A.TUJUAN
B.ISI
1 . MIKROBIOLOGI KERUSAKAN PANGAN
Kerusakan pangan merupakan proses metabolic yang menyebabkan pangan menjadi tidak diinginkan atau
tidak dapat dikonsumsi karena perubahan karakteristik sensori. Pangan yang rusak mungkin aman untuk dikonsumsi
dan tidak menyebabkan sakit karena tidak mengandung pathogen atautoksik, tetapi pangan tersebut telah mengalami
perubahan tekstur, aroma , rasa, atau penampilan lain, sehingga ditolak oleh konsumen. Kerusakan pangan oleh
mikroba terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pertumbuhan mikroba dalam pangan atau pengeluaran enzim ekstra
dan intraseluler setelah lisis sel dalam pangan. Perubahan warna, bau, tekstur, pembentukan lender, akumulasi gas,
dan akumulasi cairan merupakan beberapa indicator yang dapat dideteksi berkaitan dengan kerusakan beberapa jenis
pangan. Kerusakan pangan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba, terjadi lebih cepat dibandingkan
kerusakanpangan yang disebabkan oleh enzim ekstra atau intraseluler tanpa selmikroba hidup.
Mikroogansme dapat masuk kedalam pangan yang berasal dari satu atau lebih dari satu sumber
kontaminasi dan dapat menyebabkan kerusakan pangan pada kondisi lingkungan pangan yang mendukung
pertumbuhan mikroorganisme seperti PH, potensi oksidasi-reduksi nutrisi dan tidak adanya komponen penghambat.
Pangan yang disimpanpadasuhu yang cocokuntukmikroorganismedalamwaktu yang cukup lama, meyebabkan
mikroorganisme tumbuh mencapai jumlah yang cukup tinggi dan menyebabkan perubahan, termasuk kerusakan
pangan.
Beberapa mikroorganisme dapat bertahan hidup pada perlakuan panas spesifik atau masuk kedalam pangan
setelah pemanasan sebagai kontaminan, sehingga menyebabkan kerusakan pangan. Kerusakan pada pangan yang
diberiperlakuanpanasdapatterjadiolehenzimmikrobatanpaadanyaselhidupmikroba, karena beberapa enzim tahan
panas dapat dihasilkan oleh mikroorganisme sebelum perlakuan pemanasan. Pangan yang disimpan pada suhu yang
cocokuntukpertumbuhanmikrobadalamwaktucukup lama, juga dapat mengalami kerusakan akibat aktivitas katalitik
enzim. (Sapandi, 2014)
Bahan pangan atau makanan disebut busuk atau rusak jika sifat-sifatnya telah berubah sehingga tidak dapat
diterima lagi sebagai makanan. Kerusakan pangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau hewan pengerat, aktivitas enzim pada tanaman atau
hewan, reaksi kimia nomenzimatik, kerusakan fisik misalnya karena pembekuan, hangus, pengeringan, tekanan, dan
lain-lain. Kerusakan atau kebusukan pangan juga merupakan mutu yang subyektif, yaitu seseorang mungkin
menyatakan suatu pangan sudah busuk atau rusak, sedangkan orang lainnya menyatakan pangan tersebut belum
rusak/busuk. Orang yang sudah biasa mengkonsumsi makanan yang agak basi mungkin tidak merasa bahwa
makanan tersebut dari segi kesehatan mungkin sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Gejala keracunan sering terjadi
karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan berbahaya, termasuk mikroorganisme,
yang tidak dapat dideteksi langsung dengan indera manusia.
Bahan-bahan kimia berbahaya yang terdapat pada makanan sukar diketahui secara langsung oleh orang
yang akan mengkonsumsi makanan tersebut, sehingga seringkali mengakibatkan keracunan. Mikroorganisme
berbahaya yang terdapat di dalam makanan kadang-kadang dapat dideteksi keberadaannya di dalam makanan jika
pertumbuhan mikroorganisme tertentu menyebabkan perubahan-perubahan pada makanan, misalnya menimbulkan
bau asam, bau busuk, dan lain-lain. Akan tetapi tidak semua mikroorganisme menimbulkan perubahan yang mudah
dideteksi secara langsung oleh indera kita, sehingga kadang-kadang juga dapat menimbulkan gelala sakit pada
manusia jika tertelan dalam jumlah sangat kecil di dalam makanan. Jumlah yang sangat kecil ini tidak
mengakibatkan perubahan pada sifat-sifat makanan (Susiwi, 2009)
Kerusakan mikrobiologis sangat merugikan dan terkadang atau bahkan sering menimbulkan bahaya bagi
kesehatan karena racun yang diproduksinya. Bahan yang telah rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber
kontaminasi yang berbahaya bagi bahan lain yang masih segar. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah berbagai
mikroorganisme seperti khamir, kapang dan bakteri. Cara mikroba untuk merusak bahan pangan yaitu dengan
menghidrolisis atau mendegradasi makro molekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih
kecil serta dapat mengeluarkan toksin (Suter, 2000).
Tanda-tanda atau ciri-ciri yang dapat dikenali pada makanan yang sudah kadaluarsa yaitu bahan makanan
tersebut telah mengalami kerusakan dan mengalami perubahan pada warna, bau, rasa, tekstur dan kekentalannya.
Penyebab terjadinya kerusakan pada makanan kadaluarsa akibat pelepasan pada makanan dan tidak berfungsinya
lagi bahan pengawet pada makanan, serta dapat terjadi karena reaksi-reaksi zat kimia beracun yang terkandung pada
makanan dalam jenjang waktu tertentu (Rustini, 2010). Tanggal kadaluarsa dapat didefinisikan sebagai lamnaya
waktu makanan baik-baik saja sebelum mulai membusuk, tidak bergizi atau tidak aman. Tanggal kadaluarsa
biasanya ditulis “best before” atau “use by”. “Best before” adalah tanggal terakhir di mana makanan dapat
mempertahankan kualitasnya, sedangkan “use by date” adalah hari terakhir di mana makanan dapat dimakan dengan
aman asalkan telah disimpan sesuai dengan kondisi penyimpanan yang tertulis pada kemasan (Mirghatbi dan
Katayoun, 2013).
Makanan kadaluarsa adalah makanan yang masa produktifnya telah berakhir sehingga jika dimakan akan
menyebabkan gangguan kesehatan. Masing-masing makanan memiliki masa kadaluarsa yang berbeda-beda.
Biasanya makanan yang tidak dikemas atau tidak diberi pengawet akan memiliki masa kadaluarsa yang lebih cepat
daripada makanan yang dikemas atau sudah diberi bahan pengawet. Proses terjadinya kerusakan mikrobiologis pada
bahan pangan secara umum yaitu mikroba masuk ke dalam bahan pangan baik melalui udara, debu, tangan, atau
media yang lain. Kondisi di dalam bahan pangan seperti Aw (kandungan air dalam pangan) dan pH mendukung atau
sesuai dengan kondisi di mana mikroorganisme tersebut berkembang. Selain itu, bahan pangan disimpan dalam
kondisi yang memungkinkan atau bahkan mendukung pertumbuhan mikroba seperti disimpan dalam suhu ruang
(±280C) sehingga terjadi metabolisme mikroba seperti mengeluarkan toksin atau racun yang menyebabkan
kerusakan makanan dan akan berbahaya jika dikonsumsi (Dewi, 2010)
e) Kadar Air
Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH udara sekitar. Bila terjadi
kondensasi udara pada permukaan bahan pangan akan dapat menjadi media yang baik bagi mikroba.
Kondensasi tidak selalu berasal dari luar bahan. Di dalam pengepakan buah-buahan dan sayuran dapat
menghasilkan air dari respirasi dan transpirasi, air ini dapat membantu pertumbuhan mikroba.
h) Waktu
Pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, kerusakan oleh serangga, pengaruh pemanasan atau pendinginan,
kadar air, oksigen dan sinar, semua dipengaruhi oleh waktu. Waktu yang lebih lama akan menyebabkan
kerusakan yang lebih besar, kecuali yang terjadi pada keju, minuman anggur, wiski dan lainnya yang tidak
rusak selama “ageing(Muchtadi, 1989)
Karakteristik kerusakan bahan pangan berdasarkan uji organoleptik (rasa, warna, bau, tekstur dan adanya
mikroorganisme) pada tujuh golongan bahan makanan yang telah dilakukan yaitu :
Karbohidrat Terlihat adanya jamur karena aktivitas jamur di permukaan bahan pangan yang biasanya
berwarna putih atau kehijauan. Selain itu dapat berair, berlendir dan berbau karena aktivitas bakteri yang
menghasilkan enzim ekstraseluler.
Protein Pada susu kadaluarsa akan terlihat lebih encer dan terbentuk gumpalan, bakteri yang biasa
mengkontaminasi yaitu Staphylococcus aureus. Pada daging dan ikan menjadi lebih pucat dan berbau
busuk karena perombakan protein menjadi amoniak. Selain itu, teksturnya juga berubah menjadi lebih
lembek.
Lemak Terlihat kuning dan menggumpal. Muncul bau tengik dan rasa asam. Bau tengik dapat terjadi
karena absorbsi bau oleh lemak, aktivitas enzim pada bahan yang mengandung lemak, aktivitas mikroba
yang terkandung dalam lemak atau oksidasi oleh oksidasi di udara.
Gula Rasa menjadi asam dan menimbulkan gas. Pada jus juga terdapat gumpalan.
Buah-buahan Warna berubah menjadi lebih gelap, menjadi berair, tekstur lembek karena khamir atau
jamur, tetapi sedikit yang disebabkan oleh bakteri.
Sayur-sayuran Menjadi lembek, lunak, dan berair. Hal tersebut karena organisme mempunyai enzim litik
seperti selulase dan pektinase yangb erperanm erusakd indings els ayuran.
Makanan kaleng Terjadi perubahan penampilan kaleng, seperti menggembung, penyok dan bau busuk.
Mikroorganisme yang biasa ada pada makanan kaleng yaitu Clostridium botulinium. Pada makanan kaleng
seperti sarden terdapat warna hitam yang disebabkan oleh reaksi antara sulfida dan besi.
(Dewi, 2010)
Tanda-tanda kerusakan tersebut diatas dapat menunjukkan perkiraan secara kasar jumlah mikroba yang
terdapat di dalam bahan pangan seperti terlihat pada gambar 1.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang
tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Kerusakan pada daging ditandai dengan perubahan bau dan
timbulnya lendir. Biasanya kerusakan ini. terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta (10 6 – 108) sel
atau lebih per 1 cm2 luas permukaan daging.
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti
amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak
memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Diantara produk-
produk metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang
digunakan sebagai indikator kebusukan daging.
Kerusakan mikrobiologi pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-
tanda sebagai berikut:
Pembentukan lendir
Perubahan warna
Perubahan bau menjadi busuk karena pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk
seperti amonia, H2S, dan senyawa lain-lain.
Perubahan rasa menjadi asam karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam.
Ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging.
Produk kadaverin dan putresin di dalam daging terjadi melalui reaksi sebagai berikut :
Peningkatan konsentrasi kadaverin dan putresin umumnya terjadi secara nyata jika jumlah total mikroba
mencapai 4x 107 koloni/g. Perubahan bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri
pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika
jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0 koloni/cm2. Putresin merupakan senyawa diamin yang diproduksi oleh
pseudomonad, sedangkan kadaverin terutama doproduksi oleh Enterobacteaceae.
Pada ikan asin yang telah diolah dengan pengeringan dan penggaraman sehingga a w ikan menjadi rendah,
kerusakan disebabkan oleh pertumbuhan kapang. Pada ikan asin dan ikan peda yang mengandung garam sangat
tinggi (sekitar 20%), kerusakan dapat disebabkan atau bakteri yang tahan garam yang disebut bakteri halofilik.
Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA) dari reduksi trimetilamin oksida
(TMAO), sebagai berikut:
TMAO merupakan komponen yang normal terdapat di dalam ikan laut, sedangkan pada ikan yang masih
segar TMA hanya ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada. Produksi TMA mungkin dilakukan oleh
mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang dapat mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri
mempunyai kemampuan yang sama dalam meruduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung dari pH ikan.
Histamin, diamin, dan senyawa volatil (total volatile substances) juga digunakan sebagai indikator
kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam amino histidan oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi
oleh mikroorganismeaa:
Histamin merupakan penyebab keracunan scromboid. Seperti halnya pada daging, kadaverin dan putresin
merupakan diamin yang juga digunakan sebagai indikator kebisukan ikan.
Senyawa voatil yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan termasuk TVB (total votatile bases),
TVA (total volatile acids) TVS (total volateli substance), dan TVN (total volatile nitrogen). Yang termasuk TVB
adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin, sedangkan TVN terdiri dari TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang
dihasilkan dari destilasi uap terhadap contoh, dan TVS atau VRS (volatile reducing substance) adalah senyawa hasil
aerasi dari produk dan dapat mereduksi larutan alkalin permanganat. Yang termasuk TVA adalah asam asetat,
propionat dan asamasam organik lainnya. Batas TVN maxsimum untuk udang yang bermutu baik di Jepang dan
Australia adalah 30 mg TVN/100g dengan maksimum 5 mg trimatilamin nitrogen/100g.
Untuk produk-produk laut seperti oister, clamdan scallop, perubahan pH merupakan indikator kerusakan,
yaitu pH 5,9-6,2 untuk produk yang masih baik, pH 5,8 sudah agak menyimpang, dan pH 5,2 atau kurang
merupakan tanda kebusukan atau asam.
Pada dasarnya makanan kaleng dibedakan atas tiaga kelompok berdasarkan keasaman, yaitu:
1. Makanan kaleng berasam rendah (pH>4,6), misalnya produk-produk daging dan ikan,suws, beberapa
sayuran (jagung, buncis), dan masakan yang terdiri dari campuran daging dan sayuran (lodeh, gudeg, opor,
dan lain-lain)
2. Makanan kaleng asam (pH 3,7-4,6), misalnya produk-produk tomat, pear, dan produk-produk lain
3. Makanan kaleng berasam tinggi (pH<3,7), misalnya buah-buahan dan sayuran kaleng seperti jeruk, pikel,
sauerkraut, dan lain-lain.
Kerusakan sayuran dan buah-buahan sering terjadi akibat benturan fisik, kehilangan air sehingga layu,
serangan serangga, dan serangan mikroba. Sayur-sayuran yang mudah rusak misalnya adalah kubis, tomat, wortel,
dan lain-lain.
Tanda-tanda kerusakan mikrobiologi pada sayuran dan buah-buahan antara lain adalah:
Busuk air pada sayuran yang disebabkan oleh pertumbuhan beberapa bakteri, ditandai dengan tekstur yang
lunak (berair).
Perubahan warna yang disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang membentuk spora berwarna hitam,
hijau, abu-abu, biru, ¬hijau, merah jambu, dan lain-lain.
Bau alkohol, rasa asam, disebabkan oleh pertumbuhan kamir atau bakteri asam laktat, misalnya pada sari
buah.
Susu merupakan salah bahan pangan yang sangat mudah rusak, karena merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Tanda-tanda kerusakan mikrobiologi pada susu adalah sebagai berikut:
Perubahan rasa menjadi asam, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk asam, terutama bakteri
asam laktat dan bakteri koli.
Penggumpalan susu, disebabkan oleh pemecahan protein susu oleh bakteri pemecah protein. Pemecahan
protein mungkin disertai oleh terbentuknya asam atau tanpa asam.
Pembentukan lendir, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk lendir.
Pembentukan gas, disebabkan oleh pertumbuhan dua kelompok mikroba, yaitu bakteri yang membentuk
gas H2 (Hidrogen) dan CO2 (karbon dioksida) seperti bakteri koli dan bakteri pembentuk spora, dan bakteri
yang hanya membentuk CO2 seperti bakteri asam laktat tertentu dan kamir.
Ketcngikan, disebabkan pemecahan lemak oleh bakteri tertentu.
Bau busuk, disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pemecah protein menjadi senyawa-senyawa berbau
busuk.
Telur meskipun masih utuh dapat mengalami kerusakan, baik kerusakan fisik maupun kerusakan yang
disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Mikroba dari air, udara maupun kotoran ayam dapat masuk ke dalam telur
melalui pori-pori yang terdapat pada kulit telur. Telur yang telah dipecah akan mengalami kontak langsung dengan
lingkungan, sehingga lebih mudah rusak dibandingkan dengan telur yang masih utuh.
Tanda-tanda kerusakan yang sering terjadi pada telur adalah sebagai berikut:
Perubahan fisik, yaitu penurunan berat, pembesaran kantung udara di dalam telur, pengenceran putih dan
kuning telur.
Timbulnya bau busuk karena pertumbuhan bakteri pembusuk.
Timbulnya bintik-bintik berwarna karena pertumbuhan bakteri pembentuk wama, yaitu bintik-bintik hijau,
hitam, dan merah.
Bulukan, disebabkan oleh pertumbuhan kapang perusak telur.
Pencucian telur dengan air tidak menjamin telur menjadi lebih awet, karena jika air pencuci yang digunakan
tidak bersih dan tercemar oleh bakteri, maka akan mempercepat terjadinya kebusukan pada telur. Oleh karena itu
dianjurkan untuk mencuci telur yang tercemar oleh kotoran ayam menggunakan air bersih yang hangat.
Kandungan utama pada biji-bijian (serealia dan kacang-kacangan) serta umbi-umbian adalah karbohidrat,
oleh karena itu kerusakan pada biji-bijian dan umbi-umbian sering disebabkan oleh pertumbuhan kapang yaitu
bulukan. Biji-bijian dan umbi-umbian umumnya diawetkan dengan cara pengeringan, tetapi jika proses
pengeringannya kurang baik sehingga aw bahan kurang rendah, maka sering tumbuh berbagai kapang perusak
pangan.
Uji mikrobiologi memerlukan banyak peralatan dengan persiapan dan uji yang cukup lama, oleh karena itu
dianggap tidak praktis. Beberapa uji mikrobiologi telah dikembangkan dengan metode cepat, tetapi pada umumnya
memerlukan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang tidak mudah diperoleh. Beberapa uji kimia juga
memerlukan bahan kimia yang tidak murah dengan waktu uji yang agak lama. Dari berbagai uji kerusakan pangan
tersebut di atas, beberapa uji yang di bawah ini dianggap cukup sederhana untuk diterapkan di daerah-daerah dengan
fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu:
1. Uji organoleptik: melihat tanda-tanda kerusakan masing-masing produk yaitu:
Perubahan kekenyalan/tekstur pada daging dan ikan.
Perubahan kekentalan (viskositas) pada produk-produk cair seperti susu, santan sari , buah, sup,
kaldu, dan lain-lain.
Perubahan warna pada semua produk pangan
Perubahan bau pada semua produk pangan
Pembentukkan lendir pada semua produk pangan berkadar air tinggi (daging, ikan, sayuran, sup,
kaldu, dan lain-lain).
2. Uji fisik, yaitu: Perubahan pH pada semua bahan pangan dan produk pangan
Perubahan viskositas (viskosimeter)
Perubahan indeks refraktif pada air daging
perubahan warna (chromameter)
Perubahan tekstur (teksturometer)
(Pratiwi, 2004)
5.1 Uji Reduksi Warna dengan Biru Metilen
Salah satu cara untuk menghitung jumlah sel di dalam contoh secara tidak langsung adalah dengan uji
reduksi biru metilen. Uji reduksi biru metilen biasanya dilakukan terhadap susu, dan dapat memberikan perkiraan
jumlah bakteri di dalam susu.
Contoh lainnya yang dapat diuji dengan cara pengujian biru metilen misalnya santan. Dalam uji
ditambahkan sejumlah biru metilen ke dalam susu, kemudian diamati kemampuan bakteri di dalam susu untuk
tumbuh dan menggunakan oksigen yang terlarut, sehingga menyebabkan penurunan kekuatan oksidasi-reduksi dari
campuran tersebut. Akibatnya, biru metilen yang ditambahkan ke dalam contoh akan tereduksi menjadi berwarna
putih. Waktu reduksi, yaitu perubahan warna biru menjadi putih dianggap selesai jika kira-kira empat per lima dari
contoh susu yang terdapat di dalam tabung (sebanyak 10 ml) telah bewarna putih. Beberapa penelitian melaporkan
perkiraan jumlah koloni yang diperoleh dengan metode cawan dengan waktu reduksi pada uji biru metilen pada susu
(Tabel 2). Semakin tinggi jumlah bakteri di dalam contoh, semakin cepat terjadinya perubahan dari biru menjadi
putih.
Metode biru metilen merupakan cara yang lebih cepat dibandingkan dengan metode hitungan cawan yang
memerlukan waktu beberapa hari untuk melihat hasilnya. Kelemahan metode biru metilen cara ini tidak praktis
dilakukan terhadap susu yang mengandung bakteri dalam jumlah sedikit, karena dibutuhkan waktu yang terlalu lama
untuk mereduksi biru metilen. Kelemahan lainnya adalah karena dalam uji biru metilen diperlukan waktu
pengamatan yang terus menerus, yaitu yang paling sedikit selama enam jam. Dengan metode ini juga tidak dapat
dibedakan jenis bakteri yang terdapat di dalam contoh, misalnya bakteri positif ayau negatif, bakteri pembentuk
spora, kamir, dan sebagainya.
Pewarna lain yang dapat digunakan untuk uji reduksi warna dengan prinsip seperti biru metilen adalah
resazurin, yang membutuhkan waktu reduksi lebih cepat daripada biru metilen. Dengan total bakteri di dalam contoh
sebanyak >107 koloni/g dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam untuk mereduksi resazurin, sedangkan dengan jumlah
bakteri 1,8 х 104 koloni/g dibutuhkan waktu reduksi selama 5 jam.
5.2 Hitungan Mikroskopik
Perhitungan jumlah mikroba secara langsung menggunakan mikroskop sering digunakan untuk
menganalisis susu mengandung bakteri dalam jumlah tinggi, misalnya susu yang diperoleh dari sapi yang terkena
mastitis, yaitu suatu penyakit infeksi yang menyerang kelenjar susu sapi. Cara ini merupakan suatu cara cepat, yaitu
menghitung tidak dapat diterapkan terhadap contoh (susu atau santan) yang telah mengalami pasteurisasi, karena
secara mikroskopik tidak dapat dibedakan antara sel-sel bakteri yang masih hidup atau yang telah mati karena
perlakuan pasteurisasi.
Dalam metode ini, luas areal pandang mikroskop yang akan digunakan harus dihitung terlebih dahulu. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mengukur diameter areal pandang menggunakan mikrometer yang dilihat melalui
lensa minyak imersi. Untuk menghitung jumlah bakteri di dalam contoh, sebanyak 0,01 ml contoh dipipet dengan
pipit Breed dan disebarkan di atas gelas obyek sehingga mencapai luas 1 cm2, kemudian didiamkan sampai kering,
difiksasi, dan diwarnai dengan biru metilen. Rata-rata jumlah bakteri per areal pandang mikrokop dihitung setelah
mengamati 10 sampai 60 kali areal pandang, tergantung dari jumlah bakteri per areal pandang (Tabel 3). Sel-sel
yang mengumpul dalam suatu kelompok, dihitung jumlah sel yang terdapat di dalam kelompok tersebut, tetapi jika
tidak mungkin dapat dihitung sebagai satu kelompok.
Hasil perhitungan berdasarkan jumlah kelompok bakteri biasanya lebih mendekati hasil perhitungan jumlah
bakteri menggunakan agar cawan. Pada sapi yang terserang mastitis, susunya biasanya mengandung sel-sel darah
putih dalam jumlah tinggi. Setelah pewarnaan dengan biru metilen, sel-sel darah putih akan terlihat sebagai sel yang
bulat atau berbentuk tidak teratur, bewarna biru dengan ukuran lebih besar daripada bakteri.
Mikrometer yang digunakan untukl mengukur luas areal pandang mikroskop adalah mikrometer gelas
obyek yang mempunyai skala terkecil 0,01 mm. Areal pandang mikroskop biasanya mempunyai ukuran 14-16 skala
atau 0,14-0,16 mm. Beberapa mikrokop mungkin mempunyai ukuran diameter areal pandang lebih dari 0,18 mm.
Luas areal pandang mikroskop = π r2 mm2 atau = π r2 / 100 cm2. Nilai r adalah jari-jari aral pandang mikroskop.
Karena jumlah contoh yang disebarkan pada gelas obyek seluas 1 cm2 adalah 0,01 ml, maka: Jumlah susu per areal
pandang mikroskop = π r2/100 x 0,01 ml = π r2/10.000 ml.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan 1 ml contoh dapat diperoleh dari 10.000/ π r2 kali areal pandang
mikroskop. Angka 10.000/ π r2 disebut juga faktor mikroskopik (FM),dan digunakan untuk mengubah jumlah
bakteri per areal pandang mikroskop menjadi jumlah bakteri per ml sebagai berikut. Jumlah bakteri per ml contoh =
10.000/ π r2 x jumlah rata-rata (Nurmaini, 2001)
Mikroorganisme dapat di temui di mana saja. Baik diudara, dipermukaan alat - alat, ditanah atau didalam debu
maupun ditangan kita. Untuk mencegah kerusakan bahan pangan oleh mikroba, maka sebelum, selama dan
sesudah mengolah bahan pangan harus selalu menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan, bahan, alat, dll yang
secara langsung ataupun tidak langsung bersentuhan dengan bahan pangan. Karena mikroorganisme sangat mudah
berpindah dari satu benda-ke benda yang lain secara bebas dan mengkontaminasi makanan kita.
Dewi, Arini. 2010. Faktor- Faktor Penyebab dan Karakteristik Makanan Kadaluarsa yang Berdampak Buruk pada
Kesehatan Masyarakat. Apikes Citra Medika Surakarta
Mirghabti, M dan K. Pourvali. 2013. “Consumers Attitude Toward Date Marking System of Packaged Foods”.
Journal of paramedical Sciences (4): 75-82.
Muchtadi., Tien R., (1989), Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, T.R. 2001. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.
Nurmaini, 2001. “Pencemaran Makanan Secara Kimia dan Biologis”. Skripsi. Universitas Sumatera Utara: Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
Pratiwi, A.R. 2004. “Aspek Mikrobiologi Produk Makanan Kaleng”. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Institut
Pertanian Bogor: Sekolah Pasca Sarjana S3.
Rustini, N.L. 2010. Aktivitas Jamur Penyebab Busuk. Jakarta: Erlangga
Sapandi, Tatang. 2014. MIKROBIOLOGI PANGAN. Yongyakarta: penerbit ANDI
Siagian, Albiner. 2002. MIKROBA PATOGEN PADA MAKANAN DAN SUMBER PENCEMARANNYA.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Susiwi, 2009. Kerusakan Pangan. FMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia
Suter, I.K. 2000. Kajian Aplikasi Teknologi Pangan dalam Upaya Menghasilkan Produk Bermutu. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press. Susiwi, 2009. Kerusakan Pangan. FMIPA. Universitas Pendidikan
Indonesia