Latar Belakang Nahdlatul Ulama

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

LATAR BELAKANG LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA’

A. Motivasi kelahiran Nahdlatul Ulama’

pada awal abad ke-20 di Nusantara, yaitu madhabiyah traditionalism dan salafiyah ortodoxy. Yang
pertama menunjuk pada ekpresi keagamaan muslim Nusantara sejak era awal penyebaran Islam,
sedangkan yang kedua menunjuk pada kelanjutan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah
yang mengkoreksi orientasi idiologi yang sudah mapan (establish) sebelumnya.
Namun secara organisatoris Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengalami pelembagaan di tengah-tengah
Muslim Nusantara sejak kehadiran Kyai Hasyim dan generasi Muslim pada Zamannya. Bersama
kolega-koleganya, Kyai Hasyim berhasil mempelopori berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama’
yang secara legal mengklaim berbasis pada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Berdirinya Jamiyah Nahdlatul Ulama’, tidak lepas dari peran Kyai Hasyim. Ia dikenal sebagai ideolog,
peletak dasar-dasar pemahaman keagamaan dan sendi sendi sosial kemasyarakatan komunitas NU.
Posisi Kyai Hasyim yang sangat sentral di komunitas Nu tergambar dari gelar kulturnya sebagai “
Hadrat al-Syaikh” (yang mulia tuan guru) dan jabatan Rais Akbar(pemimpin besar) dalam struktur
organisasi Nahdlatul Ulama’.
Nahdlatul ulama sebagai organisasi lahir pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M.
Saat itu masih dalam suasana kebangkitan nasional. Secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran
Nahdlatul Ulama’ dilatar belakangi dengan beberapa faktor, antara lain :

1. Faham Keagamaan
Pada awal abad ke-19 M, banyak muncul gerakan pembaruan Islam yang dipimpin H. Miskin.
Disinilah muncul perang padri, terjadinya perang padri ini karena antara 2 saudara tidak sepaham
dengan paham Wahabi yang menerapkan melalui jalan kekerasan. Sehingga kejadian ini semua
melibatkan pihak Belanda. Hampir 30 tahun kekacauan ini terjadi di minangkabau (sumbar). Bantuan
berakhir setelah ditaklukkannya daerah tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selanjutnya terjadi pada akhir abad ke-19 M, muncul arus gerakan reformasi yaitu gerakan
“SALAFIYAH” yang berarti kembali ke jalan para pendahulu, yang pelopori oleh Thahir Jalaluddin,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim dan Muhammad Bin Abdul Wahab.
Pulau Jawa baru mengalami arus gerakan reformasi ini pada awal abad 20 dengan berdirinya
beberapa organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persatuan
Islam (1923). Dengan mengaku sebagai pembaru, mereka menentang upacara-upacara keagamaan
seperti tahlilan, ziarah ke makam wali, selamatan untuk berkirim do’a kepada orang muslim yang
sudah meninggal dan lain-lain. Mereka juga menentang bermadzhab dan lebih parahnya meraka
dengan lantang mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah yang sebenarnya merugikan bagi
persaudaraan antara sesama muslim.

2. Politik Kebangsaan
Sejak kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia pada awal abad ke-17 M, umat Islam menyambut
dengan sikap perlawanan. Segala usaha yang dilakukan Belanda untuk memperluas wilayah
kekuasaannya selalu dihadang oleh umat Islam. Kolonial Belanda terus melakukan pemberontakan-
pemberontakan. Pemberontakan tersebut masih dilakukan secara sporadic, terpisah dan tidak
terkoordinasi. Akibatnya dengan mudah pemerintahan kolonial Belanda mematahkannya.
Ketidaksukaan umat Islam tidak semata-mata karena mereka merasa ditindas tetapi lebih pada
persoalan ajaran agama. Ketidaksukaan umat Islam terhadap penjajah itu begitu dalam, sehingga
segala sesuatu yang berbau Belanda dipandang kotor dan haram.
Para ulama pesantren memilih sikap isolatif dengan mendirikan pondok pesantren sebagai pusat
perlawanan kultural keagamaan terhadap segala sesuatu yang berbau barat. Inilah salah satu bentuk
benteng pertahanan.
Awal abad ke-20 M, mulailah muncul perjuangan baru bangsa Indonesia menentang kolonialisme
Belanda. Para ulama menggunakan cara sistematis, teratur dan berencana. Dibentuklah organisasi-
organisasi modern yang bergerak dibidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, sosial, politik maupun
agama.
Organisasi-organisasi modern tersebut dibentuk berdasarkan hasrat yang mulai tumbuh sejak
kedatangan KH. Abdul Hasbullah dari menuntut ilmu ditanah suci makkah. Pengetahuannya yang
luas dan pandangannya yang jauh beliau menangkap tanda-tanda jaman sedang berubah. Beliau
membentuk sebuah forum diskusi yang diberi nama “Taswirul Afkar” pada tahun 1914. Setelah itu
disusul dengan “Nahdlatul Wathan” (kebangkitan Tanah Air). Tidak kalah lagi muncullah program
dibidang pendidikan “Jammiyah Nasihin” dan madrasah “Khitabul Wathan” (Mimbar Tanah Air) dan
masih banyak lagi program-program yang didirikan para ulama-ulama.
Dilihat dari segi nama-nama proyek yang lahir dari forum diskusi taswirul afkar yang kesemuanya
memakai predikat “Wathan” (Tanah Air). Terlihat jelas bahwa semangat nasionalisme merupakan
api yang mewarnai pemikiran para ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia.

3. Pemberdayaan Ekonomi
Nahdlatul Ulama didirikan oleh ulama pengasuh pesantren didalam komunitas Islam dikenal
mempunyai pandangan dan wawasan maupun kemasyarakatan. Meraka juga dikenal akrab dengan
semua masyarakat sehingga berhasil membangun sikap dan watak santri dengan penuh antisipasi
atas kemaslahatan umat. Pada Tahun 1918 dimanifestasikan dalam kegiatan nyata dengan
membentuk “Syirkah ini Murabathah Nahdlatul Tujjar”. Tiga motivasi yang cukup mendatar sebagai
alasan pembentukan syirkah ini yaitu :
a. Banyak pengikut Islam ahlussunnah wal jama’ah bahkan sebagian ulama waktu itu memaksa
dirinya bersikap tawakal total (tajrid) tanpa berikhtiar untuk peningkatan kualitas hidupnya,
sehingga menjadi orang-orang yang serba thama’ dari kaum elite.
b. Banyak para ulama dan aqhniya’ ahlussunnah wal jama’ah yang tidak memperdulikan tetangga-
tetangganya yang lemah agamanya terutama dari kalangan yang lemah agamanya.
c. Sebagian besar para santri dan kyai hanya mencukupkan pergumulannya terhadap aktivitas
tafaquh fiddin dan tidak menghiraukan ilmu-ilmu lain. Sehingga ada kesenjangan antara ulama’uddin
dengan cendikiawan muslim ahlussunna wal jama’ah.
Dengan ketiga motivasi tersebut, pembentukan syirkah ini dimaksudkan sebagai upaya ulama
pesantren menggugah semangat keikhlasan, persaudaraan, kebersamaan dan keperdulian seluruh
pengikut Islam ahlussunnah wal jama’ah dalam membangun kehidupan yang bermanfaat dan
bermaslahah, terutama dalam bidang perekonomian. Dengan demikian kepedulian untuk
membangun kehidupan umat dengan titik sentralnya adalah “Mashalihil amah” (kemaslahatan
umum).

4. Peningkatan Sumber Daya Manusia


Kehadiran pondok pesantren sebagai wujud kebangkitan ulama sejak semula telah dipercaya oleh
masyarakat sebagai udaha membentuk sebuah moral dan intelektual muslim disamping
keberhasilannya dalam proses islamisasi di Indonesia.
Pada awalnya pondok pesantren bersifat isolatif (menutup diri), akan tetapi sejak awal abad ke-20,
pondok pesantren mulai menerima kehadiran lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah.
Langkah para ulama pesantren mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan sistem berkelas
semakin berkembang dengan pesat setelah hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari membuka “Madrasah
Salafiyah” dipondok pesantren. Karena posisi KH. Hasyim Asy’ari yang sangat sentral dalam jaringan
ulama pesantren di jawa dan madura, maka pembaruan pendidikan pondok pesantren dengan cepat
menyebar ke pondok-pondok pesantren lainnya.
Memperhatikannya alur perkembangan pondok pesantren tersebut, terutama pengaruh Hadratus
Syekh KH. Hasyim Asy’ari, diketahui bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama erat kaitannya dengan hasrat
para ulama pesantren untuk menyatukan diri melakukan pembangunan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui pembaruan system pendidikan sesuai tuntutan jamannya. Dan ini
harus dibaca sebagai gambaran rasa tanggung jawab para ulama pesantren yang mendalam atas
kelestarian “izzul islam wal muslimin”

B. Peristiwa Menjelang Kelahiran Nahdlatul Ulama


Pada dasarnya ide pendirian Nahdlatul Ulama atau sebuah jamiyah (organisasi) untuk para
ulama pesantren, sudah dimunculkan sejak tahun 1924 yaitu ketika pertahanan Syarif Husen (raja
hijaz) mulai goyah dan kemudian jatuh ke tangan Ibnu Saud (raja nejed). Sementara kondisi dalam
negeri khususnya yang berkaitan dengan Central Comite Chilafat kurang menguntungkan bagi
aspirasi ulama penganut madzhab. Ide itu disampaikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah kepada
gurunya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari namun beliau belum bisa menyetujuinya sebelum
mengkorfimasikannya terlebih dahulu kepada Allah SWT melalui istikhara’, sebenarnya ide kyai
wahab itu diterima oleh Kyai Hasim Asy’ari tetapi masih dalam batas sebagai gagasan cemerlang.
Petunjuk pertama diterima pada tahun 1924 dimana KH. Khalil mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin
yang saat itu masih menjadi muridnya untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada KH. Hasyim
Asy’ari di Tebu Ireng Jombang disertai ayat Al-Qur’an yang menceritakan Mu’jizat Nabi Musa AS
yaitu Surat Thaha Ayat 17-23.

‫( يموسى بيمينك تلك وما‬17) ‫( أخرى مأرب فيها ولي غنمي على بها أهش و عليها أتوكؤ عصاي هي قال‬18) ‫( يموسى القها قال‬19 )
‫( تسعى حية هي فإذا فألقاها‬20) ‫( األولى سيرتها سنعيدها تخف وال خذها قال‬21) ‫سؤء غير من بيضاء تخرج جناحك الى يدك واضمم‬
‫(أخرى اية‬22) ‫( الكبرى اياتنا من لنريك‬23)
Artinya : “Apakah itu yang ditangan kananmu wahai musa? Ini adalah tongkatmu aku bertelekan
padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku dan bagiku ada lagi keperluan lain
padanya. Allah berfirman “Lemparkanlah ia hai musa!” maka lalu dilemparkannya tongkat itu, tiba ia
menjadi seekor ular yang merayapo dengan cepat. Allah berfirman “Peganglah ia dan jangan takut
kami akan kembalikan kepada keadaan semula” dan kepitlah tanganmu keketiakmu, niscaya ia akan
keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat yang lain pula, untuk kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar”.

Petunjuk kedua juga datang dari Kyai Kholil yang disampaikan kepada Kyai Hasyim melalui Kyai As’ad
pada tahun 1925. Kyai As’ad membawa tasbih yang dikalungkan dilehernya. Tasbih itu disampaikan
kepada Kyai Hasyim dengan disertai bacaan “Ya Qohhar Ya Jabbar” tiga kali. Setelah itu baru Kyai
Hasyim mengatakan bahwa Allah SWT telah mengizinkan untuk mendirikan jam’iyah (organisasi) dan
beliau memerintahkan Kyai Wahab untuk mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi.

C. Proses Kelahiran Nahdlatul Ulama


Bersamaan dengan perintisan kelahiran organisasi para ulama pesantren ini, terjadi
peristiwa penting di Makkah dan di Madinah. Ibnu Saud seorang pemimpin suku yang taat kepada
Muhammad Bin Abdul Wahab dari Nejed (pengikut aliran Wahabi yang ajaran-ajarannya sangat
konservatif) berhasil menggulingkan Syarif Husen raja yang berkuasa sebagai wakil kesultanan Turki.
Penguasa hijaz yang baru ini bermaksud menyelenggarakan muktamar Islam untuk membahas
masalah khilafah islam sedunia dengan mengundang para pemimpin islam seluruh dunia pada bulan
Juni 1926 untuk keperluan tersebut. Indonesia dibentuk Central Comite Chilafat (CCC) disingkat
“Komite Khilafat”.
Pada tanggal 21-27 Agustus 1925 diselenggarakan kongres al-islam di Yogyakarta. Pada kesempatan
tersebut KH. Abdul Wahab mengusulkan agar delegasi umat Islam Indonesia yang dikirim CCC ke
muktamar dunia Islam dimakkah nanti mendesak raja Ibnu Sa’ud supaya tetap melindungi
kebebasan bermadzhab di Makkah dan di Madinah. Menanggapi hasil keputusan kongres al-Islam
dibanding tersebut, KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama ulama’ yang tergabung dalam taswirul
afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu KH. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan
delegasi sendiri yang diberi nama komite Hijaz. Susunan komite Hijaz terdiri atas :
Penasehat : KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Cholil Masyhuri (lasem)
Ketua : H. Hasan Gipo
Wakil Ketua : H. Sholeh Syamil
Sekretaris : Muhammad Sodiq
Pembantu : KH. Abdul Halim
Pada Tanggal 31 Januari 1926 komite hijaz mengadakan rapat di Surabaya dengan
mengundang para ulama terkemuka dijawa dan madura, yang juga dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Asnawi Kudus. Rapat telah memutuskan untuk menunjuk KH. Asnawi sebagai delegasi
komite hijaz untuk menghadap langsung kepada raja Ibnu Sa’ud dimakkah, maka rapat itupun
dengan mufakat bulat Alwi Abdul Aziz diberi nama “Nahdlatul Ulama” (bangkitnya / bergeraknya
ulama). Maka sejak tanggal 16 Rajab 1344 / 31 Januari 1926 berdirilah jam’iyah Nahdlatul Ulama di
Surabaya. Pada saat itu juga konsep anggaran dasar yang sudah disiapkan dapat disetujui bersama,
kemudian disusunlah kepengurusan lengkap yang terdiri dari syari’ah dan tanfidziyah. Adapun
pengurus besar Nahdlatul Ulama’ yang pertama susunannya sebagai berikut :
Syuriah
Rois Akbar : KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Wakil Rois : KH. Dahlan Achyad (Surabaya)
Katib : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)
Naibul Katib : KH. Abdul Halim (Surabaya)
A’wan : KH. Mas Alwi Bin Abdul Aziz (Surabaya)
KH. Ridwan Abdullah (Surabaya), KH. Amin Abdus Syukur (Surabaya)
KH. Amin (Surabaya) , KH. Nahrawi Thahir (Surabaya)
KH. Hasbullah (Surabaya), KH. Hasbullah (Surabaya) KH. Syarif (Surabaya
KH. Yasin (Surabaya) KH. Nawawi Amin (Surabaya)
KH. Bisyri Syansuri (Jombang) KH. Abdul Hamid (Jombang)
KH. Abdullah Ubaid (Surabaya) KH. Dahlan Abdul Kahar (Mojokerto)
KH. Abdul Majid (Surabaya) KH. Masyhuri (Lasem)
Musytasyar : KH. Moh. Zubair (Gresik)
KH. Raden Muntaha (Madura) , KH. Mas Nawawi (Pasuruan)
KH. Ridwan Mujahid (Semarang) , KH. R. Asnawi (Kudus)
KH. Hanbali (Kudus) , Syekh Ahmad Ghanaim Al Misri (Surabaya)
Tanfidziyah
Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Wakil Ketua : H. Sholeh Syamil (Surabaya)
Sekretaris : Moh. Shiddiq (Surabaya)
Wakil Sekretaris : H. Nawawi (Surabaya)
Bendahara : H. Muhammad Burhan (Surabaya)
H. Ja’far (Surabaya)

Setelah pengurus lengkap terbentuk, giliran selanjutnya adalah masalah lambang organisasi
untuk menentukan lambang ini diserahkan sepenuhnya kepada KH. Ridwan Abdullah. Lambang
Nahdlatul Ulama yang berupa bola dunia dilingkari tali dan sembilan bintang diciptakan oleh KH.
Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi setelah beliau beristikharah minta petunjuk kepada Allah
menjelang muktamar Nahdlatul Ulama yang pertama. Adapun tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf
arab adalah tambahan KH. Ridwan Abdullah sendiri.
Program pertama yang dilaksanakan oleh pengurus besar NU adalah menyukseskan misi
komite hijaz delegasinya KH. R. Asnawi Kudus, akan tetapi utusan ini gagal berangkat ke Makkah
karena kesulitan transportasi. Kemudian pengurus besar NU mengirim KH. Abdul Wahab Hasbullah
dan Syekh Ghonaim Al Misri mereka berdua berangkat ke Makkah pada tahun 1928 melalui
Singapura untuk menghadap langsung ke raja Ibnu Saud agar raja mau menjamin diberlakukan
kebebasan bermadzhab ditanah hijaz dan permintaan ini diterima oleh raja dengan baik dan akan
menyanggupinya.

D. Respon Atas Kelahiran Nahdlatul Ulama


1. Respon Masyarakat Pesantren
Keberadaan Nahdlatul Ulama merupakan upaya peneguhan kembali sebuah tradisi keagamaan dan
sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang
mapan. Lembaga-lembaga pesantren, Kyai, Santri dan Jama’ah mereka tersebar diseluruh tanah air
sebagai unit-unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam menjadikan NU tanpa kesulitan
menyebarkan sayap organisasinya. Apalagi pengaruh KH. Hasyim Asy’ari dan Kyai Abdul Wahab
Hasbullah dilingkungan pesantren cukup kuat, sehingga NU pertama kali diperkenalkan, begitu
mudah menarik minat dan simpati serta dukungan para Kyai yang memimpin pesantren.
Disamping itu hubungan kekerabatan antara Kyai dalam lingkungan pesantren dijawa sangat
membantu menyebarkan NU ke daerah-daerah pada awal berdirinya, Nahdlatul Ulama memang
seperti koordinator pesantren pengurus Nahdlatul Ulama merupakan gabungan dari para pengasuh
pesantren, sehingga batas antara pesantren dengan Nahdlatul Ulama sangat tipis dan nyaris tindak
bisa dipisahkan. Dalam pada itu, sebagian besar pada kyai pesantren masih menyimpan sisa-sisa
kemandiriannya dan belum dapat meleburkan diri sebagai anggota organisasi NU. Kemandirian
mereka ini meskipun adakalanya menyulitkan pengrus strukturan tetapi ada hikmanya yang besar.
Yakni ketika jalur structural “tidak mampu mengatasi masalah besar” biasanya para ulama non
struktural yang mengatasinya.
Hampir semua pesantren tidak ada yang menolak kehadiran Nahdlatul Ulama dan semua organisasi
atau perkumpulan yang telah dibentuk meleburkan dan bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Sikap
para ulama ini kemudian diikuti oleh masyarakat sekitarnya, karena masyarakat pesantren sangat
tunduk pada ulamanya. Dengan demikian NU benar-benar menjadi organisasinya para ulama dan
masyarakat pesantren. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “NU adalah pesantren besar,
sedangkan pesantren adalah NU kecil”

2. Respon Umat Islam


Berbeda dengan organisasi-organsasi lain yang sebelum dibentuk, para perintisnya mengadakan
serangkaian pembicaraan untuk mencari kesamaan-kesamaan dalam cita-cita, program dan lain-lain.
Kemudian mensosialisasikannya kepada orang-orang yang diharpakan menjadi anggotanya
Nahdlatul Ulama tidak melakukannya hal ini disebabkan:
a. Kesamaan-kesamaan dimaksud sudah dimiliki kaum muslimin Indonseia yaitu paham
ahlussunnah wal jama’ah dengan berhaluan madzhab yang menjadi modal dasar NU
b. Para calon anggota adalah pada umumnya adalah mereka yang berada dibawah bimbingan
para ulama pesantren yang mendirikan NU sehingga dengan mudah dan cepat menerimanya.
Disamping itu lahirnya NU merupakan langkah pembaruan terhadap aspirasi dan realitas sosial
masyarakat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang memperlihatkan adanya gerak maju dengan
kelahiran NU yaitu :
a. Masyarakat Islam yang ketika itu relative tertutup dengan lahirnya NU telah berhasil membuka
komunikasi dengan dunia luar serta mampu menciptakan antisipasi terhadap masalah-masalah
nasional maupun internasional.
b. Dengan ciri pendekatan yang luwes NU berhasil mendorong terjadinya proses pembaruan
dalam usaha-usaha pendidikan Islam melalui pengaruh para kyai
c. Karena NU memang lahir dari realitas sosial yang ada dengan sendirinya NU telah memberikan
andilnya yang sangat besar terhadap usaha perawatan dan pengambangan nila-nilai nasional dan
warisan budaya bangsa.

Masyarakat umum nahdlatul ulama lebih banyak dikenal sebagai jama’ah bukan jam’iyah. Mereka
memahami nahdlatul ulama sebagai identitas diri dan legalitas atas amalan-amalannya. Acara-
acaranyapun tidak banyak mengalami perubahan hanya beberapa penambahan yang bersifat
organisasi. Sehingga dalam perjalanannya sehari-hari, lebih dikendalikan oleh kyai atau tokoh
setempat dari pada instruksi organisasi diatasnya. Respon masyarakat yang demikian ini terus
berlanjut sampai sekarang. Cepatnya perkembangan NU terutama dalam jumlah anggota yang
bergabung dari satu sisi amat menggembirakan, tetapi dari sisi lain agak memprihatinkan karena
sekian banyak orang yang mendadak bergabung ke dalam NU ternyata tidak mampu diurus secara
organisatoris-administratif pada dasarnya NU jam’iyah menjadikan kader-kader militan dengan
tugas-tugas yang lebih berat. Antara lain untuk membimbing kelompok-kelompok yang terdiri dari
NU jama’ah. Semuanya berada pada jaringan yang tidak terputus, saling mendukung dan saling
melengkapi.

3. Respon Pemerintahan Hindia Belanda


Sejak awal belanda memperoleh perlawanan rakyat Indonesia dan dalam perlawanan tersebut
peranan para ulama cukup besar ketidaksukaan rakyat Indonesia terhadap Belanda bukan semata-
mata karena mereka tertekan secara politik dan ekonomi tetapi terlebih dari itu juga soal agama.
Ketidaksukaan rakyat khususnya kalangan santri terhadap belanda memunculkan istilah “Londo
Kapir”
Sebenarnya sikap politik belanda terhadap umat Islam lebih netral dibanding penjajah spanyol dan
portugis, akan tetapi sejak akhir abad ke-19 sikap ini berubah yang ditandai antara lain dengan
pemberian subsidi kepada umat Kristen yang melebihi subsidi yang diterima umat Islam. Belanda
sendiri juga mencurigai hubungan umat Islam Indonesia dengan timur tengah yang semakin intensif,
baik melalui jama’ah haji maupun para pelajar yang studi di Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain.
Atas pengesahan ini lantas timbul teori mengenai lahirnya NU yang dikaitkan dengan keterlibatan
Belanda. Namun teori ini tidak benar karena kelahiran NU tidak semata-mata terdorong oleh arus
gerakan pembaruan Islam, tetapi lebih dari itu adalah keinginan untuk menciptakan semangat
nasionalisme dan mewujudkan kemaslahatan umat, memang Nahdlatul Ulama adalah organisasinya
para ulama pesantren, tetapi untuk kepentingan umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia. Dari sisi
faham keagamaan, Nahdlatul Ulama didirikan untuk melestarikan dan mempertahankan ajaran
Islam ahlussunnah wal jama’ah dari sisi nasionalisme untuk mewujudkan bangsa yang merdeka dan
mandiri sedangkan dari sisi ekonomi adalah untuk memberdayakan dan meningkatkan
kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu yang diharapkan dari Nahdlatul Ulama adalah
kesejahteraan dan kemaslahatan umat (maslahatul ammah).

Anda mungkin juga menyukai