TINJAUAN LITERATUR II
2.1 Pendekatan Klaster
Kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk
umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa, atau
penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD, 2000);
Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan secara
intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry maupun
related industry (Deperindag, 2000);
Aglomerasi dari industri yang bersaing dan berkolaborasi di suatu daerah, yang
berjaringan dalam hubungan vertikal maupun horizontal, melibatkan keterkaitan
pembeli-pemasok umum, dan mengandalkan landasan bersama atas lembaga-
lembaga ekonomi yang terspesialisasi (EDA, 1997);
II - 1
Klaster merupakan suatu sistem dari keterkaitan pasar dan non pasar antara (a
system of market and nonmarket links) perusahaan-perusahaan dan lembaga
yang terkonsentrasi secara geografis (Abramson, 1998);
II - 2
Lyon dan Atherton (2000) berpendapat bahwa terdapat tiga hal mendasar yang
dicirikan oleh klaster industri, terlepas dari perbedaan struktur, ukuran ataupun
sektornya, yaitu:
II - 3
II - 4
1. Eksternalitas Ekonomi
Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk memahami
manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu:
1. Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun
1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi,
dan
2. Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya
dalam “kawasan industri (industrial district)”.
II - 5
II - 6
2. Lingkungan Inovasi
Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999, h.1), dalam
perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan
interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-lembaga riset,
perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi “pusat” dari analisis proses
inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai
suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu
jaringan dimana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang
“menghasilkan/menyediakan” pengetahuan dan pelaku yang “membeli dan
menggunakan” pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan
yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional. Pandangan Lundvall
(1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas
II - 7
II - 8
yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku yang efektif dalam suatu
kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan proses pembelajaran; dan citra
dan rasa memiliki.
3. Kompetisi Kooperatif
Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan
berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk
ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan
keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy.
Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi
perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar
literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena
demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang
secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi
berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian
sangat penting dari komunitas sentra.
4. Persaingan/Rivalitas (Rivalry)
Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa
persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari
perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan
kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah.
5. Path Dependence
II - 9
sumber daya alam, ataupun fenomena yang bersifat non perilaku) akan sangat
mungkin menguat sebagai akibat dari eksternalitas ekonomi.
Dalam ekonomi internasional yang “baru” pun, faktor increasing returns dalam
perdagangan berimplikasi pada kemungkinan pola perkembangan yang sangat
terkonsentrasi secara geografis, termasuk perbedaan dalam pendapatan dan
penyerapan kerja antar daerah. Eksternalitas yang berkaitan dengan pengetahuan
sangat mungkin menjadi fenomena lock-in effect, yang membuat suatu daerah
mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu (yang didukung oleh pengetahuan
terkait yang berkembang) dibanding dengan daerah lainnya. Bagaimana
kemungkinan hal ini terjadi ataupun berlanjut nampaknya lebih merupakan persoalan
empiris. Istilah path dependence dalam hal ini mengacu kepada keadaan umum di
mana pilihan teknologi, walaupun nampaknya tidak efisien, inferior, ataupun yang
suboptimal, akan mendominasi alternatif/pilihan lainnya dan akan “memperkuat”
terus (self-reinforcing), walaupun ini tak berarti bahwa dengan upaya intervensi yang
cukup signifikan, hal tersebut tak dapat diubah.
II - 10
Selain kelima hal yang telah disampaikan, Schmitz (1997) adalah di antara
yang menelaah faktor/isu “lain” sehubungan dengan klaster industri. Ia menekankan
adanya “efisiensi kolektif” (collective efficiency) dari suatu klaster industri yang
berkontribusi pada keunggulan daya saing perusahaan. Artinya, perusahaan-
perusahan dan organisasi terkait lainnya dapat termotivasi oleh ekspektasi adanya
efisiensi kolektif yang dapat/akan diperolehnya jika “bergabung” dalam suatu klaster
industri tertentu.
Efisiensi kolektif ini teridiri atas dua aspek dan kombinasi dari keduanya akan
beragam antara suatu klaster dengan lainnya dan juga berkembang dari waktu ke
waktu, yaitu:
Kedua aspek tersebut dapat memberikan dampak, baik yang bersifat statik
maupun dinamik, yang akan mempengaruhi bagaimana perkembangan suatu klaster
dari waktu ke waktu.
II - 11
dan barang seni), Klaster Kerajinan Kayu, Klaster Bordir dan Klaster Fesyen. Pada
laporan pendahuluan ini, survei literatur akan dibatasi pada Peta Jalan (Road map)
Pengembangan Klaster Industri tertentu yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Perindustrian No. 131, 132, 133, 134, 135, 136, dan 137 Tahun 2009.
Industri Makanan Ringan adalah makanan hasil olahan industri yang bukan
merupakan makanan pokok tetapi sebagai makanan selingan seperti aneka kerupuk
(udang, ikan, bawang); aneka keripik (kacang, ikan, pisang, nangka, singkong,
kentang dsb); aneka kipang (kacang, jagung, ketan dsb); makanan ringan lainnya
seperti chiki.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 137/M-IND/PER/10/2009
tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Makanan
Ringan disebutkan bahwa Industri Makanan Ringan adalah industri yang terdiri
dari:
a. Industri Roti dan Sejenisnya (KBLI15410);
b. Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula (KBLI 15432);
c. Industri Tempe dan Tahu (KBLI 15494);
d. Industri Makanan dari Kedele dan dan Kacang-kacangan Lainnya selain Kecap,
Tempe dan Tahu (KBLI 15495);
e. Industri Kerupuk, Keripik, Peyek dan Sejenisnya (KBLI 15496);
f. Industri Kue-kue Basah (KBLI 15498).
Pembangunan IKM makanan ringan di seluruh pelosok tanah air sangat
penting dalam kerangka penanggulangan kemiskinan dan upaya membuka
lapangan kerja, terutama di daerah yang saat ini dikenal sebagai sentra produsen
makanan ringan berciri khas lokal. Memperhatikan rencana jangka panjang (2010 -
2025), maka visi pembangunan IKM makanan ringan adalah:
”Mewujudkan industri makanan ringan yang tangguh dengan produk yang
higienis, sehat dan digemari secara nasional dan mampu membuka peluang
II - 12
II - 13
a. Garam bahan baku adalah garam yang berasal dari pungutan langsung di
ladang (tambak) garam yang belum dicuci maupun sudah dicuci dan belum
diproses lanjut menjadi garam beryodium atau garam kemasan. Garam bahan
baku ini terdiri dari bahan baku untuk industri garam konsumsi beryodium (SNI
01-4435-2000) dan garam bahan baku untuk industri Chlor Alkali Plan
(CAP)/Industri Soda Kostik.
b. Garam olahan adalah garam bahan baku yang sudah diproses lanjut menjadi
garam beryodium ataupun garam kemasan baik untuk keperluan konsumsi
maupun industri.
• Food atau high grade yaitu garam konsumsi mutu tinggi dengan
kandungan NaCl 97 %, kadar air dibawah 0,05 %, warna putih bersih,
butiran umumnya berupa kristal yang sudah dihaluskan. Garam jenis ini
digunakan untuk garam meja, industri penyedap makanan (bumbu masak,
masako dll), industri makanan mutu tinggi (makanan camilan : Chiki,
II - 14
Taro, supermi dan sebagainya), industri sosis dan keju, serta industri
minyak goreng.
• Medium grade yaitu garam konsumsi kelas menengah dengan kadar NaCl
94,7%-97% dan kadar air 3–7 % untuk garam dapur, dan industri
makanan menengah seperti kecap, tahu, pakan ternak.
• Low grade, yaitu garam konsumsi mutu rendah dengan kadar NaCl 90 –
94.7 %, kadar air 5–10 %, warna putih kusam, digunakan untuk
pengasinan ikan dan pertanian.
II - 15
CAP (Chlor Alkali Plant) Industrial Salt atau garam Industri untuk
industri Soda-Klor, yaitu garam yang mempunyai kadar NaCl diatas 98,5 %
(dry basis), impurities Sulfat maksimum 0.2 %, impuritis Calcium maksimum
0.1% dan impuritis Magnesium maksium 0,06 %. Garam ini digunakan untuk
proses kimia dasar pembuatan soda dan klor.
II - 16
Industri minyak atsiri merupakan salah satu bagian dari kelompok IKM
tertentu. Pengembangan minyak atsiri merupakan satu diantara 35 komoditi
prioritas nasional untuk dikembangkan dengan pendekatan klaster, yaitu sebuah
pendekatan yang menitikkan pada integrasi yang penuh dari seluruh kegiatan
sepanjang mata rantai nilai (value chain) dengan sasaran utamanya adalah
meningkatkan dan mewujudkan nilai tambah dari kegiatan hulu sampai kegiatan
paling akhir. Indonesia merupakan negara penting produsen minyak atsiri dunia
dengan menjadi penghasil beberapa jenis minyak atsiri yang sangat dominan.
Pendekatan Pengembangan Klaster Industri Kecil dan Menengah (IKM) Minyak
Atsiri dimaksudkan untuk memperkuat dan mengembangkan daya saing pasar
II - 17
minyak atsiri baik pasar domestik maupun ekspor, dengan demikian dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan semua pelaku usaha secara adil dan
proporsional khususnya petani penyuling.
Dalam pembangunan industri suatu negara telah banyak dibahas tentang
konsep klaster dan membuktikan bahwa pendekatan konsep klaster industri lebih
efektif untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi pasar internasional yang
cepat berubah. Pada tahun anggaran 2008 telah dilakukan penguatan kolaborasi
pengembangan IKM minyak atsiri dengan pendekatan klaster di Pakpak Bharat –
Sumatera Utara, Aceh Besar – NAD, dan Pasaman Barat – Sumatera Barat, dan dari
kegiatan tersebut diperoleh hasil berupa MoU antara IKM minyak atsiri di Pakpak
Bharat dengan buyer luar negeri dengan Program Cultiva.
Yang dimaksud dengan produk perhiasan adalah barang- barang perhiasan yang
menggunakan bahan baku utama berupa emas dan perak dan bahan
campurannya berupa logam kuningan dan tembaga atau campuran logam
lainnya. Batumulia adalah mineral yang terbentuk oleh proses alami tanpa
bantuan atau usaha manusia. Batumulia atau gemstone merupakan batuan,
mineral atau bahan alami lainnya yang setelah diolah memiliki keindahan dan
ketahanan yang memadai untuk dipakai sebagai barang perhiasan. Batuan yang
memiliki nilai yang tinggi adalah batuan yang mempunyai kekerasan tertentu
dan kilauan yang indah,,
II - 18
kadar 925 dan jenis perhiasan yang dikategorikan sebagai fine jewelry dimana
desain-desainnya dipadukan dengan batu-batuan yang memiliki kualitas tinggi,
1) industri batu permata (loose stone) yang asli maupun imitasi seperti intan,
ruby, safir, kecubung, kalimaya dan jenis-jenis batuan lainnya termasuk
mutiara,
2) perhiasan (emas, perak dan jenis logam mulia lainnya termasuk yang semi
logam mulia seperti tembaga, kuningan,
II - 19
batumulia dengan bentuk, ukuran, desain dan jenis batu yang telah ditetapkan.
Pemangku kepentingan klaster IKM batumulia dan perhiasan terdiri dari pelaku
inti dan pendukung. Pelaku inti meliputi perajin batumulia dan perajin
perhiasan (emas dan perak), sementara pelaku pendukung merupakan anggota
klaster lainnya yang bersifat mendukung kegiatan inti seperti; (a) industri mesin
dan peralatan batumulia; (b). industri mesin dan peralatan casting; (c) Pusat
pelatihan batumulia; (d) pusat pelatihan perhiasan; (e) Unit Pelayanan Teknis
(UPT) Casting; (f). Balai Besar Batik dan Kerajinan; (g) Lembaga Sertifikasi
Mutu Batumulia dan Instansi terkait di tingkat pusat dan Kabupaten/Kota
seperti Pemerintah Daerah, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, ASEPI,
APEPI, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi
SASARAN
A. Jangka Menengah (2010 – 2014)
1. Terbentuknya klaster-klaster industri batumulia dan perhiasan yang
akan memberikan nilai tambah yang lebih besar pada setiap simpul
kerjasama dan meningkatkan jumlah unit usaha sebesar rata-rata per tahun
sebesar 5,6% atau sebesar 2.572 UU per tahun serta tenaga kerja
sebesar 5,6% atau sebesar kurang lebih 7.381 orang per tahun.
Tolok ukur Sasaran Pengembangan (2010 – 2014)
Batumulia dan Perhiasan
II - 20
A. Strategi Pokok
II - 21
II - 22
B. Strategi Operasional
II - 23
II - 24
3. Teknologi Produksi
II - 25
II - 26
PENDAHULUAN
Adalah industri yang berbahan baku tanah liat dengan proses produksi
menjadi gerabah.
Adalah industri yang berbahan baku clay, feldspar, pasir silika, dan kaolin
dengan proses produksi menjadi keramik hias.
Berdasarkan pada kegunaannya maka industri gerabah dan keramik hias ada
industri untuk perlengkapan rumah tangga (tableware) dan untuk hiasan
(interior)
Meliputi industri bahan baku gerabah dan keramik hias seperti tanah liat
(clay), kaolin, feldspar, pasir kuarsa, dan zircon, serta toseki
SASARAN
II - 27
II - 28
2. Penyediaan bahan baku standard melalui UPT, Bali atau perusahaan swasta
di 41 sentra IKM Kerajinan Gerabah dan Keramik Hias yang memiliki
potensi.
Visi industri kerajinan gerabah dan keramik hias ialah membangun industri
gerabah dan keramik hias nasional yang mempunyai daya saing nasional
dan internasional dan mempunyai nilai tambah yang tinggi pada tahun
2025.
2. Arah Pengembangan
II - 29
3. Indikator Pencapaian
4. Tahapan Implementasi
II - 30
II - 31
g. Pengembangan jejaring.
g. Temu usaha/bisnis.
2. Teknologi Produksi
II - 32
II - 33
1. Pemasaran
2. Teknologi
3. Sentra Produksi
II - 34
4. Stakeholder
c. Industri Anyam-anyaman dari Tanaman selain Rotan dan Bambu (KBLI 20292);
Tolok ukur sasaran pengembangan klaster IKM industri kerajinan dan barang
seni adalah sebagai berikut :
II - 35
a. Berkembangnya jumlah unit usaha industri kerajinan dan barang seni mencapai
sebesar 7,18% rata-rata per tahun, tenaga kerja 8,10% per tahun.
b. Peningkatan ekspor produk kerajinan dan barang seni rata-rata per tahun 5,69%
atau senilai US$ 17.629.624 dengan mutu produk diakui dalam pasar
internasional.
II - 36
a) Pengembangan inovasi dan kreasi desain produk kerajinan dan barang seni
berbasis budaya daerah.
b) Memperkuat keterkaitan pada semua tingkat dan rantai nilai dalam klaster.
e) Peningkatan mutu, kreasi dan inovasi desain kerajinan dan barang seni.
II - 37
3. Terbentuknya basis usaha industri kerajinan dan barang seni yang tangguh
didukung SDA yang baik dan SDM kreatif, terampil yang mampu
menghasilkan produk berdaya saing tinggi.
II - 38
II - 39
2. Strategi Operasional
II - 40
arah dan rencana pengembangan industri kerajinan dan barang seni yang
perlu dilakukan atas dukungan sektor-sektor terkait, rencana aksi
pengembangan yang akan dilaksanakan untuk jangka pendek dan jangka
menengah, sebagai berikut :
II - 41
II - 42
II - 43
1. Penguatan kelembagaan
Perbaikan kinerja pada setiap rantai nilai industri fashion yaitu pemasok ,
bahan baku, produsen, dan konsumen. Tiap rantai nilai memiliki saling
ketergantungan yang tinggi dengan rantai nilai lainnya sehingga
pengembangan pemasaran produk juga sangat tergantung pada kelancaran
hubungan atau kinerja masing-masing rantai nilai tersebut.
II - 44
6. Interpretasi tren
II - 45
II - 46
II - 47
Apakah rantai nilai? Jika kita berniat untuk mengetahui kegiatan yang
perusahaan yang membuat dan mengembangkan keunggulan kompetitif dan nilai
perusahaan, kita harus membagi sistem menjadi serangkaian kegiatan penciptaan
nilai. Porter telah menawarkan definisi rantai nilai pada tahun 1985 dalam bukunya
"Keunggulan Kompetitif". Dia menyatakan, "Alat dasar untuk mendiagnosis
keunggulan kompetitif dan mencari cara untuk meningkatkan itu adalah rantai nilai,
yang membagi perusahaan ke dalam aktivitas diskrit itu melakukan dalam
mendesain, memproduksi, pemasaran, dan mendistribusikan produk-produknya"
(Porter, 1985, p .26). "Para disaggregates rantai nilai perusahaan ke dalam aktivitas
strategis yang relevan untuk memahami perilaku biaya dan sumber yang ada dan
potensi diferensiasi." (Porter, 1985, hal. 33) Brown (1997) menganggap, sebagai
alat nilai membagi rantai usaha ke dalam kegiatan strategis yang relevan.
II - 48
Walters dan Lancaster (2000, p.162) mendefinisikan suatu rantai nilai sebagai
memberi "... suatu sistem bisnis yang menciptakan kepuasan pengguna akhir (yaitu
nilai) dan menyadari tujuan dari para pemangku kepentingan anggota lainnya."
Michael Porter kami alat yang sangat berguna untuk menentukan kerangka
mengkonfirmasikan keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Ketika kita
menggunakan analisa rantai nilai, kita dapat menganggap suatu perusahaan secara
keseluruhan kegiatan yang membutuhkan produk dan jasa kepada pelanggan.
Kegiatan komersial yang unik dan besar dalam angka untuk setiap industri, tetapi
hanya mereka dianggap kegiatan yang mempunyai pengaruh langsung terhadap
keuntungan persaingan.
Nilai rantai adalah kunci ekonomi. Melalui mereka arus barang dan jasa dari
masyarakat kita material industri. Dalam industri apapun, perusahaan dihubungkan
dengan rantai nilai dimana membeli barang dan jasa dari pemasok, menambah
nilai, dan menjual kepada pelanggan. Fundamental ini digunakan pada semua jenis
usaha seperti manufaktur, distribusi, atau layanan. Rantai nilai ini memberikan
semacam bingkai yang analisis yang berguna dapat diadopsi. Ide dasarnya adalah
bahwa untuk memahami keunggulan kompetitif di perusahaan apapun, perlu untuk
mengidentifikasi kegiatan spesifik mana perusahaan melakukan untuk melakukan
bisnis. Setiap perusahaan adalah kumpulan hal-hal yang tidak itu semua
menambahkan hingga produk yang diserahkan pelanggan. Kegiatan ini banyak dan
unik untuk setiap industri, tetapi hanya dalam kegiatan ini dimana biaya
keuntungan atau diferensiasi dapat diperoleh.
Kegiatan ini dapat diklasifikasikan secara umum sebagai kegiatan utama atau
mendukung bahwa semua bisnis harus mengambil tindakan dalam beberapa bentuk.
Ide dasarnya adalah bahwa kegiatan perusahaan dapat dibagi menjadi sembilan
jenis generik yang dihubungkan satu sama lain dan dengan kegiatan, yang saluran
pemasok dan pembeli. Lima adalah kegiatan utama, yang secara langsung berkaitan
dengan kegiatan yang menciptakan produk, pasar mereka menyelamatkan mereka
II - 49
II - 50
2. Operasi - semua kegiatan pembuatan produk dan jasa - cara di mana sumber
daya input (bahan misalnya) yang dikonversi menjadi output (produk
misalnya)
3. Outbound Logistics - mencakup semua kegiatan yang dibutuhkan untuk
mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan output.
4. Pemasaran dan Penjualan - Pada dasarnya kegiatan-kegiatan informasi
memberitahu pembeli tentang produk dan layanan mendorong pembeli untuk
membeli mereka, dan memfasilitasi pembelian mereka.
5. Layanan - mencakup semua kegiatan yang diperlukan untuk menjaga produk
atau jasa bekerja efektif untuk pembeli setelah dijual dan disampaikan
Salah satu atau semua kegiatan utama mungkin penting dalam
mengembangkan keunggulan kompetitif.
Sebagai contoh, kegiatan logistik sangat penting untuk menyediakan
layanan distribusi, dan jasa kegiatan mungkin merupakan fokus utama untuk
korban perusahaan di kontrak-pemeliharaan situs untuk peralatan kantor. Kelima
kategori yang generik dan dijelaskan di sini secara umum. Setiap kegiatan
generik mencakup kegiatan khusus yang berbeda di berbagai industri.
II - 51
II - 52
Hari dan Wensley (1988) menemukan bahwa rantai nilai dapat digunakan
untuk memandu kegiatan menyajikan perusahaan serta membuat perbaikan untuk
masa depan. Ini menyediakan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi nilai
perusahaan kegiatan menciptakan dan menekankan sejauh mana pandangan tertentu
atribut memenuhi kebutuhan pelanggan. Selain analisis berfokus pada pelanggan,
hal ini berguna kemudian untuk membandingkan rantai nilai perusahaan dengan
para pesaing utamanya. "Analisis rantai nilai secara logis mengarah ke tahap
berikutnya, yaitu merancang dan mengembangkan rantai nilai masa depan yang
akan menghasilkan keunggulan kompetitif relatif terhadap pesaing potensial rantai
nilai" (Partridge & Perren, 1994, hal.28-29).
Dari pandangan di atas kita dapat melihat bahwa sangat penting bagi sebuah
perusahaan terlebih dahulu untuk membuat keputusan yang tepat dari analisa rantai
nilai dalam sebuah organisasi, dan kemudian untuk mengkonfirmasi keunggulan
kompetitif dan akhirnya untuk mencapai tujuan strategis perusahaan.
Analisis rantai nilai memberi kita kerangka kegiatan mereka di dalam dan di
luar perusahaan, dan membuat kekuatan kompetitif perusahaan menggabungkan
bersama-sama. Jadi, menilai nilai setiap kegiatan yang meningkatkan produk dan
jasa untuk perusahaan. perusahaan A tampaknya menjadi seluruh mesin, peralatan,
orang dan uang, setelah semua hal ini dibuat sistematis dalam kegiatan perusahaan
dapat mampu menghasilkan produk dan layanan yang konsumen bersedia
membayar. Porter (1985) berpendapat bahwa kemampuan untuk melakukan
kegiatan tertentu dan untuk mengelola hubungan antara kegiatan ini merupakan
sumber keunggulan kompetitif. analisis rantai nilai adalah cara untuk menilai
keunggulan kompetitif dengan menentukan keuntungan strategis dan kerugian dari
berbagai kegiatan yang bentuk penawaran akhir kepada pengguna akhir. analisis
rantai nilai membuat perusahaan lebih memahami yang segmen, saluran distribusi,
II - 53
harga poin, diferensiasi produk, proposisi penjualan dan konfigurasi rantai yang
nilai (yaitu, hubungan antara kegiatan / proses di dalam dan di luar perusahaan)
akan menghasilkan dengan keuntungan kompetitif terbesar.
2.4 Evaluasi
Pengertian mengenai konsep evaluasi yang terkadang tak bisa dipisahkan
dengan monitoring sering dijumpai. Pengertian pakar mengenai arti evaluasi adalah
penilaian berkala terhadap relevansi, penampilan, efisiensi dan dampak proyek
tentang waktu, daerah atau populasi (Casely & Kumar, 1987). Sedangkan
interprestasinya secara umum bagi banyak organisasi adalah istilah umum yang
digunakan bersama-sama dengan kaji ulang. Organisasi lain menggunakannya dalam
pengertian yang lebih ketat sebagai penilaian yang komprehensif terhadap keluaran
dan dampak proyek serta sumbangannya terhadap pencapaian tujuan sasaran.
Evaluasi bisanya dilakukan baik oleh orang dalam maupun orang luar untuk
membantu Pihak Terkait dan pembuat keputusan belajar dan menerapkan pelajaran
yang sudah dipetik. Evaluasi berfokus khusus pada dampak dan sustainibilitas.
II - 54
II - 55
• Evaluasi direncanakan dengan baik sejak awal. Karena kegiatan evaluasi sudah
ada dalam desain program, maka waktu dan bentuk kegiatan pelaksanaan
evaluasi sudah dapat diperkirakan sejak awal. Dengan demikian kegiatan ini
II - 56
• Evaluasi menjadi bagian dari tanggung jawab pemimpin program. Ini berarti
bahwa keberhasilan pelaksanaan evaluasi menjadi tanggung jawab pemimpin
program, sehingga dia akan memastikan kerjasama pelaksana seluruh pelaksana
program untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan evaluasi. Hal ini
juga akan membantu penerapan hasil evaluasi bagi perbaikan desain dan
pelaksanaan program.
• Menentukan tujuan evaluasi. Sebuah evaluasi perlu memiliki tujuan yang jelas.
Misalnya untuk memperbaiki desain program atau untuk mengukur dampak.
Tujuan evaluasi yang jelas akan membantu dalam penyusunan desain evaluasi
yang sesuai. Dalam menentukan tujuan evaluasi, perlu mempertimbangkan
berbagai konteks yang relevan, baik berkaitan dengan tujuan program itu sendiri
maupun tujuan kebijakan yang lebih luas.
II - 57
• Menyusun desain evaluasi yang kredibel. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah:
(i) menentukan indikator dan tolok ukur yang akan digunakan dalam evaluasi
untuk mengukur keberhasilan program; (ii) menentukan metode analisis yang
akan digunakan dalam evaluasi dan kebutuhan data, termasuk cara
pengumpulannya; (iii) menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan evaluasi; dan
(iv) menghitung perkiaraan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan seluruh
kegiatan evaluasi.
II - 58
kualitas data dan analisis sangat krusial untuk memperoleh kualitas evaluasi yang
baik. Dalam penulisan laporan, penting untuk memperhatikan kaidah-kaidah
penulisan ilmiah agar dihasilkan suatu laporan evaluasi yang baik, baik dilihat
dari segi substansi maupun tata bahasa.
Penilaian terhadap pelaksanaan dan hasil suatu program yang dilakukan dalam
evaluasi perlu didasarkan pada kriteria-kriteria yang jelas dan objektif. Ini penting
untuk menghindarkan ketidaksepakatan atau penolakan terhadap hasil evaluasi yang
telah dilaksanakan. Terdapat beberapa kriterai penilaian yang umum digunakan
dalam evaluasi:
• Relevansi (relevance): Apakah tujuan program mendukung tujuan kebijakan?
• Keefektifan (effectiveness): Apakah tujuan program dapat tercapai?
II - 59
II - 60
Dalam menyusun sebuah evaluasi, beberapa saran praktis berikut ini akan
berguna untuk memperoleh hasil yang diinginkan dengan biaya yang efi sien.
Penting untuk diingat bahwa setiap program memiliki keunikan tersendiri,
sehingga tidak disarankan untuk mencangkokan begitu saja desain evaluasi dari
program lain.
a. Setiap program memerlukan evaluasi yang berbeda, tentukan
prioritas.
b. Susun desain evaluasi dengan memperhitungkan keterbatasan
sumber daya.
c. Bila perlu, lakukan percontohan sebelum melakukan evaluasi
skala besar.
d. Apabila diperlukan, bekerjasamalah dengan pihak lain.
II - 61
II - 62
II - 63