Disusun oleh:
Hasna Firdaus Aryantha
10619076
Kelompok 11
Asisten:
Kanda Damianputra
10618067
1. Menentukan jenis serta keanekaragaman vegetasi pada lahan di Jalan Dago Pakar Barat,
Cidadap, Jawa Barat.
2. Menentukan jenis serta keanekaragaman Arthropoda tanah pada lahan di Jalan Dago
Pakar Barat, Cidadap, Jawa Barat.
Penelitian mandiri ini melibatkan pengambilan data mikroklimat, data pencuplikan vegetasi,
serta data pencuplikan Arthropoda tanah pada lokasi lahan yang terdapat pada Jalan Dago
Pakar Barat, Cidadap, Jawa Barat. Lokasi pengambilan data ini memiliki titik koordinat
6°51'35.99"S; 107°37'45.85"E, dengan elevasi 942 m. Suhu pada lokasi ini saat waktu
pengamatan memiliki nilai sekitar 27°C. Kelembapan relatif pada waktu pengamatan memiliki
nilai sekitar 65%. Rona lingkungan saat itu cerah, dengan penyinaran matahari yang cukup.
Gambar 1.1 Plot sekitar 5x5m, digambarkan dengan kotak merah, pada Jalan Dago Pakar Barat. (Gambar
diperoleh dari aplikasi Google Earth Pro)
Gambar 1.2 Daerah pembuatan plot.
Pencuplikan biota tanah berupa Arthropoda dilakukan dengan memasang pitfall trap pada
lokasi yang ingin dianalisis. Pitfall trap terbuat dari gelas plastik yang diisi oleh larutan
deterjen. Deterjen berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan (Rezić, 2011) sehingga
serangga yang jatuh akan langsung tenggelam dan mati. Pitfall trap dilindungi dari air hujan
maupun gangguan lainnya oleh infraboard yang disangga oleh sumpit. Tiga buah pitfall trap
dipasang dengan susunan yang membentuk segitiga, dengan jarak antar masing-masing pitfall
trap sekitar 30 – 50 cm. Pitfall trap kemudian dibiarkan selama 24 jam. Sampel Arthropoda
tanah yang diperoleh kemudian diambil, dibersihkan, diawetkan menggunakan ethanol 96%,
kemudian diidentifikasi lebih lanjut.
Gambar 1.3 Konfigurasi pemasangan pitfall trap.
Analisis vegetasi dilakukan pada plot yang disusun dengan metode nested plot. Plot
keseluruhan merupakan plot besar berukuran sekitar 5x5 m; dengan dua subplot yang
berukuran sekitar 3x3 m serta 1x1 m. Susunan plot ini dibuat dengan pertimbangan bahwa
vegetasi yang terdapat pada lokasi mayoritas memiliki bentuk hidup herba. Plot keseluruhan
yang berukuran 5x5 m ditentukan dengan menyesuaikan spesies herba yang banyak terdapat
pada lokasi yaitu tanaman pisang. Meskipun memiliki bentuk hidup herba, tanaman pisang
memiliki ukuran yang cukup signifikan sehingga plot 3x3 atau 1x1 m saja dinilai kurang
representatif terhadap keberagaman vegetasi pada lokasi. Parameter yang diukur pada
pengambilan data untuk analisis vegetasi meliputi DBH (cm), LAB (m2), dan kerimbunan (%).
32 0,08
19,1 0,029
16 0,02
Euphorbia heterophylla 15
(Patikan kebo, milkweed)
Gambar 1.5 Arthropoda tanah yang terjebak pada pitfall trap ke-2.
Gambar 1.6 Arthropoda tanah yang terjebak pada pitfall trap ke-3.
Dari hasil analisis vegetasi serta pencuplikan Arthropoda tanah, dapat disimpulkan bahwa
lahan pada lokasi yang spesifik ini dapat menunjang kehidupan berbagai jenis vegetasi, secara
predominan herba—terutama tanaman pisang (Musa sp.); dan juga dapat menunjang
kehidupan berbagai famili Arthropoda tanah, mulai dari spesies dari famili Formicidae,
Acrididae, Lycopsidae, dan lain-lain.
BAB II: DATA LAPORAN ANALISIS EKOSISTEM TERESTRIAL
2.1 Hasil dan Pembahasan
Data laporan analisis ekosistem terestrial yang akan dibahas meliputi data mikroklimat, data
analisis vegetasi, serta data pencuplikan biota tanah berupa Arthropoda dan Annelida atau
cacing tanah. Lokasi pengambilan data terbagi menjadi dua jenis lahan yaitu hutan campuran
serta hutan pinus. Terdapat total 7 plot yang menjadi lokasi pengambilan data. Pada lahan hutan
campuran, terdapat total 4 plot yang diamati; sedangkan pada hutan pinus, terdapat total 3 plot.
Pada setiap plot, pengukuran parameter mikroklimat dilakukan sebanyak tiga kali. Lokasi plot
untuk pengambilan data tergambarkan dalam peta pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Peta yang menunjukkan semua lokasi pengambilan data. Gambar diperoleh dari Aplikasi
Google Earth.
Rangkuman dari data mikroklimat disajikan dalam Tabel 2.1. Rangkuman data ini
divisualisasikan dalam grafik pada Gambar 2.2 hingga Gambar 2.8.
Tabel 2.1 Rerata parameter mikroklimat dalam berbagai plot kelompok di hutan campuran dan hutan pinus.
Tipe lahan Kelompok Average of Suhu udara (°C) Average of Kelembaban Rf udara (%) Average of Intensitas cahaya (Lux) Average of pH tanah Average of Kelembaban tanah (%) Average of Suhu tanah (°C)
Hutan Campuran 6 22,78 67,33333333 576,3333333 7,1 33,33333333 20,92666667
7 22,54 71 1029 6,8 66,66666667 21,47333333
8 23,68 83,33333333 651,5 6,2 81 21,67
9 22,93333333 36 4953,666667 6,933333333 62,5 21,83333333
Hutan Campuran Total 22,98333333 64,41666667 1802,625 6,758333333 60,875 21,47583333
Hutan Pinus 3 23,6 76 543 6,6 54 21,3
4 24,73333333 81,33333333 33533,33333 6,766666667 48,33333333 22,23333333
5 21,66666667 68,66666667 588 6,733333333 46,66666667 20,73333333
Hutan Pinus Total 23,33333333 75,33333333 11554,77778 6,7 49,66666667 21,42222222
25
24
23
Total
22
21
20
19
Hutan Campuran Hutan Pinus
Gambar 2.2 Grafik suhu rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Gambar 2.3 Grafik kelembapan relatif rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Intensitas Cahaya Rerata pada Lahan Hutan
Campuran dan Hutan Pinus (lux)
35000
30000
25000
20000
15000
Total
10000
5000
0
Hutan Campuran Hutan Pinus
-5000
-10000
Gambar 2.4 Grafik intensitas cahaya rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
6,8
6,6
6,4 Total
6,2
5,8
Hutan Campuran Hutan Pinus
Gambar 2.5 Grafik pH tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Gambar 2.6 Grafik kelembapan tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Suhu Tanah Rerata pada Lahan Hutan Campuran
dan Hutan Pinus
23
22,5
22
21,5
21
Total
20,5
20
19,5
19
Hutan Campuran Hutan Pinus
Gambar 2.7 Grafik suhu tanah rerata pada lahan hutan campuran dan hutan pinus.
Hutan pinus memiliki suhu rerata yang lebih tinggi dibandingkan hutan campuran, dengan
selisih sekitar 0,35°C. Perbedaan suhu rerata ini cenderung rendah. Sementara itu, kelembapan
relatif rerata pada lahan hutan pinus juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hutan campuran, dengan selisih sekitar 10,92%. Salah satu faktor yang berpengaruh secara
signifikan terhadap kelembapan relatif suatu lokasi merupakan suhu lokasi tersebut (Liu et al.,
2018). Semakin tinggi suhu suatu lokasi, semakin tinggi pula kapasitas udara untuk
menampung molekul air, maka semakin rendah kelembapan relatif dari lokasi tersebut—
dengan kata lain, suhu dan kelembapan relatif memiliki hubungan yang berbanding terbalik.
Namun, hal ini tidak sejalan dengan data rerata suhu dan kelembapan relatif rerata dari kedua
jenis lahan. Maka, perbedaan dalam kelembapan relatif ini dapat diatribusikan ke suatu faktor
lain, seperti misalnya vegetasi yang terdapat pada kedua lokasi.
Meninjau parameter intensitas cahaya, hutan campuran memiliki rerata intensitas cahaya yang
lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan hutan pinus, dengan selisih sekitar
9752,15 lux. Perlu dipertimbangkan pula variabilitas dari data intensitas cahaya ini—data yang
diperoleh dari lahan hutan pinus memiliki variabilitas yang lebih tinggi, ditunjukkan dengan
nilai koefisien variansi (CV) yang bernilai 1,91937156; dibandingkan dengan data yang
diperoleh dari lahan hutan campuran yang memiliki nilai koefisien variansi 1,5012493. Data
dari kedua jenis lahan memiliki variabilitas yang cukup tinggi (CV > 1). Hal ini menandakan
bahwa data intensitas cahaya yang diperoleh dari masing-masing jenis lahan cenderung tidak
seragam/tidak uniform. Namun, secara umum, perbedaan nilai intensitas cahaya rerata ini dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan yang signifikan antara tutupan kanopi dari kedua jenis lahan.
Burgess et al. menyatakan bahwa terdapat hubungan antara arsitektur kanopi dengan distribusi
cahaya dari suatu lokasi hutan; dan distribusi cahaya dengan intensitas yang beragam ini juga
akan berpengaruh terhadap respon organisme di lokasi yang bersangkutan. Data kualitatif
berupa deskripsi rona dari kedua jenis lahan dapat memberikan kesimpulan yang beragam,
namun, secara umum, vegetasi pada lahan hutan campuran lebih beragam dibandingkan
dengan hutan pinus yang homogen serta didominasi oleh pohon pinus yang berdaun duri
(Shereen et al., 2016) sehingga dapat menyediakan tutupan kanopi yang lebih luas. Hal ini
dapat dibuktikan lebih lanjut pada analisis vegetasi.
Gambar 2.5, Gambar 2.6, serta Gambar 2.7 menunjukkan perbandingan beberapa parameter
tanah seperti pH tanah, kelembapan tanah, serta suhu tanah dari kedua jenis lahan. Gambar 2.5
menunjukkan bahwa pH tanah rerata pada kedua lahan memiliki nilai yang sangat dekat yaitu
6,758 untuk lahan hutan campuran serta 6,7 untuk lahan hutan pinus. Selain itu, Gambar 2.7
menunjukkan bahwa suhu tanah rerata pada kedua lahan juga memiliki nilai yang sangat dekat
yaitu 21,476°C untuk lahan hutan campuran dan 21,42°C untuk lahan hutan pinus. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam kondisi tanah kedua
jenis lahan jika ditinjau dari parameter-parameter berikut. Namun, Gambar 2.6 menunjukkan
bahwa kelembapan tanah pada lahan hutan campuran memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan hutan pinus. Hal ini mungkin berkaitan dengan vegetasi dan biota
tanah pada kedua jenis lahan.
Rangkuman data analisis vegetasi pada hutan campuran terdapat pada Tabel 2.2, Tabel 2.3,
Tabel 2.4, Tabel 2.5, serta Tabel 2.6.
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi pohon pada hutan
campuran bernilai 0,5623; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson sebesar 0,625. Nilai Indeks
Dominansi Simpson yang lebih besar dari 0,6 (D > 0,6) menunjukkan bahwa terdapat
dominansi spesies tertentu yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan nilai INP spesies pohon
Khaya anthotheca yang bernilai 245,99—jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai INP
spesies pohon lainnya yang terdapat pada lokasi yang bersangkutan yakni Styrax benzoin
dengan nilai INP 54,007.
Sementara itu, Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi
tiang pada hutan campuran bernilai sekitar 0,673; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson
sebesar 0,52. Nilai Indeks Dominansi Simpson yang jatuh pada rentang antara 0,4 dan 0,6 (0,4
< D < 0,6) tergolong sedang—hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat dominansi spesies
tertentu yang signifikan. Hal ini juga didukung oleh perbandingan nilai INP dari kedua spesies
dengan bentuk hidup tiang yaitu 128,85 untuk Khaya anthotheca serta 171,15 untuk Sterculia
urceolata. Sterculia urceolata memiliki INP yang lebih tinggi, namun dengan selisih yang
cukup sedang dengan nilai INP Khaya anthotheca.
Kasus dominansi rendah ditunjukkan oleh data vegetasi dengan bentuk hidup pancang pada
hutan campuran. Dalam kasus ini, diperoleh nilai H’ sebesar 1,0397 serta nilai D sebesar 0,375.
Nilai D < 0,4 menunjukkan dominansi spesies tertentu yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan
nilai INP ketiga spesies yang tidak menunjukkan ketimpangan yang signifikan yaitu 109,52
untuk Delonix regia; 138,1 untuk Khaya anthotheca; serta 52,38 untuk Sterculia urceolata.
Komunitas herba pada hutan campuran hanya terdiri dari satu spesies yakni Zingiber officinale,
ditunjukkan dengan nilai INP 200. Sementara itu, komunitas vegetasi dengan bentuk hidup
semai pada hutan campuran terdiri dari dua spesies yakni Artocarpus reticulatus dan Toona
sureni. Komunitas vegetasi semai pada hutan campuran lebih banyak dihuni oleh Toona sureni.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai INP Toona sureni (INP = 140) yang lebih besar dibandingkan
dengan nilai INP Artocarpus reticulatus (INP = 60).
Rangkuman data analisis vegetasi pada hutan campuran terdapat pada Tabel 2.7, Tabel 2.8,
Tabel 2.9, serta Tabel 2.10.
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dari data vegetasi pohon pada hutan
pinus bernilai 0,656; dengan nilai Indeks Dominansi Simpson sebesar 0,643. Nilai Indeks
Dominansi Simpson yang lebih besar dari 0,6 (D > 0,6) menunjukkan bahwa terdapat
dominansi spesies tertentu yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan nilai INP dari salah satu
spesies pohon yaitu Pinus merkusii yang lebih tinggi secara signifikan (INP = 244,24)
dibandingkan dengan dua spesies lainnya yaitu Khaya anthotheca (INP = 22,55) dan
Palaquium obtusifolium (INP = 33,21). Bila dikaitkan dengan data mikroklimat dan edafik
yang diperoleh, dominansi ini sesuai dengan pernyataan literatur bahwa tumbuhan pinus
tumbuh lebih baik pada tanah berpasir yang kering (Bauholz, 2019). Data kelembapan tanah
dari kedua jenis lahan menunjukkan bahwa lahan hutan pinus memiliki kelembapan tanah
rerata yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan campuran.
Sementara itu, komunitas vegetasi dengan bentuk hidup tiang, pancang, dan herba semuanya
menunjukkan nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener sebesar 0 dan Indeks Dominansi
Simpson sebesar 1. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga komunitas vegetasi ini hanya memiliki
satu spesies masing-masing yang mendominasi secara sempurna. Vegetasi dengan bentuk
hidup tiang pada hutan pinus hanya merupakan Hymonaea courbaril. Vegetasi dengan bentuk
hidup pancang pada hutan pinus juga hanya merupakan Hymonaea courbaril. Sementara itu,
vegetasi dengan bentuk hidup herba pada hutan pinus hanya merupakan Zoysia japonica.
0 5 10 15 20 25 30
Gambar 2.8 Grafik jumlah individu per famili Arthropoda tanah pada hutan campuran.
Gambar 2.9 Grafik jumlah individu per famili Arthropoda tanah pada hutan pinus.
Dalam mengolah data pencuplikan Arthropoda tanah, terdapat beberapa parameter yang perlu
diperhatikan, meliputi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) serta Indeks Dominansi
Simpson (D) yang telah dijelaskan sebelumnya, serta kemerataan (E) dan Indeks Sorensen (Is).
Kemerataan (E) dapat dihitung dengan membagi nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-
Wiener (H’) dengan nilai logaritma natural (ln) dari jumlah total spesies yang terdapat pada
suatu lokasi (S). Sementara itu, Indeks Sorensen merupakan salah satu indeks yang paling
sering digunakan untuk menggambarkan kemiripan atau kesamaan dari dua komunitas dalam
konteks ekologis (Ashtamoorthy, 2014). Indeks ini memiliki rentang nilai 0 – 1, atau biasa juga
diungkapkan dalam bentuk persen. nilai Indeks Sorensen < 50% umumnya mengindikasikan
susunan komunitas yang berbeda. Sebaliknya, nilai Indeks Sorensen > 50% mengindikasikan
kemiripan dalam dua komunitas. Perbandingan nilai parameter-parameter berikut pada kedua
jenis lahan terdapat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Indeks Dominansi Simpson, Kemerataan, dan Jumlah Spesies dari
Arthropoda Tanah pada Hutan Campuran dan Hutan Pinus.
Jenis Lahan H' S E D Total spesies Is
Hutan Campuran 41,42479226 13 16,15033534 0,194674013
30 0,2
Hutan Pinus 51,46885789 17 18,16624858 0,080892233
Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang lebih tinggi pada hutan pinus
mengindikasikan bahwa terdapat keanekaragaman atau diversitas Arthropoda tanah yang lebih
tinggi pada hutan pinus dibandingkan dengan hutan campuran. Hal ini juga didukung oleh nilai
Indeks Dominansi Simpson yang memiliki hubungan berbanding terbalik dengan Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener—nilai Indeks Dominansi Simpson dari data pada hutan
pinus lebih rendah dibandingkan dengan nilai Indeks Dominansi Simpson dari data pada hutan
campuran. Nilai kemerataan yang lebih tinggi juga ditunjukkan pada hutan pinus. Hal ini
sejalan dengan komposisi individu per famili yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, dengan
komposisi individu Arthropoda tanah yang relatif lebih merata pada hutan pinus dibandingkan
dengan hutan campuran.
Indeks Sorensen dari kedua jenis lahan memiliki nilai 0,2, atau 20%. Nilai ini dapat
diinterpretasikan sebagai indikasi kemiripan yang rendah antara komunitas Arthropoda tanah
pada hutan pinus dan hutan campuran. Hal ini dapat dikaitkan dengan parameter mikroklimat
serta edafik dari kedua jenis lahan, dengan masing-masing kondisi mendukung kehidupan
spesies atau famili Arthropoda yang berbeda.
Terakhir, data biomassa cacing tanah dari lahan hutan campuran dan hutan pinus terdapat pada
Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Biomassa Cacing Tanah pada Hutan Campuran
(gr/m^2)
2,5
1,5
0,5
0
Lumbricidae Ailoscolecidae Aporectodea Lutodrilidae
20
15
10
0
Lumbricidae Ailoscolecidae Aporectodea Lutodrilidae
Perbedaan yang drastis pada biomassa cacing tanah pada kedua lahan ini dapat diatribusikan
ke keberagaman Arthropoda tanah yang telah dianalisis sebelumnya. Salah satu predator yang
dapat mengancam populasi cacing tanah ialah kelompok semut, atau famili Formicidae (Dejean
et al., 1999). Tingginya jumlah anggota famili Formicidae pada hutan campuran dapat menjadi
salah satu penyebab mengapa biomassa cacing pada hutan pinus lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan hutan campuran. Faktor mikroklimat serta edafik mungkin berpengaruh,
namun pada kasus ini, pengaruhnya mungkin tidak begitu jelas. Cacing tanah merupakan
organisme yang cocok tinggal pada habitat dengan tanah lembap—menurut Ivask et al.,
kelembapan tanah merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan
komunitas cacing tanah. Namun, bila meninjau parameter kelembapan tanah dari kedua jenis
lahan, kedua jenis lahan memiliki kelembapan tanah rerata yang cukup mirip; bahkan lebih
tinggi pada hutan campuran sehingga faktor ini tidak mendukung data mengenai biomassa
cacing tanah. Dapat disimpulkan bahwa faktor predasi Formicidae terhadap Annelida
merupakan salah satu faktor yang prominen dalam menentukan biomassa cacing pada kedua
jenis lahan.
2.2 Kesimpulan
1. Lokasi pencuplikan pada penelitian mandiri yakni lahan di Jalan Dago Pakar Barat
merupakan lahan yang mendukung kehidupan beragam vegetasi, paling umum dalam
bentuk herba, serta Arthropoda tanah.
2. Lokasi hutan campuran memiliki biodiversitas vegetasi yang secara keseluruhan lebih
tinggi dibandingkan dengan lokasi hutan pinus. Dominansi spesies vegetasi tertentu
lebih menonjol pada lokasi hutan pinus.
3. Lokasi hutan campuran dan hutan pinus menunjukkan kemiripan komunitas
Arthropoda yang rendah. Diversitas dan kemerataan Arthropoda yang lebih tinggi
ditunjukkan pada lahan hutan pinus. Dominansi spesies tertentu yang lebih tinggi
ditunjukkan pada lahan hutan campuran, dengan dominansi pada spesies dari famili
Formicidae.
4. Lokasi hutan pinus memiliki biomassa cacing yang lebih tinggi dibandingkan dengan
lokasi hutan campuran. Kemungkinan besar hal ini berkaitan dengan predasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bauholz, H. (2019). What Do Pine Trees Need to Survive?. Retrieved 13 September 2021,
from https://sciencing.com/do-pine-trees-need-survive-6549613.html
Burgess, A. J., Retkute, R., Herman, T., & Murchie, E. H. (2017). Exploring Relationships
between Canopy Architecture, Light Distribution, and Photosynthesis in Contrasting
Rice Genotypes Using 3D Canopy Reconstruction. Frontiers in plant science, 8, 734.
https://doi.org/10.3389/fpls.2017.00734
Dejean, A., Schatz, B., Orivel, J. & Beugnon, G. (1999). Prey capture behavior
of Psalidomyrmex procerus (Formicidae: Ponerinae), a specialist predator of
earthworms (Annelida). Sociobiology 34: 545–554.
Ivask, M., Kuu, A., Truu, M., & Truu, J. (2006). THE EFFECT OF SOIL TYPE AND SOIL
MOISTURE ON EARTHWORM COMMUNITIES.
Kooch, Y., & Jalilvand, H. (2008). Earthworms as ecosystem engineers and the most important
detritivors in forest soils. Pakistan journal of biological sciences: PJBS, 11(6), 819–
825. https://doi.org/10.3923/pjbs.2008.819.825
Lin, H., Lam, T. Y., Von Gadow, K., & Kershaw Jr, J. A. (2020). Effects of nested plot designs
on assessing stand attributes, species diversity, and spatial forest structures. Forest
Ecology and Management, 457. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2019.117658
Liu, W., Han, Y., Li, J., Tian, X., & Liu, Y. (2018). Factors affecting relative humidity and its
relationship with the long-term variation of fog-haze events in the Yangtze River Delta.
Atmospheric Environment, 193, 242–250.
https://doi.org/10.1016/j.atmosenv.2018.09.015
Naiman, R. J., Décamps, H., McClain, M. E. et al. (2005). Biotic Functions of Riparia. In
Riparia. Academic Press.
Rezić, I. 2011. Prediction of the surface tension of surfactant mixtures for detergent
formulation using Design Expert software. Monatshefte fuer Chemie/Chemical
Monthly, 142: 1219–1225. doi:10.1007/s00706-011-0554-y.
Sheeren, D., Fauvel, M., Josipović, V., Lopes, M., Planque, C., Willm, J. & Dejoux, J. (2016).
Tree Species Classification in Temperate Forests Using Formosat-2 Satellite Image
Time Series. Remote Sensing, 8(9), 734.