Latar Belakang Nahdlatul Ulama
Latar Belakang Nahdlatul Ulama
Latar Belakang Nahdlatul Ulama
pada awal abad ke-20 di Nusantara, yaitu madhabiyah traditionalism dan salafiyah ortodoxy. Yang
pertama menunjuk pada ekpresi keagamaan muslim Nusantara sejak era awal penyebaran Islam,
sedangkan yang kedua menunjuk pada kelanjutan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah
yang mengkoreksi orientasi idiologi yang sudah mapan (establish) sebelumnya.
Namun secara organisatoris Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengalami pelembagaan di tengah-tengah
Muslim Nusantara sejak kehadiran Kyai Hasyim dan generasi Muslim pada Zamannya. Bersama
kolega-koleganya, Kyai Hasyim berhasil mempelopori berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama’
yang secara legal mengklaim berbasis pada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Berdirinya Jamiyah Nahdlatul Ulama’, tidak lepas dari peran Kyai Hasyim. Ia dikenal sebagai ideolog,
peletak dasar-dasar pemahaman keagamaan dan sendi sendi sosial kemasyarakatan komunitas NU.
Posisi Kyai Hasyim yang sangat sentral di komunitas Nu tergambar dari gelar kulturnya sebagai “
Hadrat al-Syaikh” (yang mulia tuan guru) dan jabatan Rais Akbar(pemimpin besar) dalam struktur
organisasi Nahdlatul Ulama’.
Nahdlatul ulama sebagai organisasi lahir pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M.
Saat itu masih dalam suasana kebangkitan nasional. Secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran
Nahdlatul Ulama’ dilatar belakangi dengan beberapa faktor, antara lain :
1. Faham Keagamaan
Pada awal abad ke-19 M, banyak muncul gerakan pembaruan Islam yang dipimpin H. Miskin.
Disinilah muncul perang padri, terjadinya perang padri ini karena antara 2 saudara tidak sepaham
dengan paham Wahabi yang menerapkan melalui jalan kekerasan. Sehingga kejadian ini semua
melibatkan pihak Belanda. Hampir 30 tahun kekacauan ini terjadi di minangkabau (sumbar). Bantuan
berakhir setelah ditaklukkannya daerah tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selanjutnya terjadi pada akhir abad ke-19 M, muncul arus gerakan reformasi yaitu gerakan
“SALAFIYAH” yang berarti kembali ke jalan para pendahulu, yang pelopori oleh Thahir Jalaluddin,
Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim dan Muhammad Bin Abdul Wahab.
Pulau Jawa baru mengalami arus gerakan reformasi ini pada awal abad 20 dengan berdirinya
beberapa organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persatuan
Islam (1923). Dengan mengaku sebagai pembaru, mereka menentang upacara-upacara keagamaan
seperti tahlilan, ziarah ke makam wali, selamatan untuk berkirim do’a kepada orang muslim yang
sudah meninggal dan lain-lain. Mereka juga menentang bermadzhab dan lebih parahnya meraka
dengan lantang mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah yang sebenarnya merugikan bagi
persaudaraan antara sesama muslim.
2. Politik Kebangsaan
Sejak kedatangan kolonial Belanda ke Indonesia pada awal abad ke-17 M, umat Islam menyambut
dengan sikap perlawanan. Segala usaha yang dilakukan Belanda untuk memperluas wilayah
kekuasaannya selalu dihadang oleh umat Islam. Kolonial Belanda terus melakukan pemberontakan-
pemberontakan. Pemberontakan tersebut masih dilakukan secara sporadic, terpisah dan tidak
terkoordinasi. Akibatnya dengan mudah pemerintahan kolonial Belanda mematahkannya.
Ketidaksukaan umat Islam tidak semata-mata karena mereka merasa ditindas tetapi lebih pada
persoalan ajaran agama. Ketidaksukaan umat Islam terhadap penjajah itu begitu dalam, sehingga
segala sesuatu yang berbau Belanda dipandang kotor dan haram.
Para ulama pesantren memilih sikap isolatif dengan mendirikan pondok pesantren sebagai pusat
perlawanan kultural keagamaan terhadap segala sesuatu yang berbau barat. Inilah salah satu bentuk
benteng pertahanan.
Awal abad ke-20 M, mulailah muncul perjuangan baru bangsa Indonesia menentang kolonialisme
Belanda. Para ulama menggunakan cara sistematis, teratur dan berencana. Dibentuklah organisasi-
organisasi modern yang bergerak dibidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, sosial, politik maupun
agama.
Organisasi-organisasi modern tersebut dibentuk berdasarkan hasrat yang mulai tumbuh sejak
kedatangan KH. Abdul Hasbullah dari menuntut ilmu ditanah suci makkah. Pengetahuannya yang
luas dan pandangannya yang jauh beliau menangkap tanda-tanda jaman sedang berubah. Beliau
membentuk sebuah forum diskusi yang diberi nama “Taswirul Afkar” pada tahun 1914. Setelah itu
disusul dengan “Nahdlatul Wathan” (kebangkitan Tanah Air). Tidak kalah lagi muncullah program
dibidang pendidikan “Jammiyah Nasihin” dan madrasah “Khitabul Wathan” (Mimbar Tanah Air) dan
masih banyak lagi program-program yang didirikan para ulama-ulama.
Dilihat dari segi nama-nama proyek yang lahir dari forum diskusi taswirul afkar yang kesemuanya
memakai predikat “Wathan” (Tanah Air). Terlihat jelas bahwa semangat nasionalisme merupakan
api yang mewarnai pemikiran para ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia.
3. Pemberdayaan Ekonomi
Nahdlatul Ulama didirikan oleh ulama pengasuh pesantren didalam komunitas Islam dikenal
mempunyai pandangan dan wawasan maupun kemasyarakatan. Meraka juga dikenal akrab dengan
semua masyarakat sehingga berhasil membangun sikap dan watak santri dengan penuh antisipasi
atas kemaslahatan umat. Pada Tahun 1918 dimanifestasikan dalam kegiatan nyata dengan
membentuk “Syirkah ini Murabathah Nahdlatul Tujjar”. Tiga motivasi yang cukup mendatar sebagai
alasan pembentukan syirkah ini yaitu :
a. Banyak pengikut Islam ahlussunnah wal jama’ah bahkan sebagian ulama waktu itu memaksa
dirinya bersikap tawakal total (tajrid) tanpa berikhtiar untuk peningkatan kualitas hidupnya,
sehingga menjadi orang-orang yang serba thama’ dari kaum elite.
b. Banyak para ulama dan aqhniya’ ahlussunnah wal jama’ah yang tidak memperdulikan tetangga-
tetangganya yang lemah agamanya terutama dari kalangan yang lemah agamanya.
c. Sebagian besar para santri dan kyai hanya mencukupkan pergumulannya terhadap aktivitas
tafaquh fiddin dan tidak menghiraukan ilmu-ilmu lain. Sehingga ada kesenjangan antara ulama’uddin
dengan cendikiawan muslim ahlussunna wal jama’ah.
Dengan ketiga motivasi tersebut, pembentukan syirkah ini dimaksudkan sebagai upaya ulama
pesantren menggugah semangat keikhlasan, persaudaraan, kebersamaan dan keperdulian seluruh
pengikut Islam ahlussunnah wal jama’ah dalam membangun kehidupan yang bermanfaat dan
bermaslahah, terutama dalam bidang perekonomian. Dengan demikian kepedulian untuk
membangun kehidupan umat dengan titik sentralnya adalah “Mashalihil amah” (kemaslahatan
umum).
( يموسى بيمينك تلك وما17) ( أخرى مأرب فيها ولي غنمي على بها أهش و عليها أتوكؤ عصاي هي قال18) ( يموسى القها قال19 )
( تسعى حية هي فإذا فألقاها20) ( األولى سيرتها سنعيدها تخف وال خذها قال21) سؤء غير من بيضاء تخرج جناحك الى يدك واضمم
(أخرى اية22) ( الكبرى اياتنا من لنريك23)
Artinya : “Apakah itu yang ditangan kananmu wahai musa? Ini adalah tongkatmu aku bertelekan
padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku dan bagiku ada lagi keperluan lain
padanya. Allah berfirman “Lemparkanlah ia hai musa!” maka lalu dilemparkannya tongkat itu, tiba ia
menjadi seekor ular yang merayapo dengan cepat. Allah berfirman “Peganglah ia dan jangan takut
kami akan kembalikan kepada keadaan semula” dan kepitlah tanganmu keketiakmu, niscaya ia akan
keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat yang lain pula, untuk kami perlihatkan
kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar”.
Petunjuk kedua juga datang dari Kyai Kholil yang disampaikan kepada Kyai Hasyim melalui Kyai As’ad
pada tahun 1925. Kyai As’ad membawa tasbih yang dikalungkan dilehernya. Tasbih itu disampaikan
kepada Kyai Hasyim dengan disertai bacaan “Ya Qohhar Ya Jabbar” tiga kali. Setelah itu baru Kyai
Hasyim mengatakan bahwa Allah SWT telah mengizinkan untuk mendirikan jam’iyah (organisasi) dan
beliau memerintahkan Kyai Wahab untuk mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi.
Setelah pengurus lengkap terbentuk, giliran selanjutnya adalah masalah lambang organisasi
untuk menentukan lambang ini diserahkan sepenuhnya kepada KH. Ridwan Abdullah. Lambang
Nahdlatul Ulama yang berupa bola dunia dilingkari tali dan sembilan bintang diciptakan oleh KH.
Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi setelah beliau beristikharah minta petunjuk kepada Allah
menjelang muktamar Nahdlatul Ulama yang pertama. Adapun tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf
arab adalah tambahan KH. Ridwan Abdullah sendiri.
Program pertama yang dilaksanakan oleh pengurus besar NU adalah menyukseskan misi
komite hijaz delegasinya KH. R. Asnawi Kudus, akan tetapi utusan ini gagal berangkat ke Makkah
karena kesulitan transportasi. Kemudian pengurus besar NU mengirim KH. Abdul Wahab Hasbullah
dan Syekh Ghonaim Al Misri mereka berdua berangkat ke Makkah pada tahun 1928 melalui
Singapura untuk menghadap langsung ke raja Ibnu Saud agar raja mau menjamin diberlakukan
kebebasan bermadzhab ditanah hijaz dan permintaan ini diterima oleh raja dengan baik dan akan
menyanggupinya.
Masyarakat umum nahdlatul ulama lebih banyak dikenal sebagai jama’ah bukan jam’iyah. Mereka
memahami nahdlatul ulama sebagai identitas diri dan legalitas atas amalan-amalannya. Acara-
acaranyapun tidak banyak mengalami perubahan hanya beberapa penambahan yang bersifat
organisasi. Sehingga dalam perjalanannya sehari-hari, lebih dikendalikan oleh kyai atau tokoh
setempat dari pada instruksi organisasi diatasnya. Respon masyarakat yang demikian ini terus
berlanjut sampai sekarang. Cepatnya perkembangan NU terutama dalam jumlah anggota yang
bergabung dari satu sisi amat menggembirakan, tetapi dari sisi lain agak memprihatinkan karena
sekian banyak orang yang mendadak bergabung ke dalam NU ternyata tidak mampu diurus secara
organisatoris-administratif pada dasarnya NU jam’iyah menjadikan kader-kader militan dengan
tugas-tugas yang lebih berat. Antara lain untuk membimbing kelompok-kelompok yang terdiri dari
NU jama’ah. Semuanya berada pada jaringan yang tidak terputus, saling mendukung dan saling
melengkapi.