegetasi yang terdapat pada lokasi mayoritas memiliki bentuk hidup herba. Plot keseluruhan
yang berukuran 5x5 m ditentukan dengan menyesuaikan spesies herba yang banyak terdapat
pada lokasi yaitu tanaman pisang. Meskipun memiliki bentuk hidup herba, tanaman pisang
memiliki ukuran yang cukup signifikan sehingga plot 3x3 atau 1x1 m saja dinilai kurang
representatif terhadap keberagaman vegetasi pada lokasi. Parameter yang diukur pada
pengambilan data untuk analisis vegetasi meliputi DBH (cm), LAB (m2), dan kerimbunan (%).

1.2.2 Hasil Pengamatan


1.2.2.1 Analisis Vegetasi
Data untuk analisis vegetasi disajikan dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.
Tabel 1.1 Data Analisis Vegetasi Herba Bagian 1

Plot 5x5 – Herba (1)


Spesies Jumlah DBH (cm) LAB (m2) Foto
Musa sp. 4 46,4 0,169
(Tanaman
pisang)

32 0,08
19,1 0,029

16 0,02

Tabel 1.2 Data Analisis Vegetasi Perdu

Plot 3x3 – Perdu


Spesies Kerimbunan (%) Foto
Mimosa pudica (Putri malu) 37,5
Tabel 1.3 Data Analisis Vegetasi Herba Bagian 2

Plot 1x1 – Herba (2)


Spesies Kerimbunan (%) Foto
Ageratum houstonianum 15
(Bluemink)

Euphorbia heterophylla 15
(Patikan kebo, milkweed)

Lespedeza sp. 37,5


1.2.2.2 Pencuplikan Arthropoda Tanah
Data hasil pencuplikan Arthropoda tanah disajikan dalam Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Data Pencuplikan Arthropoda Tanah

Famili Jumlah Foto Deskripsi


Individu
Formicidae 1 17 Ukuran relatif kecil
(< 1 mm),
berwarna merah
kecokelatan muda,
tubuh bersegmen
tiga, berkaki enam.
Formicidae 2 (Genus 38 Berukuran ± 0,58
Solenopsis) cm, berwarna
hitam, tubuh
bersegmen tiga,
berkaki enam—
kaki bersegmen,
antena bersegmen,
mandibula kecil
dan tidak
mencolok.
Formicidae 3 (Genus 1 Berukuran ± 1 cm,
Odontomachus) memiliki bentuk
kepala yang khas
serta struktur
mandibula yang
mencolok—trap-
jaws, berkaki enam
dengan kaki
bersegmen dan
tubuh bersegmen
tiga, ujung
abdomen memiliki
stinger.
Formicidae 4 2 Berukuran ± 1 cm,
berwarna hitam,
tubuh bersegmen
tiga, berkaki
enam— kaki
bersegmen, antena
bersegmen,
mandibula tebal
dan mencolok,
namun pendek.
Pada ujung
abdomen, terdapat
stinger.
Formicidae 5 2 Berukuran ± 1 cm,
(Anoplolepis berwarna cokelat
gracilipes) kemerahan dengan
abdomen yang
berwarna gelap,
tubuh bersegmen
tiga, berkaki
enam— kaki
bersegmen, antena
bersegmen,
mandibula kecil
dan tidak
mencolok.
Acrididae 1 Berukuran ± 4,65
cm, tubuh
bersegmen tiga
dan berwarna
cokelat, antena
pendek, memiliki
kaki lompat.
Gryllidae 6 Ukuran berkisar
dari ± 1,25 cm
hingga ± 3,5 cm,
tubuh bersegmen
tiga, pada
beberapa spesimen
teramati memiliki
ovipositor.
Lycosidae 3 Berukuran ± 0,2
cm, berkaki
delapan, memiliki
pola warna pada
kaki serta bagian
dorsalnya.

Blattidae 1 Berukuran ± 0,2


cm, berwarna
hitam kecokelatan
gelap, bentuk
tubuh oval dan
rata.
Gambar 1.4 Arthropoda tanah yang terjebak pada pitfall trap ke-1.

Gambar 1.5 Arthropoda tanah yang terjebak pada pitfall trap ke-2.

Gambar 1.6 Arthropoda tanah yang terjebak pada pitfall trap ke-3.
Dari hasil analisis vegetasi serta pencuplikan Arthropoda tanah, dapat disimpulkan bahwa
lahan pada lokasi yang spesifik ini dapat menunjang kehidupan berbagai jenis vegetasi, secara
predominan herba—terutama tanaman pisang (Musa sp.); dan juga dapat menunjang
kehidupan berbagai famili Arthropoda tanah, mulai dari spesies dari famili Formicidae,
Acrididae, Lycopsidae, dan lain-lain.
BAB II: DATA LAPORAN ANALISIS EKOSISTEM TERESTRIAL
2.1 Hasil dan Pembahasan
Data laporan analisis ekosistem terestrial yang akan dibahas meliputi data mikroklimat, data
analisis vegetasi, serta data pencuplikan biota tanah berupa Arthropoda dan Annelida atau
cacing tanah. Lokasi pengambilan data terbagi menjadi dua jenis lahan yaitu hutan campuran
serta hutan pinus. Terdapat total 7 plot yang menjadi lokasi pengambilan data. Pada lahan hutan
campuran, terdapat total 4 plot yang diamati; sedangkan pada hutan pinus, terdapat total 3 plot.
Pada setiap plot, pengukuran parameter mikroklimat dilakukan sebanyak tiga kali. Lokasi plot
untuk pengambilan data tergambarkan dalam peta pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta yang menunjukkan semua lokasi pengambilan data. Gambar diperoleh dari Aplikasi
Google Earth.

2.1.1 Data Mikroklimat dan Edafik


Mikroklimat dapat didefinisikan sebagai kondisi iklim yang diukur pada daerah yang
terlokalisasi pada permukaan bumi (Naiman et al., 2005). Dalam melakukan analisis ekosistem
terestrial secara menyeluruh, penting untuk tetap memperhatikan kondisi serta parameter-
parameter mikroklimat; seperti cahaya, suhu, kelembapan, kecepatan angin, serta tekanan
udara. Hal ini penting karena mikroklimat dari suatu lokasi berpengaruh secara signifikan
terhadap berbagai hal, seperti variasi biodiversitas serta jenis vegetasi dari suatu lokasi.
Sementara itu, parameter edafik mengacu pada parameter yang menggambarkan keadaan
tanah; seperti suhu tanah, pH tanah, dan kelembapan tanah. Parameter edafik juga penting
untuk diperhatikan dalam mengonduksi analisis ekosistem terestrial secara menyeluruh; karena
profil tanah pada suatu lokasi sangat berpengaruh terhadap persebaran dan serta kelimpahan
organisme pada lokasi yang bersangkutan. Profil tanah yang cocok dibutuhkan bagi organisme,
seperti misalnya tumbuhan dan Arthropoda tanah, untuk mampu berkembang dan
memperbanyak diri pada suatu lokasi tertentu.

Rangkuman dari data mikroklimat disajikan dalam Tabel 2.1. Rangkuman data ini
divisualisasikan dalam grafik pada Gambar 2.2 hingga Gambar 2.8.

Tabel 2.1 Rerata parameter mikroklimat dalam berbagai plot kelompok di hutan campuran dan hutan pinus.
Tipe lahan Kelompok Average of Suhu udara (°C) Average of Kelembaban Rf udara (%) Average of Intensitas cahaya (Lux) Average of pH tanah Average of Kelembaban tanah (%) Average of Suhu tanah (°C)
Hutan Campuran 6 22,78 67,33333333 576,3333333 7,1 33,33333333 20,92666667
7 22,54 71 1029 6,8 66,66666667 21,47333333
8 23,68 83,33333333 651,5 6,2 81 21,67
9 22,93333333 36 4953,666667 6,933333333 62,5 21,83333333
Hutan Campuran Total 22,98333333 64,41666667 1802,625 6,758333333 60,875 21,47583333
Hutan Pinus 3 23,6 76 543 6,6 54 21,3
4 24,73333333 81,33333333 33533,33333 6,766666667 48,33333333 22,23333333
5 21,66666667 68,66666667 588 6,733333333 46,66666667 20,73333333
Hutan Pinus Total 23,33333333 75,33333333 11554,77778 6,7 49,66666667 21,42222222

Suhu Rerata pada Lahan Hutan Campuran dan


Hutan Pinus (°C)
26

25

24

23
Total
22

21

20

19
Hutan Campuran Hutan Pinus

Gambar 2.2 Grafik suhu rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.

Kelembapan Relatif Rerata pada Lahan Hutan


Campuran dan Hutan Pinus (%)
90
80
70
60
50
40 Total
30
20
10
0
Hutan Campuran Hutan Pinus

Gambar 2.3 Grafik kelembapan relatif rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Intensitas Cahaya Rerata pada Lahan Hutan
Campuran dan Hutan Pinus (lux)
35000
30000
25000
20000
15000
Total
10000
5000
0
Hutan Campuran Hutan Pinus
-5000
-10000

Gambar 2.4 Grafik intensitas cahaya rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.

pH Tanah Rerata pada Lahan Hutan Campuran


dan Hutan Pinus
7,2

6,8

6,6

6,4 Total

6,2

5,8
Hutan Campuran Hutan Pinus

Gambar 2.5 Grafik pH tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.

Kelembapan Tanah Rerata pada Lahan Hutan


Campuran dan Hutan Pinus
90
80
70
60
50
40 Total
30
20
10
0
Hutan Campuran Hutan Pinus

Gambar 2.6 Grafik kelembapan tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Suhu Tanah Rerata pada Lahan Hutan Campuran
dan Hutan Pinus
23
22,5
22
21,5
21
Total
20,5
20
19,5
19
Hutan Campuran Hutan Pinus

Gambar 2.7 Grafik suhu tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.

Hutan pinus memiliki suhu rerata yang lebih tinggi dibandingkan hutan campuran, dengan
selisih sekitar 0,35°C. Perbedaan suhu rerata ini cenderung rendah. Sementara itu, kelembapan
relatif rerata pada lahan hutan pinus juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hutan campuran, dengan selisih sekitar 10,92%. Salah satu faktor yang berpengaruh secara
signifikan terhadap kelembapan relatif suatu lokasi merupakan suhu lokasi tersebut (Liu et al.,
2018). Semakin tinggi suhu suatu lokasi, semakin tinggi pula kapasitas udara untuk
menampung molekul air, maka semakin rendah kelembapan relatif dari lokasi tersebut—
dengan kata lain, suhu dan kelembapan relatif memiliki hubungan yang berbanding terbalik.
Namun, hal ini tidak sejalan dengan data rerata suhu dan kelembapan relatif rerata dari kedua
jenis lahan. Maka, perbedaan dalam kelembapan relatif ini dapat diatribusikan ke suatu faktor
lain, seperti misalnya vegetasi yang terdapat pada kedua lokasi.

Meninjau parameter intensitas cahaya, hutan campuran memiliki rerata intensitas cahaya yang
lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan hutan pinus, dengan selisih sekitar
9752,15 lux. Perlu dipertimbangkan pula variabilitas dari data intensitas cahaya ini—data yang
diperoleh dari lahan hutan pinus memiliki variabilitas yang lebih tinggi, ditunjukkan dengan
nilai koefisien variansi (CV) yang bernilai 1,91937156; dibandingkan dengan data yang
diperoleh dari lahan hutan campuran yang memiliki nilai koefisien variansi 1,5012493. Data
dari kedua jenis lahan memiliki variabilitas yang cukup tinggi (CV > 1). Hal ini menandakan
bahwa data intensitas cahaya yang diperoleh dari masing-masing jenis lahan cenderung tidak
seragam/tidak uniform. Namun, secara umum, perbedaan nilai intensitas cahaya rerata ini dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan yang signifikan antara tutupan kanopi dari kedua jenis lahan.
Burgess et al. menyatakan bahwa terdapat hubungan antara arsitektur kanopi dengan distribusi
cahaya dari suatu lokasi hutan; dan distribusi cahaya dengan intensitas yang beragam ini juga
akan berpengaruh terhadap respon organisme di lokasi yang bersangkutan. Data kualitatif
berupa deskripsi rona dari kedua jenis lahan dapat memberikan kesimpulan yang beragam,
namun, secara umum, vegetasi pada lahan hutan campuran lebih beragam dibandingkan
dengan hutan pinus yang homogen serta didominasi oleh pohon pinus yang berdaun duri
(Shereen et al., 2016) sehingga dapat menyediakan tutupan kanopi yang lebih luas. Hal ini
dapat dibuktikan lebih lanjut pada analisis vegetasi.

Gambar 2.5, Gambar 2.6, serta Gambar 2.7 menunjukkan perbandingan beberapa parameter
tanah seperti pH tanah, kelembapan tanah, serta suhu tanah dari kedua jenis lahan. Gambar 2.5
menunjukkan bahwa pH tanah rerata pada kedua lahan memiliki nilai yang sangat dekat yaitu
6,758 untuk lahan hutan campuran serta 6,7 untuk lahan hutan pinus. Selain itu, Gambar 2.7
menunjukkan bahwa suhu tanah rerata pada kedua lahan juga memiliki nilai yang sangat dekat
yaitu 21,476°C untuk lahan hutan campuran dan 21,42°C untuk lahan hutan pinus. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam kondisi tanah kedua
jenis lahan jika ditinjau dari parameter-parameter berikut. Namun, Gambar 2.6 menunjukkan
bahwa kelembapan tanah pada lahan hutan campuran memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan hutan pinus. Hal ini mungkin berkaitan dengan vegetasi dan biota
tanah pada kedua jenis lahan.

2.1.2 Analisis Vegetasi


Vegetasi merupakan sebutan umum bagi tumbuhan pada suatu daerah. Vegetasi dapat mengacu
pada tutupan tanah yang disediakan oleh tumbuhan, dan merupakan salah satu elemen biotik
yang paling berlimpah pada biosfer. Analisis vegetasi bertujuan untuk memetakan dan melihat
vegetasi yang umum tersebar pada suatu lokasi, dan dapat dilakukan dengan membuat daerah
sampel atau plot dengan memerhatikan bentuk hidup dari vegetasi yang menjadi subjek analisis.
Jika pencuplikan vegetasi dilakukan pada komunitas hutan dengan stratifikasi yang kompleks,
pembuatan plot yang umum dilakukan merupakan nested plot atau plot bertingkat dengan
ketentuan luas plot yang mengurut dari terluas ke terkecil untuk vegetasi dalam bentuk: pohon,
tiang, pancang dan perdu, lalu herba dan semai. Namun, dalam menentukan ukuran tiap plot,
tetap perlu memperhatikan ukuran dari vegetasi subjek analisis secara umum untuk mencegah
misinterpretasi dalam inferensi data. Desain plot bertingkat ini disukai karena meningkatkan
efisiensi dalam pengukuran parameter analisis vegetasi (Lin et al., 2020).
Parameter yang umum digunakan dalam analisis vegetasi meliputi kerimbunan jenis (Kb) dan
relatif (Kbr), kerapatan jenis (Kr) dan relatif (Krr), serta frekuensi jenis (F) dan relatif (Fr).
Keenam parameter ini dapat kemudian digunakan untuk menghitung indeks keberagaman
berupa Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Dominansi Simpson (D)
dari suatu lokasi atau daerah yang dianalisis; serta Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-
masing spesies tumbuhan yang ditemukan. Keberagaman, atau diversitas, serta dominansi
termasuk ke dalam karakteristik penting dalam mendeskripsikan suatu komunitas (Thukral et
al., 2019). Penggunaan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Dominansi
Simpson (D) dapat membantu evaluasi dari fitur-fitur biologis dan ekologis dari lingkungan
yang menjadi objek fokus dengan sudut pandang struktur komunitas. Perubahan dalam
diversitas habitat yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti polutan, dapat dinilai dengan
melihat kedua indeks ini. Sebagai gambaran; keadaan lingkungan secara alami
mempromosikan diversitas; sementara eutrofikasi mempromosikan dominansi dari spesies
tertentu (Thukral et al., 2019). Maka dari itu, penting untuk memperhatikan kedua hal tersebut
dalam mengonduksikan analisis vegetasi.

Perhitungan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) serta Indeks Dominansi Simpson


(D) dapat menggambarkan keanekaragaman, atau sebaliknya—dominansi spesies tertentu, dari
suatu lokasi. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener umumnya menggambarkan
kemerataan relatif terhadap kekayaan spesies (Strong, 2016) dan dapat dihitung dengan
mengalikan proporsi suatu spesies pada suatu lokasi terhadap spesies total di lokasi tersebut
dengan nilai logaritma natural (ln) dari proporsi ini sendiri. Sementara itu, Indeks Dominansi
Simpson pada dasarnya mengindikasikan probabilitas dari kejadian di mana dua individu yang
dipilih secara acak berasosiasi dengan spesies yang sama (Thukral et al., 2019), dan dapat
dihitung dengan menguadratkan nilai proporsi suatu spesies pada suatu lokasi terhadap spesies
total di lokasi tersebut.

Rangkuman data analisis vegetasi pada hutan campuran terdapat pada Tabel 2.2, Tabel 2.3,
Tabel 2.4, Tabel 2.5, serta Tabel 2.6.

Tabel 2.2 Data Analisis Vegetasi Pohon pada Hutan Campuran


Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr (%) F Fr (%) LAB (cm^2) LABr (%) INP H' D
Khaya anthotheca 9 0,005625 75 2,25 75 42196,2455 95,992981 245,992981
Styrax benzoin 3 0,001875 25 0,75 25 1761,39085 4,00701902 54,007019 0,5623 0,625
Grand total 12 0,0075 100 3 100 43957,6364 100 300
Tabel 2.3 Data Analisis Vegetasi Tiang pada Hutan Campuran
Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr(%) F Fr(%) LAB (cm^2) LABr INP H' D
Khaya anthotheca 2 0,005 40 0,5 40 352,53565 48,8498333 128,849833
Sterculia urceolata 3 0,0075 60 0,75 60 369,136516 51,1501667 171,150167 0,673 0,52
Grand total 5 0,0125 100 1,25 100 721,672166 100 300

Tabel 2.4 Data Analisis Vegetasi Pancang pada Hutan Campuran


Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr (%) F Fr (%) Kb (%) Kbr (%) INP H' D
Delonix regia 1 0,01 25 0,25 25 62,5 59,524 109,52
Khaya anthotheca 2 0,02 50 0,5 50 40 38,095 138,1
1,0397 0,375
Sterculia urceolata 1 0,01 25 0,25 25 2,5 2,381 52,381
Grand total 4 0,04 100 1 100 105 100 300

Tabel 2.5 Data Analisis Vegetasi Herba pada Hutan Campuran


Nama Spesies Jumlah Individu Kb (%) Kbr (%) F Fr (%) INP
Zingiber officinale 3 32,5 100 0,375 100 200
Grand Total 3 32,5 100 0,375 100 200

Tabel 2.6 Data Analisis Vegetasi Semai pada Hutan Campuran


Nama Spesies Jumlah Individu Kb (%) Kbr (%) F Fr (%) INP
Artocarpus reticulatus 2 5 20 0,4 40 60
Toona sureni 3 20 80 0,6 60 140
Grand Total 5 25 100 1 100 200

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi pohon pada hutan
campuran bernilai 0,5623; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson sebesar 0,625. Nilai Indeks
Dominansi Simpson yang lebih besar dari 0,6 (D > 0,6) menunjukkan bahwa terdapat
dominansi spesies tertentu yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan nilai INP spesies pohon
Khaya anthotheca yang bernilai 245,99—jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai INP
spesies pohon lainnya yang terdapat pada lokasi yang bersangkutan yakni Styrax benzoin
dengan nilai INP 54,007.

Sementara itu, Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi
tiang pada hutan campuran bernilai sekitar 0,673; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson
sebesar 0,52. Nilai Indeks Dominansi Simpson yang jatuh pada rentang antara 0,4 dan 0,6 (0,4
< D < 0,6) tergolong sedang—hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat dominansi spesies
tertentu yang signifikan. Hal ini juga didukung oleh perbandingan nilai INP dari kedua spesies
dengan bentuk hidup tiang yaitu 128,85 untuk Khaya anthotheca serta 171,15 untuk Sterculia
urceolata. Sterculia urceolata memiliki INP yang lebih tinggi, namun dengan selisih yang
cukup sedang dengan nilai INP Khaya anthotheca.
Kasus dominansi rendah ditunjukkan oleh data vegetasi dengan bentuk hidup pancang pada
hutan campuran. Dalam kasus ini, diperoleh nilai H’ sebesar 1,0397 serta nilai D sebesar 0,375.
Nilai D < 0,4 menunjukkan dominansi spesies tertentu yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan
nilai INP ketiga spesies yang tidak menunjukkan ketimpangan yang signifikan yaitu 109,52
untuk Delonix regia; 138,1 untuk Khaya anthotheca; serta 52,38 untuk Sterculia urceolata.

Komunitas herba pada hutan campuran hanya terdiri dari satu spesies yakni Zingiber officinale,
ditunjukkan dengan nilai INP 200. Sementara itu, komunitas vegetasi dengan bentuk hidup
semai pada hutan campuran terdiri dari dua spesies yakni Artocarpus reticulatus dan Toona
sureni. Komunitas vegetasi semai pada hutan campuran lebih banyak dihuni oleh Toona sureni.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai INP Toona sureni (INP = 140) yang lebih besar dibandingkan
dengan nilai INP Artocarpus reticulatus (INP = 60).

Rangkuman data analisis vegetasi pada hutan campuran terdapat pada Tabel 2.7, Tabel 2.8,
Tabel 2.9, serta Tabel 2.10.

Tabel 2.7 Data Analisis Vegetasi Pohon pada Hutan Pinus


Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr(%) F Fr(%) LAB (cm^2) LABr (%) INP H' D
Khaya anthotheca 1 0,000833333 7,14285714 0,333 7,14285714 4229,2346 8,26073919 22,5464535
Palaquium obtusifolium 2 0,001666667 14,2857143 0,667 14,2857143 2376,14005 4,64118808 33,2126167
0,656 0,643
Pinus merkusii 11 0,009166667 78,5714286 3,667 78,5714286 44591,4312 87,0980727 244,24093
Grand total 14 0,011666667 100 4,667 100 51196,8058 100 300

Tabel 2.8 Data Analisis Vegetasi Tiang pada Hutan Pinus


Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr(%) F Fr(%) LAB LABr INP H' D
Hymonaea courbaril 1 0,003333333 100 0,333 100 165,04625 100 300
0 1
Grand total 1 0,003333333 100 0,333 100 165,04625 100 300

Tabel 2.9 Data Analisis Vegetasi Pancang pada Hutan Pinus


Nama Spesies Jumlah Individu Kr (individu/m^2) Krr(%) F Fr (%) Kb (%) Kbr (%) INP H' D
Hymonaea courbaril 1 0,013333333 100 0,333 100 2,5 100 300
0 1
Grand total 1 0,013333333 100 0,333 100 2,5 100 300

Tabel 2.10 Data Analisis Vegetasi Herba pada Hutan Pinus


Nama Spesies Jumlah Individu Kb (%) Kbr (%) F Fr (%) INP
Zoysia japonica 3 45 100 1 100 200
Grand Total 3 45 100 1 100 200

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi pohon pada hutan
pinus bernilai 0,656; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson sebesar 0,643. Nilai Indeks
Dominansi Simpson yang lebih besar dari 0,6 (D > 0,6) menunjukkan bahwa terdapat
dominansi spesies tertentu yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan nilai INP dari salah satu
spesies pohon yaitu Pinus merkusii yang lebih tinggi secara signifikan (INP = 244,24)
dibandingkan dengan dua spesies lainnya yaitu Khaya anthotheca (INP = 22,55) dan
Palaquium obtusifolium (INP = 33,21). Bila dikaitkan dengan data mikroklimat dan edafik
yang diperoleh, dominansi ini sesuai dengan pernyataan literatur bahwa tumbuhan pinus
tumbuh lebih baik pada tanah berpasir yang kering (Bauholz, 2019). Data kelembapan tanah
dari kedua jenis lahan menunjukkan bahwa lahan hutan pinus memiliki kelembapan tanah
rerata yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan campuran.

Sementara itu, komunitas vegetasi dengan bentuk hidup tiang, pancang, dan herba semuanya
menunjukkan nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener sebesar 0 dan Indeks Dominansi
Simpson sebesar 1. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga komunitas vegetasi ini hanya memiliki
satu spesies masing-masing yang mendominasi secara sempurna. Vegetasi dengan bentuk
hidup tiang pada hutan pinus hanya merupakan Hymonaea courbaril. Vegetasi dengan bentuk
hidup pancang pada hutan pinus juga hanya merupakan Hymonaea courbaril. Sementara itu,
vegetasi dengan bentuk hidup herba pada hutan pinus hanya merupakan Zoysia japonica.

2.1.3 Analisis Biota Tanah


Salah satu faktor yang krusial dalam analisis ekosistem terestrial ialah organisme yang
menempati lapisan tanah dari ekosistem yang menjadi objek fokus, atau biota tanah dari
ekosistem yang bersangkutan. Melalui interaksi dengan jejaring makanan pada tanah, aktivitas
dari biota tanah suatu ekosistem menghubungkan tanah dengan organisme-organisme, seperti
tumbuhan dan hewan, yang terdapat di atas permukaan tanah. Signifikansi dari biota tanah
memiliki cakupan yang luas, namun salah satu gambaran mengenai konsep ini merupakan
peranan cacing tanah (earthworms, filum Annelida) sebagai ecosystem engineer, atau spesies
yang memodifikasi lingkungan mereka secara signifikan, misalnya dengan menciptakan
habitat baru atau memodifikasi habitat yang telah ada untuk menyesuaikan kebutuhan mereka.
Cacing tanah dikenal sebagai ecosystem engineer karena pengaruh mereka terhadap sifat dari
tanah serta pengaruh mereka terhadap ketersediaan sumber daya bagi organisme lain, termasuk
mikroorganisme dan tumbuhan (Kooch & Jalilvand, 2008). Pada esensinya, penting untuk
mempertimbangkan biota tanah dalam analisis ekosistem terestrial.
Keberagaman Arthropoda tanah pada hutan campuran dan hutan pinus tergambarkan pada
Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.

Keanekaragaman Arthropoda Tanah pada Hutan


Campuran diukur dalam Jumlah Individu
Thomisidae (1)
Tachinidae (1)
Formicidae (3)
Formicidae (2)
Formicidae (1)
Eutichuridae (1)
Ditomyiidae (2)
Blattidae (3)
Blattidae (2)
Blattidae (1)
Banchinae (1)
Armadillidae (1)
Acrididae (1)

0 5 10 15 20 25 30

Gambar 2.8 Grafik jumlah individu per famili Arthropoda tanah pada hutan campuran.

Keanekaragaman Arthropoda Tanah pada Hutan


Pinus diukur dalam Jumlah Individu
Tachinidae (1)
Scolopendridae (1)
Papilionidae (1)
Larva Noctuidae (1)
Formicidae (8)
Formicidae (5)
Formicidae (3)
Formicidae (1)
Eutichuridae (1)
Desidae (1)
Corinidae (2)
Clubionidae (2)
Clubionidae (1)
Anisolabididae (1)
Agelinidae (4)
Agelinidae (2)
Acrididae (1)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.9 Grafik jumlah individu per famili Arthropoda tanah pada hutan pinus.

Dalam mengolah data pencuplikan Arthropoda tanah, terdapat beberapa parameter yang perlu
diperhatikan, meliputi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) serta Indeks Dominansi
Simpson (D) yang telah dijelaskan sebelumnya, serta kemerataan (E) dan Indeks Sorensen (Is).
Kemerataan (E) dapat dihitung dengan membagi nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-
Wiener (H’) dengan nilai logaritma natural (ln) dari jumlah total spesies yang terdapat pada
suatu lokasi (S). Sementara itu, Indeks Sorensen merupakan salah satu indeks yang paling
sering digunakan untuk menggambarkan kemiripan atau kesamaan dari dua komunitas dalam
konteks ekologis (Ashtamoorthy, 2014). Indeks ini memiliki rentang nilai 0 – 1, atau biasa juga
diungkapkan dalam bentuk persen. nilai Indeks Sorensen < 50% umumnya mengindikasikan
susunan komunitas yang berbeda. Sebaliknya, nilai Indeks Sorensen > 50% mengindikasikan
kemiripan dalam dua komunitas. Perbandingan nilai parameter-parameter berikut pada kedua
jenis lahan terdapat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Indeks Dominansi Simpson, Kemerataan, dan Jumlah Spesies dari
Arthropoda Tanah pada Hutan Campuran dan Hutan Pinus.
Jenis Lahan H' S E D Total spesies Is
Hutan Campuran 41,42479226 13 16,15033534 0,194674013
30 0,2
Hutan Pinus 51,46885789 17 18,16624858 0,080892233

Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang lebih tinggi pada hutan pinus
mengindikasikan bahwa terdapat keanekaragaman atau diversitas Arthropoda tanah yang lebih
tinggi pada hutan pinus dibandingkan dengan hutan campuran. Hal ini juga didukung oleh nilai
Indeks Dominansi Simpson yang memiliki hubungan berbanding terbalik dengan Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener—nilai Indeks Dominansi Simpson dari data pada hutan
pinus lebih rendah dibandingkan dengan nilai Indeks Dominansi Simpson dari data pada hutan
campuran. Nilai kemerataan yang lebih tinggi juga ditunjukkan pada hutan pinus. Hal ini
sejalan dengan komposisi individu per famili yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, dengan
komposisi individu Arthropoda tanah yang relatif lebih merata pada hutan pinus dibandingkan
dengan hutan campuran.

Indeks Sorensen dari kedua jenis lahan memiliki nilai 0,2, atau 20%. Nilai ini dapat
diinterpretasikan sebagai indikasi kemiripan yang rendah antara komunitas Arthropoda tanah
pada hutan pinus dan hutan campuran. Hal ini dapat dikaitkan dengan parameter mikroklimat
serta edafik dari kedua jenis lahan, dengan masing-masing kondisi mendukung kehidupan
spesies atau famili Arthropoda yang berbeda.

Terakhir, data biomassa cacing tanah dari lahan hutan campuran dan hutan pinus terdapat pada
Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Biomassa Cacing Tanah pada Hutan Campuran
(gr/m^2)
2,5

1,5

0,5

0
Lumbricidae Ailoscolecidae Aporectodea Lutodrilidae

Gambar 2.10 Grafik biomassa cacing tanah pada hutan campuran.

Biomassa Cacing Tanah pada Hutan Pinus


(gr/m^2)
25

20

15

10

0
Lumbricidae Ailoscolecidae Aporectodea Lutodrilidae

Gambar 2.11 Grafik biomassa cacing tanah pada hutan campuran.

Perbedaan yang drastis pada biomassa cacing tanah pada kedua lahan ini dapat diatribusikan
ke keberagaman Arthropoda tanah yang telah dianalisis sebelumnya. Salah satu predator yang
dapat mengancam populasi cacing tanah ialah kelompok semut, atau famili Formicidae (Dejean
et al., 1999). Tingginya jumlah anggota famili Formicidae pada hutan campuran dapat menjadi
salah satu penyebab mengapa biomassa cacing pada hutan pinus lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan hutan campuran. Faktor mikroklimat serta edafik mungkin berpengaruh,
namun pada kasus ini, pengaruhnya mungkin tidak begitu jelas. Cacing tanah merupakan
organisme yang cocok tinggal pada habitat dengan tanah lembap—menurut Ivask et al.,
kelembapan tanah merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan
komunitas cacing tanah. Namun, bila meninjau parameter kelembapan tanah dari kedua jenis
lahan, kedua jenis lahan memiliki kelembapan tanah rerata yang cukup mirip; bahkan lebih
tinggi pada hutan campuran sehingga faktor ini tidak mendukung data mengenai biomassa
cacing tanah. Dapat disimpulkan bahwa faktor predasi Formicidae terhadap Annelida
merupakan salah satu faktor yang prominen dalam menentukan biomassa cacing pada kedua
jenis lahan.

2.2 Kesimpulan
1. Lokasi pencuplikan pada penelitian mandiri yakni lahan di Jalan Dago Pakar Barat
merupakan lahan yang mendukung kehidupan beragam vegetasi, paling umum dalam
bentuk herba, serta Arthropoda tanah.
2. Lokasi hutan campuran memiliki biodiversitas vegetasi yang secara keseluruhan lebih
tinggi dibandingkan dengan lokasi hutan pinus. Dominansi spesies vegetasi tertentu
lebih menonjol pada lokasi hutan pinus.
3. Lokasi hutan campuran dan hutan pinus menunjukkan kemiripan komunitas
Arthropoda yang rendah. Diversitas dan kemerataan Arthropoda yang lebih tinggi
ditunjukkan pada lahan hutan pinus. Dominansi spesies tertentu yang lebih tinggi
ditunjukkan pada lahan hutan campuran, dengan dominansi pada spesies dari famili
Formicidae.
4. Lokasi hutan pinus memiliki biomassa cacing yang lebih tinggi dibandingkan dengan
lokasi hutan campuran. Kemungkinan besar hal ini berkaitan dengan predasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ashtamoorthy, Sreejith. (2014). A MODIFIED SORENSEN'S INDEX TO COMPARE


SIMILARITY BETWEEN PLANT COMMUNITIES. Conference: Biodiversity,
Bioresources and Biotechnology - International Conference, Karnataka.

Bauholz, H. (2019). What Do Pine Trees Need to Survive?. Retrieved 13 September 2021,
from https://sciencing.com/do-pine-trees-need-survive-6549613.html

Burgess, A. J., Retkute, R., Herman, T., & Murchie, E. H. (2017). Exploring Relationships
between Canopy Architecture, Light Distribution, and Photosynthesis in Contrasting
Rice Genotypes Using 3D Canopy Reconstruction. Frontiers in plant science, 8, 734.
https://doi.org/10.3389/fpls.2017.00734

Dejean, A., Schatz, B., Orivel, J. & Beugnon, G. (1999). Prey capture behavior
of Psalidomyrmex procerus (Formicidae: Ponerinae), a specialist predator of
earthworms (Annelida). Sociobiology 34: 545–554.

Ivask, M., Kuu, A., Truu, M., & Truu, J. (2006). THE EFFECT OF SOIL TYPE AND SOIL
MOISTURE ON EARTHWORM COMMUNITIES.

Kooch, Y., & Jalilvand, H. (2008). Earthworms as ecosystem engineers and the most important
detritivors in forest soils. Pakistan journal of biological sciences: PJBS, 11(6), 819–
825. https://doi.org/10.3923/pjbs.2008.819.825

Lin, H., Lam, T. Y., Von Gadow, K., & Kershaw Jr, J. A. (2020). Effects of nested plot designs
on assessing stand attributes, species diversity, and spatial forest structures. Forest
Ecology and Management, 457. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2019.117658

Liu, W., Han, Y., Li, J., Tian, X., & Liu, Y. (2018). Factors affecting relative humidity and its
relationship with the long-term variation of fog-haze events in the Yangtze River Delta.
Atmospheric Environment, 193, 242–250.
https://doi.org/10.1016/j.atmosenv.2018.09.015

Naiman, R. J., Décamps, H., McClain, M. E. et al. (2005). Biotic Functions of Riparia. In
Riparia. Academic Press.

Rezić, I. 2011. Prediction of the surface tension of surfactant mixtures for detergent
formulation using Design Expert software. Monatshefte fuer Chemie/Chemical
Monthly, 142: 1219–1225. doi:10.1007/s00706-011-0554-y.

Sheeren, D., Fauvel, M., Josipović, V., Lopes, M., Planque, C., Willm, J. & Dejoux, J. (2016).
Tree Species Classification in Temperate Forests Using Formosat-2 Satellite Image
Time Series. Remote Sensing, 8(9), 734.

Strong, W. L. (2016). Biased richness and evenness relationships within Shannon–Wiener


index values. Ecological Indicators, 67, 703-713.
https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2016.03.043
Thukral, A. K., Bhardwaj, R., Kumar, V., & Sharma, A. (2019). New indices regarding the
dominance and diversity of communities, derived from sample variance and standard
deviation. Heliyon, 5(10). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02606

Anda mungkin juga menyukai