Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Jalan raya merupakan komponen penting dalam peningkatan

pembangunan nasional, terutama untuk aktivitas berpindah tempat yang sangat

jauh. Untuk mengoptimalkannya maka diperlukan perencanaan jalan raya agar

dapat beroperasi dengan baik, nyaman, aman bagi pengguna jalan raya baik

dengan kendaraan maupun tanpa kendaraan

Kelancaran arus lalu lintas di jalan raya dipengaruhi oleh tingkat

kemampuan pelayanan yang dapat diberikan dari setiap bagian jalan raya

tersebut, antara lain oleh lebar jalan dan jumlah lajur yang dapat dilihat dari

potongan melintasng (Cross Section) jalan. Semakin banyak jenis dan jumlah

kendaraan yag lewat di jalan raya, maka semakin ramai pula arus lalu lintas di

jalan raya tersebut. Dalam keadaan seperti ini dapat diartikan bahwa lalu lintas

pada jalan raya akan semakin padat dan tingkat pelayanan yang diberikan oleh

bagian-bagian jalan menjadi semakin rendah. Agar terjadi kesesuaian antara

kepadatan dan tingkat pelayanan maka ditetapkan berbagai klasifikasi dan

spesifikasi di setiap jalan.

Dari uraian tersebut penulis memiliki keinginan untuk

mengidentifikasikan klasifikasi/spesifikasi, memperlihatkan potongan

melintang (Cross Section) dan Tingkat pelayanan 5 buah jalan raya pada

wilayah Kota Bandung

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan

masalah sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan jalan ss raya?

2. Apa saja yang menjadi parameter penentu klasifikasi jalan raya?

3. Apa yang dimaksud dengan cross section?

4. Bagaimana hasil identifikasi 5 ruas jalan di kota Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :

a. Secara Umum :
1. Memenuhi sebagian tugas mata kuliah Geometrik Jalan Raya di
Universitas Pendidikan Indonesia sebagai salah satu syarat kelulusan.
b. Secara Khusus :

1. Menjelaskan definisi jalan raya

2. Menjabarkan klasifikasi dan spesifikasi jalan raya

3. Menjelaskan mengenai cross section dan bagiannya

4. Mengidentifikasi 5 ruas jalan yang ada di kota Bandung

2
1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan maklah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan


sebagai berikut :
1. BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
maksud dan tujuan penulisan, dan sistematika penulisan paper.

2. BAB II PEMBAHASAN
Menjelaskan mengenai klasifikasi dan spesifikasi jalan raya
menurut Standar Nasional Indonesia dan berbagai perundang-
undangan, potongan melintang (cross section) dan tingkat
pelayanan jalan raya
3. BAB III IDENTIFIKASI
Di dalamnya mengidentifikasikan klasifikasi dan spesifikasi
jalan raya, potongan melintang (cross section) dan tingkat
pelayanan 5 ruas jalan raya pada wilayang kota Bandung
4. BAB IV PENUTUP
Berisi kesimpulan terhadap pokok pembahasan yang disajikan
dalam paper ini.
5. DAFTAR PUSTAKA

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jalan Raya

“Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian

jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang

diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas

permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas

permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel” (UU RI

No 38 Tahun 2004 tentang Jalan)

Sedang berdasarkan UU RI No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan

Angkutan Jalan yang diundangkan setelah UU No 38 mendefinisikan:

“Jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu lintas umum, yang berada

pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaaan

tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan

kabel”

Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat

oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya

sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan

kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya

dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).

Dalam undang-undang no.13 tahun 1980 tentang Jalan Raya menyebutkan

bahwa Jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik,

sosial budaya dan pertahanan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-

4
besar untuk kemakmuran rakyat. Kemudian jalan mempunyai peranan pula

untuk mendorong pengembangan semua Satuan Wilayah Pengembangan,

dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin

merata. Serta jalan merupakan suatu kesatuan sitem jaringan jalan yang

mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang

berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki.

2.2 Sistem jaringan jalan

A. Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem jaringan jalan primer adalah jalan yang menghubungkan

simpul–simpul jasa distribusi dalam struktur Pengembangan Wilayah

dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Didalam satuan wilayah pengembangan, sistem jaringan jalan primer

menghubungkan kota jenjang satu, kedua, ketiga dan jenjang

dibawahnya, secara terus menerus

b. Antar satuan wilayah pengembangan, sistem jaringan primer

menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu .

Disamping itu , jaringan jalan primer dapat dibedakan menjadi :

1. Jaringan Arteri Primer, menghubungkan kota jenjang kesatu, yang

terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu

dengan kota jenjang kedua

2. Jalan Kolektor Primer, menghubungkan kota jenjang kedua dengan

kota jenjang kedua, atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan

5
kota jenjang ketiga, atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang

ketiga.

3. Jalan Lokal Primer, menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota

jenjang ketiga, atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil

atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan persil.

- Yang dimaksud dengan kota jenjang kesatu ialah kota yang berperan

melayani seluruh satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan

pelayanan jasa yang paling tinggi dalam satuan wilayah pengembangannya

serta memiliki orientasi keluar wilayahnya.

- Yang dimaksud dengan kota jenjang kedua ialah kota yang berperan

melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan

kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu

dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke

kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu.

- Yang dimaksud dengan kota jenjang ketiga ialah kota yang berperan

melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan

kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua

dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke

kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke

kota jenjang kesatu.

- Yang dimaksud dengan kota di bawah jenjang ketiga ialah kota yang

berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya,

dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang

6
ketiga dan terikat jangkauan serta orientasi yang mengikuti prinsip-prinsip

di atas.

Sistem jaringan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang

dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan

simpul simpul jasa distribusi sebagai berikut :

1. Jalan Arteri Primer :

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km / jam

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter

c. Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata – rata.

d. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik,

lalu-lintas lokal dan kegiatan lokal.

e. Jumlah jalan masuk, ke jalan Arteri Primer, kecepatan 60 km/jam dan

dibatasi secara effisien sehingga kapasitas 60 km/jam dan kapasita tetap

terpenuhi.

f. Persimpangan pada jalan Arteri Primer harus dapat memenuhi ketentuan

kecepatan dan volume lalu lintas.

2. Jalan Kolektor Primer

a. Didesain untuk kecepatan paling rendah 40 km/ jam

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7,00 m

c. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata.

d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat dipenuhi

kecepatan paling rendah 40 km/jam

7
3. Jalan Lokal Primer

a. Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6 m

c. Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.

Gambar 1 Sistem Jaringan Jalan Primer

B. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah jalan yang menghubungkan

kawasan – kawasan fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi

sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke

perumahan dalam satu wilayah Perkotaan..

8
1. Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan

kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder

kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

2. Jalan Kolektor Sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kedua

dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan

sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

3. Jalan Lokal Sekunder, menghubungkan kawasan sekunder kesatu

dengan perumahan atau menghubungkan kawasan sekunder kedua

dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder ketiga

dengan perumahan.

Sistem jaringan jalan sekunder, mengikuti ketetentuan peraturan tata ruang

kota yang menghubungkan kawasan – kawasan yang mempunyai fungsi

primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga

dan seterusnya dengan batas sebagai berikut :

1. Jalan Arteri Sekunder

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 30 km / jam.

b. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata.

c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 m.

d. Pada jalan arteri sekunder, lalu lintas capat tidak boleh terganggu oleh

lalu lintas lambat.

e. Persimpangan jalan dengan pengaturan tertentu harus memenuhi

kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam.

9
2. Jalan Kolektor Sekunder

a. Desain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 km/jam

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 m

3. Jalan Lokal Sekunder

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km / jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 m.

c. Dengan kecepatan paling rendah 10 km/jam, bukan diperuntukkan untuk

roda tiga atau lebih.

d. Yang tidak diperuntukkan kendaraan roda tiga atau lebih harus

mempunyai lebar jalan tidak kurang 3.5 meter.

Gambar 2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder

10
2.3 Tingkat Pelayanan

A. Tingkat Pelayanan Jalan Yang Diharapkan

1. Tingkat pelayanan (tergantung – arus)

Hal ini berkaitan dengan kecepatan operasi atau fasilitas jalan yang

tergantung pada perbandingan antara arus terhadap kapasitas.Definisi

ini digunakan oleh Highway Capasity Manual yang mempunyai 6 buah

tingkat pelayanan, yaitu :

a. Tingkat pelayanan A – arus bebas dengan kondisi:

 Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan

tinggi;

 Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang

dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan

kecepatan maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;

 Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang

diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan.

b. Tingkat pelayanan B – arus stabil (untuk merancang jalanantarkota)

dengan kondisi:

 Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai

dibatasi oleh kondisi lalu lintas

 Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum

memengaruhi kecepatan

 Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih

kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.

11
c. Tingkat pelayanan C – arus stabil (untuk merancang jalan

perkotaan) dengan kondisi:

 Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan

dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi;

 Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas

meningkat;

 pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan,

pindah lajur atau mendahului

d. Tingkat pelayanan D – arus mulai tidak stabil dengan kondisi:

 Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan

kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh

perubahan kondisi arus;

 Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas

dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan

yang besar;

 Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam

menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini

masih dapat ditolerir untuk waktu yang singkat

e. Tingkat pelayanan E – arus tidak stabil (tersendat sendat) dengan

kondisi:

 Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume

lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;

 Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas

tinggi;

12
 Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi

pendek.

f. Tingkat pelayanan F – arus terhambat (berhenti, antrian,macet)

dengan kondisi:

 Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;

 Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume sama dengan

kapasitas jalan serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup

lama;

 Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun arus turun sampai 0.

Gambar 3. Tingkat Pelayanan

13
2. Tingkat pelayanan (tergantung- fasilitas)

Hal ini sangat tergantung pada jenis fasilitas bukan arusnya.

Jalan bebas hambatan mempunyai tingkat pelayanan yang tinggi,

sedangkan jalan yang sempit mempunyai tingkat pelayanan yang

rendah. Konsep ini dikembangkan oleh Blunden (1971), Wardrop

(1952), dan Davidson (1966).

Blunden menunjukan bahwa hasil eksperimen menghasilkan

karakteristik tertentu sebagai berikut :

 Pada saat arus mendekati nol titik potong pada sumbu Y terlihat

dengan jelas.

 Kurva mempunyai arsintot pada saat arus mendekati kapasitas.

 Kurva meningkat secara monoton

B. Standar Pelayanan Minimum Prasarana Jalan

Ukuran pelayanan yang sering dipakai adalah panjang jalan yang

terbangun dan disertai penjelasan kondisinya. Ukuran pelayanan

menggunakan istilah mantap dan tidak mantap untuk setiap panjang dan

kondisi jalan. Konsep kemantapan jalan tersebut di dasarkan atas kondisi

jalan yang dinyatakan dengan kerataan permukaan jalan baik yang

evaluasi secara visual maupun menggunakan alat pengukuran kerataan

perkerasan jalan. Kerataan permukaan jalan dianggap sebagai resultate

kondisi perkerasan jalan secara menyeluruh. Jika cukup rata, maka jalan

dianggap baik mulai dari lapis bawah sampai dengan lapis atas perkerasan

14
jalan. Satuan yang digunakan adalah IRI yang menyatakan akumulasi

naik-turunnya muka jalan sepanjang 1 km jalan, dinyatakan dalam m/Km.

Adapun definisi kata standar dalam penjelasan pasal 3 PP No. 25

Tahun 2000 adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukansebagai

patokan dalam melakukan kegiatan. Pelayanan (service) menurut kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan memberikan bantuan dan hal-hal

segala urusan yang diperlukan. Kata minimum menurut kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah batasan paling kecil atau sekurang-kurangnya.

Sehingga dalam konjungsi kata pelayanan minimum dapat diartikan

sebagai batasan sekurang-kurangnya dari akomodasi (bantuan) yang

diberikan.

Prasarana (infrastructure) merupakan definisi teknis yang besar dan

sampai saat ini masih dalam perdebatan oleh para ahli. Ir. EwoudVerhoef

(TU Delft, Belanda) melakukan serangkaian kajian pustaka mengenai

definisi prasarana menyimpulkan bahwa definisi dari prasarana adalah

sebagai berikut:“An infrastructure is a large-scale technological system,

consisting of immovable physical facilities anddelivering (an) essential

public or private service(s) through thestorage, conversion

and/ortransportation of certain commodities. The infrastructure includes

those parts and subsystems necessary for fulfilling the primary

storage,transportation and/or conversion function(s) as well as those

supporting a proper execution of the primary function(s)”.

Jalan (dalam UU No. 38 tahun 2004 maupun dalam PP No.

34tahun 2006) didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat yang

15
meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada

permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah

dan/atau air. Dengan merujuk kepada definisi-definisi di atas maka SPM

prasarana jalan dapat diterjemahkan sebagai berikut: SPM Prasarana Jalan

adalah suatu spesifikasi teknis penyediaan prasarana jalan yang sekurang-

kurangnya disediakan pada suatu wilayah untuk keperluan lalu lintas agar

fungsi dari jaringan jalan dalam memberikan dukungan pelayanan bagi

kegiatan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik. SPM prasarana jalan

akan terdiri dari 2 induk besaran : (1) kuantitas dan (2) kualitas prasarana

jalan.

Gambar 4. Identifikasi Awal Variabel SPM Prasarana Jalan

Sedangkan jika SPM jalan ini dikaitkan dengan kewenangan

maka untuk setiap jenjang pemerintahan(Pusat, Propinsi, dan

Kab/Kota) harus disediakan SPM-nya. Sehingga kemungkinan format

16
SPM tersebut akan meliputi beberapa hal sebagaimana disampaikan

pada Tabel

Tabel 1. Sprektum SPM Prasarana Jalan dalam Aspek Kewenangan

1. Aspek Kuantitas dalam SPM Prasarana Jalan

Prinsip utamadalampenyediaan kuantitas prasarana jalan adalah:

- Sesuai dengan prinsip ekonomi optimum dimana penyediaan panjang

jalan tidak berlebihan (over-supply) namun tetap mencukupi untuk

menjadi terpenuhinya kebutuhan dasar sosial-ekonomi masyarakat

tetap dapat memberikan impuls bagi pengembangan ekonomi

wilayah.

- Merata dan menjangkau seluruh wilayah dengan baik sesuai dengan

kondisi geografis, penyebaran penduduk dan pemusatan kegiatan

ekonomi (well-distributed/spacing)

- Jalan harus terhirarki dengan benar sesuai fungsinya (A/K/L dan

primer/sekunder) dan membentuk jaringan jalan yang utuh (tidak

terputus) (networking by hierarchy)

17
Untuk simplifikasi maka minimal dalam SPM harus ditentukan lebar

badan jalan minimal untuk setiap jenis fungsi jalan baik Arteri, Kolektor,

Lokal (A, K, L). Sehingga pada dasarnya dengan mengacu kepada konsep

aksesibilitas dan mobilitas tersebut di atas, dapat ditentukan persyaratan

untuk setiap jenjang kewenangan jalan

Tabel 2. Syarat Aksebilitas

2. Aspek Kualitas Dalam SPM Prasarana Jalan

Kualitas prasarana jalan harus memenuhi syarat kualitas minimal,

yakni siap/dapat dioperasikan/ digunakan setiap saat. Secara ekonomi

maka kualitas jalan minimal harus memberikan pelayanan yang minimal

dengan biaya perjalanan yang relatif murah ditinjau dari konsumsi

waktu, BBM, komponen BOK, dlsb.Secara umum kualitas pelayanan

jalan dapat dijamin dengan:

18
- Kualitas fisik jalan yangcukup, atau tidak rusak,

- Kualitas operasional yang memadai, misalnya dengan variabel

kecepatan, biaya operasi kendaraan, dan keselamatan,

a. Kualitas Fisik Jalan

Kualitas fisik jalan yang umum digunakan dalam menilai kondisi

adalah IRI (yang menyangkut riding-quality) dan RCI (yang

menyangkut structural-quality). Secara lebih sederhana maka syarat

kondisi fisik jalan adalah tidak rusak. Dalam terminologi

penyelenggaraan jalan maka terdapat suatu korelasi antara klasifikasi

kondisi fisik jalan (baik, sedang, rusak, rusak berat) dengan kebutuhan

penanganan jalan.

Sebagai contoh untuk jalan standar hubungan tersebut

digambarkan. Klasifikasi kondisi minimal perkerasan jalan dikaitkan

dengan lalulintas dan fungsi jalannya secara umum disampaikan pada

Tabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum syarat

IRI untuk semua fungsi jalan adalah maksimum 8 m/kmdan RCI

minimal 5,5. Namun hal ini akan juga dipengaruhi oleh lebar aktual

jalan dan volume aktual jalan, yang secara umum membutuhkan syarat

IRI dan RCI yang lebih baik, sebagaimana disampaikan dalam SPM

versi Kepmenkimpraswil No. 543/KPTS/M/2001. Namun sebagai

batasan maksimal angka IRI < 8.0 dan RCI>5.5 sudah cukup

memberikan kualitas fisik jalan yang dapat menjamin berfungsinya

jalan secara minimal.

19
Gambar 5. Hubungan Antara Kondisi Fisik Jalan dan Kebutuhan

Penanganan Jalan

Tabel 3. Syarat Minimal Kondisi Jalan Menurut Fungsi Jalan

20
b. Kualitas Pelayanan/Operasional Jalan

1) Kecepatan Operasi

Sedangkan dari kualitas pelayanan jalan umumnya di indikasi oleh

tingkat pelayanan jalan sesuai dengan kecepatan tempuh yang

dihasilkan sebagai trade-offs antara kapasitas jalan dengan volume

lalulintas. Contoh pengukuran kualitas pelayanan jalan pernah juga

disampaikan oleh Morlok (1991) yang terdiri dari 6 tingkatan A, B,

C, D, E, dan F. Hubungan antara kecepatan, tingkat pelayanan dan

rasio volume terhadap kapasitas jalan.

Tabel 4. Klasifikasi Kualitas Pelayanan Jalan

Sumber: Morlok(1991)

Dalam MKJI 1997 lalulintas berada pada kondisi normal jika VCR <

0,85,klasifikasi Minimalnya D

21
Gambar 6. Kecepatan Operasi dan V/C

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa: syarat kecepatan

operasi minimal untuk setiap fungsi ruas jalan dalam SPMJalan tidak

boleh lebih tinggi dari kecepatan rencana minimal dalam RPP Jalan dan

juga tidak boleh lebih rendah dari kecepatan operasi minimal dari

syarat lebar masing-masing fungsi jalan. Perhitungan mengenai

kecepatan operasi minimal dan rekomendasi SPM untuk aspek

kecepatanoperasi disampaikan pada Tabel

Tabel 5. Syarat Minimum Kecepatan Operasi Setiap Fungsi Jalan

22
Tabel 6. Standar Pelayanan Minimum

Sumber: Departemen Kampraswil 2001

23
2.4 Klasifikasi Jaringan Jalan

Klasifikasi jaringan jalan dibedakan menjadi 3 jenis:

A. Jalan Utama(Primer)

Jalan raya utama adalah jalan raya yang melayani lalu lintas yang

tinggi antara kota yang penting atau antara pusat-pusat produksi dan pusat-

pusat akspor. Sifat lau lintas jalan ini adalah cepat dan berat.

B. Jalan Sekunder

Jalan raya sekunder adalah jalan raya yang melayani lau lintas

yang cukup tinggi antara kota-kota penting dan kota-kota yang lebih kecil,

serta melayani daerah-daerah di sekitarnya.

C. Jalan Penghubung

Jalan Penghubung adalah jalan untuk keperluan aktifitas daerah

yang juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari

golongan yang sama atau yang berlainan.

Dalam hubungan dengan perencanaan geometrik, ketiga golongan ini

dibagi dalam kelas – kelas yang menetapkannya ditentukan oleh

perkiraan besarnya lalulintas yang akan melewati jalan tersebut. Volume

lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut dinyatakan dalamSatuan

Massa Penumpang (SMP) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu

lintasharian rata – rata untuk kedua jurusan volume LHR yang baru

untuk suatu jalandapat langsung diperoleh pada lalu lintas dimana dilakukan

dalam waktu tersebut

24
Tabel 7. Klasifikasi Jalan Raya
JALAN RAYA JALAN
KLASIFIKASI JALAN RAYA SEKUNDER
UTAMA PENGHUBUNG
JALAN

I (A1) II A (A2) II B (B1) II C (B2) III

KLASSIFIKASI MEDAN D B G D B G D B G D B G D B G

Lalu lintas harian rata- rata > 20. 000 6.000 - 20.000 1500 – 8000 < 20.000 -

(smp)

Kecepatan Rencana 120 100 80 100 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30

(km/jam)

Lebar Daerah Penguasaan 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20

min.(m)

Lebar Perkerasan (m) Minimum 2 (2x3,75) 2x3.50 atau 2(2x3.50) 2x 3.50 2 x 3.00 3.50 - 6.00

Lebar Median minimum (m) 2 1.5 - - -

Lebar Bahu (m) 3.50 3.00 3.00 3.00 2.50 2.50 3.00 2.50 2.50 2.50 1.50 1.00 3.50 - 6.00

Lereng Melintang 2% 2% 2% 3% 4%

Perkerasan

Lereng Melintang Bahu 4% 4% 6% 6% 6%

Jenis Lapisan Permukaan Aspal beton Aspal Beton Penetrasi Berganda/ Paling tinggi penetrasi Paling tinggi pelebaran

Jalan ( hot mix ) setaraf tunggal jalan

Miring tikungan maksimum 10% 10% 10% 10% 10%

Jari- jari lengkung minimum 560 350 210 350 210 115 210 115 50 210 115 50 115 50 30

(m)

Landai Maksimum 3% 5% 6% 4% 6% 7% 5% 7% 8% 6% 8% 10 % 6 % 8

% 10 %

a. Volume dan sifat-sifat lalu lintas

Dalam proses pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan lama,

dibutuhkan suatu perencanaan yang matang, yang disusun berdasarkan

perhitungan lalu lintas untuk lokasi jalan tersebut. Hasil perkiraan ini akan

diproyeksikan untuk tahun rencana yang nantinya dinyatakan sebagai

volume lalu lintas rencana.

25
Volume Lalu Lintas Rencana (VLLR) dari lalu lintas menyatakan

jumlah lalu lintas perhari dalam satu tahun untuk kedua jurusan. Untuk ini

diperlukan penyelidikan lapangan 24 jam selama satu tahun dengan

mencatat setiap jenis kendaraan bermotor dan kendaraan fisik yang

melewati jalan tersebut. Jumlah lalu lintas perhari dalam satu tahun

dinyatakan sebagai lalu lintas rata-rata (LHR).

LHR = Jumlah lalu lintas dalam satu tahun

Jumlah hari dalam satu tahun

Karena pada umumnya lalulintas pada jalan raya terdiri dari campuran

kendaraan cepat,lambat,berat,ringan dan kendaraan tak bermotor atau

kendaraan fisik, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan (jumlah

kendaraan maksimum yang melewati satu titik/tempat dalam satu satuan

waktu) mengakibatkan adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan

tersebut. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap

kendaraan penumpang sebagai kendaraan yang dinyatakan dengan faktor

ekivalen (FE)=1.

Maka dengan demikian satuan LHR adalah dengan satuan mobil

penumpang (smp) atau Passenger Car Unit (PCU). Faktor ekivalen

tersebut diterapkan sesuai dengan kondisi medan, sehingga didapatkan

smp ekivalen.

26
Tabel 8. Faktor ekivalen kendaraan untuk menghitung VLR

Daerah Datar dan Daerah


Jenis Kendaraan
Perbukitan Pegunungan

Sepeda motor, sedan, jeep dan station wagon 1,0 1,0

Pick up, bis ukuran kecil, truk ringan 2,0 2,5

Bis, truk dua as 3,0 4,0

Truk bersumbu tiga, trailer 5,0 6,0

Dalam menghitung VLLR, kendaraan tak bermotor seperti sepeda,

becak dan lain sebagainya, tidak diperhitungkan sebab pengoperasiannya

jauh berbeda bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan

pengaruhnya atas lalu lintas kendaraan bermotor berubah tergantung

volume lalu lintas kendaraan bermotor itu sendiri.

Faktor-faktor pokok pada klasifikasi jalan raya adalah volume lalu

lintas rencana, fungsi jalan raya dan kondisi medannya. Penentuan lebar

daerah manfaat jalan, alinyemen dan standar lainnya, mengikuti volume

lalu lintas rencana, sedangkan penentuan kelas-kelas standar jalan akan

mengikuti fungsinya.

Berikut ini adalah Peraturan Pemerintah No. 26/1985, tentang

kecepatan rencana minimum dan lebar badan jalan minimum menurut

fungsi jalan :

1. Untuk jalan arteri, kecepatan rencananya 60 km/jam, dan lebar badan

jalan 8m.

27
2. Untuk jalan kolektor, kecepatan rencananya 40 km/jam, dan lebar

badan jalan 7m.

3. Untuk jalan lokal, kecepatan rencananya 20 km/jam, dan lebar badan

jalan 6m.

b. Menghitung Volume lalu-lintas harian rata-rata tahunan (LRHT)

LRHT secara definisi adalah jumlah lalu lintas selama satu tahun

penuh (365 hari) dibagi jumlah harinya dalam tahun tersebut. LHRT

ditetapkan dalam unit Satuan Mobil Penumpang (smp) per hari atau dalam

satuan komposisi kendaraan perhari. Untuk keperluan perencanaan, LHRT

sangat jarang didasarkan atas informasi data lalu-lintas selama satu tahun

penuh, sehingga sering diprediksi dari data survey yang pendek, misalnya

7 hari.

TRL (Howe, 1989) menyarankan, untuk keperluan LRHT, data

yang efektif dikumpulkan adalah selama 7x24 jam, dengan catatan

pengurangan waktu pengumpulan data cenderung menyebabkan deviasi

secara efisien, sedikit penambahan akurasi untuk usaha pengumpulan data

yang banyak. Penelitian TRL tersebut menjelaskan bahwa hal tersebut

berkaitan dengan pola kegiatan rutin pelaku perjalanan yang terpola

mingguan.

Informasi verbal dari diskusi dengan para konsultan, data lalu-

lintas sering didasarkan pada survey selama 3 hari. Sementara itu, ditjen

Bina Marga, 1992) dengan mengategorikan ruas jalan menjadi 3 tipe:

1. tipe A (LHR ≥ 10000 kendaraan),

28
2. tipe B (5000 < LHR < 10000 kendaraan), dan

3. tipe C (LHR ≤ 5000 kendaraan)

Dimana lamanya perhitungan data lalu-lintas ditentukan seperti

pada table berikut:

Tabel 9. Lama survey perhitungan lalu-lintas


Lama survey Frekuensi
No Tipe pos LHR
(jam) pengukuran

1 Kelas A ≥ 10000 40 (dalam 2 hari) 4x /tahun

2 Kelas B 5000-10000 Sama dengan kelas A 4x /tahun

3 Kelas C ≤ 5000 16 (dalam 1 hari) 4x /tahun

Manual perhitungan lalu lintas tersebut, diterbitkan pada tahun

1992. Hasil perhitungan lalu lintas seperti ini dipandang perlu unutk diuji

akurasinya, yaitu berapa deviasi antara LHRT sesungguhnya (dari data

365 hari) terhadap LHRT perkiraan. Perlu ditetapkan kebijakan akurasi

perhitungannya, misalnya deviasi maksimum 5%, sehingga perencanaan

dalam merencanakan table perkerasn telah memperhitungkan

kemungkinan deviasi prediksi lalu-lintas tersebut.

c. Kapasitas Jalan Raya

Kapasitas suatu jalan berarti kemampuan jalan menerima lalu

lintas. Jadi kapasitas menyatakan jumlah kendaraan maksimum yang

melalui satu titik (satu tempat) dalam satu satuan waktu.

Kapasitas dibagi dalam 3 golongan :

29
1. Kapasitas dasar (kapasitas ideal) yaitu kapasitas jalan dalam kondisi

yang ideal yang meliputi:

Lalu lintas mempunyai ukuran standar

Lebar perkerasan ideal 3,6 m

Lebar bahu 1,8 m dan tak ada penghalang

Jumlah tikungan dan tanjakan

Daerah pembebasan

2. Kapasitas rencana (design capassity), yaitu kapasitas jalan untuk

perencanaan yang dinyatakan dengan jumlah kendaraan yang melalui

suatu tempat dalam satu satuan waktu (jam).

3. Kapasitas mungkin (possible capassity) yaitu jumlah kendaraan yang

melalui satu titik atau tempat dalam satu satuan waktu dengan

memperhatikan kecepatan ataupun perlambatan yang terjadi pada jalan

tersebut.

2.5 Klasifikasi kelas jalan

1. Klasifikasi Jalan Antar Kota

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (ton)

I >8

Arteri II 10

III A 8

III A
Kolektor
III B 8

Lokal III C 8

30
2. Klasifikasi Jalan Perkotaan

a. Jalan Tipe I (Pengaturan jalan Masuk : Penuh)

Tabel 11. Klasifikasi jalan perkotaan tipe I

Fungsi Kelas

PRIMER

Arteri I

Kolektor II

SEKUNDER

Arteri II

b. Jalan Tipe II (Pengaturan Jalan Masuk : Sebagian atau tanpa

Pengaturan)

Tabel 12. Klasifikasi jalan perkotaan tipe II

Volume Lalu Lintas


Fungsi Kelas
(dalam SMP)

Primer - - I

Arteri > 10.000 I

- Kolektor < 10.000 II

Primer - > 20.000 I

Arteri < 20.000 II

> 6.000 II

- Kolektor < 6.000 III

- Jalan > 500 III

Lokal < 500 IV

31
3. Klasifikasi Jalan Kabupaten

Tabel 13. Klasifikasi jalan Kabupaten

Volume Lalu Lintas Kecepatan


Fungsi Kelas
(dalam SMP) (Km / Jam)

D B G

SEKUNDER > 500 III A 50 40 30

Jalan Lokal 201 – 500 III B1 40 30 30

50 – 200 III B2 40 30 30

< 50 III C 30 30 20

( Sumber: Petunjuk Perencanaan Teknis jalan Kabupaten – 1992 Dirjen Bina

Marga)

A. Kelas Jalan Berdasarkan Berat Kendaraan

Menurut berat kendaraan yang lewat, jalan raya terdiri atas: jalan kelas I,

kelas IIA, kelas IIB, kelas IIC, dan kelas III. Semakin berat kendaraan-

kendaraan yang melalui suatu jalan, makin berat pula syarat-syarat yang

ditentukan untuk pembuatan jalan itu.

a. Kelas I

Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan

untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu

lintasnya tak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

Jalan raya dalam kelas ini merupakan jalan-jalan raya yang berjalur

banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik dalam arti

tingginya tingkatan pelayanan terhadap lalu lintas.

32
b. Kelas II

Kelas jalan ini mencakup semua jalaln-jalan sekunder. Dalam

komposisi Ialu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Kelals jalan ini,

selanjutnya berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi

dalam tiga kelas, yaitu : IIA, IIB dan IIC.

1) Kelas IIA

Adalah jalan-jalan raya sekuder dua jalur atau lebih dengan

konlstruksi permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang

setaraf, di mana dalam komposisi lalu lihtasnya terdapat kendaraan

lambat tapi, tanpa kendaraan tanpa kendaraan yang tak bermotor. Untuk

lalu lintas lambat, harus disediakan jalur tcrsendiri.

2) Kelas IIB

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi

permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf di mana

dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat, tapi tanpa

kendaraan yang tak bermotor.

3) Kelas IIC

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi

permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal di mana dalam komposisi

lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dari kendaraan tak bermotor.

33
c. Kelas III

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan

merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Konstruksi

pcrmukaan jalan yang paling tinggi adalah pelaburan dengan aspal.

UU No.14/1992 tentang lalu-lintas beserta PP No.43/1993 dan PP

No.44/1993, mengatur kriteria klasifikasi sarana transportasi darat (kendaraan)

yang sesuai dengan prasara-nanya (jalan). Pengaturan ini, selanjutnya dimasukkan

kembali ke dalam Rancangan Undang-undang Lalu-lintas dan Angkutan Darat

(dipublikasikan 10 Oktober 2006), yang berkaitan dengan pengaturan Kelas Jalan,

Fungsi Jalan, dimensi maksimum dan MST kendaraan, Sementara itu, untuk

pengaturan MST Truk Peti kemas, tergantung kepada konfigurasi sumbu

terberatnya, masih diatur sesuai dengan KM Perhubungan No.74-1990

Tabel 14. Kelas dan Fungsi Jalan (PP no 43-1993 pasal 11)

34
2.6 Klasifikasi jalan menurut pelayanan administrasi

Pelayanan Administrasi Jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian

hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan Pemerintah dan

pemerintah daerah. Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam

jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, jalan desa dan jalan

khusus.

1. Jalan Nasional
 Jalan Arteri Primer.
 Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi.
 Jalan selain dari yang termasuk arteri / kolektor primer , yang
mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional, yakni jalan
yang tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi, tetapi
mempunyai peranan jaminan kesatuan dan keutuhan nasional, yakni
melayani daerah – daerah yang rawan dan lain - lain.
2. Jalan Propinsi
 Jalan Kolektor Primer, yang menghubungkan ibukota propinsi dengan
ibukota Kabupaten/Kotamadya.
 Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota
kabupaten / kotamadya.
 Jalan selain dari yang disebut diatas, mempunyai nilai strategis
terhadap kepentingan propinsi, yakni jalan biarpun tidak dominan
terhadap perkembangan ekonomi, tetapi mempunyai peranan tertentu
dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan dalam pemerintah
daerah.
 Jalan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan yang termasuk
Jalan Nasional.
3. Jalan Kabupaten
 Jalan Kolektor Primer, yang tidak termasuk dalam kelompok jalan
Nasional dan Kelompok Jalan Propinsi.
 Jalan Lokal Primer.

35
 Jalan Sekunder Lain, selain sebagaimana dimaksud sebagai jalan
Nasional dan jalan propinsi.
 Jalan selain yang disebutkan diatas, mempunyai nilai strategis terhadap
Kepentingan, yakni jalan yang walaupun tidak dominan terhadap
pengembangan ekonomi, tetapi mempunyai peranan tertentu dalam
menjamin terselenggaranya pemerintahan dalam pemerintah daerah.
4. Jalan Kotamadya
 Jaringan Jalan Sekunder di dalam Kotamadya.
5. Jalan Desa
 Jaringan jalan sekunder didalam desa, yang merupakan hasil swadaya
masyarakat, baik yang ada di desa maupun di kelurahan.
6. Jalan khusus
 Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi / Badan Hukum /
Perorangan untuk melayani kepentingan masing – masing.

Tabel 15. Fungsi Jalan Dikaitkan Dengan Penanggung Jawab Pembinaan

36
2.7 Klasifikasi Train Topografi

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar

kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi

medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi

medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan

pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 16. Klasifikasi Jalan menurut train topografi


No JENIS MEDAN NOTASI KEMIRINGAN MEDAN
1 Darat D <3

2 Berbukit B 3-25

3 Pegunungan G >25

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

2.8 Klasifikasi Jalan Menurut Jenis Jalan

Menurut jenisnya, jalan raya dibedakan menjadi, Express way, Free way,

Colector, dan local road

A. Express Way

Express way atau disebut juga jalan cepat sesungguhnya adalah jalan

raya primer atau jalan arteri, akan tetapi pada jalan express prioritas jalan

diberikan kepada kendaraan untuk lalu lintas menerus (bergerak lurus).

Pada daerah persimpangan yang arus lalu lintasnya saling memotong jalan

raya utama seharusnya dilengkapi dengan persimpangan jalan yang tidak

sebidang (Fly Over). kecepatan kendaraan rata-rata diperkenankan 100

km/jam, dan disertai dengan pengendalian jalan masuk yang dibatasi

secara efisien.

37
B. Free Way

Free way atau disebut juga dengan jalan bebas hambatan adalah

jalan raya arteri yang memungkinkan kendaraan bergerak dengan

kecepatan lebih dari 100 km/jam. Dengan tanpa melewati rintangan

apapun, baik rintangan yang disebabkan oleh adanya persimpangan jalan,

oleh gerakan kendaraan membelok, maupun oleh para penyebrang jalan,

dan hambatan-hambatan lain. Selain itu jalan bebas hambatan harus disetai

dengan sistem pengendalian jalan masuk secara penuh.

Spesifikasi untuk jalan bebas hambatan ( freeway ) sebagaimana

dimaksud dalam PP RI No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan adalah sebagai

berikut:

a. Merupakan jalan untuk lalu lintas umum,

b. Pengendalian jalan masuk secara penuh,

c. Tidak ada persimpangan sebidang,

d. Dilengkapi pagar ruang milik jalan dan median,

e. Paling sedikit mempunyai 2(dua) lajur setiap arah,

f. Lebar paling sedikit 3,5 meter.

38
2.9 Cross Section ( Potongan Melintang )

Gambar 7 contoh cross section

Ada beberapa bagian dalam penampang melintang jalan :

a. Daerah Milik Jalan (Damija) adalah seluruh daerah manfaat jalan berikut

jalur tertentu di luar daerah manfaat jalan tersebut yang ditujukan untuk

memenuhi kondisi ruang bagi pemanfaat jalan.

b. Daerah Manfaat Jalan (Damaja) adalah meliputi seluruh jalur lalu lintas

(badan jalan, saluran tepi dan ambang pemangaman).

39
c. Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja), ditujukan untuk penjagaan terhadap

terhalangnya pandangan pengendara bermotor dan untuk konstruksi jalan, jika

ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.

d. Badan Jalan, bagian jalan yang meliputi seluruh jalur lalu-lintas, median dan

bahu jalan

e. Jalur lalu-lintas,bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus

untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya

diperkeras

f. Lajur. Bagian dari jalur lalu-lintas yang memanjang dibatasi oleh marka jalur

jalan, yang memiliki lebar cukup untuk kendaraan bermotor sesuai rencana

(kendaraan rencana)

g. Median, bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu

lintas yang berlawanan arah.

Fungsi median :

 Memisahkan 2 aliran lalu lintas yang berlawanan arah

 Ruang lapak tunggu penyebarang jalan

 Penempatan fasilitas jalan

 Tempat prasarana kerja sementara

 Penghijauan

 Tempat berhenti darurat

 Cadangan lajur

 Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang

berlawanan.

40
Jenis-Jenis Median

 Median Tinggi, yaitu median yang permukaannya lebih tinggi dari

permukaan perkerasan jalan (raised median),

 Median Rendah, yaitu median yang permukaannya lebih rendah

dari permukaan perkerasan jalan (depressed median),

 Median Sebidang, yaitu median yang permukaannya sebidang

dengan permukaan perkerasan jalan yang ada (flushed median).

Gambar 8 Median Tinggi Gambar 9 Median Rendah

Gambar 10 Median Sebidang

Lebar Median

Lebar total median, diukur dari garis tepi dalam perkerasan jalur

lalu-lintas yang satu, sampai dengan garis tepi dalam perkerasan jalur

lalu-lintas lainnya, atau garis tepi dalam perkerasan jalur lalu-lintas

yang berlawanan arah.

41
Tabel 17 lebar minimal standar dan lebar standar mutlak median

Kelas Lebar Min. Lebar Min. Jalur Tepian

Perencanaan Standar (m) Mutlak (m) (m)

Tipe I : - kelas 1 2,50 2,50 0,75 *)

- kelas 2 2,00 2,00 0,50

Tipe II : - kelas 1 2,00 1,00 0,25

- kelas 2 2,00 1,00 0,25

- kelas 3 1,50 1,00 0,25

Keterangan: *) Untuk Median Rendah dan Median Sebidang, jalur tepian

identik dengan bahu dalam.

Tabel 18 lebar median dan penggunannya

Lebar median (meter)


Tujuan penggunannya
< 1.50
Untuk perlindungan pejalan kaki
Untuk menyediakan ruang yang cukup dan
5.00 – 7.50
memberikan perlindungan bagi kendaraan yang
membelok kanan
0.00 – 9.00 Untuk memberi perlindungan bagi kendaraan yang
melintasi jalan raya
Untuk menyediakan ruang yang cukup guna
9.00 – 21.00
pembuatan jalur bagi kendaraan yang hendak
berputas arah (belokan U)

h. Bahu Jalan, atau disebut juga sebagai tepian jalan adalah suatu jalur yang

terletak berdampingan sejajar dengan jalur lalu lintas, atau bagian jalan yang

terletak diantarajalur lalu liintas dengan saluran tepi, atau dengan parit dengan

pembatas jalan atau dengan kemiringan lereng tepi. Fungsi bahu jalan adalah

42
untuk memberikan kebebasan samping dan sebagai jalur untuk melayani

kendaraan yang berhenti dalam keadaan darurat.

Gambar 11 Tipikal Bahu Jalan

Tabel 19 kemiringan bahu jalan berdasarkan kelas jalan

Klasifikasi Lebar bahu jalan (m) Kemiringan

jalan raya D B G bahu jalan (%)

I 3.50 3.00 3.00 4

II A 3.00 2.50 2.50 4

II B 2.50 2.50 2.50 6

II C 2.00 1.50 1.00 6

II D 1.50 - - 6

i. Saluran drainase, sebagai saran dalam penyaluran air hujan yang jatuh di

dalam kawasan permukiman.

43
Tabel 20 sistem drainase permukiman hubungannya dengan fungsi dan
penempatannya

Catatan :
 Definisi tidak terpadu: saluran drainase yang mengikuti sisitem jaringan jalan dan
berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan air hujan yang jatuh di DAMAJA, bukan
sebagai saluran primer drainase permukiman
 Definisi terpadu: saluran drainase yang mengikuti sistem jaringan jalan dan berfungsi
sebagai saluran yang menyalurkan air hujan yang jatuh di DAMAJA dan yang jatuh
diseluruh kawasan permukiman

j. Jarak Pandang, suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada

saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan

yang membahayakan , pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk

menghindari bahaya tersebut dengan aman.

a) Jarak Pandang Henti

Jarak Pandang Henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh

setiap pangemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu

melihat adanya halangan di depan. Jarak Pandangan Henti diukur

berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan

tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan.

 Jarak Tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak

pengemudivmelihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus

berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.

44
 Jarak Pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk

menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai

kendaraan berhenti.

b) Jarak Pandang Medahului

Jarak Pandang Mendahului adalah jarak yang memungkinkan suatu

kendaraan mendahului kendaraan lain didepannya dengan aman sampai

kendaraan tersebut kembali ke lajur semula . Jarak tersebut diukur

berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan

tinggi halangan adalah105 cm.

45
BAB III

KAJIAN, IDENTIFIKASI 5 RUAS JALAN RAYA

KOTA BANDUNG

1. Jalan Sumbawa

Gambar 12 jalan Sumbawa

Jalan Sumbawa terletak di Desa Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung,

Kota Bandung, Jawa Barat. Alinyemen horizontal sedikit belokan dan

alinyemen vertikalnya turun. Pada jalan ini, tidak terdapat median.

 Panjang jalan : 780 meter

 Lebar Rumija : 17 meter

 Lapisan permukaan

- Lebar : 7.3 meter – 8 meter

- Jenis : AC – WC

- Tebal : 0.04 meter

- Kondisi : Baik

 Lapisan Pondasi

- Lebar : 7.3 meter – 8 meter

- Jenis : Atas  AC – BC

46
Bawah  SIRTU

- Tebal : Atas  0.50 meter

Bawah  0.55 meter

 Trotoar

- Lebar : Kanan  2.8 meter

Kiri  3.4 meter

- Jenis : PVB

- Tebal : 0.3 m

- Kondisi : Sedang

 Saluran Samping :

- Type : Terbuka

- Ukuran : 0.5 meter

- Jenis material : PBU

 Status kepemilikan jalan : Kota Bandung

Gambar 13 Denah lurus Ruas Jalan Sumbawa

47
Gambar 14 potongan melintang (cross section) jalan Sumbawa

2. Jalan Naripan

Gambar 15 Jalan Naripan

Jalan Naripan terletak di Desa Kebon Pisang, Kecamatan Sumur Bandung,

Kota Bandung, Jawa Barat. Alinyemen horizontal sedikit belokan dan

alinyemen vertikalnya datar. Pada jalan ini, tidak terdapat median.

 Panjang jalan : 1048 meter

 Lebar Rumija : 23.5 meter

 Lapisan permukaan

- Lebar : 11 meter – 11.8 meter

- Jenis : AC – WC

- Tebal : 0.04 meter

48
- Kondisi : Baik

 Lapisan Pondasi

- Lebar : 11 meter – 11.8 meter

- Jenis : Atas  AC – BC

Bawah  SIRTU

- Tebal : Atas  0.50 meter

Bawah  0.55 meter

 Trotoar

- Lebar : Kanan  0.8 meter

Kiri  1.4 meter

- Jenis : PVB

- Tebal : 0.3 m

- Kondisi : Sedang

 Status kepemilikan jalan : Kota Bandung

Gambar 16 denah lurus ruas jalan Naripan

49
Gambar 17 potongan melintang (cross section) jalan Naripan

3. Jalan Tamansari

Gambar 18 Jalan Tamansari

Jalan Tamansari terletak di Desa Lebak Siliwangi 02, Kecamatan Bandung

Wetan 09, Kota Bandung, Jawa Barat. Jalan tersebut memiliki status jalan

Kolektor Sekunder. Alinyemen horizontal sedikit belokan dan alinyemen

vertikalnya sedikit naik dandatar. Pada jalan ini, tidak terdapat median.

 Panjang jalan : 2666 meter

 Lebar Rumija : 14.5 meter

 Lapisan permukaan

- Lebar : 7 meter

50
- Jenis : AC – WC

- Tebal : 0.04 meter

- Kondisi : Baik

 Lapisan Pondasi

- Lebar : 7 meter

- Jenis : Atas  AC – BC

Bawah  EXISTING

- Tebal : Atas  0.50 meter

Bawah  0.55 meter

 Trotoar

- Lebar : Kanan  2.00 meter

Kiri  2.00 meter

- Jenis Material : PVB

- Tebal : 0.3 m

- Kondisi : Sedang

 Status kepemilikan jalan : Kota Bandung

Gambar 19 Denah ruas jalan Tamansari

51
Gambar 20 potongan melintang (cross section) jalan Tamansari

4. Jalan Merdeka

Gambar 21 Jalan Merdeka

Jalan Tamansari terletak di Desa Braga 01, Kecamatan Sumur Bandung

19, Kota Bandung, Jawa Barat. Jalan tersebut memiliki status jalan Kolektor

Primer. Alinyemen horizontal sedikit belokan dan alinyemen vertikalnya

datar. Pada ruas jalan ini tidak ada median.

 Panjang jalan : 1065 meter

 Lebar Rumija : 17.8 meter

 Lapisan permukaan

- Lebar : 10.8 meter – 12.00 meter

52
- Jenis : AC – WC

- Tebal : 0.04 meter

- Kondisi : Baik

 Lapisan Pondasi

- Lebar : 10.8 meter – 12.00 meter

- Jenis : Atas  AC – BC

Bawah  EXISTING

- Tebal : Atas  0.50 meter

Bawah  0.55 meter

 Trotoar

- Lebar : Kanan  2.00 meter

Kiri  1.90 meter

- Jenis Material : PVB

- Tebal : 0.3 m

- Kondisi : Sedang

 Status kepemilikan jalan : Kota Bandung

Gambar 22 denah ruas jalan Merdeka

53
Gambar 23 potongan melintang (cross section) jalan Merdeka

5. Jalan Sersan Bajuri

Gambar 24 Jalan Sersan Bajuri

Jalan Tamansari terletak di Desa Braga 01, Kecamatan Sumur Bandung

19, Kota Bandung, Jawa Barat. Jalan tersebut memiliki status jalan Kolektor

Sekunder. Alinyemen horizontal banyak belokan dan alinyemen vertikalnya

naik. Pada ruas jalan ini tidak ada median dan tidak ada trotoar, namun

memiliki bahu jalan dengan posisi di bawah..

 Panjang jalan : 1242 meter

 Lebar Rumija : 10.00 meter – 11.00 meter

 Lapisan permukaan

- Lebar : 6.00 meter – 8.00 meter

54
- Jenis : AC – WC

- Tebal : 0.04 meter

- Kondisi : Baik

 Lapisan Pondasi

- Lebar : 10.8 meter – 12.00 meter

- Jenis : Atas -

Bawah  AC – BC

- Tebal : Atas -

Bawah  0.50 meter

 Bahu jalan

- Lebar : Kanan  1.1 meter

Kiri  2.1 meter

- Jenis Material : SIRTU

- Tebal : 0.3 m

- Posisi : bawah

- Kondisi : Sedang

 Status kepemilikan jalan : Kota Bandung

Gambar 25 denah ruas jalan Sersan Bajuri

55
Gambar 26 potongan melintang (cross section) jalan Sersan Bajuri

56
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

 Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006, bahwa Jalan

adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

bagi pergerakan lalulintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas

permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas

permukaan air, kecuali jalan kereta api,jalan lori, dan jalan kabel.

 Klasifikasi Jalan dibedakan menurut Fungsi / peran , menurut Wewenang

Pembinaan , menurut kelas jalan dan jalur lalu lintasnya.

 Setelah dikaji tentang klasifikasi jalan, Spesifikasi jalan dan Cross Section,

peraturan – peraturan yang diterapkan dalam perencanaan suatu sistem

jaringan jalan belum sepenuhnya berhasil, karena banyak jaringan jalan

yang digunakan belum tepat pada sasaran.

 Pada beberapa ruas jalan yang ada di Bandung, dapat disimpulkan dari

hasil identifikasi pada BAB III bahwa masih ada ruas jalan yang tidak

dalam keadaan baik.

 Beberapa ruas jalan di kota bandung masih tidak memiliki trotoar dan

bahu jalan sehingga membuat para pejalan kaki mengambil alih jalur lalu-

lintas yang membuat tingkat pelayanan jalan menurun

57
4.2 Saran

 Dalam perencanaan sistem jaringan jalan dari suatu wilayah tertentu maka

harus diperhatikan peraturan perundan-undang yang berlaku dan melihat

kriteria penentuan klasifikasi dan spesifakisi jalan yang telah ada sebagai

acuan dasar.

 kepada pemerintah setempat seharusnya lebih memperhatikan

kelengkapan – kelengkapan pengaman dan pelayanan jalan raya itu sendiri

yang seharusnya memenuhi persyaratan kelengkapan dan pelayanan jalan

yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi ruas jalan itu sendiri, kurangnya

rambu – rambu pengaman lalu lintas pada beberapa ruas jalan serta

penertiban lalu lintas juga harus sangat di perhatikan

58

Anda mungkin juga menyukai