Anda di halaman 1dari 35

A.

Pengertian Klaster Ekonomi


Klaster ( cluster) pada hakekatnya adalah upaya untuk mengelompokkan
industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung (supporting industries),
industri terkait (related industries), jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian,
pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, infrastruktur teknologi, sumber daya
alam, serta lembaga-lembaga-lembaga terkait. Cluster juga merupakan cara untuk
mengatur beberapa aktivitas pengembangan ekonomi.
Klaster adalah konsentrasi geografis antara perusahaan-perusahaan yang saling
terkait dan bekerjasama, diantaranya melibatkan pemasok barang, penyedia jasa,
industri yang terkait, serta sejumlah lembaga yang secara khusus berfungsi sebagai
penunjang dan atau pelengkap. Hubungan antar perusahaan dalam klaster dapat
bersifat horisontal atau vertikal. Bersifat horisontal melalui mekanisme produk jasa
komplementer, penggunaan berbagai input khusus, teknologi atau institusi; sedangkan
sifat vertikalnya dilakukan melalui rantai pembelian dan penjualan (Djamhari, 2006).
Literatur klaster industri menunjukkan bahwa, dalam prakteknya, pendekatan
dalam pengembangan klaster industri dapat sangat beragam. Pada prinsipnya, untuk
dapat mengembangkan suatu klaster industri, seseorang tidak dapat meniru begitu saja
apa yang telah dilakukan dalam pengembangan klaster industri lain. Pengembangan
klaster industri harus disesuaikan dengan industri yang bersangkutan (termasuk
perilaku pelaku bisnisnya) dan karakteristik khas setempat/local (Taufik, 2009).
Dalam pengembangan klaster industri, terdapat beberapa hal yang harus
dihindari, yaitu (Roelandt dan Hertog, 1998):
1. Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata-mata karena “keinginan
pemerintah” melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis
yang bersangkutan.
2. Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap
industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar.
3. Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak
langsung.
4. Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster,
melainkan berperan sebagai katalis dan “broker” yang membawa bersama seluruh
para pelaku dalam klaster (termasuk pemasok) serta insentif untuk memfasilitasi
proses inovasi dan klasterisasi.
5. Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang sedang
muncul (emerging) ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang sudah ada
(existing) dan “klasik.”
6. Kebijakan klaster tak hanya cukupdengan analisis/studi, tetapi juga tindakan nyata.
Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan
dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta menciptakan suatu forum untuk
dialog yang konstruktif.
7. Klaster sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang
menurun.

Diantara beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster
industri dan membedakan satu konsep dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek
rantai nilai (value chain). Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum
terdapat 2 (dua) pendekatan klaster industri dalam literatur, yaitu:
1. Beberapa literatur, terutama yang berkembang terlebih dahulu dan lebih
menyoroti aspek aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada
(menekankan pada) aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis.
Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya
yang mempunyai “keserupaan” aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster
industri;
2. Beberapa literatur yang berkembang dewasa ini, termasuk yang ditekankan oleh
Porter, merupakan pendekatan yang lebih menyoroti “keterkaitan”
(interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam
pandangan ini, sentra industri/ bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya
merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri.

Pendekatan rantai nilai dinilai “lebih sesuai” terutama dalam konteks


peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), prakarsa
pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema sejenisnya, dan
bukan “sekedar” upaya memperoleh “ekonomi aglomerasi” karena terkonsentrasinya
aktivitas bisnis yang serupa.
Secara rinci, ada beberapa definisi tentang cluster. Porter (1990) mendefinisikan
Clusters sebagai ”Clusters are geographic concentrations of firms, suppliers, related
industries, and specialized institutions that occure in a particular field in a nation, state,
or city.” Definisi lain mengenai industri Clusters adalah “geographical concentration of
industries that gain performance advantages through co-location” (Doeringer & Terkla
1995). Sementara Rosenfeld (1995) menambahkan definisi Clusters dengan “hubungan
antara perusahaan yang juga menyediakan berbagai compelementary services,
termasuk jasa konsultan, penyedia jasa pendidikan dan training, lembaga-lembaga
keuangan, professional associations dan institusi-institusi pemerintah.
Tabel 2.1
Perbandingan Beberapa Model Clusters
Collective Flexible
Diamond Model Efficiency Specialization
“Cluster” is an
Cluster Definition A group of A group of producers industrial
making similar things
interconnected firms in district, i.e. a core of
more-or-less equal
and institutions in a close vicinity to each small
particular field present other (Schmitz 1995, enterprises bound in a
in a particular location p.553) complex web of
(Porter 1998, p. xii) competition an
cooperation. (Piore
and
Sabel 1984, p.265)
Firm
Key Constructs Strategy Externalities Flexibility
Structure
and Joint Action Economies of Scope
Rivalry Innovation
Demand Condition Product
s Differentiations
Related and
Supporting Industries
Efficiency/Ri
Goal/Focus Value Creation Cost sk Value Creation
Holistic Narrow Narrow
Dynamic Static Dynamic
Porter Piore and Sabel
Key Studies (1998) Schmitz (1995) (1984)
Sumber : Neven dan Droge 2000

Niven dan Droge (2000) berpendapat sekurang-kurangnya ada tiga


framework bentuk-bentuk Cluster: Diamond model, flexible specialization dan
collective efficiency.Model flexible dan specialization banyak diterapkan oleh
negara-negara berkembang. Model diamond Porter banyak diterapkan pada
negara-negara maju. Model diamond dianggap lebih superior dibandingkan
model-model lainnya dalam menerangkan Clusters yang dinamis dan mempunyai
peranan yang besar dalam meningkatkan produktivitas melalui proses
industrialisasi.
Pendekatan Cluster model Porter merupakan pengembangan dari
industrial district atau kawasan industri yang dikembangkan oleh Alfred Marshall
pada 1920 (Desrochers dan Sautet, 2004). Berbeda dengan Marshall yang hanya
fokus pada perusahaan-perusahaan sejenis, Cluster model Porter tidak membatasi
hanya pada satu industri, tetapi lebih luas lagi. Diamond Cluster Model, meliputi
industri-industri terkait, serta perusahaan-perusahaan yang lain yang mempunyai
keterkaitan dalam teknologi, input yang sama. Dengan bekerja sama dalam satu
cluster, maka perusahaan-perusahaan atau industri-industri terkait akan
memperoleh manfaat sinergi dan efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan
mereka bekerja sendiri-sendiri. Menurut Porter (2000) Cluster dapat terbentuk
pada kota, kawasan regional, bahkan dalam suatu negara.
Porter menganalisis Cluster industri dengan pendekatan diamond model.
Adapun elemen dari diamond model tersebut terdiri dari: (1) faktor input
(factor/input condition), (2) kondisi permintaan (demand condition), (3) industri
pendukung dan terkait (relatedand supporting industries), serta (4) strategi
perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy). Berikut adalah penjelasan
untuk masing-masing elemen tersebut:
a. Faktor Input
Faktor input dalam analisis Porter adalah variabel-variabel yang sudah ada dan
dimiliki oleh suatu cluster industri seperti sumber daya manusia ( human resource),
modal (capital resource), infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur
informasi (information infrastructure), infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi
(scientific and technological infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative
infrastructure), serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas faktor input ini, maka
semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas.
Gambar 2.1.
Diamond Cluster Model Porter (1998)

b. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan sophisticated
and demanding local customer. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin
demanding pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk
meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan
pelanggan lokal yang tinggi. Namun dengan adanya globalisasi, kondisi permintaan
tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri.
c. Industri Pendukung dan Terkait
Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan efisiensi dan sinergi
dalam Clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost,
sharing teknologi, informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh
industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung dan terkait adalah
akan terciptanya daya saing dan produtivitas yang meningkat.
d. Strategi Perusahaan dan Pesaing
Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga penting karena
kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan
kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya
persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan
berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi.
Terkait dengan permintaan, Dong Sung Cho (2000) menyempurnakan Model
Diamond Cluster dari Porter menjadi Double Diamond Concept, yang merupakan
degeneralisasi dari Model Diamond Cluster terkait dengan permintaan, dimana
permintaan dibagi menjadi permintaan domestic, permintaan internasional, dan
permintaan global (lihat Gambar 2.2). Sementara itu, Dong-Sung Cho (2000)
menambahkan faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing khususnya untuk
negara yang sedang berkembang. Selain Pemerintah (birokrat), juga diperlukan
kemampuan dan kesinergian dari para pelakunya, yaitu usahawan/pengusaha,
profesional, dan pekerja/buruh.
Gambar 2.2
Double Diamond Concept

Sumber: Cho, 2000

Gambar 2.3
Model Sembilan Faktor
Gambar 2.4.
Perbandingan Model Diamond dan Model Sembilan Faktor

Sumber: FMIPA UI, 2008

Terdapat beberapa komponen dari klaster. Komponen yang terdapat dalam


klaster antara lain mencakup:
• Produk akhir (end-product) atau layanan (service) suatu perusahaan;
• Pemasok input yang khusus, seperti komponen permesinan/peralatan,
keuangan dan laynan;
• Perusahaan terkait atau perusahaan hilirnya, seperti jalur jaringan
distribusi, pelanggan;
• Produsen produk-produk pelengkap (complementary products);
• Penyediaan infrastruktur yang khusus;
• Pemerintah atau institutsi lainnya menyediakan program-program pelatihan
khusus, pendidikan, informasi, penelitian, dan dukungan teknis;
• Penetapan standar dan pengaruh lembaga pemerintah; dan
• Asosiasi perdagangan dan kelompok-kelompok kolektif perusahaan
swasta.
Dalam menganalisis klaster, terdapat 3 (tiga) dimensi pengukuran. Ketiga
dimensi tersebut antara lain, yaitu:
1. Keterkaitan (Linkage):
Mencakup inovasi, tenaga kerja, dan input. Hal ini menentukan apakah yang
akan terbentuk adalah klaster mata rantai nilai ( value chains clusters), klaster
berbasiskan tenaga kerja (labor-based clusters), ataukah klaster inovasi
(innovation clusters).
2. Geografi (Geography)
Yaitu apakah terkonsentrasi di suatu wilayah (localized) atau menyebar antar
wilayah (non localized).
3. Waktu (Time)
Apakah eksisting (yaitu dimana klaster memang sudah memiliki peran yang
signifikan dan memiliki keterkaitan yang tinggi), penurunan (eksisting klaster
yang mengalami penurunan peran), peningkatan (klaster yang menunjukkan
adanya peningkatan yang signifikan), ataukah potensial (klaster yang memiliki
potensi mengalami peningkatan atau keberuntungan di masa mendatang).

B. Manfaat Clusters Industri


Penargetan program pengembangan industri dengan Cluster diyakini Porter
akan memberikan manfaat yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun
manfaat-manfaat cluster tersebut adalah sebagai berikut (Porter, 1990, 2000;
Barkley and Henry, 2001; Singh, 2003):
a. Cluster Mampu Memperkuat Perekonomian Lokal
Konsentrasi industri pada sebuah lokasi tertentu dapat berdampak pada
penghematan biaya bagi perusahaan dalam Cluster. Penghematan biaya tersebut
dikenal sebagai localization economies. Penghematan tersebut dapat bersumber
dari bertambahnya ketersediaan specialized input suppliers dan jasa; penambahan
tenaga kerja terlatih dan terspesialisasi; investasi infrastruktur publik yang
dilakukan demi kebutuhan industri tertentu; pasar keuangan yang terkait erat
dengan industri; dan meningkatnya kecenderungan transfer informasi dan
teknologi antarperusahaan.
b. Cluster Mampu Memfasilitasi Reorganisasi Industri
Transisi organisasi industri dari perusahaan besar yang berproduksi secara
masal ke perusahaan kecil yang memfokuskan pada speciality production telah
terdokumentasi dengan baik. Perubahan struktur industri ini terjadi berkat
meningkatnya kompetisi global dan timbulnya teknologi produksi baru (misal:
komputerisasi produksi). Cluster merupakan lokasi industri yang menarik bagi
perusahaan kecil yang terspesialisasi dan terkomputerisasi dalam produksi.
Spesialisasi produk dan pengadopsian teknologi produksi terbaru lebih menonjol
dan mudah untuk dilakukan bagi perusahaan di dalam Cluster industri tersebut.
Kedekatan antara perusahaan yang terspesialisasi dengan input
suppliers produksi dan pasar produk dapat meningkatkan aliran barang melalui
sistem produksi. Kesiapan akan akses terhadap pasar produk dan input juga
memungkinkan perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di pasar. Maka, konsentrasi spasial dari perusahaan-perusahaan tersebut
mampu menyediakan kumpulan tenaga kerja terlatih yang diperlukan oleh
teknologi produksi yang terkomputerisasi.
c. Cluster Meningkatkan Networking Antar Perusahaan
Networking merupakan kerjasama antarperusahaan untuk mengambil
manfaat kerjasama, mengembangkan pasar produk baru, mengintegrasikan
aktivitas, atau menghimpun sumber daya dan pengetahuan. Kerjasama ini secara
alamiah akan sering terjadi antaranggota Cluster. Survei terhadap manufacturing
networks menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki networking yang kuat
mendapatkan manfaat dari kolaborasi dan transfer informasi mengenai pemasaran,
pengembangan produk baru, dan peningkatan teknologi. Perusahaan-perusahaan
tersebut juga mengalami peningkatan daya saing dan profitabilitas melalui
kerjasama dan kolaborasi antarperusahaan.
d. Cluster Memungkinkan Penitikberatan pada Sumber Daya Publik
Penargetan pembangunan industri melalui Cluster memungkinkan suatu
kawasan untuk menggunakan sumber daya pembangunan ekonomi yang dimiliki
secara terbatas dengan lebih efisien. Pertama, Cluster industri memungkinkan
suatu kawasan untuk lebih memfokuskan pada sistem rekrutmen, pemeliharaan
dan ekspansi, serta program pengembangan usaha kecil daripada menyediakan
program bantuan bagi berbagai jenis industri yang berbeda. Upaya pembangunan
terencana seperti ini memberikan identifikasi yang lebih jelas terhadap kebutuhan
industri yang lebih spesifik dan memungkinkan (dengan anggaran pengeluaran
tertentu) penyediaan program yang lebih sedikit, namun lebih bernilai. Kedua,
karena keterkaitan antarperusahaan dalam Cluster, program-program yang
mendukung usaha tertentu akan memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang
relatif lebih besar kepada perekonomian daerah tersebut. Total penyerapan tenaga
kerja dan pendapatan dari membentuk (atau mempertahankan) anggota Cluster
akan melebihi total penyerapan tenaga kerja dan pendapatan dari perusahaan-
perusahaan yang besarnya sama namun tidak tergabung dalam Cluster.
e. Cluster Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi
Dengan adanya Clusters maka maka efisiensi akan tercipta dalam
prekonomian. Perusahaan-perusahaan akan mendapat akses untuk mendapatkan
input tertentu, jasa-jasa, tenaga kerja, informasi , karena sudah tersedia dalam
Cluster. Demikian juga dengan koordinasi antara perusahaan dalam Clusters akan
terjalin lebih baik dan mudah. Best practises dalam Clusters akan lebih cepat
ditularkan sehingga maksimum efisiensi akan didapat oleh banyak perusahaan.
f. Cluster Mendorong dan Mempermudah Inovasi
Adanya Cluster akan meningkatkan kemampuan anggota-anggota dalam
Cluster untuk melihat peluang-peluang untuk melakukan berbagai inovasi.
Kemudahan dalam melakukan eksperimen dengan menggunakan sumber daya
yang ada dalam Cluster juga merupakan manfaat lain dari Cluster.
Sementara itu, Singh (2002) melihat bahwa Cluster model sangat efektif
bagi perekonomian karena Cluster memberikan beberapa manfaat. Pertama,
pendekatan Cluster yang integratif akan menciptakan koherensi dari berbagai
kegiatan-kegitan atau proyek yang terpisah. Kedua, pendekatan Cluster yang
menyeluruh, kolaborasi dan cooperation akan menciptakan sinergi dalam Cluster.
Ketiga, Cluster akan mendorong inovasi yang pada akhirnya akan meningkatkan
produktivitas.
C. Peranan Pemerintah dan Swasta dalam Mengembangkan Cluster
Seperti telah kita ketahui Pemerintah mempunyai peranan penting dalam
menjaga stabilas makroekonomi dan politik. Hal ini dilakukan melalui institusi
pemerintah baik melalui kebijakan fiskal, kebijakan moneter, perdagangan dan
lainya. Di samping menjaga stabilitas makro, pemerintah juga mempunyai
peranan vital untuk memperbaiki kapasitas mikroekonomi dalam Cluster industri.
Hal ini dapat dilakukan pemerintah antara lain dengan menerapkan law
enforcement bagi industri yang menyimpang, mengurangi biaya birokrasi serta
memangkas ketentuan dan undang-undang yang menghambat kegiatan ekonomi
atau industri. Pemerintah juga berwenang untuk menciptakan iklim persaingan
yang sehat.
faktor input, pemerintah harus membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh
industri, seperti jalan raya, listrik, pelabuhan, pendidikan dan R & D.
Sementara itu, swasta juga dapat berperan dalam mengembangkan
Cluster. Swasta dapat bekerja sama dengan universitas untuk mengembangkan
riset dan mendirikan pusat-pusat latihan untuk meningkatkan ketrampilan
tenage kerja. Swasta juga dapat menginventarisir ketentuan-ketentuan yang
menghambat dunia usaha dan mendiskusikannya dengan pemerintah guna
mencari solusi. Hal lain, misalnya dengan bekerja sama dengan pemerintah
untuk memasarkan produk-produk industri baik di pasar domestik maupun di
pasar luar negeri.

D. Clusters vs Industrial Targeting


Porter menyatakan bahwa yang penting bukanlah apa yang diproduksi
suatu negara atau daerah, melainkan seberapa produktif produksi tersebut dalam
meningkatkan pertumbuhan dan daya saing. Secara teoritis, daerah atau negara
manapun dapat mengembangkan Cluster yang memiliki daya saing jika mereka
fokus untuk meningkatkan produktivitas. Porter menambahkan, “all Clusters
matter” (semua Clusters penting), pendapat ini mungkin sangat mengejutkan
bagi para pembuat kebijakan yang hanya mencari industri unggulan (pick the
winners). Selanjutnya, Porter juga menekankan bahwa “tidak ada industri
berteknologi rendah, yang ada hanya perusahaan berteknologi rendah.” Dengan
kata lain, kita tidak harus melakukan industrial targeting
Tabel 2.2. berikut ini merupakan ringkasan perbedaan-perbedaan antara
pembangunan ekonomi yang berdasarkan pada klaster dengan kebijakan
tradisional industri. Perbedaan utama terletak di baris pertama: jika kebijakan
industri menargetkan kemajuan industri dan sektor tertentu yang diinginkan,
pendekatan Cluster percaya bahwa semua Cluster berperan untuk kemajuan
bersama.
Tabel 2.2.
Kebijakan Cluster vs Kebijakan Industri
Industrial Policy Cluster-based Policy

Menargetkan kemajuan/pengembangan Semua clusters dapat berkontribusi untuk


industri/sektor tertentu kemajuan bersama

Fokus kepada perusahaan local Perusahaan lokal maupun asing dapat


meningkatkan produktivitas

Ikut campur dalam hal kompetisi (misalnya Menekankan hubungan/komplementaritas


melalui proteksi, subsidi) antar-industri

Keputusan dibuat di pusat (di tingkat


negara) Mendukung inisiatif yang dibuat di tingkat
negara bagian/daerah

Sumber : Porter (1998)


Masalahnya, pengamat kebijakan hanya ingin mengetahui Cluster mana
yang lebih penting, menargetkan industri berteknologi tinggi, dan pada umumnya
percaya bahwa apa yang diproduksi suatu daerah (dan bukan bagaimana)
sangatlah vital untuk kebijakan pembangunan yang strategis. Hal ini
menyebabkan “all Clusters matter” terlihat seperti bukan bagian dari sebuah
strategi.
Porter sebenarnya percaya bahwa “traded” Clusters (Cluster yang
berorientasi pada ekspor atau aktivitas ekonomi) lebih penting dibanding dengan
“non-traded” Clusters. Dalam hal ini, teori Cluster Porter merupakan suatu
perluasan dari teori ekonomi regional yang telah dianut oleh kebanyakan
pengambil kebijakan lokal, dimana “traded Clusters” berperan sebagai penggerak
utama pertumbuhan ekonomi dan diperluas melalui forward and backward
linkages.
Identifikasi Cluster pada umumnya berdasarkan pada analisis input-output,
walaupun pendekatan ini lebih berorientasi melihat hubungan backward and
forward linkages di lingkungan industri. Porter tidak menyukai analisis input-
output. Dia melihat hubungan antar perusahaan, bukan sebagai hubungan
backward and forward linkages, melainkan keterkaitan teknologi, keahlian,
informasi, pemasaran dan keinginan konsumen, dimana Porter menganggapnya
sebagai komponen utama untuk menciptakan daya saing serta inovasi. Tetapi
Porter juga mengetahui bahwa sektor “traded”, yakni sektor komoditi yang
diperdagangkan, mempunyai peran utama dalam pembangunan.

E. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Clusters


Menurut Linde (2004) ada beberapa faktor yang sangat menentukan
terhadap keberhasilan suatu Cluster. Faktor-faktor tersebut adalah adanya venture
capital; tersedianya technical infrastructure, adanya higher education dan
lembaga-lembaga penelitian, wiraswasta, networking and quality of linkages,
social capital dan diversity. Berbagai studi tentang cluster juga menemukan
bahwa Cluster yang mempunyai lingkungan yang kompetitif dan adanya rivalry
akan lebih berkembang dibandingkan dengan Cluster yang sangat tergantung dari
sumber daya alam, cuaca dan letak geografi.
Sementara itu Chen (2005) mengemukakan faktor-faktor penting yang
menyebabkan Taiwan berhasil dalam mengembangkan industri Clusters sejak
tahun 1980an. Pertama, peranan pemerintah sangat penting dalam tahap awal
pendirian Clusters dengan mendorong inovasi-inovasi melalui lembaga-lembaga
penelitian seperti ITRI dan Institute for Information Industry (III). Dengan adanya
inovasi, Clusters tumbuh dengan cepat. Pemerintah pada tahap awal juga
memberikan insentif fiskal berupa bebas pajak pendapatan selama 5 tahun bagi
perusahaan yang melakukan investasi di kawasan Cluster menyebabkan terjadinya
backward dan forward linkages dari industri secara vertikal, juga secara
horizontal differentiation. Horizontal differentiation menimbulkan persaingan
yang sehat dan mendorong inovasi. Scale economies dari industri elektronik di
Taiwan mendapat penyaluran yang positif di pasar Amerika Serikat.
Ketersediaannya tenaga kerja yang handal juga menjadi faktor keberhasilan
Clusters industri di Taiwan.

F. Best Practices Pengembangan Klaster Ekonomi


Pengembangan Industri Telekomunikasi (Nokia) di Findlandia:
The diamond model yang dikembangkan oleh Porter (1998) telah banyak
diimplementasikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
Finlandia, serta negara-negara berkembang seperti, China, Thailand, Malaysia,
Vietnam dan lainnya. Sampai dengan 1990an Finlandia merupakan negara yang
belum banyak dikenal dunia. Perekonomiannya sangat tergantung dari sumber
daya alam, terutama kayu. Industri yang ada pada waktu itu antara lain pulp dan
paper, produk-produk dari kayu, dan engineered metal products.
Namun, pada 2001 Finlandia muncul sebagai salah satu negara yang
mempunyai daya saing ekonomi yang tinggi di dunia. Finlandia adalah satu-
satunya negara Nordic country yang pertama bergabung dengan Euro.
Berdasarkan hasil survei World Economic Forum 2005, Finlandia menempati
peringkat pertama dunia dalam hal daya saing di pasar global, dan peringkat
kedua untuk daya saing business di bawah Amerika Serikat.
Gambar 2.5.
Cluster Industri Telekomunikasi (Nokia) Finlandia
Finlandia juga menempati urutan pertama dalam networking dan
penggunaan teknologi. Infrastruktur dasar Finlandia memiliki kualitas yang tinggi,
mudah diakses, memiliki jaringan dan layanan informasi yang sangat baik.
Finlandia mempunyai Nokia, industri telepon seluler nomor satu di dunia. Dalam
beberapa dekade terakhir, Finland berkembang menjadi salah satu produsen dan
pengekspor Information and Communication Technology (ICT) yang terbaik di
dunia. Segala keberhasilan Finlandia tersebut tidak terlepas dari upaya Finlandia
membangun industri dengan menerapkan Diamond Model.

a. Faktor Input
Finlandia memiliki sumber daya manusia yang handal, menduduki
peringkat 13 di dunia (Human Development Index 2002). Pemerintah mewajibkan
penduduk Finlandia untuk sekolah sekurang-kurangnya usia 7-16 tahun.
Disamping itu, umumnya penduduk masih tetap tinggal sekitar 4 tahun pada
bangku sekolah yang lebih tinggi atau memasuki vocational schools. Hampir 15%
dari penduduknya lulusan universitas.
Finlandia memiliki R&D yang sangat kuat, dengan anggaran sekitar 3,5%-
4% dari produk domestik bruto, dibanding dengan 2.6% di Amerika Serikat dan
2.0% di negara maju. Anggaran atau investasi R&D ini secara spesifik diarahkan
untuk pengetahuan ilmiah dan teknologi. R&D ini tidak hanya untuk struktur
telekomunikasi itu sendiri, tetapi juga untuk industri elektronik dan metal, yang
merupakan supplier dari industri ICT.
Sekitar 5,5 miliar Euro dikeluarkan untuk R& D Pada 2003 oleh industri
ini untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru. Dalam rangka melaksanakan
implementasi kebijakan teknologi, Finlandia membentuk National Technology
Agency pada tahun 1983. Kebijakan ini dilengkapi dengan membentuk
Technology Policy Council yang dikepalai oleh Perdana Menteri, dan anggotanya
antara lain Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, serta Menteri
Pendidikan. Dewan ini bertujuan untuk mengarahkan semua kebijakan penelitian,
beserta strateginya.

b. Strategi dan Persaingan


Dalam mendorong perkembangan Cluster telekomunikasi, Finlandia
menghilangkan berbagai faktor yang menghalangi kompetisi lokal antara lain
dengan meliberalisasi sektor keuangan, kemudahan akses ke pasar uang
internasional; fokus kepada promosi ekspor sekitar Clusters; mendukung
kompetisi lokal yang sehat (15 pemain di pasar telepon genggam); fokus untuk
menarik investor luar negri (kepemilikan asing Nokia adalah 46% di tahun 1993)
dan membatasi campur tangan pemerintah di sektor Clusters.
Proses liberalisasi di pasar telekomunikasi yang dimulai tahun 1987
tidaklah kompleks. Pada saat itu, lebih dari 40 perusahaan swasta telah
menawarkan pelayanan lokal. Terlebih lagi, merupakan sesuatu yang mudah bagi
pemerintah untuk mengizinkan mereka memperluas aktivitas ke bidang
komunikasi jarah jauh, internasional dan telepon genggam, yang secara tradisional
dioperasikan oleh pemerintah. Liberalisasi memberikan kepercayaan diri bagi
pasar digital mobile (GSM) untuk berkembang secara pesat. Dan pada tahun 1990,
pasar telepon genggam dibuka untuk kompetisi.
Aspek yang signifikan di sektor komunikasi di Finland adalah izin
perusahaan komunikasi yang bersifat mudah, cepat dan transparan. Faktor-faktor
penting lainnya meliputi kerja sama yang luas dan intensif, baik di dalam industri
maupun antar industri dan dengan sektor riset, serta forum-forum yang
mempromosikan perkembangan informasi di masyarakat. Kemitraan sektor publik
dan swasta telah mempermudah perkembangan untuk dilakukan di setiap level:
individual, daerah, kota, negara, seluruh Eropa dan dunia.
c. Kondisi Permintaan
Masyarakat Finlandia yang melek teknologi, mengakibatkan permitaan
terhadap alat telekomunikasi atau mobile phone sangat tinggi. Sebagai contoh,
sebelum 1980 Nokia menjual 50% produknya pada pasar domestik, dan sisanya
diekspor ke negara tetangga. Sementara itu, pada akhir 1980an Nokia mencari
hubungan distributor dan mobile operators pada manca negara, dan sejak itu pasar
Nokia menjadi global.
Di samping itu, pemerintah juga membantu meningkatkan kondisi
permintaan Nokia ke tingkat regional dengan mengembangkan negaranya menjadi
“EU Information Society Laboratory.” Kondisi geografis juga berpengaruh,
dimana Finlandia adalah negara yang jarang penduduknya dengan jarak yang
jauh.
d. Industri Pendukung dan Terkait
Finlandia melakukan pendekatan yang impresif dalam perkembangan
Cluster. Finland mendorong usaha untuk menarik supplier dan penyedia jasa di
lokasi lain. Industri teknik listrik, elekronik juga merupakan industri-industri yang
terkait dengan telekomunikasi dan telah lama berkembang di Finlandia. Industri
penunjang lain yang cukup berkembang dan terkait dengan Nokia atau
telekomunikasi adalah tempat telepon seluler dibawah payung Perlos. Finlandia
juga memiliki lebih dari 4000 perusahaan yang tumbuh dengan rata-rata 20% per
tahun yang terkait dengan cluster telekomunikasi. Pada 2001, sebanyak 140
operator telekomunikasi, serta lebih dari 300 perusahaan content provider , dan
produsen peralatan seperti Nokia dan Benefon melayani publik dan industri.
e. Peran Serta Pemerintah
Didalam pengembangan Cluster di Findlandia, Pemerintah sejak awal
memainkan peran yang vital dalam kesuksesan perkembangan cluster. Pemerintah
banyak terlibat dalam mengembangkan R& D, tercermin dari peningkatan
anggaran Pemerintah untuk R & D sebesar 10% per tahun pada tahun 1980an.
Cluster industri elektronik di Finlandia tumbuh lebih cepat dibanding dengan
industri lain karena disamping ditunjang oleh R&D yang baik, juga karena
pengeluaran Pemerintah pada bidang ini cukup menunjang.
Pemerintah juga membantu di bidang lainnya misalnya dengan melakukan
reformasi untuk untuk memperkuat atau mendorong national innovative capacity.
Disamping itu, Pemerintah membentuk the Center of Expertise Program, fokus
dalam rangka memperkuat daya saing regional melalui peningkatan daya inovasi,
memperbaharui regional production structure. Pemerintah juga membentuk
venture capital untuk membiayai industri pemula.
Hal lain yang dilakukan Pemerintah dalam rangka menunjang Cluster
adalah dengan melakukan studi yang dikoordinir oleh Research Institute of the
Finnish Economy pada awal 1990 an. Pemerintah juga bekerja sama dengan dunia
swasta dan universitas dalam mengembangkan cluster. Kebijakan yang terkait
dilakukan antara lain menyangkut mengenai pengembangan teknologi,
pendidikan, persaingan yang sehat.
Tanggung jawab utama Pemerintah tetap sebagai regulator (pengatur).
Kebijakan telekomunikasi di Finlandia lebih bertumpu kepada kekuatan pasar,
seperti kompetisi, sedangkan campur tangan hukum hanya digunakan sebagai
solusi akhir.

Klaster Wisata Borobudur di Kabupaten Magelang


Pengembangan UMKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif
bersama pelaku usaha lainnya. Keberadaan usaha mikro kecil menengah perlu
didorong dan diarahkan melalui pemberian pelayanan perijinan yang mudah,
peningkatan SDM, fasilitasi kemitraan dengan pelaku usaha yang besar.
Sebagai gambaran jumlah UMKM di Kabupaten Magelang tahun 2008-
2009 berjumlah 38.198 dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 85.174 orang
dengan nilai investasi berjumlah Rp.330,9 Milyar. Sektor Usaha Mikro Kecil
Menengah masih tetap memberi kontribusi yang tinggi pada perekonomian
(PDRB) Kabupaten Magelang. Sektor industri pengolah memberikan kontribusi
18,72 persen, sektor perdagangan,hotel dan restoran 15,19 persen dan sektor
pertanian 29,40 persen terhadap PDRB Kabupaten Magelang.
Dalam rangka pemberdayaan usaha mikro kecil menengah secara
berkesinambungan dan berkelanjutan telah dikembangkan model pembangunan
berbasis klaster. Klaster merupakan kemitraan antar kegiatan ekonomi sejenis
(horizontal) dan punya hubungan hulu-hilir (vertikal) yang saling bekerjasama
membentuk multiply-chain dengan tujuan meningkatkan daya saing produk dan
memperluas multiplier-effect kepada kelompok pelaku ekonomi terbawah.
Konsep klaster tidak mengenal batas wilayah administrasi.Kabupaten Magelang
telah membentuk dan memfasilitasi 5 (lima) klaster yaitu: Forum Rembug Klaster
Pariwisata Borobudur (klaster ini dibentuk tahun 2005), Klaster Pahat Batu (Desa
Tamanagung Kecamatan Muntilan dibentuk tahun 2006), Klaster Slondok dan
Puyur Desa (Sumurarum Kecamatan Grabag dibentuk tahun 2006); Klaster
Pertanian Buah Salak (Kecamatan Srumbung dibentuk tahun 2006); dan Klaster
Pertanian Sayur Mayur (Kecamatan Dukun dibentuk tahun 2006).
Forum Rembug Klaster Pariwisata Borobudur keluar sebagai klaster
terbaik 2009 se-Jawa Tengah, yang penyerahan penghargaanya telah dilaksanakan
pada acara workshop dan pameran Klaster Regional eks Karesidenan Kedu yang
berlangsung pada 17 Desember 2009 di Gedung Pertemuan Bapas 69, Kabupaten
Magelang. Keberhasilan suatu strategi kebijakan seperti halnya klaster ini
memerlukan keterlibatan aktif dan komitmen dari pemerintah, pelaku bisnis,
akademisi, perbankan dan masyarakat yang memiliki peran dalam pengambilan
keputusan yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan daya saing
usaha mikro kecil menengah dan peningkatan pendapatan masyarakat.

G. Pengembangan Ekonomi Lokal


Dalam perkembangannya, pengembangan ekonomi lokal (PEL) memiliki
beragam definisi, namun memiliki unsur yang sama antar definisi. Kemitraan
untuk Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) (2000) mendefinisikan PEL
sebagai proses penjalinan kepentingan antara sektor pemerintah, swasta, produsen,
dan masyarakat dengan mengoptimalkan sumber daya lokal di dalam sebuah
komunitas dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
kerja. Sementara itu, USAID melalui program Local Government Support
Program (LGSP) (2005) mendefinisikan Pengembangan Ekonomi Lokal
Partisipatif (PELP) sebagai proses yang mana pemerintah daerah dan atau
kelompok berbasis komunitas mengelola sumber daya yang ada dan masuk
kepada penataan kemitraan baru dengan sektor swasta, atau di antara mereka
sendiri, untuk meciptakan pekerjaan baru dan merangsang kegiatan ekonomi
wilayah. Sedangkan dalam Revitalisasi PEL (2006), PEL sendiri di definisikan
sebagai usaha untuk mengoptimalkan sumber daya lokal yang melibatkan
pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani
untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wiilayah tertentu.
Dalam Program USDRP, PEL didefinisikan sebagai terjalinnya kerja sama
kolektif antara pemerintah, dunia usaha, serta sektor non pemerintah dan
masyarakat untuk memanfataakan secara optimal sumber daya yang dimiliki
dalam upaya menciptakan perekonomian lokal yang kuat, mandiri, dan
berkelanjutan. PEL merupakan suatu pendekatan yang:
- Pendekatan yang holistik (bukan sektoral atau kedaerahan) yang
menekankan pada keterkaitan dan sinergi antara seluruh strategi
pembangunan dan kompoen dalam suatu lokalitas;
- Menyediakan ruang dan kesempatan kepada seluruh komponen
(pemerintah, swasta, organisasi non profit dan masyarakat sipil lokal)
untuk bekerja sama meningkatkan perekonomian lokal, dan
- Memperkuat ekonomi lokal melalui pemanfaatan secara optimal seluruh
sumber daya dan kekuatan lokal oleh kegiatan usaha yang merupakan
klaster ekonomi unggulan.
Terkait dengan PEL, terdapat konsep yang melekat yaitu konsep
pengembangan wilayah. Konsep pengembangan wilayah sendiri secara garis besar
terbagi atas empat, sebagai berikut (Komet, 2000 dalam Arief Daryanto, 2010).
1. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya
Sumberdaya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan manusia.
Bentuk sumberdaya tersebut yaitu tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja,
keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial budaya.
2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan
Penekanan konsep ini pada motor penggerak pembangunan wilayah pada
komoditas yang dinilai dapat menjadi unggulan atau andalan, baik di tingkat
domestik dan internasional.
3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi
Penekanan pada konsep ini adalah pengembangan wilayah melalui
pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai porsi lebih besar
dibandingkan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut
dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempurna (free
market mechanism).
4. Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan
Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap pelaku
pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial, lembaga keuangan dan
bukan keuangan, pemerintah maupun koperasi).

Kompetensi inti dalam konteks pengembangan wilayah merupakan upaya


dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sektor-sektor yang berkembang
di wilayah tertentu. Semakin baik pengkoordinasian dan pengintegrasian tersebut
maka akan semakin tinggi upaya penciptaan kompetensi inti, yang berimplikasi
pada sulitnya wilayah lain untuk bersaing dengannya.
Keunggulan bersaing atau daya saing suatu wilayah tercipta jika kawasan
tersebut memiliki kompetensi inti (core competence) yang dapat dibedakan dari
wilayah lainnya.
Kompetensi inti dapat diraih melalui creation of factor, yaitu upaya menciptakan
berbagai faktor produksi yang jauh lebih baik dibandingkan para pesaingnya.
Kawasan atau wilayah yang telah mencapai tahapan kompetensi inti
memiliki empat atribut, (Board, 1993) seperti dibawah ini.
1. Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas
2. Kemampuan memberikan kontribusi yang signifikan kepada persepsi
pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang
ditawarkan.
3. Kemampuan menghasilkan barang dan jasa unggulan yang sangat sulit
ditiru akan menciptakan hambatan masuk (entry barriers) bagi kawasan
lain untuk memberikan layanan serupa.
4. Kemampuan melakukan koordinasi yang kompleks dari beragam teknologi
dan keahlian terapan.
Kata kunci pada kompetensi inti adalah market intelligence. Suatu wilayah
akan dapat bersaing secara global, jika pengambil keputusan dan dunia usaha
dapat mengkaji bagaimana suatu kompetensi inti dan peluang ekonomi suatu
wilayah dapat disesuaikan dengan permintaan pasar lokal dan ekspor. Untuk
mengadakannya diperlukan dukungan market intelligence yang mampu
memandang ke depan mengenai pasar serta mampu mengantisipasi adanya
kecenderungan konsumsi dan ekspor.
Market intelligence juga harus mampu menganalisis perubahan pasar dan
pengembangan kompetensi inti itu sendiri agar permintaan terhadap barang dan
jasa dapat dipenuhi di masa datang. Dengan pemberian otonomi yang besar pada
daerah, maka di masa dating keberhasilan pengembangan wilayah sangat
tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah terutama dalam menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, setiap pemerintah daerah
harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing
sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang akan mengarahkan masa depan wilayah
yang bersangkutan. Porter (1990) menyatakan bahwa penguatan spesialisasi unit-
unit kecil wilayah otonom dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yakni
inovasi dan pembaharuan. Strategi pengembangan yang didasarkan pada tenaga
kerja yang murah serta besaran skala ekonomi tertentu (economies of scale)
merupakan paradigma yang sudah usang (kuno).
Penguatan kapasitas pada tingkat lokal dapat dicapai dengan
memaksimisasikan keunggulan lokal dan masyarakat yang tinggal di wilayah
lokal tersebut merupakan para pelaku kunci dalam mengkaitkan
komponenkomponen kunci pembentuk daya saing wilayah. Dalam rangka
penguatan kapasitas lokal, berbagai agen-agen pembangunan baik di Eropa dan
USA pada saat ini sibuk memfasilitasi pengembangan klaster industri (industry
cluster), di mana setiap klaster menspesialisaikan pengembangan keunggulan
yang melekat pada komunitas lokalnya.
H. Imlemenasi Strategi Klaster Industri
Mengimplementasikan strategi klaster industri menuntut kerjasama yang
erat antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan/pelatihan.
Strategi tersebut harus memberikan jaminan kepada daerah untuk membangun
dengan kekuatannya sendiri dengan berbekal ketrampilan dan infrastruktur yang
tepat untuk membawa kemajuan bagi daerah.
a. Prasyarat Kunci
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa beberapa prasyarat
kunci harus dipenuhi agar strategi klaster industri dapat berhasil.
- Klaster harus bersifat industry driven
Pemda tidak dianjurkan untuk menciptakan klaster atau berusaha untuk
mengelola klaster. Pemda seharusnya memfasilitasi pertemuan antar
anggota klaster, melakukan penelitian untuk membantu klaster dalam
mendefinisikan dirinya sendiri, dan merespon prioritas klaster dengan
bantuan yang tepat apabila diminta. pemimpin industri harus mengambil
alih peran kepemimpinan.industri perlu mengambil tongkat kepemimpinan
dalam mengelola isu dan peluang, sementara pemda dan lembaga lain
berperan sebagai pendukung. untuk mengidentifikasi isu-isu dan strategi
klaster untuk meraih sukses
- Perlunya kepeloporan pemerintah daerah dan pengusaha
Agar implementasi suatu strategi klaster industri sukses, maka
diperlukan kepeloporan tingkat tinggi baik dari industri maupun pemda.
Baik industri maupun pemda harus memberikan komitmen penuh
terhadap peran masing-masing. Kepala daerah dapat mengambil peran
aktif dalam mengundang pengusaha industri untuk berpartisipasi dalam
program pengembangan kawasan. Kepeloporan pemda dibutuhkan
untuk menjamin bahwa lembaga-lembaga pendukung memberikan
respon yang cepat terhadap kepentingan industri dan prioritas kawasan.
Kepeloporan pemda juga diperlukan untuk menjamin bahwa pengusaha
industri akan terus terlibat dalamproses yang sedang bergulir.
- Strategi klaster harus menghindari pengertian kalah-menang
Pemda mungkin memulai perannya dengan mengidentifikasi klaster.
Pemdaakan menentukan berbagai kriteria, misalnya lapangan kerja,
ekspor, pertumbuhan,atau upah. Namun semua itu tidak boleh membatasi
upaya Pemda terhadap klaster itu sendiri. Jika sebuah klaster awal dapat
mengorganisasikan dirinya sendiri dan menunjukkan bahwa mereka cocok
dengan kriteria itu, maka pemda harusmengerahkan semua upaya untuk
bekerja dengan klaster tersebut. Di suatu daerah, jika terdapat konsentrasi
dalam jumlah besar perusahaan-perusahaan jenis tertentu, mereka telah
melakukan ekspor, memiliki jaringan pemasok maka pemda dapat
kemudian membangun kerjasama dengan klaster tersebut.
- Strategi klaster harus meliputi ekonomi lokal maupun regional
Suatu strategi klaster industri harus memenuhi kebutuhan wilayah sebagai
suatu keseluruhan dan juga kebutuhan kawasan di dalamnya. Jika
perhatian hanya ditujukan kepada industri yang lebih besar atau daerah
yang lebih luas, maka kemungkinan klaster penting di kawasan yang lebih
kecil akan terlewatkan dari perhatian. Suatu klaster harus memperoleh
perhatian dari pemda. Strategi pembangunan ekonomi pemda
mengharuskan dinas-dinas mereka untuk berkoordinasi satu sama lain
dalam memfasilitasi pengembangan klaster-klaster kunci regional.

b. Strategi Klaster Industri di Suatu Daerah


Pengimplementasian strategi klaster industri adalah sebagai berikut:
 Memulai pengembangan klaster industri
Begitu kesadaran dan ketertarikan terhadap strategi klaster tumbuh di
kalangan pemda, langkah pertama dalam mengimplementasikan klaster
bisa diawali dengan undangan pemda kepada pemimpin pengusaha dan
pendidikan untuk bersama-sama menggali manfaat dan memikul biaya dari
pengadopsian strategi klaster di suatu kawasan.
Salah satu aspek kunci dari strategi klaster adalah koordinasi antara
pemerintah daerah dan lembaga pendidikan dalam konteks pembangunan
ekonomi. Agar dinas-dinas daerah dan lembaga pendidikan dapat bekerja
secara kolaboratif, mereka membutuhkan dukungan dan dorongan dari
kepala daerah. Mereka merasakan manfaat dari pendekatan ini dan
merasakan dampak efisiensi yang diraih dari kerjasama dalam klaster.
 Mengorganisasikan klaster
Klaster harus diorganisasikan disekeliling industri-industri kunci di daerah.
Industri-industri ini harus diidentifikasi oleh diri mereka sendiri, atau oleh
universitas atau lembaga riset. Klaster sebaiknya diletakkan disekeliling
industri ekspor, atau industri yang menjual sebagian produk atau jasanya
ke luar dari daerah. Industri ini akan membawa devisa ke wilayah ekspor
mereka. Kriteria tambahan dapat dipertimbangkan dalam memilih industri-
industri awal (misalnya upah rata-rata, lapangan kerja, pertumbuhan
industri terkait saat ini, atau faktor lingkungan). Kuncinya adalah
keberhasilan dalam mengidentifikasi industri yang penting bagi daerah
tertentu.
 Setelah klaster teridentifikasi
Begitu klaster teridentifikasi, pemimpin industri kunci dapat diundang
untuk melakukan pertemuan atau serangkaian pertemuan untuk
mendefinisikan klaster, membahas trend-trend penting, menyusun prioritas
untuk aksi bersama, dan mulai menggarap faktor-faktor kunci. Teknik ini
pernah dipakai di klaster teknologiinformasi dan klaster industri kimia
untuk pertanian Amerika Serikat.

c. Menjamin Kelangsungan Proses


Strategi klaster industri yang sukses membutuhkan komitmen yang
berkelanjutan dari pemerintah daerah, kalangan bisnis, dan dunia pendidikan.
Suatu klaster tidak boleh menampakkan kolaborasi hanya pada suatu kegiatan
tertentu saja. Klaster harus dilihat oleh para pesertanya sebagai cara yang efektif
dalam menjalankan bisnis. Klaster mengidentifikasi isu-isu kunci dan mencoba
mengatasinya. Klaster juga menyediakan forum diskusi untuk melakukan
perencanaan. Melalui forum ini, pemerintah daerah mempelajari kebutuhan
infrastruktur industri dan kebutuhan SDM untuk tahun-tahun kedepan. Dan
perusahaan akan menggali peluang kerjasama yang saling menguntungkan
I. Tata Cara Pengembangan Klaster
a. Sasaran Pengembangan Klaster
Klaster yang memiliki kinerja rendah dicirikan oleh lingkungan dimana
informasi tidak mengalir secara lancar dan para pelaku usaha tidak dibiasakan
bertukar pendapat satu sama lain. Berbeda dengan mereka yang berasal dari
klasteryang berkinerja tinggi, khususnya dari negara maju, para pelaku usaha dari
klasterberkinerja rendah tersebut biasanya jarang bertemu satu sama lain, tidak
terbiasamembangun hubungan dengan lembaga-lembaga layanan bisnis, dan tidak
dibiasakan untuk berkonsultasi dengan para pembuat kebijakan setempat. Klaster
seperti ini justru dicirikan oleh pengetahuan yang benar-benar terfragmentasi,
adanya konflik laten, dan ketiadaan forum diskusi. Akibatnya, pelaku-pelaku
usaha di dalam klaster semacam ini memiliki persepsi yang minim terhadap
kelayakan dari tindakan bersama.
Pendekatan klaster dikembangkan untuk mengatasi fragmentasi
pengetahuan, ketimpangan koordinasi, dan tidak adanya kerjasama. Hal ini
didasarkan pada kesadaran bahwa ketimpangan komunikasi diantara para pelaku
usaha di dalam suatu klaster dan keragu-raguan mereka terhadap suatu aksi
bersama benar-benar telah berurat berakar dalam praktek bisnis tradisional.
Inisiatif untuk membangun pemahaman dan kepercayaan, penyebaran
praktek-praktek terbaik di kalangan para pelaku usaha, pengembangan forum
diskusi yang sesuai kebutuhan, dan penyusunan kerangka kerja pengelolaan
klaster secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bukan hanya memiliki
tingkat ketidakpastian yang tinggi tetapi juga harus bersifat merata dan tanpa pilih
kasih (sekali tersedia, maka harus tersedia bagi semuanya). Dengan demikian,
lembaga- lembaga yang berorientasi pada keuntungan tidak bisa diharapkan
untuk melakukan investasi atas sumberdaya mereka dalam implementasi aktivitas-
aktivitas ini. Pendekatan klaster bertujuan meraih hasil seperti di atas dengan cara
membantu para pelaku klaster untuk mengembangkan: (1) visi berbasis konsensus
tentang klaster secara keseluruhan; dan (2) meningkatkan kapasitas mereka untuk
bertindak berdasarkan visi tersebut. Komponen yang pertama ditujukan utamanya
untuk mereduksi fragmentasi pengetahuan. Tetapi juga merupakan peluang yang
berharga untuk membangkitkan perhatian terhadap agenda bersama, dan bahkan
seringkali, merupakan agenda yang inovatif. Dengan begitu, setiap pelaku klaster
(yaitu pelaku usaha) memiliki kesempatan untuk menguji keandalan dan
kepercayaan rekan bisnisnya dalam situasi yang lebih “segar”.
Komponen kedua bertujuan untuk memberi peluang bagi para pelaku
klaster untuk mengatasi praktek-praktek tradisional dan meletakkan landasan bagi
aktivitas yang lebih berkelanjutan, suatu kerangka kerja pengelolaan yang lebih
mandiri yang diharapkan dapat menjaga dinamika ekonomi lokal bilamana
pemerintah daerah nantinya lepas tangan terhadap klaster tersebut.

J. Strategi Pengembangan Kawasan berbasis Klaster


Beberapa negara menjadikan kawasan industri sebagai fokus dari
pembangunan ekonomi wilayah. Strategi kawasan berbasis klaster menawarkan
cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun
ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi
secara keseluruhan. Klaster industri juga meningkatkan hubungan antar berbagai
industri dan lembaga yang terkait dalam klaster tersebut. Tingkat cakupan strategi
klaster industri sangat beragam. Pemerintah daerah seyogyanya
menyelenggarakan suatu inisiatif pembangunan ekonomi dengan menggunakan
kerangka kerja klaster industri. Pemerintah daerah mengkoordinasikan berbagai
lembaga untuk memantau klaster industri. Sementara pemerintah daerah
melakukan upaya-upaya koordinatif, perusahaan-perusahaan industri
menggerakkan klaster. Lembaga-lembaga di tingkat nasional ataupun daerah,
seperti penyelenggara pendidikan dan kursus, lembaga penelitian, penyelenggara
jasa transportasi dan teknologi, LSM, dll. memberikan dukungan yang penting
dalam perkembangan klaster. Lembaga-lembaga tersebut bekerja secara
kolaboratif dalam sebuah klaster (bukan sebagai lembaga-lembaga yang berdiri
sendiri) dalam menjalankan programprogram kunci.
Beberapa wilayah mungkin memiliki klaster industri dalam konteks yang
sangat terbatas. Klaster ini tidak digerakkan secara terkoordinasi oleh
lembagalembaga pemerintah, industri, dan pendidikan. Sebagai contoh ada
industri khusus yang ditumbuhkan untuk memfasilitasi layanan kepada industri-
industri tertentu di daerah tersebut. Walaupun berbagai lembaga mungkin saja
terlibat dalam industri semacam ini, namun upaya-upaya tersebut biasanya tidak
sepenuhnya terkoordinasi dengan industri-industri atau dengan lembaga-lembaga
publik lainnya. Strategi klaster industri tidak mengharuskan pemerintah
menyediakan insentif khusus, yang biasanya mengabaikan kepentingan pihak lain.
Klaster didorong untuk menentukan corak dan karakternya sendiri. Jika sebuah
klaster dapat mengorganisasikan dirinya sendiri dan menunjukkan nilai positif
bagi ekonomi wilayah, maka pemerintah daerah dapat kemudian bekerja sama
dengan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pendukung lainnya dalam
membangun klaster tersebut. Pada tahap ini pemerintah pusat baru perlu
memberikan dukungan yang diperlukan, misalnya insentif perpajakan, perijinan,
dan kemudahan-kemudahan lain.

Strategi Pengembangan PUD Berbasis Klaster


Strategi pengembangan produk unggulan berbasis klaster secara garis
besar mencakup aspek peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM),
pengembangan kelembagaan, pemberdayaan aspek pemasaran dan pengembangan
teknologi tepat guna dan pembangunan citra spesifik daerah.
a) Pengembangan Kelembagaan
Kelembagaan disini dalam arti institusi atau wadah, baik formal maupun
non formal yang dapat dimanfaatkan oleh produsen untuk meningkatkan kegiatan
ekonominya. Kelembagaan ini tidak hanya berperan dalam kegiatan
perekonomian masyarakat, tetapi juga dalam pengembangan modal sosial
masyarakat. Keterlibatan penuh produsen produk unggulan daerah berbasis klaster
dalam setiap tahapan proses pengembangan dengan sendirinya akan memperkuat
kekompakkan, kemandirian dan hubungan interaksi dengan yang lain, sehingga
lambat laun akan tercipta suatu kelembagaan yang akan mengakar dan memiliki
posisi tawar yang kuat.
b) Pengembangan Teknologi Tepat Guna
Pemanfaatan teknologi tepat guna di dalam proses produksi memiliki
peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas dan mutu produk
yang dihasilkan oleh produsen. Penggunaan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan dalam pengembangan produk unggulan daerah dilakukan dengan
mengedepankan efisiensi sumberdaya tak terbarukan (unrenewable resources)
atau menggunakan energi alternatif agar tidak menimbulkan degradasi lingkungan
di kemudian hari.
c) Perspektif Klaster
Klaster merupakan hubungan antar satu jenis kegiatan ekonomi, mulai dari
kegiatan produksi primer, pengepul, pengolah setengah jadi atau jadi (industri
menengah, besar), pedagang dan eksportir, serta kegiatan dan pelayanan
penunjang seperti lembaga keuangan, pelayanan usaha, pendidikan, penelitian,
dan lainnya.Keterkaitan (linkage) antar kegiatan ekonomi adalah penting dalam
pengembangan klaster karena hubungan antar kegiatan yang saling komplementer
akan menunjang keunggulan (Sa’id et al. 2007). Hal ini menyangkut bukan saja
soal efisiensi biaya transpormelainkan juga matching spesifikasi yang dibutuhkan
masing-masing akan lebih mudah dilakukan, karena menyangkut pertukaran
“knowledge, relationships, motivation” tersebut.

K. Lembaga Layanan Bisnis dengan Pendekatan Klaster


Dasar pemikiran dari program pembangunan klaster adalah berupaya
memperkuat kapasitas para pelaku klaster untuk membangun visi kolektif dalam
menghadapi berbagai peluang, dan meraih peluang itu melalui inisiatif kolektif
yang terkoordinasi. Tujuan paparan pada bagian ini adalah menunjukkan contoh-
contoh inisiatif yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan bisnis.
Masalah struktural yang dihadapi oleh berbagai klaster utamanya tidak
terkait dengan permasalahan inefisiensi (ketiadaan kompetisi) pada lembaga-
lembaga layanan bisnis yang sudah ada (misalnya training keahlian, pembukuan,
transfer teknologi, dst). Sebaliknya, ketidakmampuan membangun visi klaster
yang lebih ambisius lebih diakibatkan oleh ketiadaan/kelangkaan layanan bisnis
tipe-tipe tertentu yang sangat spesifik, misalnya di bidang konsultasi ekspor,
teknologi internet, pembelian bersama, dan kerjasama dalam pemasaran, yang
semuanya merupakan hal yang sangat bermanfaat.
Pada bidang-bidang tersebut diatas, sering dijumpai para pemasok
potensial enggan mengubah layanan mereka agar sesuai dengan apa yang
dibutuhkan oleh usaha kecil. Sementara pada sisi lain, para konsumen potensial
seringkali belum merasa memiliki kebutuhan yang jelas terhadap layanan yang
ditawarkan oleh unit-unit usaha kecil. Dengan kata lain, kelangkaan lembaga
layanan bisnis tipe-tipe tertentu tersebut berasal dari kelangkaan permintaan
produk secara efektif, sekaligus berasal pula dari kelangkaan suplai yang
disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam menjembatani ketimpangan semacam ini
dibutuhkan sejumlah sumberdaya yang tidak bisa serta merta disediakan oleh
lembaga layanan bisnis ataupun oleh unit-unit usaha yang ada di dalam klaster.
Pendekatan inisiatif lembaga layanan bisnis adalah dengan cara melakukan upaya
yang simultan, baik pada aspek pemenuhan permintaan (melalui artikulasi
permintaan dari pelaku-pelaku usaha terhadap layanan-layanan bisnis yang belum
ada) maupun pada aspek suplai (dengan mendesain layanan-layanan bisnis yang
disesuaikan dengan kebutuhan klaster sekaligus mengantisipasi munculnya visi
klaster yang lebih utuh).
Pada kasus ini, perlu ditekankan bahwa pembangunan kapasitas tidak
dapat dibatasi pada sebuah inisiatif yang bersifat “sekali untuk semua”, misalnya
semata-mata pada identifikasi layanan-layanan bisnis yang sebelumnya tidak
tersedia. Justru harus memungkinkan pelaku-pelaku klaster untuk merespon
tantangan baru dan merangkai visi yang lebih ambisius pada basis yang
berkelanjutan. Misalnya memperkuat kapasitas permintaan pelaku usaha terhadap
lembaga-lembaga layanan bisnis, menurunkan resiko lembaga-lembaga layanan
bisnis dalam melakukan perniagaan dengan pelaku-pelaku usaha, dan
memungkinkan lembaga layanan bisnis dan para pelaku usaha untuk
menggandeng rekanan yang dapat berperan sebagai penyandang dana dalam
pembentukan lembaga layanan bisnis baru, dan memungkinkan identifikasi
terhadap prosedur-prosedur yang lebih efektif dalam mendapatkan manfaat
layanan bisnis.
a. Artikulasi Permintaan
Klaster yang berkinerja kurang baik dicirikan oleh fragmentasi
pengetahuan dan kurangnya kepercayaan. Kedua hal tersebut bisa jadi begitu
mengakar sehingga para pelaku klaster gagal dalam memaknai saling
ketergantungan (interdependensi) dan, karenanya, gagal dalam membangun
interaksi dan kolaborasi yang saling menguntungkan. Sebagai akibat dari
kurangnya kepercayaan dan ketiadaan forum bersama ini, para pelaku klaster
memiliki persepsi yang timpang tentang bagaimana klaster beroperasi dan
potensi-potensi seperti apa yang mungkin dimilikinya.
Peluang untuk mengkombinasikan informasi dan membandingkan
gambaran yang timpang dan tumpang tindih perlu diupayakan. Studi diagnostik
dapat dilakukan untuk memungkinkan para pelaku klaster memperoleh
pemahaman yang benar tentang visi baru tentang klaster sebagai satu kesatuan
yang utuh, sebuah tugas yang benar-benar meminta mereka untuk mau dan
mampu menafsirkan ulang visi mereka.
Pengalaman menunjukkan bahwa hanya praktek semacam inilah yang
memungkinkan pelaku-pelaku klaster mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
nyata mereka dan dapat bertindak berdasarkan kebutuhan-kebutuhan tersebut
(sebagai contoh, melalui penyelenggaraan layanan-layanan bisnis yang
sebelumnya belum tersedia). Jelasnya, latihan semacam ini hanya bisa dilakukan
apabila pelaku-pelaku usaha saling percaya satu sama lain. Keberhasilan
bergantung pada kemampuan untuk mengatasi rintangan dan menghidupkan
dialog yang selama ini telah hilang.
Integritas, visi, dan legitimasi yang ditunjukkan oleh tim diuji pada tahap
awal proyek ini. Konsultan-konsultan dapat melakukan pendekatan secara luar
biasa dan terus-menerus mengunjungi para pelaku klaster untuk membangun
kepercayaan. Mereka melakukan berbagai tatap muka dan meredam berbagai
konflik yang laten. Merupakan tanggung jawab mereka untuk menjamin bahwa
para pelaku klaster benar-benar paham tentang program bersama, dan semua
ketidakpuasan bisa diketahui sejak dini.
Membawa para pelaku usaha duduk semeja, berbagi visi dan perhatian
merupakan langkah yang sangat penting. Namun bukan hanya itu yang diperlukan
untuk mengidentifikasi kebutuhan struktural klaster dan, selanjutnya, menentukan
layanan bisnis seperti apa yang dapat memenuhinya.
b. Pengembangan Produk Percontohan
Membantu pelaku usaha di suatu klaster dalam menentukan kebutuhan
secara lebih efektif merupakan langkah penting tetapi bukan satu-satunya
komponen dalam inisiatif jasa layanan bisnis. Yang lainnya adalah mencegah
munculnya konflik antar lembaga layanan bisnis itu sendiri dengan pelaku usaha.
Kesepakatan kerja diperlukan untuk menjamin bahwa lembaga-lembaga layanan
bisnis tersebut benar-benar merespon permintaan baru dan mengerahkan segenap
ketrampilan dan kompetensi untuk melayani kebutuhan seperti yang diharapkan
oleh para pelaku usaha. Awalnya tanggung jawab ini dapat dipikul pemerintah
daerah. Namun tanggung jawab itu perlu segera dialihkan kepada lembaga
internal klaster itu sendiri begitu jurang antara penyedia layanan bisnis dan para
pelaku usaha telah dapat dijembatani, dan kelayakan dari pendekatan layanan
bisnis telah dipahami secara luas.
Begitu konsensus telah dicapai diantara para pelaku usaha, pengembangan
produk percontohan akan segera dilakukan sebagai hasil dari dialog antara
penyedia layanan dan konsumen. Pemerintah dan pengusaha-pengusaha dalam
klaster memainkan peran utama dalam mempromosikan proses ini.
c. Penguatan Interaksi Sistemik
Dengan semakin meningkatnya pemahaman para pelaku usaha tentang visi
klaster dan semakin meningkatnya kemampuan lembaga layanan bisnis
menyelenggarakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha, maka
tugas pemerintah adalah menjamin bahwa keseluruhan lingkungan yang
melingkupi klaster memiliki tingkat sensitifitas dan responsibilitas yang tinggi
terhadap pendekatan klaster. Pembangunan kapasitas membutuhkan sebanyak
mungkin pelaku, termasuk pembuat kebijakan setempat, LSM, bank, asosiasi-
asosiasi, dan seterusnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa inisiatif yang ditujukan untuk
membangun layanan bisnis merupakan peluang berharga bagi pelaku-pelaku
klaster untuk duduk satu meja dan membicarakan platform dari aksi bersama.
Jadi, para pengusaha akan merasa tertarik dengan prospek peningkatan
profitabilitas bisnis mereka, penyedia layanan bisnis tertarik pada kemungkinan
melebarkan pasar dan pengembangan jenis jasa baru, dan pemerintah setempat
dan LSM tertarik kepada harapan untuk meningkatkan ekonomi lokal. Tipe
inisiatif semacam ini menyediakan mekanisme untuk meningkatkan dialog dan
pemahaman yang saling menguntungkan diantara kelompok-kelompok pelaku
klaster. Jika berhasil, inisiatif seperti itu merupakan suatu modal sosial di tingkat
klaster, dan akan semakin mempertebal kepercayaan yang merupakan ciri klaster
yang berkinerja maju.

L. Program Klaster Usaha Kecil yang Berkelanjutan


Merujuk pada isu tentang keberkelanjutan, menjadi sangat penting untuk
membedakan aspek keberkelanjutan dari: (a) Institusi pendukung dan jejaring
yang dipromosikan oleh program tersebut, (b) Pendekatan Klaster, (c) Tim
pendamping.
Aspek berkelanjutan pada tingkat klaster dapat diukur dari
kapasitas berbagai pelaku klaster terhadap (a) interaksi satu sama lain dalam
membangun visi bersama dan (b) respon terhadap tantangan-tantangan klaster.
Walaupun terlalu awal untuk menilai tingkat pencapaian target, namun indikasi
yang tampak menjanjikan adalah tumbuhnya kemampuan dari berbagai pelaku
klaster untuk berinteraksi satu sama lain dan mengembangkan inisiatif bersama
(tanpa dukungan dari Tim Pendamping). Perlu ditekankan disini bahwa selama
penyelenggaraanprogram, Tim pendamping telah bekerja secara intensif dalam
pendampingan pelaku usaha, sedekat mungkin dan seprofesional mungkin.
Pendampingan ini dilakukan (a) melalui pelatihan dimana staf dari
lembaga parner yang paling dinamis dilibatkan dalam aktivitas utama Tim
Pendamping pada level klaster, dan (b) melibatkan parner yang sama pada
“praktek-praktek terbaik” di berbagai program partisipasi di seluruh Indonesia dan
program-program sejenis di berbagai negara. Dengan melibatkan individu-
individu tersebut secara berkelanjutan, maka alih tanggung jawab akan lebih
menunjang aspek keberlanjutan pada jangka waktu lama.
Lebih jauh lagi, pendekatan berkelanjutan mengharuskan pengembangan
klaster dijadikan komponen integral dari keseluruhan kebijakan pemerintah
Indonesia tentang usaha kecil. Inilah mengapa keterlibatan pemerintah setempat
perlahan-lahan bergeser menjadi dukungan pemerintah pusat. Program ini
membutuhkan intervensi lebih jauh yang bersifat lintas klaster yang
melibatkandirektorat perindustrian, asosiasi dan institusi pendukung berskala
nasional, danbank pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Kajian Identifikasi Klaster Ekonomi untuk Pengembangan


Ekonomi Lokal di Kota Cimahi.

Anonim. 2011. Kajian Identifikasi Klaster Ekonomi untuk Pengembangan


Ekonomi Lokal di Kota Palopo.

Bappenas. 20014. Tata Cara Perencanaan Kawasan Untuk Percepatan


Pembangunan Daerah: Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan
Tertinggal BAPPENAS. (Online), (http://perpustakaan.bappenas.go.id),
diakses pada 26 Februari 2018.

Nusantoro, J. (2011). Model pengembangan produk unggulan daerah melalui


pendekatan klaster di Provinsi Lampung. In PROSIDING SEMINAR
NASIONAL & INTERNASIONAL (Vol. 1, No. 1).

Papilo, P & Bantacut, T. 2016. KLASTER INDUSTRI SEBAGAI STRATEGI


PENINGKATAN DAYA SAING AGROINDUSTRI BIOENERGI
BERBASIS KELAPA SAWIT. (Online),
(https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/viewFile/11332/8847),
diakses pada 26 Feruari 2018.

Sugianto Dedy, dkk.----. Pemilihan Strategi Pengembangan Klaster Industri Dan


Strategi Manajemen Pengetahuan Pada Klaster Industri Barang Celup
Lateks. (Online),
(http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnaltin/article/viewFile/3620/2476),
diakses pada 26 Februari 2018.

Sulistyowati, E dkk. 2015. Klaster Industri dan Algomerasi. (Online),


(https://id.scribd.com/document/363600549/klaster-dan-aglomerasi-
industri-pdf), diakses pada 26 Februari 2018

Susanty, A., Handayani, N. U., & Jati, P. A. (2013). Analisis Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Klaster Batik Pekalongan (Studi Kasus Pada
Klaster Batik Kauman, Pesindon Dan Jenggot). J@ TI UNDIP: JURNAL
TEKNIK INDUSTRI, 8(1), 1-14.

Anda mungkin juga menyukai