Kecelakaan Lalu Lintas Forensik
Kecelakaan Lalu Lintas Forensik
Mati somatis terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan, yang menetap
(ireversibel).
Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
kehidupan diatas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan
kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih
berfungsi.
Mati seluler adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat
setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-
beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.
Mati otak adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang
ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga
alat bantu dapat dihentikan.
Faktor manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua
kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat
terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak
melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu.
Faktor kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah,
peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor
kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap
kendaraan.
Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman
didaerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan.
Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda
motor.
Faktor lingkungan
Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi
lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca
tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi
lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama didaerah
pegunungan.
Trauma pada Kecelakaan Lalu-Lintas
Menurut data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan
mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka
berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi 40
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal dunia.
Macam-macam Trauma
Trauma yang terjadi kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari
organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda
tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala,
fraktur (patah tulang), dan trauma dada.
Trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan trauma yang memiliki prognosis
(harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala merupakan pusat kehidupan
seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mengatur seluruh aktivitas manusia, mulai dari
kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar, mencium bau, dan banyak lagi fungsinya.
Jika otak terganggu, maka sebagian atau seluruh fungsi tersebut akan terganggu. Gangguan
utama yang paling sering terlihat adalah fungsi kesadaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering
diklasifikasikan berdasarkan derajat kesadaran, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat.
Makin rendah kesadaran seseorang makin berat derajat trauma kepalanya.
Gangguan otak bisa terjadi disertai dengan adanya penurunan kesadaran, fraktur
tengkorak, atau bengkak pada kulit kepala. Akan tetapi, tidak jarang, bisa juga terjadi tanpa
kelainan fisik yang tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan otak ini harus dipastikan.
Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah
tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan
tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup, yaitu
jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya tulang yang
menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan. Adapun fraktur tertutup, bisa diketahui
dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan bentuk
berupa sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain itu, ditemukan nyeri
gerak, nyeri tekan, dan perpendekan tulang.
Dalam kenyataan sehari-hari, fraktur yang sering terjadi adalah fraktur ekstremitas dan
fraktur vertebra. Fraktur ekstremitas mencakup fraktur pada tulang lengan atas, lengan bawah,
tangan, tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki. Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas atau
lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup tinggi. Umumnya
fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Adapun fraktur vertebra, yaitu fraktur pada daerah tulang belakang. Fraktur ini cukup
riskan karena di daerah tulang belakang terdapat kumpulan saraf medulla spinalis yang
merupakan lanjutan dari otak. Gangguan pada medulla spinalis bisa menyebabkan kelumpuhan,
baik lumpuh kaki, lumpuh tangan maupun kedua-duanya.
Trauma yang ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau toraks.
Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh trauma toraks.
V. UNDANG-UNDANG BERKENDARAAN
Selama mengemudikan kendaraan di jalan, setiap pengemudi kendaraan bermotor
memiliki kewajiban seperti dalam pasal 23 ayat (1) UU No.14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan berikut:
(1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan,
wajib :
a. Mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar;
b. Mengutamakan keselamatan pejalan kaki;
c. Menunjukkan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda
coba kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, dan tanda bukti lulus uji;
d. Mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi
isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas,
berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, pengguna
kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan
atau minimum.
Menurut pasal 27 ayat (1) bila terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas maka pengemudi
kendaraan bermotor yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas,wajib:
a. menghentikan kendaraan;
b. menolong orang yang menjadi korban kecelakaan;
c. melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia
terdekat.
Sanksi pada pelanggaran pasal 27 ayat (1) terdapat pada pasal 63: “Barangsiapa terlibat
peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan
tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan dan
tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat,
sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah)”
Bila jatuh korban pada kecelakaan lalu lintas maka hal tersebut diatur dalam pasal 31
sebagai berikut :
(1) Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan
umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan
dan/atau biaya pemakaman.
(2) Apabila terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban, bantuan yang diberikan
kepada korban berupa biaya pengobatan.
Korban diterima di Instalasi Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said
Sukanto pada hari Sabtu tanggal 16 Juni 2012 pukul 18.45 WIB, dengan Surat Permintaan
Visum dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Bogor Sektor Sukaraja dengan nomor
surat VER / 18 / VI / 2012 / Sektor tertanggal 16 Juni 2012.
Adanya SPV berarti syarat untuk pembuatan Visum et Repertum (VER) telah terpenuhi
dan mewajibkan dokter untuk memberikan bantuan kepada pihak penyidik sesuai dengan pasal
179 ayat 1 KUHAP yang berbunyi: ”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.” Istilah Visum et Repertum sendiri tidak pernah tercantum dalam KUHAP, namun
dasar hukum pengadaannya sesuai dengan pasal 133 KUHAP ayat 1 yang berbunyi ” Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya.” dan ayat 2 yang berbunyi ”Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.” Pernyataan ini
sesuai dengan definisi Visum et Repertum, yaitu surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter
atas permintaan tertulis penyidik yang berwenang, mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap
manusia baik hidup ataupun mati, bagian tubuh manusia, atau yang diduga bagian tubuh
manusia, yang dibuat berdasarkan keilmuannya, di bawah sumpah, demi kepentingan peradilan.
Pada tanggal 16 Juni 2012 korban ditemukan oleh polisi sudah dalam keadaan tidak
bernyawa. Menurut penyidik, jenazah ditemukan tergeletak di samping rel kereta api dengan
penjelasan bahwa mayat tersebut diduga meninggal dunia akibat tertabrak gerbong kereta api.
Korban kemudian dibawa polisi ke Instalasi Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I
Raden Said Sukanto. Pada korban hanya dilakukan pemeriksaan luar saja sehingga sebab
kematian tidak dapat diketahui, hanya diketahui dari pemeriksaan luar bahwa korban telah
mengalami kekerasan tumpul.
Pada pemeriksaan seorang mayat perempuan berusia tiga puluh hingga tiga puluh lima
tahun, pada pemeriksaan luar terdapa. Terdapat luka lecet pada dada kiri, perut atas kiri,
punggung atas kanan, tungkai atas kanan, tungkai bawah kanan, punggung tangan kiri
Terdapat luka memar di dahi kiri, tungkai atas kanan, lengan bawah kanan, punggung ibu
jari kiri dan lengan atas kiri, Melihat pola dan sifat luka, maka hal ini sesuai dengan kekerasan
tumpul.
Permintaan surat keterangan pemeriksaan jenazah dilakukan atas dasar adanya laporan
pada pihak kepolisian setempat dimana hal ini sesuai dengan UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan pasal 27 ayat (1) huruf c: ”Bila terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas
maka pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib
melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.”
Ketentuan hukum yang berlaku pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban
meninggal ini menurut UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, terdapat
pada pasal 31 ayat (1), yaitu: ”Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau
pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman.”
Sedangkan menurut KUHP, ketentuan pidana tentang hal yang menyebabkan mati atau
luka akibat kealpaan terdapat dalam pasal 359: “Barangsiapa karena kesalahan (kealpaannya)
menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.”
KESIMPULAN
Pada pemeriksaan terhadap mayat seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun sampai
tiga puluh lima tahun ini, pada pemeriksaan luar ditemukan luka lecet pada dada, punggung,
lengan, tangan dan tungkai. Luka memar pada dahi, tangan, punggung, lengan dan tungkai dan
patah tulang iga kanan akibat kekerasan tumpul. Sebab kematian orang ini belum dapat
dipastikan karena belum dilakukan pemeriksaan dalam
DAFTAR PUSTAKA
1. Budianto A., dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. ed I. cet II. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik FKUI, 1997
2. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. cet II. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik FKUI, 1994
3. Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2000
4. Perundang-Undangan & Aturan Republik Indonesia Terkait Kegiatan Kedokteran
Forensik & Medikolegal. cet I. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Dan Medikolegal
Rumkit Puspol RS Sukanto, 2010