Anda di halaman 1dari 15

KERUSAKAN MIKROORGANISME PADA BAHAN PANGAN

ASEP RAHMAT, ROMANA SIHOMBING, RUTH DEWI SIMANJUNTAK

A.TUJUAN

 Mengetahui kerusakan mikroorganisme pada bahan pangan


 Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kerusakan mikroorganisme pada bahan pangan
 Mengetahui tanda-tanda kerusakan mikroorganisme pada bahan pangan

B.ISI
1 . MIKROBIOLOGI KERUSAKAN PANGAN
Kerusakan pangan merupakan proses metabolic yang menyebabkan pangan menjadi tidak diinginkan atau
tidak dapat dikonsumsi karena perubahan karakteristik sensori. Pangan yang rusak mungkin aman untuk dikonsumsi
dan tidak menyebabkan sakit karena tidak mengandung pathogen atautoksik, tetapi pangan tersebut telah mengalami
perubahan tekstur, aroma , rasa, atau penampilan lain, sehingga ditolak oleh konsumen. Kerusakan pangan oleh
mikroba terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pertumbuhan mikroba dalam pangan atau pengeluaran enzim ekstra
dan intraseluler setelah lisis sel dalam pangan. Perubahan warna, bau, tekstur, pembentukan lender, akumulasi gas,
dan akumulasi cairan merupakan beberapa indicator yang dapat dideteksi berkaitan dengan kerusakan beberapa jenis
pangan. Kerusakan pangan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba, terjadi lebih cepat dibandingkan
kerusakanpangan yang disebabkan oleh enzim ekstra atau intraseluler tanpa selmikroba hidup.
Mikroogansme dapat masuk kedalam pangan yang berasal dari satu atau lebih dari satu sumber
kontaminasi dan dapat menyebabkan kerusakan pangan pada kondisi lingkungan pangan yang mendukung
pertumbuhan mikroorganisme seperti PH, potensi oksidasi-reduksi nutrisi dan tidak adanya komponen penghambat.
Pangan yang disimpanpadasuhu yang cocokuntukmikroorganismedalamwaktu yang cukup lama, meyebabkan
mikroorganisme tumbuh mencapai jumlah yang cukup tinggi dan menyebabkan perubahan, termasuk kerusakan
pangan.
Beberapa mikroorganisme dapat bertahan hidup pada perlakuan panas spesifik atau masuk kedalam pangan
setelah pemanasan sebagai kontaminan, sehingga menyebabkan kerusakan pangan. Kerusakan pada pangan yang
diberiperlakuanpanasdapatterjadiolehenzimmikrobatanpaadanyaselhidupmikroba, karena beberapa enzim tahan
panas dapat dihasilkan oleh mikroorganisme sebelum perlakuan pemanasan. Pangan yang disimpan pada suhu yang
cocokuntukpertumbuhanmikrobadalamwaktucukup lama, juga dapat mengalami kerusakan akibat aktivitas katalitik
enzim. (Sapandi, 2014)
Bahan pangan atau makanan disebut busuk atau rusak jika sifat-sifatnya telah berubah sehingga tidak dapat
diterima lagi sebagai makanan. Kerusakan pangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau hewan pengerat, aktivitas enzim pada tanaman atau
hewan, reaksi kimia nomenzimatik, kerusakan fisik misalnya karena pembekuan, hangus, pengeringan, tekanan, dan
lain-lain. Kerusakan atau kebusukan pangan juga merupakan mutu yang subyektif, yaitu seseorang mungkin
menyatakan suatu pangan sudah busuk atau rusak, sedangkan orang lainnya menyatakan pangan tersebut belum
rusak/busuk. Orang yang sudah biasa mengkonsumsi makanan yang agak basi mungkin tidak merasa bahwa
makanan tersebut dari segi kesehatan mungkin sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Gejala keracunan sering terjadi
karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya, termasuk mikroorganisme,
yang tidak dapat dideteksi langsung dengan indera manusia.
Bahan-bahan kimia berbahaya yang terdapat pada makanan sukar diketahui secara langsung oleh orang
yang akan mengkonsumsi makanan tersebut, sehingga seringkali mengakibatkan keracunan. Mikroorganisme
berbahaya yang terdapat di dalam makanan kadang-kadang dapat dideteksi keberadaannya di dalam makanan jika
pertumbuhan mikroorganisme tertentu menyebabkan perubahan-perubahan pada makanan, misalnya menimbulkan
bau asam, bau busuk, dan lain-lain. Akan tetapi tidak semua mikroorganisme menimbulkan perubahan yang mudah
dideteksi secara langsung oleh indera kita, sehingga kadang-kadang juga dapat menimbulkan gelala sakit pada
manusia jika tertelan dalam jumlah sangat kecil di dalam makanan. Jumlah yang sangat kecil ini tidak
mengakibatkan perubahan pada sifat-sifat makanan (Susiwi, 2009)
Kerusakan mikrobiologis sangat merugikan dan terkadang atau bahkan sering menimbulkan bahaya bagi
kesehatan karena racun yang diproduksinya. Bahan yang telah rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber
kontaminasi yang berbahaya bagi bahan lain yang masih segar. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah berbagai
mikroorganisme seperti khamir, kapang dan bakteri. Cara mikroba untuk merusak bahan pangan yaitu dengan
menghidrolisis atau mendegradasi makro molekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih
kecil serta dapat mengeluarkan toksin (Suter, 2000).
Tanda-tanda atau ciri-ciri yang dapat dikenali pada makanan yang sudah kadaluarsa yaitu bahan makanan
tersebut telah mengalami kerusakan dan mengalami perubahan pada warna, bau, rasa, tekstur dan kekentalannya.
Penyebab terjadinya kerusakan pada makanan kadaluarsa akibat pelepasan pada makanan dan tidak berfungsinya
lagi bahan pengawet pada makanan, serta dapat terjadi karena reaksi-reaksi zat kimia beracun yang terkandung pada
makanan dalam jenjang waktu tertentu (Rustini, 2010). Tanggal kadaluarsa dapat didefinisikan sebagai lamnaya
waktu makanan baik-baik saja sebelum mulai membusuk, tidak bergizi atau tidak aman. Tanggal kadaluarsa
biasanya ditulis “best before” atau “use by”. “Best before” adalah tanggal terakhir di mana makanan dapat
mempertahankan kualitasnya, sedangkan “use by date” adalah hari terakhir di mana makanan dapat dimakan dengan
aman asalkan telah disimpan sesuai dengan kondisi penyimpanan yang tertulis pada kemasan (Mirghatbi dan
Katayoun, 2013).
Makanan kadaluarsa adalah makanan yang masa produktifnya telah berakhir sehingga jika dimakan akan
menyebabkan gangguan kesehatan. Masing-masing makanan memiliki masa kadaluarsa yang berbeda-beda.
Biasanya makanan yang tidak dikemas atau tidak diberi pengawet akan memiliki masa kadaluarsa yang lebih cepat
daripada makanan yang dikemas atau sudah diberi bahan pengawet. Proses terjadinya kerusakan mikrobiologis pada
bahan pangan secara umum yaitu mikroba masuk ke dalam bahan pangan baik melalui udara, debu, tangan, atau
media yang lain. Kondisi di dalam bahan pangan seperti Aw (kandungan air dalam pangan) dan pH mendukung atau
sesuai dengan kondisi di mana mikroorganisme tersebut berkembang. Selain itu, bahan pangan disimpan dalam
kondisi yang memungkinkan atau bahkan mendukung pertumbuhan mikroba seperti disimpan dalam suhu ruang
(±280C) sehingga terjadi metabolisme mikroba seperti mengeluarkan toksin atau racun yang menyebabkan
kerusakan makanan dan akan berbahaya jika dikonsumsi (Dewi, 2010)

2. JENIS-JENIS KERUSKAN BAHAN PANGAN


Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Kerusakan Mikrobiologis
Pada umumnya kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan mentah, tetapi juga pada bahan
setengah jadi maupun pada bahan hasil olahan. Kerusakan ini sangat merugikan dan kadang-kadang berbahaya
bagi kesehatan karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat. Bahan yang
telah rusak oleh mikroba juga dapat menjadi sumber kontaminasi yang berbahaya bagi bahan lain yang masih
sehat atau segar. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti kapang, khamir
dan bakteri. Cara perusakannya dengan menghidrolisa atau mendegradasi makromolekul yang menyusun bahan
tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil.
2) Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis disebabkan adanya benturan-benturan mekanis. Kerusakan ini terjadi pada : benturan
antar bahan, waktu dipanen dengan alat, selama pengangkutan (tertindih atau tertekan) maupun terjatuh,
sehingga mengalami bentuk atau cacat berupa memar, tersobek atau terpotong.
3) Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik ini disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik. Misalnya terjadinya “case hardening”
karena penyimpanan dalam gudang basah menyebabkan bahan seperti tepung kering dapat menyerap air
sehingga terjadi pengerasan atau membatu. Dalam pendinginan terjadi kerusakan dingin (chilling injuries) atau
kerusakan beku (freezing injuries) dan “freezer burn” pada bahan yang dibekukan. Sel-sel tenunan pada suhu
pembekuan akan menjadi kristal es dan menyerap air dari sel sekitarnya. Akibat dehidrasi ini, ikatan sulfihidril
(–SH) dari protein akan berubah menjadi ikatan disulfida (–S–S–), sehingga fungsi protein secara fisiologis
hilang, fungsi enzim juga hilang, sehingga metabolisme berhenti dan sel rusak kemudian membusuk. Pada
umumnya kerusakan fisik terjadi bersama-sama dengan bentuk kerusakan lainnya.
4) Kerusakan Biologis
Yang dimaksud dengan kerusakan biologis yaitu kerusakan yang disebabkan karena kerusakan fisiologis,
serangga dan binatang pengerat (rodentia). Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh
reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat didalam bahan itu sendiri secara
alami sehingga terjadi autolisis dan berakhir dengan kerusakan serta pembusukan. Contohnya daging akan
membusuk oleh proses autolisis, karena itu daging mudah rusak dan busuk bila disimpan pada suhu kamar.
Keadaan serupa juga dialami pada beberapa buah-buahan.
5) Kerusakan Kimia
Kerusakan kimia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya : “coating” atau enamel, yaitu terjadinya
noda hitam FeS pada makanan kaleng karena terjadinya reaksi lapisan dalam kaleng dengan H–S– yang
diproduksi oleh makanan tersebut. Adanya perubahan pH menyebabkan suatu jenis pigmen mengalami
perubahan warna, demikian pula protein akan mengalami denaturasi dan penggumpalan. Reaksi browning dapat
terjadi secara enzimatis maupun non-enzimatis. Browning nonenzimatis merupakan kerusakan kimia yang mana
dapat menimbulkan warna coklat yang tidak diinginkan.( Siagian, 2002)

3. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUSKAN PANGAN OLEH MIKROBA

Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan faktor-faktor berikut :


a) Pertumbuhan dan Aktifitas Mikroba
Mikroba merupakan penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan di tanah, air dan udara. Secara normal
tidak ditemukan di dalam tenunen hidup, seperti daging hewan atau daging buah. Tumbuhnya mikroba di
dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan, dengan cara : menghidrolisis pati dan selulosa
menjadi fraksi yang lebih kecil; menyebabkan fermentasi gula; menghidrolisis lemak dan menyebabkan
ketengikan; serta mencerna protein dan menghasilkan bau busuk dan amoniak. Beberapa mikroba dapat
membentuk lendir, gas, busa, warna, asam, toksin, dan lainnya. Mikroba menyukai kondisi yang hangat dan
lembab.
 Bakteri
Bakteri dapat berbentuk cocci (Streptococcus sp.), bentuk cambuk pada bacilli, bentuk spiral pada spirilla
dan vibrios. Bakteri berukuran satu mikron sampai beberapa mikron, dapat membentuk spora yang lebih
tahan terhadap : panas, perubahan kimia, pengolahan dibandingkan enzim. Suhu pertumbuhan untuk :
bakteri thermophylic (450C–550C); bakteri mesophylic (200C–450C) sedangkan bakteri psychrophylyc <
200C.
 Khamir
Khamir mempunyai ukuran 20 mikron atau lebih dan berbentuk bulat atau lonjong (elips).
 Kapang
Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks, contohnya Aspergillus sp., Penicillium sp., dan
Rhizopus sp. Kapang hitam pada roti, warna merah jingga pada oncom, warna putih dan hitam pada tempe
disebabkan oleh warna conidia atau sporanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di antaranya : air, pH, RH, suhu, oksigen, dan
mineral:
a. Air
Pertumbuhan mikroba tidak pernah terjadi tanpa adanya air. Air dalam substrat yang dapat digunakan
untuk pertumbuhan mikroba biasanya dinyatakan dengan “water activity” (aw). aw dibedakan dengan
RH, aw digunakan untuk larutan atau bahan makanan, dan RH untuk udara atau ruangan. Bakteri perlu
air lebih banyak dari kapang dan khamir, serta tumbuh baik pada aw mendekati satu yaitu pada
konsentrasi gula atau garam yang rendah. aw optimum dan batas terendah untuk tumbuh tergantung
dari macam bakteri, makanan, suhu, pH, adanya oksigen, CO2 dan senyawa-senyawa penghambat.
Pada umumnya kapang membutuhkan aw lebih sedikit daripada khamir dan bakteri. Setiap kapang
mempunyai aw minimum untuk tumbuh, dan untuk mencegah pertumbuhan kapang sebaiknya aw
diturunkan hingga dibawah 0,62. Khamir membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan bakteri,
tetapi lebih banyak daripada kapang. Umumnya batas aw terendah untuk khamir sekitar 0,88– 0,94
b. PH
pH menentukan macam mikroba yang tumbuh dalam makanan, dan setiap mikroba masing-masing
mempunyai pH optimum, pH minimum dan pH maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri paling
baik tumbuh pada pH netral, beberapa suka suasana asam, sedikit asam atau basa. Kapang tumbuh
pada pH 2– 8,5, biasanya lebih suka pada suasana asam. Sedangkan khamir tumbuh pada pH4–4,5 dan
tidak tumbuh pada suasana basa.
c. Suhu
Setiap mikroba mempunyai suhu optimum, suhu minimum, dan suhu maksimum untuk
pertumbuhannya. Bakteri mempunyai suhu optimum antara 200C– 450C. Suhu optimum
pertumbuhan kapang sekitar 250C–300C, tetapi Aspergillus sp. tumbuh baik pada 350C–370C.
Umumnya khamir mempunyai suhu optimum pertumbuhan serupa kapang, yaitu sekitar 250C–
300C.
d. Oksigen
Berdasarkan proses respirasinya, mikroba dibagi menjadi 4 golongan, yaitu aerobik, anaerobik,
fakultatif dan mikroaerophylik. Mikroba golongan aerobik bila
memerlukan oksigen bebas, umumnya kapang pada makanan. Golongan anaerob tidak
memerlukan oksigen dan tumbuh baik tanpa adanya oksigen bebas. Golongan fakultatif dapat
tumbuh dengan atau tanpa oksigen bebas, dan mikroaerophylik bila membutuhkan sejunlah kecil
oksigen bebas.

b) Aktifitas Enzim di dalam Bahan Pangan


Enzim yang ada dalam bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang sudah ada dalam bahan
pangan tersebut secara normal. Enzim ini memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan lebih cepat, dan dapat
mengakibatkan bermacammacam perubahan pada komposisi bahan pangan. Enzim dapat diinaktifkan oleh
panas/suhu, secara kimia, radiasi atau perlakuan lainnya. Beberapa reaksi enzim yzng tidak berlebihan dapat
menguntungkan, misalkan pada pematangan buah-buahan. Pematangan dan pengempukan yang berlebih dapat
menyebabkan kebusukan. Keaktifan maksimum dari enzim antara pH 4 – 8 atau sekitar pH 6.

c) Serangga Parasit dan Tikus


Serangga merusak buah-buahan, sayuran, biji-bijian dan umbi-umbian. Gigitan serangga akan kelukai
perkukaan bahan pangan sehingga menyebabkan kontaminasi oleh mikroba. Pada bahan pangan dengan kadar
air rendah (biji-bijian, buah-buahan kering) dicegah secara fumigasi dengan zat-zat kimia : metil bromida, etilen
oksida, propilen oksida. Etilen oksida dan propilen oksida tidak boleh digunakan pada bahan pangan dengan
kadar air tinggi karena dapat membentuk racun. Parasit bayak ditemukan di dalam daging babi adalah cacing
pita, dapat menjadi sumber kontaminasi pada manusia. Tikus sangat merugikan karena jumlah bahan yang
dimakan, juga kotoran, rambut dan urine tikus merupakan media untuk bakteri serta menimbulkan bau yang
tidak enak.

d) Suhu (pemanasan dan pendinginan)


Pemanasan dan pendinginan yang tidak diawasi secara teliti dapat menyebabkan kebusukan bahan pangan.
Suhu pendingin sekitar 4,50C dapat mencegah atau memperlambat proses pembusukan. Pemanasan berlebih
dapat menyebabkan denaturasi protein, pemecahan emulsi, merusak vitamin, dan degradasi lemak/minyak.
Pembekuan pada sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan “thawing” setelah dikeluarkan dari tempat
pembekuan, sehingga mudah kontaminasi dengan mikroba. Pembekuan juga dapat menyebabkan denaturasi
protein susu dan penggumpalan.

e) Kadar Air
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH udara sekitar. Bila terjadi
kondensasi udara pada permukaan bahan pangan akan dapat menjadi media yang baik bagi mikroba.
Kondensasi tidak selalu berasal dari luar bahan. Di dalam pengepakan buah-buahan dan sayuran dapat
menghasilkan air dari respirasi dan transpirasi, air ini dapat membantu pertumbuhan mikroba.

f) Udara dan Oksigen


Udara dan oksigen selain dapat merusak vitamin terutama vitamin A dan C, warna bahan pangan, flavor
dan kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan kapang. Umumnya kapang adalah aerobik, karena itu
sering ditemukan tumbuh pada permukaan bahan pangan. Oksigen dapat menyebabkan tengik pada bahan
pangan yang mengandung lemak. Oksigen dapat dikurangi jumlahnya dengan cara menghisap udara keluar
secara vakum atau penambahan gas inert selama pengolahan, mengganti udara dengan N2, CO2 atau menagkap
molekul oksigen dengan pereaksi kimia.
g) Sinar
Sinar dapat merusak beberapa vitamin terutama riboflavin, vitamin A, vitamin C, warna bahan pangan dan
juga mengubah flavor susu karena terjadinya oksidasi lemak dan perubahan protein yang dikatalisis sinar.
Bahan yang sensitif terhadap sinar dapat dilindungi dengan cara pengepakan menggunakan bahan yang tidak
tembus sinar.

h) Waktu
Pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, kerusakan oleh serangga, pengaruh pemanasan atau pendinginan,
kadar air, oksigen dan sinar, semua dipengaruhi oleh waktu. Waktu yang lebih lama akan menyebabkan
kerusakan yang lebih besar, kecuali yang terjadi pada keju, minuman anggur, wiski dan lainnya yang tidak
rusak selama “ageing(Muchtadi, 1989)

Karakteristik kerusakan bahan pangan berdasarkan uji organoleptik (rasa, warna, bau, tekstur dan adanya
mikroorganisme) pada tujuh golongan bahan makanan yang telah dilakukan yaitu :

 Karbohidrat Terlihat adanya jamur karena aktivitas jamur di permukaan bahan pangan yang biasanya
berwarna putih atau kehijauan. Selain itu dapat berair, berlendir dan berbau karena aktivitas bakteri yang
menghasilkan enzim ekstraseluler.
 Protein Pada susu kadaluarsa akan terlihat lebih encer dan terbentuk gumpalan, bakteri yang biasa
mengkontaminasi yaitu Staphylococcus aureus. Pada daging dan ikan menjadi lebih pucat dan berbau
busuk karena perombakan protein menjadi amoniak. Selain itu, teksturnya juga berubah menjadi lebih
lembek.
 Lemak Terlihat kuning dan menggumpal. Muncul bau tengik dan rasa asam. Bau tengik dapat terjadi
karena absorbsi bau oleh lemak, aktivitas enzim pada bahan yang mengandung lemak, aktivitas mikroba
yang terkandung dalam lemak atau oksidasi oleh oksidasi di udara.
 Gula Rasa menjadi asam dan menimbulkan gas. Pada jus juga terdapat gumpalan.
 Buah-buahan Warna berubah menjadi lebih gelap, menjadi berair, tekstur lembek karena khamir atau
jamur, tetapi sedikit yang disebabkan oleh bakteri.
 Sayur-sayuran Menjadi lembek, lunak, dan berair. Hal tersebut karena organisme mempunyai enzim litik
seperti selulase dan pektinase yangb erperanm erusakd indings els ayuran.
 Makanan kaleng Terjadi perubahan penampilan kaleng, seperti menggembung, penyok dan bau busuk.
Mikroorganisme yang biasa ada pada makanan kaleng yaitu Clostridium botulinium. Pada makanan kaleng
seperti sarden terdapat warna hitam yang disebabkan oleh reaksi antara sulfida dan besi.
(Dewi, 2010)

4. TANDA-TANDA KERUSAKAN PANGAN


Berbagai tanda-tanda kerusakan pangan dapat dilihat tergantung dari jenis pangannya, beberapa
diantaranya misalnya:
 Perubahan kekenyalan pada produk-produk daging dan ikan, disebabkan pemecahan struktur daging oleh
berbagai bakteri.
 Pelunakan tekstur pada sayur-sayuran, terutama disebabkan oleh Erwina carotovora, Pseudomonas
marginalis, dan Sclerotinia sclerotiorum.
 Perubahan kekentalan pada susu, santan, dan lain-lain, disebabkan oleh penggumpalan protein dan
pemisahan serum (skim).
 Pembentukan lendir pada produk-produk daging,ikan, dan sayuran, yang antara lain disebabkan oleh
pertumbuhan berbagai mikroba seperti kamir, bakteri asam laktat (terutama oleh Lactobacillus, misalnya L.
Viredences yng membentuk lendir berwarna hijau), Enterococcus, dan Bacillus thermosphacta. Pada
sayuran pembentukan lendir sering disebabkan oleh P. marjinalis dan Rhizoctonia sp.
 Pembentukan asam, umumnya disebabkan oleh berbagai bakteri seperti Lactobacillus, Acinebacter,
Bacillus, Pseudomonas, proteus, Microrocci, Clostidium, dan enterokoki.
 Pembentukan warna hijau pada produk-produk daging, terutama disebabkan oleh: 1. Pembentukan
hidrogen peroksida (H2O2) oleh L. Viridescens, L. fructovorans, L.jensenii, Leuconostoc, Enterococcus
faecium dan E.faecalis 2. Pembentukan hidrogen sulfida (H2S) oleh Pseudomonas mephita, Shewanell
putrefaciens, dan Lactobacillus sake.
 Pembentukan warna kuning pada produk-produk daging, disebabkan oleh Enterococcus cassliflavus dan E.
mundtii.
 Pembentukan warna hitam pada sayuran, misalnya oleh Xanthomonas camprestis, Aspergillus niger, dan
Ceratocystis frimbiata.
 Perubahan warna pada biji-bijian dan serealia karena pertumbuhan berbagai kapang, misalnya Penicillum
sp. (biru-hijau), Aspergillus sp. (hijau), Rhizopus sp. (hitam), dan lain-lain.
 Perubahan bau, misalnya:
 timbulnya bau busuk oleh berbagai bakteri karena terbentuknya amonia, H2S, Indol,dan senyawa-
senyawa amin seperti diamin kadaverin dan putresin.
 Timbulnya bau anyir pada produk-produk ikan karena terbentuknya trimetilamin (TMA) dan histamin.
 Tingkat pencemaran mikroba pada pangan, yaitu semakin tinggi tingkat pencemaran mikroba maka pangan
akan semakin mudah rusak.
 Kecepatan pertumbuhan mikroba yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, yaitu
aw, pH, kandungan gizi, senyawa antimikroba, suhu, oksigen, dan kelembaban.
 Proses pengolahan yang telah diterapkan pada pangan, misalnya pencucian, pemanasan, pendinginan,
pengeringan, dan lain-lain.
 Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, maka pangan secara umum dapat dibedakan atas tiga kelompok
berdasarkan mudah tidaknya mengalami kerusakan, yaitu:

Tanda-tanda kerusakan tersebut diatas dapat menunjukkan perkiraan secara kasar jumlah mikroba yang
terdapat di dalam bahan pangan seperti terlihat pada gambar 1.

(Muchtadi, T.R. 2001)


4.1 Tanda-Tanda Kerusakan pada Daging dan Produk Daging

Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang
tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Kerusakan pada daging ditandai dengan perubahan bau dan
timbulnya lendir. Biasanya kerusakan ini. terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta (10 6 – 108) sel
atau lebih per 1 cm2 luas permukaan daging.

Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti
amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak
memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Diantara produk-
produk metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang
digunakan sebagai indikator kebusukan daging.
Kerusakan mikrobiologi pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-
tanda sebagai berikut:
 Pembentukan lendir
 Perubahan warna
 Perubahan bau menjadi busuk karena pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk
seperti amonia, H2S, dan senyawa lain-lain.
 Perubahan rasa menjadi asam karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam.
 Ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging.

Produk kadaverin dan putresin di dalam daging terjadi melalui reaksi sebagai berikut :

Peningkatan konsentrasi kadaverin dan putresin umumnya terjadi secara nyata jika jumlah total mikroba
mencapai 4x 107 koloni/g. Perubahan bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri
pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika
jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0 koloni/cm2. Putresin merupakan senyawa diamin yang diproduksi oleh
pseudomonad, sedangkan kadaverin terutama doproduksi oleh Enterobacteaceae.

4.2 Tanda-Tanda Kerusakan pada Ikan dan Produk Ikan


Kerusakan pada ikan dan produk-produk ikan terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk.
Tanda-tanda kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pada ikan yang belum diolah adalah:
 Pembentukan lendir pada permukaan ikan.
 Bau busuk karena terbentuknya amonia, H2S dan senyawa-senyawa berbau busuk lainnya. Perubahan bau
busuk (anyir) ini lebih cepat terjadi pada ikan laut dibandingkan dengan ikan air tawar.
 Perubahan warna, yaitu warna kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat.
 Peruhahan tekstur, yaitu daging ikan akan berkurang kekenyalannya.
 Ketengikan karena terjadi pemecahan dan oksidasi lemak ikan.

Pada ikan asin yang telah diolah dengan pengeringan dan penggaraman sehingga a w ikan menjadi rendah,
kerusakan disebabkan oleh pertumbuhan kapang. Pada ikan asin dan ikan peda yang mengandung garam sangat
tinggi (sekitar 20%), kerusakan dapat disebabkan atau bakteri yang tahan garam yang disebut bakteri halofilik.

Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA) dari reduksi trimetilamin oksida
(TMAO), sebagai berikut:
TMAO merupakan komponen yang normal terdapat di dalam ikan laut, sedangkan pada ikan yang masih
segar TMA hanya ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada. Produksi TMA mungkin dilakukan oleh
mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang dapat mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri
mempunyai kemampuan yang sama dalam meruduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung dari pH ikan.
Histamin, diamin, dan senyawa volatil (total volatile substances) juga digunakan sebagai indikator
kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam amino histidan oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi
oleh mikroorganismeaa:

Histamin merupakan penyebab keracunan scromboid. Seperti halnya pada daging, kadaverin dan putresin
merupakan diamin yang juga digunakan sebagai indikator kebisukan ikan.
Senyawa voatil yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan termasuk TVB (total votatile bases),
TVA (total volatile acids) TVS (total volateli substance), dan TVN (total volatile nitrogen). Yang termasuk TVB
adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin, sedangkan TVN terdiri dari TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang
dihasilkan dari destilasi uap terhadap contoh, dan TVS atau VRS (volatile reducing substance) adalah senyawa hasil
aerasi dari produk dan dapat mereduksi larutan alkalin permanganat. Yang termasuk TVA adalah asam asetat,
propionat dan asamasam organik lainnya. Batas TVN maxsimum untuk udang yang bermutu baik di Jepang dan
Australia adalah 30 mg TVN/100g dengan maksimum 5 mg trimatilamin nitrogen/100g.
Untuk produk-produk laut seperti oister, clamdan scallop, perubahan pH merupakan indikator kerusakan,
yaitu pH 5,9-6,2 untuk produk yang masih baik, pH 5,8 sudah agak menyimpang, dan pH 5,2 atau kurang
merupakan tanda kebusukan atau asam.

4.3 Tanda-Tanda Kerusakan pada Makanan Kaleng


Kerusakan makanan kaleng dapat dibedakan atas kerusakan fisik, kimia dan mikrobiologi. Kerusakan fisik
pada umumnya tidak membahayakan konsumen, misalnya terjadinya penyok-penyok karena benturan yang keras.
Kerusakan kimia dapat berupa kerusakan zat-zat gizi, atau penggunaan jenis wadah kaleng yang tidak sesuai untuk
jenis makanan tertentu sehingga terjadi reaksi kimia antara kaleng dengan makanan didalarnnya. Beberapa
kerusakan kimia yang sering terjadi pada makanan kaleng misalnya kaleng menjadi kembung karena terbentuknya
gas hidrogen, terbentuknya warna hitam, pemudaran warna, atau terjadi pengaratan kaleng.
Kerusakan mikrobiologi makanan kaleng dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu:
1. Tidak terbentuk gas sehingga kaleng tetap terlihat normal yaitu tidak kembung. Beberapa contoh kerusakan
semacam ini adalah:
 Busuk asam, yang disebabkan oleh pernbentukan asam oleh beberapa bakter-i pembentuk spora yang
tergolong Bacillus.
 Busuk sulfida, yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk spora yang memecah protein dan
menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) sehingga makanan kaleng menjadi busuk dan berwarna hitam karena
reaksi antara sulfida dengan besi.
2. Pembentukan gas, terutama hidrogen (H2) dan karbon dioksida (CO2) sehingga kaleng menjadi kembung,
yaitu disebabkan oleh pertumbuhan berbagai spesies bakteri pernbentuk spora yang bersifat anaerobik yang
tergolong Clostridium, termasuk C. botulinum yang memproduksi racun yang sangat mematikan.
Penampakan kaleng yang kembung dapat dibedakan atas beberapa jenis sebagai berikut:
 Flipper, yaitu kaleng terlihat nonnal, tetapi bila salah satu tutupnya ditekan dengan jari, tutup lainnya akan
menggembung.
 Kembung sebelah atau springer, yaitu salah satu tutup kaleng terlihat normal, sedangkan tutup lainnya
kembung. Tetapi jika bagian yang kembung ditekan akan masuk ke dalam, sedangkan tutup lainnya yang
tadinya normal akan menjadi kembung.
 Kembung lunak, yaitu kedua tutup kaleng kembung tetapi tidak keras dan masih dapat ditekan dengan ibu
jari.
 Kembung keras, yaitu kedua tutup kaleng kembung dan keras sehingga tidak dapat ditekan dengan ibu jari.
Pada kerusakan yang sudah lanjut dimana gas yang terbentuk sudah sangat banyak, kaleng dapat meledak
karena sambungan kaleng tidak dapat menahan tekanan gas dari dalam.

Pada dasarnya makanan kaleng dibedakan atas tiaga kelompok berdasarkan keasaman, yaitu:
1. Makanan kaleng berasam rendah (pH>4,6), misalnya produk-produk daging dan ikan,suws, beberapa
sayuran (jagung, buncis), dan masakan yang terdiri dari campuran daging dan sayuran (lodeh, gudeg, opor,
dan lain-lain)
2. Makanan kaleng asam (pH 3,7-4,6), misalnya produk-produk tomat, pear, dan produk-produk lain
3. Makanan kaleng berasam tinggi (pH<3,7), misalnya buah-buahan dan sayuran kaleng seperti jeruk, pikel,
sauerkraut, dan lain-lain.

4.4 Tanda-Tanda Kerusakan pada Sayuran, Buah-Buahan dan Produknya

Kerusakan sayuran dan buah-buahan sering terjadi akibat benturan fisik, kehilangan air sehingga layu,
serangan serangga, dan serangan mikroba. Sayur-sayuran yang mudah rusak misalnya adalah kubis, tomat, wortel,
dan lain-lain.

Tanda-tanda kerusakan mikrobiologi pada sayuran dan buah-buahan antara lain adalah:
 Busuk air pada sayuran yang disebabkan oleh pertumbuhan beberapa bakteri, ditandai dengan tekstur yang
lunak (berair).
 Perubahan warna yang disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang membentuk spora berwarna hitam,
hijau, abu-abu, biru, ¬hijau, merah jambu, dan lain-lain.
 Bau alkohol, rasa asam, disebabkan oleh pertumbuhan kamir atau bakteri asam laktat, misalnya pada sari
buah.

4.5 Tanda-Tanda Kerusakan pada Susu dan Produk Susu

Susu merupakan salah bahan pangan yang sangat mudah rusak, karena merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Tanda-tanda kerusakan mikrobiologi pada susu adalah sebagai berikut:
 Perubahan rasa menjadi asam, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk asam, terutama bakteri
asam laktat dan bakteri koli.
 Penggumpalan susu, disebabkan oleh pemecahan protein susu oleh bakteri pemecah protein. Pemecahan
protein mungkin disertai oleh terbentuknya asam atau tanpa asam.
 Pembentukan lendir, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk lendir.
 Pembentukan gas, disebabkan oleh pertumbuhan dua kelompok mikroba, yaitu bakteri yang membentuk
gas H2 (Hidrogen) dan CO2 (karbon dioksida) seperti bakteri koli dan bakteri pembentuk spora, dan bakteri
yang hanya membentuk CO2 seperti bakteri asam laktat tertentu dan kamir.
 Ketcngikan, disebabkan pemecahan lemak oleh bakteri tertentu.
 Bau busuk, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pemecah protein menjadi senyawa-senyawa berbau
busuk.

4.6. Tanda-Tanda Kerusakan pada Telur dan Produk Telur

Telur meskipun masih utuh dapat mengalami kerusakan, baik kerusakan fisik maupun kerusakan yang
disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Mikroba dari air, udara maupun kotoran ayam dapat masuk ke dalam telur
melalui pori-pori yang terdapat pada kulit telur. Telur yang telah dipecah akan mengalami kontak langsung dengan
lingkungan, sehingga lebih mudah rusak dibandingkan dengan telur yang masih utuh.

Tanda-tanda kerusakan yang sering terjadi pada telur adalah sebagai berikut:
 Perubahan fisik, yaitu penurunan berat, pembesaran kantung udara di dalam telur, pengenceran putih dan
kuning telur.
 Timbulnya bau busuk karena pertumbuhan bakteri pembusuk.
 Timbulnya bintik-bintik berwarna karena pertumbuhan bakteri pembentuk wama, yaitu bintik-bintik hijau,
hitam, dan merah.
 Bulukan, disebabkan oleh pertumbuhan kapang perusak telur.

Pencucian telur dengan air tidak menjamin telur menjadi lebih awet, karena jika air pencuci yang digunakan
tidak bersih dan tercemar oleh bakteri, maka akan mempercepat terjadinya kebusukan pada telur. Oleh karena itu
dianjurkan untuk mencuci telur yang tercemar oleh kotoran ayam menggunakan air bersih yang hangat.

4.7. Tanda-Tanda Kerusakan pada Biji-Bijian dan Umbi-Umbian

Kandungan utama pada biji-bijian (serealia dan kacang-kacangan) serta umbi-umbian adalah karbohidrat,
oleh karena itu kerusakan pada biji-bijian dan umbi-umbian sering disebabkan oleh pertumbuhan kapang yaitu
bulukan. Biji-bijian dan umbi-umbian umumnya diawetkan dengan cara pengeringan, tetapi jika proses
pengeringannya kurang baik sehingga aw bahan kurang rendah, maka sering tumbuh berbagai kapang perusak
pangan.

5. IDENTIFIKASI KERUSAKAN PANGAN

Kerusakan bahan pangan dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu:


 Kerusakan fisik karena benturan, Sayatan, dan lain-lain
 Kerusakan kimia karena terjadinya reaksi kimia, baik enzimaris maupun non enzimatis, seperti ketengikan,
pencoklatan , dan lain-lain
 Kerusakan biologis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
• Mikroorganisme perusak makanan (kapang, kamir dan bakteri)
• Serangga perusak pangan.

Kerusakan bahan pangan dapat dideteksi dengan berbagai cara, yaitu:


1. Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan,
keketanlan, warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain
2. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun
oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain
3. Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh
mikroba atau hasil dari reaksi kimia
4. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis.

Uji mikrobiologi memerlukan banyak peralatan dengan persiapan dan uji yang cukup lama, oleh karena itu
dianggap tidak praktis. Beberapa uji mikrobiologi telah dikembangkan dengan metode cepat, tetapi pada umumnya
memerlukan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang tidak mudah diperoleh. Beberapa uji kimia juga
memerlukan bahan kimia yang tidak murah dengan waktu uji yang agak lama. Dari berbagai uji kerusakan pangan
tersebut di atas, beberapa uji yang di bawah ini dianggap cukup sederhana untuk diterapkan di daerah-daerah dengan
fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu:
1. Uji organoleptik: melihat tanda-tanda kerusakan masing-masing produk yaitu:
 Perubahan kekenyalan/tekstur pada daging dan ikan.
 Perubahan kekentalan (viskositas) pada produk-produk cair seperti susu, santan sari , buah, sup,
kaldu, dan lain-lain.
 Perubahan warna pada semua produk pangan
 Perubahan bau pada semua produk pangan
 Pembentukkan lendir pada semua produk pangan berkadar air tinggi (daging, ikan, sayuran, sup,
kaldu, dan lain-lain).

2. Uji fisik, yaitu: Perubahan pH pada semua bahan pangan dan produk pangan
 Perubahan viskositas (viskosimeter)
 Perubahan indeks refraktif pada air daging
 perubahan warna (chromameter)
 Perubahan tekstur (teksturometer)

3. Uji kimia, yaitu:


 Uji H2S
 Uji TMA
 Uji VRS
 Uji reduksi nitrat
 Uji katalase
 Uji reduksi warna (pada susu dan santan)
 Uji etanol (pada susu)

(Pratiwi, 2004)
5.1 Uji Reduksi Warna dengan Biru Metilen
Salah satu cara untuk menghitung jumlah sel di dalam contoh secara tidak langsung adalah dengan uji
reduksi biru metilen. Uji reduksi biru metilen biasanya dilakukan terhadap susu, dan dapat memberikan perkiraan
jumlah bakteri di dalam susu.
Contoh lainnya yang dapat diuji dengan cara pengujian biru metilen misalnya santan. Dalam uji
ditambahkan sejumlah biru metilen ke dalam susu, kemudian diamati kemampuan bakteri di dalam susu untuk
tumbuh dan menggunakan oksigen yang terlarut, sehingga menyebabkan penurunan kekuatan oksidasi-reduksi dari
campuran tersebut. Akibatnya, biru metilen yang ditambahkan ke dalam contoh akan tereduksi menjadi berwarna
putih. Waktu reduksi, yaitu perubahan warna biru menjadi putih dianggap selesai jika kira-kira empat per lima dari
contoh susu yang terdapat di dalam tabung (sebanyak 10 ml) telah bewarna putih. Beberapa penelitian melaporkan
perkiraan jumlah koloni yang diperoleh dengan metode cawan dengan waktu reduksi pada uji biru metilen pada susu
(Tabel 2). Semakin tinggi jumlah bakteri di dalam contoh, semakin cepat terjadinya perubahan dari biru menjadi
putih.
Metode biru metilen merupakan cara yang lebih cepat dibandingkan dengan metode hitungan cawan yang
memerlukan waktu beberapa hari untuk melihat hasilnya. Kelemahan metode biru metilen cara ini tidak praktis
dilakukan terhadap susu yang mengandung bakteri dalam jumlah sedikit, karena dibutuhkan waktu yang terlalu lama
untuk mereduksi biru metilen. Kelemahan lainnya adalah karena dalam uji biru metilen diperlukan waktu
pengamatan yang terus menerus, yaitu yang paling sedikit selama enam jam. Dengan metode ini juga tidak dapat
dibedakan jenis bakteri yang terdapat di dalam contoh, misalnya bakteri positif ayau negatif, bakteri pembentuk
spora, kamir, dan sebagainya.
Pewarna lain yang dapat digunakan untuk uji reduksi warna dengan prinsip seperti biru metilen adalah
resazurin, yang membutuhkan waktu reduksi lebih cepat daripada biru metilen. Dengan total bakteri di dalam contoh
sebanyak >107 koloni/g dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam untuk mereduksi resazurin, sedangkan dengan jumlah
bakteri 1,8 х 104 koloni/g dibutuhkan waktu reduksi selama 5 jam.
5.2 Hitungan Mikroskopik
Perhitungan jumlah mikroba secara langsung menggunakan mikroskop sering digunakan untuk
menganalisis susu mengandung bakteri dalam jumlah tinggi, misalnya susu yang diperoleh dari sapi yang terkena
mastitis, yaitu suatu penyakit infeksi yang menyerang kelenjar susu sapi. Cara ini merupakan suatu cara cepat, yaitu
menghitung tidak dapat diterapkan terhadap contoh (susu atau santan) yang telah mengalami pasteurisasi, karena
secara mikroskopik tidak dapat dibedakan antara sel-sel bakteri yang masih hidup atau yang telah mati karena
perlakuan pasteurisasi.
Dalam metode ini, luas areal pandang mikroskop yang akan digunakan harus dihitung terlebih dahulu. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mengukur diameter areal pandang menggunakan mikrometer yang dilihat melalui
lensa minyak imersi. Untuk menghitung jumlah bakteri di dalam contoh, sebanyak 0,01 ml contoh dipipet dengan
pipit Breed dan disebarkan di atas gelas obyek sehingga mencapai luas 1 cm2, kemudian didiamkan sampai kering,
difiksasi, dan diwarnai dengan biru metilen. Rata-rata jumlah bakteri per areal pandang mikrokop dihitung setelah
mengamati 10 sampai 60 kali areal pandang, tergantung dari jumlah bakteri per areal pandang (Tabel 3). Sel-sel
yang mengumpul dalam suatu kelompok, dihitung jumlah sel yang terdapat di dalam kelompok tersebut, tetapi jika
tidak mungkin dapat dihitung sebagai satu kelompok.
Hasil perhitungan berdasarkan jumlah kelompok bakteri biasanya lebih mendekati hasil perhitungan jumlah
bakteri menggunakan agar cawan. Pada sapi yang terserang mastitis, susunya biasanya mengandung sel-sel darah
putih dalam jumlah tinggi. Setelah pewarnaan dengan biru metilen, sel-sel darah putih akan terlihat sebagai sel yang
bulat atau berbentuk tidak teratur, bewarna biru dengan ukuran lebih besar daripada bakteri.

Mikrometer yang digunakan untukl mengukur luas areal pandang mikroskop adalah mikrometer gelas
obyek yang mempunyai skala terkecil 0,01 mm. Areal pandang mikroskop biasanya mempunyai ukuran 14-16 skala
atau 0,14-0,16 mm. Beberapa mikrokop mungkin mempunyai ukuran diameter areal pandang lebih dari 0,18 mm.
Luas areal pandang mikroskop = π r2 mm2 atau = π r2 / 100 cm2. Nilai r adalah jari-jari aral pandang mikroskop.
Karena jumlah contoh yang disebarkan pada gelas obyek seluas 1 cm2 adalah 0,01 ml, maka: Jumlah susu per areal
pandang mikroskop = π r2/100 x 0,01 ml = π r2/10.000 ml.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan 1 ml contoh dapat diperoleh dari 10.000/ π r2 kali areal pandang
mikroskop. Angka 10.000/ π r2 disebut juga faktor mikroskopik (FM),dan digunakan untuk mengubah jumlah
bakteri per areal pandang mikroskop menjadi jumlah bakteri per ml sebagai berikut. Jumlah bakteri per ml contoh =
10.000/ π r2 x jumlah rata-rata (Nurmaini, 2001)

6. KERUSAKAN BAHAN PANGAN OLEH MIKROORGANISME


Mikroba-mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan tersebut mempunyai daya rusak
yang tinggi karena dapat menyebabkan degradasi komponen bahan pangan sehingga bersifat toksin dan berbahaya
untuk kesehatan. Bahan pangan yang telah terkontaminasi mikroba akan menjadi sumber kontaminasi bagi bahan
pangan yang masih bagus. Karena itu cara satu-satunya adalah bahan pangan terkontaminasi harus segera di
musnahkan agar mikroba-mikroba tersebut tidak berkembang biak dan menulari bahan pangan ainnya. Kerusakan
bahan pangan oleh mikroba selain bersifat sangat merugikan juga membahayakan kesehatan manusia. Karena
mikroorganisme tersebut biasanya menghasilkan racun. Contohnya adalah mikroba C. botulinun, E.coli, dll.
Kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme dapat terjadi pada berbagai jenis bahan pangan, baik bahan mentah,
setengah jadi ataupun hasil olahan. Bahkan makanan kaleng yang diolah secara kkompleks dapat juga
terkontaminasi mikroba. Untuk mengetahui
Pada ada tiga kelompok mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab kerusakan makanan, yaitu:
1. Bakteri, contoh bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan diantaranya adalah:
 Pseudomonas cocovenenans penghasil asam bongkrek pada tempe bongkrek.
 Clostridium botulinun penghasil toksin pada makanan dan minuman kaleng.
 Erwinia, Bacillus & Enterobacter aerogenes menyebabkan pelendiran pada susu.
 Alcaligens viscolactis & Enterobacter aerogenes menyebabkan pelendiran pada susu.
2. Jamur, contoh jamur yang menyebabkan kerusakan bahan pangan antara lain adalah:
 Aspergillus flavus dan Apergillus parasitivus yang mampu memproduksi mikotoksin
 Penicillum martenssi memproduksi aflaktoksin.
 Aspergillus achraceus dan Aspergillus melleus memproduksi asam penisilat.
 Mucor sering menyebabkan kerusakan makanan, misalnya terjadinya pembusukan pada roti
3. Khamir, merupakan jenis mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan di mana bakteri dan jamur tidak
dapat tumbuh. Contoh khamir yang bermanfaat dan dan juga dapat menyebabkan kerusakan jika tumbuh pada
waktu dan media yang salah adalah dari jenis Saccharomycetes.

Mikroorganisme dapat di temui di mana saja. Baik diudara, dipermukaan alat - alat, ditanah atau didalam debu
maupun ditangan kita. Untuk mencegah kerusakan bahan pangan oleh mikroba, maka sebelum, selama dan
sesudah mengolah bahan pangan harus selalu menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan, bahan, alat, dll yang
secara langsung ataupun tidak langsung bersentuhan dengan bahan pangan. Karena mikroorganisme sangat mudah
berpindah dari satu benda-ke benda yang lain secara bebas dan mengkontaminasi makanan kita.

7. MIKROBA DALAM KERACUNAN MAKANAN

 Makanan/minuman yang ditelan mungkin mengandung komponen beracun INTOKSIKASI


 Makanan/minuman yang ditelan mungkin mengandung mikroba dalam jumlah yang cukup untuk dapat
menimbulkan gejala sakit INFEKSI
7.1 INTOKSIKASI
 Keracunan dapat terjadi karena tertelannya suatu toksin,
 jenis toksin
 Komponen Anorganik, contoh : sianida (singkong)
 Komponen Organik Tumbuhan, contoh : gosipol, visin –
 Toksin Hewan, contoh : skombrotoksin, tetrodoksin –
 Toksin hasil metabolisme sel-sel mikroba tertentu
 Contoh intoksikasi : botulisme (botulinum), racun Staphylococcus aureus, racun bongkrek
(Pseudomonas cocovenenans), aflatoksin (Aspergillus flavus)
7.2 INFEKSI
 Mikroba masuk ke dalam tubuh, menembus pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak
dalam tubuh.
 Gejala : demam (pada intoksikasi tidak ada gejala demam)

Indikator kerusakan Makanan oleh Mikroba


Kerusakan makanan oleh mikroba disebabkan oleh:
 Pertumbuhan sel mikroba pada kromosom makanan
 Enzim ekstrak seluler dan intraseluler yang bereaksi dengan komponen makanan dan mengubah
sifat makanan tersebut.

Yang penting diketahui untuk menghindari kerusakan makanan:


 Prediksi waktu simpan makanan ( setelah produksi ) pada kondisi penyimpanan normal untuk
makanan tersebut.
 Menentukan status terkini ( terkait dengan kerusakan ) makanan yang disimpan dan waktu tertentu
estimasi tahapan kerusakan mikrobiologis

Kriteria atau indicator yang digunakan


1. Sensori / organoleptic
 Perubahan warna ,bau,aroma,penampilan umum
 Memiliki kekurangan jika digunakan sebagai indicator tunggal
 Perubahan aroma/tekstur trjadi pada tahap akhir kerusakan
 Bau dapat tersamarkan oleh bumbu,bau yang disebabkan oleh senyawa volatile tidak terdeteksi
jika terdedah k eudara
 Terdapat perbedaan penilaian organoleptok antar individu
2. Indicator mikrobiologi dan kimia
 Kriteria mikrobiologi maupun kimia secara tunggal juga tidak efektif dalam memprediksi baik umur
simpan maupun status kerusakan produk.
 Factor yang menentukan kerusakan makanan secara mikrobiologis
 Tipe produk makanan
 Komposisi nutrisi pada makanan
 Metode yang digunakan selama pemprosesan
 Kontaminasi yang terjadi selama pemprosesan
 Suhu dan waktu penyimpanan
 Indicator dipilih berdasarkan produk atau keelompok produk yang sejenis
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Arini. 2010. Faktor- Faktor Penyebab dan Karakteristik Makanan Kadaluarsa yang Berdampak Buruk pada
Kesehatan Masyarakat. Apikes Citra Medika Surakarta
Mirghabti, M dan K. Pourvali. 2013. “Consumers Attitude Toward Date Marking System of Packaged Foods”.
Journal of paramedical Sciences (4): 75-82.
Muchtadi., Tien R., (1989), Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, T.R. 2001. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.
Nurmaini, 2001. “Pencemaran Makanan Secara Kimia dan Biologis”. Skripsi. Universitas Sumatera Utara: Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
Pratiwi, A.R. 2004. “Aspek Mikrobiologi Produk Makanan Kaleng”. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Institut
Pertanian Bogor: Sekolah Pasca Sarjana S3.
Rustini, N.L. 2010. Aktivitas Jamur Penyebab Busuk. Jakarta: Erlangga
Sapandi, Tatang. 2014. MIKROBIOLOGI PANGAN. Yongyakarta: penerbit ANDI
Siagian, Albiner. 2002. MIKROBA PATOGEN PADA MAKANAN DAN SUMBER PENCEMARANNYA.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Susiwi, 2009. Kerusakan Pangan. FMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia
Suter, I.K. 2000. Kajian Aplikasi Teknologi Pangan dalam Upaya Menghasilkan Produk Bermutu. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press. Susiwi, 2009. Kerusakan Pangan. FMIPA. Universitas Pendidikan
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai