Referat Muscle Relaxant
Referat Muscle Relaxant
karunia-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Farmakologi Obat – Obat
Pelumpuh Otot”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Kusuma Harimin, SpAn selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan
keterbatasan kemampuan Penyusun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak sangat Penyusun harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah- mudahan referat ini
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................
i
Halaman Pengesahan..................................................................................................
ii
Kata Pengantar............................................................................................................
iii
Daftar Isi.....................................................................................................................
iv
Pendahuluan................................................................................................................
1
Transmisi Saraf - Otot.................................................................................................
1
Farmakologi Dasar Obat Pelumpuh Otot....................................................................
2
Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot............................................................
2
Struktur Kimia...............................................................................................
3
Mekanisme Kerja...........................................................................................
3
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf – Otot.................................................
4
Farmakodinamik Obat Pelumpuh Otot...........................................................
4
Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot.............................................................
6
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi...............................................................................
8
Dosis..............................................................................................................
8
Efek Samping.................................................................................................
9
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi.........................................................................
12
Ciri Blokade Saraf – Otot Depolarisasi..........................................................
12
Intubasi...........................................................................................................
13
Mencegah Fasikulasi......................................................................................
14
Rumatan Relaksasi Otot.................................................................................
14
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi....................................................................
15
Efek Samping Otonom...................................................................................
15
Pelepasan Histamin........................................................................................
15
Metabolisme di Hati.......................................................................................
16
Ekskresi Renal...............................................................................................
16
Karakteristik Farmakologis Umum................................................................
16
Macam –Macam Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi.............................................
18
Atracurium.....................................................................................................
18
Cisatracurium.................................................................................................
20
Mivacurium....................................................................................................
22
Doxacurium....................................................................................................
23
Pancuronium..................................................................................................
24
Pipecuronium.................................................................................................
26
Vecuronium....................................................................................................
27
Rocuronium....................................................................................................
29
Pelumpuh Otot Lain....................................................................................................
30
Pembalikan Blokade Saraf – Otot...............................................................................
30
Pemilihan Obat...........................................................................................................
31
PENDAHULUAN
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok obat yang sangat
berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur pembedahan dan unit perawatan intensif
untuk menghasilkan efek paralisis pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot)
dan kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan
aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum
untuk memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan
imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja
pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia.
Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm) yaitu celah sinaptik. Saat
potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya, terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated
calcium channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal
dan melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaptik untuk
berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitumotor end-
plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya
Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1 beta, 1 gamma, dan 1 peptida
delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor subunit α-β dan δ-α menyebabkan pembukaanchannel
yang menimbulkan potensial motor end-plate. Magnitudo potensialend-plate berhubungan secara
langsung dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas dan
potensialend- plate kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujungend- plate ke seluruh membran
sel serabut otot. Jika potensialend- plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi, dan
potensial aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan diinisiasi oleh
proses kopling eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh
enzim substrat spesifik asetilkolinesterase. Enzim
kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan dalamend- plate membran sel
motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion
channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel
natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum
sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.
Gambar 1. Struktur NMJ
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT PELUMPUH OTOT
Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat
dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3
grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa
benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin. Sebagai contoh,
suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya.
Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium) mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam
satu dari dua tipe sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua
pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi muatan positif
pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan
Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan
asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot.
Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah
sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasiend- plate otot.
Depolarisaseend-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena pembukaan lower gate
di sekitar persimpanganchannel natrium sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan,channel
natrium akan menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasiend-plate.End- plate tidak
dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor
mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah
mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun beberapa bukti
mengindikasikan bahwa blokchannel mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam
fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot
nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak
mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan
channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus
potensialend-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit α yang diblok. Oleh sebab itu, obat
pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot
Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor asetilkolin tanpa bertindak sebagai
agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini mengganggu fungsi normal tempat ikatan pada reseptor
channel. Obat-obat ini termasuk agen anestetik inhalasi, anestetik lokal, dan ketamin.
Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat kerja agen yang penting.
Selama blokadechannel yang tertutup, obat-obat ini secara fisik menyumbatchannel, mencegah kation
lewat baik saat asetilkolin sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka blokadechannel
digunakan secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksichannel reseptor asetilkolin
hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis dari blokadechannel adalah bahwa
peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi blokade saraf-
otot. Obat-obat yang dapat menimbulkan blokadechannel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu,
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada ujung saraf dari NM.
Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot
mungkin signifikan.
Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur kecepatan onset dan
durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan
onset, magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot
skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling sering
dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi m.adductor pollicis (respons kedutan
mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis (Gambar 2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah
dosis median setara 50% depresi kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan
lebih sering dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah 0,05
mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal
(dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut, dan setengah dari pasien
akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi
rocuronium adalah seperenam dari potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat dosis
rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain, ED95 dianggap mewakili
potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila
disertai dengan anestetik volatil, ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat
anestetik ini.
Gambar 2 .
Contoh
hubungan
dosis-
respons.
Angka
yang
tercantum
adalah
nilai
perkiraan
untuk
rocuronium.
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat (mata, digiti) sebelum otot
abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi
adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer
(m.adductor pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin
merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glotis
(m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe
serabut lambat. Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin
cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula ekuilibrium
konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor
pollicis. Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot
laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting
yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade
diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari
m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot
laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis
oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih
disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut dalam
air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume
distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg).
Sebagai tambahan, obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti
sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat
pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal,
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus.
Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat
ini.
Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik
dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga
mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang
dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja
lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila
ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat
pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena.
Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke
jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam
aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat
pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik,
seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan
akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata
akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2
ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang
sebelum pasien yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 – 1 mg/kgBB IV, memiliki
onset kerja cepat (30 – 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 – 5 menit). Ciri ini membuat suksinilkolin
obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki
beberapa efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis tersebut setara
untuk 3,5 – 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi
hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian
suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB
adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah
dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 – 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB
tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain itu, pada
keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB
masih tepat.
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 – 5 menit) disebabkan hidrolisis oleh kolinesterase
tetrametrik mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit
suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 – 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase
mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis
suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV awal yang benar-benar
mencapai NMJ.
Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain: 1) aritmia jantung, 2)
intraokuler, 7) peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat terjadi setelah pemberian
suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di
mana obat ini memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak paling sering
terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini
diduga akibat kerja metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin dengan
dosis 6 μg/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung sebagai respons terhadap dosis kedua
suksinilkolin.
Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis asetilkolin pada pada sistem saraf
otonom. Efeknya adalah stimulasi ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah
sistemik.
2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada pasien dengan (a) distrofi otot
yang tidak tampak secara klinis, (b) luka bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal
akibat denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas. Infeksi abdomen berat
telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang
eksesif setelah denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas waktu tak tentu
sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis subparalisis obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak mempengaruhi magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti
pada gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat dihubungkan dengan peningkatan
Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang belum terdiagnosis dapat
mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot
Duchenne baru dapat dilakukan pada usia 2 – 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala klinisnya lebih
ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu, klinisi lebih suka menghindari pemakaian
suksinilkolin pada pasien pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat pelumpuh
otot nondepolarisasi.
3. MialgiaMialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher,
punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah
menjalani prosedur bedah minor. Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh
pasien dan dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat
kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria, khususnya pasien pediatrik.
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas fasikulasi otot skeletal
yang dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh
Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien hanya berlangsung selama 5 – 10 menit. Mekanisme
terjadi peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi otot ekstraokuler dengan
distorsi dan kompresi bola mata telah lama dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan
tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang anterior dan
peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan
Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada pasien dengan tumor
suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap
yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah
dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan.
Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada pasien dengan
kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terus- menerus dapat mempengaruhi ventilasi
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja sedang, dan kerja
singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan
klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti yang dicetuskan oleh
stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a) penurunan respons kedutan terhadap
stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan (lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d)
potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk
obat antikolinesterase, g) tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot skeletal berkontraksi
dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh karena itu, ketika respons kedutan menurun
beberapa serabut berkontraksi normal, sedangkan yang lain terblok secara total. Kontraksi otot skeletal
yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus menerus menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih
suseptibel untuk diblok oleh obat pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai onset cepat atau durasi
kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh otot dapat dipercepat dengan menggunakan
dosis yang lebih besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu sampai
dua kali dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang lebih besar
mempercepat onset, namun dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade.
Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi
akan timbul hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih dari 60
menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang terjadi dalam membalikkan
blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan
abdomen. Menurut aturan umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin
panjang kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang lebih kecil, yang
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan dosis awal. Secara
teoritis pemberian 10 – 15% dari dosis intubasi sebelum induksi akan membantu penempatan cukup
banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan
dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian
rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal biasanya
tidak mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 – 80% reseptor yang
terblok (batas aman saraf – otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak reseptor
untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan demikian, pasien harus
ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan
deteriosasi signifikan dalam fungsi respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju
desaturasi oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi pada pasien
usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas obat
pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam intubasi pulih dari blokade
lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang dimonitor oleh stimulator
saraf perifer.
Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat pelumpuh otot
nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi
dapat digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya.
Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis
Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses pembedahan, misalnya pada
operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas
antara pasien dalam respons terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan.
Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf membantu mencegah dosis yang berlebihan atau
dosis yang kurang dan juga mencegah paralisis otot yang serius dalam ruang pemulihan. Dosis rumatan
dengan bolus intermiten atau infus kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf dan tanda-tanda klinis
Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi sampai sekitar 15%.
Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran
dan enfluran > halotan > N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang dipakai (pancuronium >
Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan efek yang signifikan
pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa agen yang lebih tua (tubocurarine dan pada
cakupan yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia otonom, menghambat kemampuan sistem saraf
simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan
stres intraoperatif yang lain. Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor vagal
muskarinik di nodus sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang
adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang direkomendasikan.
Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit, dan hipotensi
akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus
pelepasan histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi
Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara signifikan oleh hati. Metabolit
yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat
bergantung pada eksresi empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan
rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada pipecuronium.A
tracurium,cisatracuriu m, dan
mivacurium adalah agen yang dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada
mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium
ataupun cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat
memperlambat metabolisme mivacurium.
Ekskresi Renal
Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian diekskresi
oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal. Eliminasi atracurium,
atracurium, dan cisatracurium) dan menunda ekskresi (misal pancuronium dan vecuronium)
2. Keseimbangan Asam-Basa
mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat mencegah pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif
yang mengalami hipoventilasi. Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan dengan perubahan
asam- basa mungkin didasari oleh perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi
elektrolit, atau perubahan struktural antara obat-obat (misal monokuartener versus bikuartener, steroid
versus isoquinolinium).
3. Abnormalitas Elektrolit
hiperkalsemia tidak dapat diprediksi. Hipermagnesia seperti yang dijumpai pada pasien dengan
preeklampsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, mempotensiasi blokade dengan berkompetisi
4. Usia
Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh otot nondepolarisasi
karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak harus diikuti dengan penurunan kebutuhan dosis karena
neonatus memiliki ruang ekstraseluler yang lebih besar menyediakan volume distribusi yang lebih besar.
5. Interaksi Obat
Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade obat nondepolarisasi.
Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi: struktur prejunksional, reseptor kolinergik
otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan
konsentrasi plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang
bergantung pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena itu,
bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih tinggi, namun dengan dosis
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini mungkin karena
perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh,
sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot. Secara
umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih
cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap blokade yang
seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis.
Kondisi intubasi yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang
hilang.
sesuai dengan kebutuhan pasien. Sensitivitas yang bervariasi sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat cara degradasi senyawa
Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi
ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua
proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase
nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann
di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu fisiologis.
Dosis
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 – 60 detik untuk
intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB, kemudian
dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 – 20 menit. Infus 5 – 10 μg/kg/menit dapat
menggantikan bolus intermiten secara efektif.
Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat bekerja lebih
singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan pada suhu 2–8°C karena
potensinya akan berkurang 5 – 10% tiap bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5 mg/kg diberikan. Atracurium
juga dapat menimbulkan penurunan transien resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak
yang tidak terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.
Bronkospasme
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena bronkospasme berat
dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.
Toksisitas Laudanosine
Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium melalui eliminasi Hoffmann dan
telah dihubungkan dengan eksitasi sistem saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar
minimum dan bahkan mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali pasien mendapat
dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan
Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun jarang terjadi. Mekanisme yang
diduga berperan adalah imunogenisitas langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi
antibodi yang dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk pelumpuh otot juga
telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit atracurium dan komponen struktural dari beberapa
membran dialisis juga dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Cisatracurium
Struktur Fisik
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih poten.
Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan suhu fisiologis
melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan
laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah
laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan
dalam metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal
maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan dengan umur tidak menyebabkan
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 – 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan blokade otot dengan
durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0 – 2,0 μg/kg/menit. Potensi cisatracurium sama
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan kadar histamin plasma.
Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek
Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine (dengan tingkat yang lebih
rendah karena potensinya yang lebih besar), sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.
3. Mivacurium
Struktur Fisik
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
GAMBAR
Metabolisme dan Ekskresi
secara minimal oleh kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien
dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase. Kenyataannya, pasien
yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana
homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot atipikal tidak dapat
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium membalikkan
blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas
kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau
hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil
atau postpartum sebagai akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun.
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 – 0,2 mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi intraoperatif
membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat
badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan atracurium. Efek samping
kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan
penyakit jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat
terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset
mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang
singkat (20 – 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I
suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak
onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian
mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis
diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian
pancuronium.
4. Doxacurium
Struktur Fisik
Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat berhubungan dengan
mivacurium dan atracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase
plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi
Dosis
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis doxacurium 0,05 mg/kg.
Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial 0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium
dapat diberikan dalam dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua, meskipun
Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan pelepasan histamin. Karena potensinya
yang lebih besar, doxacurium memiliki onset kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama yang lain (4 – 6 menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium yaitu 60 –
90 menit.
5. Pancuronium
Struktur Fisik
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin yang
termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Metabolisme dan Ekskresi
Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu. Produk metaboliknya
memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari
obat dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot
diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang lebih besar karena ada
peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih rendah karena penurunan
klirens plasma.
Dosis
Dosis 0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat untuk intubasi dalam 2 – 3
menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis
Anak – anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium tersedia dalam larutan 1 atau 2
mg/mL dan disimpan pada suhu 2–8°C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan.
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan stimulasi simpatis. Stimulasi
simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik, pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan
penurunan pengambilan kembali katekolamin. Pancuronium harus diberikan dengan hati-hati pada pasien
yang dengan peningkatan denyut jantung akan menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari,
Aritmia
pada individu yang rentan. Kombinasi pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat
aritmogenik.
Reaksi Alergi
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi
pancuronium (pancuronium bromida).
6. Pipecuronium
Struktur Fisik
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan pancuronium.
GAMBAR
Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi bergantung pada ekskresi yang
paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%). Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi adalah antara 0,06 – 0,1
mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium.
Bayi butuh lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa.
Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia lanjut.
yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang
lain, pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan
pancuronium.
7. Vecuronium
Struktur Fisik
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh otot
monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek samping menguntungkan tanpa mempengaruhi
potensi.
adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan
sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya
yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium
jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade
(sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi, perubahan
klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita,
gagal ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-
pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian
pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik
postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor
dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis
inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit membantu relaksasi
intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 – 2 μg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis tambahan jarang dibutuhkan pada
neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang
dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan juga
pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan
perbedaan jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi
kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum karena perubahan dalam aliran darah
dapat membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan
dapat menyebabkan emboli paru.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskuler.
Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien.
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak memanjang dengan
signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8. Rocuronium
Struktur Fisik
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun dirancang
untuk memberikan onset kerja yang cepat.
Metabolisme dan Ekskresi
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal.
Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati
berat dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang
lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia
lanjut dapat mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis untuk intubasi 0,45 – 0,9
mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat
memungkinkan pembalikan 25 menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2
mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, namun belum
akan terjadi 3 – 6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 – 12 μg/kg/menit. Rocuronium durasi kerjanya akan memanjang
pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat
Rocuronium pada dosis 0,9 – 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang mendekati suksinilkolin (60 – 90
detik) sehingga cocok sebagai alternatif untuk induksi urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh
lebih panjang. Durasi kerja sedangnya sebanding dengan vecuronium atau atracurium.
Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif (menurun fasikulasi dan
myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga
menimbulkan bronkospasme karena pelepasan histamin. Metocurine adalah agen yang berhubungan dekat
dengan tubocurarine sehingga memiliki banyak efek samping yang sama. Orang yang alergi iodine dapat
mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap metocurine karena sediaan ini juga mengandung iodide. Gallamine
memiliki sifat vagolitik. Alcuronium adalah obat nondepolarisasi kerja lama dengan sedikit sifat vagolitik.
Rapacuronium memiliki onset kerja cepat, efek kardiovaskuler minimal, dan durasi kerja yang pendek.
Namun, produk ini ditarik dari peredaran karena terjadi sejumlah kasus bronkospasme serius yang tidak dapat
dijelaskan yang diduga akibat pelepasan histamin. Decamethonium adalah agen depolarisasi lama.
Pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, obat-obat ini akan terdifusi
dari NMJ dan dihidrolisis dalam plasma dan hati oleh enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase. Untungnya,
proses sangat cepat, karena tidak ada agen khusus untuk membalikkan blokade agen depolarisasi yang tersedia.
Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah mivacurium. Pembalikan blokade
pelumpuh otot ini tergantung pada redistribusi, metabolisme gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh,
atau pemberian agen khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor kolinesterase yang menghambat
aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada NMJ dan dapat bersaing
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset kerja, durasi kerja, dan
kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek
samping yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang dicetuskan oleh
obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti
yang ditimbulkan oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat
intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-satunya obat
suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf- otot yang
dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis
intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi otot untuk
fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan
histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung (pancuronium). Efek sirkulasi
yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri koroner,
atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi
sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh
obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium, cisatracurium,
doxacurium, pipecuronium).
DAFTAR PUSTAKA
1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents. In:
Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2.
White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3.
antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6th
4.
Wilkins. 2006.
5.
ganglia. In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of