Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGOLAHAN AIR GAMBUT MENJADI AIR

BERSIH

Desember 16, 2017


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air di wilayah gambut merupakan sumber air baku yang potensial untuk diolah
menjadi air bersih, terutama di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera
maupun Papua. Secara umum proses/tahapan pengolahan air gambut tidak berbeda
jauh dengan air baku tawar lainnya. Masalah utama dalam mengolah air gambut
berhubungan dengan karakteristik spesifik yang dimilikinya (Nur, 2012).

Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-
hari manusia selalu memerlukan air terutama untuk minum, masak, mandi, mencuci dan
sebagainya. Pada saat ini, persentase penduduk di Indonesia yang sudah mendapatkan
pelayanan air bersih dari badan atau perusahaan air minum masih sangat kecil yaitu untuk
daerah perkotaan sekitar 61%, sedangkan untuk daerah pedesaan baru sekitar 56% (Data
BPS- Susenas, 2014).
Di daerah-daerah yang belum mendapatkan pelayanan air bersih tersebut, penduduk
biasanya menggunakan air sumur galian, air sungai yang kadang- kadang bahkan sering
kali air yang digunakan kurang memenuhi standard air minum yang sehat. Bahkan untuk
daerah yang sangat buruk kualitas air tanah maupun air sungainya, penduduk hanya
menggunakan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum. Oleh karena itu di daerah-
daerah seperti ini, persentase penderita penyakit yang disebabkan akibat penggunaan air
minum yang kurang bersih atau kurang memenuhi syarat kesehatan masih sangat tinggi.
Sumatera Selatan merupakan wilayah yang terdiri dari daerah dataran rendah, berawa
dan pasang surut merupakan sumber air gambut. Oleh pemerintah sebagian dari daerah-
daerah tersebut di atas dijadikan daerah pemukiman transmigrasi, yang kemudian
berkembang menjadi daerah perkebunan dan pedesaan bahkan perkotaan. Namun dalam
pengembangannya daerah ini menghadapi kendala utama yaitu langkahnya air bersih,
sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan akan air sehari-hari masyarakat setempat
memanfaatkan air gambut yang banyak terdapat di daerah tersebut tanpa melalui proses
pengolahan. Air gambut tersebut cukup potensial bila dilihat dari kwantitasnya untuk
dijadikan sebagai sumber air bersih melalui pengolahan terlebih dahulu (Departemen
Kesehatan, 2010).
Dalam rangka penyediaan air minum yang bersih dan sehat bagi masyarakat pedesaan
yang berkualitas, maka perlu mengenalkan pengetahuan mengenai instalasi pengolahan air
minum sederhana (IPAS) yang murah dan dapat dibuat oleh masyarakat dengan
menggunakan bahan yang ada dipasaran setempat. IPAS ini sengaja dibuat terbatas hanya
untuk pengolahan air gambut. IPAS terdiri dari alat pengolah air minum yang merupakan
paket terdiri dari: tong (tangki), pengaduk pompa aerasi, dan saringan dari pasir atau
disingkat Model TP2AS. Alat ini dirancang untuk keperluan rumah tangga sedemikian rupa
sehingga pembuatan dan cara pengoperasiannya mudah serta biayanya murah. Cara
pengolahannya dengan menggunakan bahan kimia yaitu hanya dengan tawas dan kapur
(gamping). Alat Pengolah Air Minum model TP2AS ini sangat cocok digunakan untuk
pengolahan air minum yang air bakunya mengandung zat besi dan mangan dan zat organic
(air gambut), dengan biaya yang sangat murah.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan air gambut?
2. Apa saja Karakteristik air gambut?
3. Bagaimana Pengolahan air gambut menjadi air bersih?

C. Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian air gambut
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui karakteristik air gambut
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui Pengolahan air gambut menjadi air bersih.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Air Gambut


Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk. Oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan
lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog,
moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diambil dari bahasa
daerah Banjar (Nur, 2012).
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume
gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 triliun m³, yang menutupi wilayah sebesar
kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi
energi kira-kira 8 miliar terajoule (Naswir, 2009).
Beberapa jenis gambut di Indonesia:
1. Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang
terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di
pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, sekitar 4 m saja, tidak begitu
asam airnya dan relatif subur, dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di
dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak
banyak dijumpai.
2. Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula
sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya. Pada umumnya lapisan
gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih
tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat
terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur.
Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air
yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya
coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat.
Air gambut adalah air yang mencakup daerah gambut. Karakteristik air gambut adalah
intensitas warna yang lebih tinggi (merah kuning atau kecokelatan). Semakin rendah pH
dalam kisaran 2-5, asam, dengan kandungan organik lebih tinggi dan konsentrasi rendah
partikel dan kation. Kandungan Fe, Al, Na, S dan P lebih tinggi, sedangkan kandungan
unsur mikro dalam lumut gambut adalah B, S, Zn, C, Ag, Au, Ca, Ba, Ti, V, Cu, Mn, dan
Co. (Rustanti,2009).
B. Karakteristik Air Gambut
Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun
dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut (Kusnaedi, 2010):
1. Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecokelatan),
2. pH yang rendah,
3. Kandungan zat organik yang tinggi,
4. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah,
5. Kandungan kation yang rendah.
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan
zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya.
Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau
kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai
dekomposisi yang stabil. Warna akan semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam
besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut (Nur, 2012).
Struktur gambut yang lembut dan mempunyai pori-pori menyebabkannya mudah untuk
menahan air dan air pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air gambut. Berdasarkan
sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu (Nurhasni et al., 2012):
1. Bog
Merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air hujan dan air
permukaan, karena air hujan mempunyai pH yang agak asam maka setelah bercampur
dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya cokelat karena terdapat kandungan
organik.
2. Fen
Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang biasanya
dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut tersebut memiliki pH netral dan basa.
Berdasarkan kelarutannya dalam alkali dan asam, asam humus dibagi dalam tiga fraksi
utama yaitu (Kusnaedi, 2010):
a. Asam Humat
Asam humat atau humus dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dekomposisi bahan
organik oleh organisme secara aerobik. Ciri-ciri dari asam humus ini antara lain:
1) Asam ini mempunyai berat molekul 10.000 hingga 100.000 g/mol
2) Merupakan makromolekul aromatik komplek dengan asam amino, gula amino, peptide,
serta komponen alifatik yang posisinya berada antara kelompok aromatik.
3) Merupakan bagian dari humus yang bersifat tidak larut dalam air pada kondisi pH < 2
tetapi larut pada pH yang lebih tinggi.
4) Bisa diekstraksi dari tanah dengan bermacam reagen dan tidak larut dalam larutan asam.
5) Asam humat adalah bagian yang paling mudah diekstrak di antara komponen humus
lainnya.
6) Mempunyai warna yang bervariasi mulai dari cokelat pekat sampai abu-abu pekat.
7) Humus tanah gambut mengandung lebih banyak asam humat.
8) Asam humus merupakan senyawa organik yang sangat kompleks, yang secara umum
memiliki ikatan aromatik yang panjang dan nonbiodegradable yang merupakan hasil
oksidasi dari senyawa lignin (gugus fenolik).
b. Asam Fulvat
Asam fulvat berasal dari kata fulvus yang berarti kuning, warna dari asam fulvat adalah
kuning terang hingga mendekati cokelat. Asam fulvat merupakan senyawa asam organik
alami yang berasal dari humus, larut dalam air, sering ditemukan dalam air permukaan
dengan berat molecular yang rendah yaitu antara rentang 1000 hingga 10.000. Asam ini
larut dalam air pada berbagai kondisi pH dan sangat rentan terhadap serangan mikroba.
Asam-asam fulvat mengandung atom oksigen dua kali lebih banyak dari pada asam humat,
karena banyaknya gugus karboksil (-COOH) dan hidroksil (COH) sehingga secara kimia
asam fulvat lebih reaktif dibandingkan senyawa-senyawa humus lainnya.
c. Humin
Kompleks humin dianggap sebagai molekul paling besar dari senyawa humus karena
rentang berat molekulnya mencapai 100.000 hingga 10.000.000, sedangkan sifat kimia dan
fisika humin belum banyak diketahui (Fitria, 2008). Karakteristik humin adalah berwarna
coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat resisten akan serangan mikroba,
tidak dapat diekstrak oleh asam maupun basa. Perbedaan antara asam humat, asam fulvat
dan humin bisa dijelaskan melalui variasi berat molekul, keberadaan grup fungsional
seperti karboksil dan fenolik dengan tingkat polimerisasi. Bahan organik tanah dan
tanaman berada dalam bentuk koloid. Berdasarkan kemudahan berikatan dengan air, maka
bahan organik dapat dibedakan atas hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air).
Koloid hidrofobik dapat diflokulasi, sedangan koloid hidrofilik biasanya tidak. Koloid
tanaman kebanyakan bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dikoagulasi secara
konvensional (Fitria, 2008).
C. Tahapan Proses Pengolahan
Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa air
gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum bagi masyarakat di daerah
berawa. Namun karena jumlah air gambut tersebut sangat banyak dan dominan berada di
daerah tersebut maka harus bisa menjadi alternatif sumber air minum masyarakat. Kondisi
yang kurang menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut (Cahyana, 2009):
a. Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan sakit perut.
b. Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme
dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan organik tersebut terurai secara
biologi.
c. Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor sebagai desinfektan, akan
terbentuk trihalometan seperti senyawa argonoklor yang dapat bersifat karsinogenik
(kelarutan logam dalam air semakin tinggi bila pH semakin rendah).
d. Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan kandungan logam
dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika dikonsumsi secara terus-menerus.
Berdasarkan pada pengetahuan tentang penyebab dan kandungan warna pada air
gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang dapat diterapkan
untuk mengolah air berwarna menjadi air bersih adalah dengan proses pengolahan terdiri
dari beberapa tahap yaitu: Netralisasi dengan pemberian kapur/gamping, Aerasi dengan
pemompaan udara, Koagulasi dengan pemberian tawas, Pengendapan, Penyaringan.
1. Netralisasi
Yang dimaksud dengan netralisasi adalah mengatur keasaman air agar menjadi netral
(pH 7 - 8). Untuk air yang bersifat asam misalnya air gambut (pH berkisar 2.4–4), yang
paling murah dan mudah adalah dengan pemberian kapur/gamping. Fungsi dari pemberian
kapur, disamping untuk menetralkan air baku yang bersifat asam juga untuk membantu
efektifitas proses selanjutnya.
2. Aerasi
Yang dimaksud dengan aerasi yaitu mengontakkan udara dengan air baku agar
kandungan zat besi (Fe) dan Mangan (Mn) yang ada dalam air baku bereaksi dengan
Oksigen yang ada dalam udara membentuk senyawa besi dan senyawa Mangan yang dapat
diendapkan. Disamping itu proses aerasi juga berfungsi untuk menghilangkan gas-gas
beracun yang tak diinginkan misalnya gas H2S, Methan, Carbon Dioksida dan gas-gas
racun lainnya. secara teoritis dapat dihitung bahwa untuk 1 ppm Oksigen dapat
mengoksidasi 6.98 ppm ion Fe. Reaksi oksidasi ini dapat dipengaruhi antara lain: jumlah
Oksigen yang bereaksi, dalam hal ini dipengaruhi oleh jumlah udara yang dikontakkan
dengan air serta luas kontak antara gelembung udara dengan permukaan air. Jadi makin
merata dan makin kecil gelembung udara yang dihembuskan kedalam air bakunya, maka
oksigen yang bereaksi makin besar. Faktor lain yang sangat mempengaruhi reaksi oksidasi
besi dengan Oksigen dari udara adalah derajat keasaman atau pH air. Reaksi oksidasi ini
sangat efektif pada pH air lebih besar 7 (tujuh). Oleh karena itu sebelum aerasi dilakukan,
maka pH air baku harus dinaikkan sampai mencapai pH 8. Hal ini dimaksudkan agar pH air
tidak menyimpang dari pH standard untuk air minum yaitu pH 6.5 - pH 8.5. Oksidasi
Mangan dengan Oksigen dari udara tidak seefektif untuk besi, tetapi jika kadar Mangan
tidak terlalu tinggi maka sebagaian Mangan dapat juga teroksidasi dan terendapkan.
3. Koagulasi
Koagulasi adalah proses pembubuhan bahan kimia ke dalam air agar kotoran dalam air
yang berupa padatan tersuspensi, misalnya zat warna organik, lumpur halus bakteri dan
lain-lain dapat menggumpal dan cepat mengendap. Cara yang paling mudah dan murah
adalah dengan pembubuhan tawas (alum) atau rumus kimianya Al2(SO4)3.18 H2O (berupa
kristal berwarna putih). Pengendapan kotoran dapat terjadi karena pembentukan
Alumunium Hidroksida, Al(OH)3 yang berupa partikel padat yang akan menarik partikel-
partikel kotoran sehingga menggumpal bersama-sama, menjadi besar dan berat dan segera
dapat mengendap. Cara pembubuhan tawas dapat dilakukan sebagai berikut yaitu:
a. Sejumlah tawas/ alum dilarutkan dalam air kemudian dimasukkan kedalam air
baku lalu diaduk dengan cepat hingga merata selama kurang lebih 2 menit,
b. Setelah itu kecepatan pengadukkan dikurangi sedemikian rupa agar terbentuk
gumpalan-gumpalan kotoran akibat bergabungnya kotoran tersuspensi yang ada dalam air
baku.
c. Setelah itu dibiarkan beberapa saat sehingga gumpalan kotoran atau disebut flok
tumbuh menjadi besar dan berat dan cepat mengendap.
4. Pengendapan
Setelah proses koagulasi air tersebut didiamkan sampai gumpalan kotoran yang terjadi
mengendap semua (+ 45-60 menit). Setelah kotoran mengendap air menjadi tampak lebih
jernih. Endapan yang terkumpul didasar tangki dapat dibersihkan dengan membuka kran
penguras yang terdapat di bawah tangki.
5. Penyaringan
Pada proses pengendapan, tidak semua gumpalan kotoran dapat diendapkan semua.
Butiran gumpalan kotoran dengan ukuran yang besar dan berat akan mengendap,
sedangkan yang berukuran kecil dan ringan masih melayang-layang dalam air. Untuk
mendapatkan air yang betul-betul jernih harus dilakukan proses penyaringan. Penyaringan
dilakukan dengan mengalirkan air yang telah diendapkan kotorannya ke bak penyaring
yang terdiri dari saringan pasir.
6. Peralatan
Peralatan yang digunakan terdiri dari tong, pengaduk, pompa aerasi, dan saringan dari
pasir. Kegunaan dari masing-masing peralatan adalah sebagai berikut:
a. Tong/Tangki Penampung
Tong berupa dari drum plastik dengan volume 220 liter. Drum tersebut dilengkapi
dengan dua buah kran yaitu untuk mengalirkan air ke bak penyaring dan untuk saluran
penguras. Pada dasar drum sebelah dalam diplester dengan semen sehingga berbentuk
seperti kerucut untuk memudahkan pengurasan. Selain itu dapat juga menggunakan tangki
fiber glass volume 550 liter yang dilengkapi dengan kran pengeluaran lumpur. Tong atau
tangki penampung dapat juga dibuat dari bahan yang lain misalnya dari tong bekas minyak
volume 200 liter atau dari bahan gerabah. Fungsi dari drum adalah untuk menampung air
baku, untuk proses aerasi atau penghembusan dengan udara, untuk proses koagulasi dan
flokulasi serta untuk pengendapan.
b.Pompa Aerasi
Pompa aerasi terdiri dari pompa tekan (pompa sepeda) dengan penampang 5 cm, tinggi
tabung 50 cm. Jika ada pompa yang lebih modern dan otomatis lebih baik. Fungsi pompa
adalah untuk menghembuskan udara kedalam air baku agar zat besi atau mangan yang
terlarut dalam air baku bereaksi dengan Oksigen yang ada dalam udara membentuk oksida
besi atau oksida mangan yang dapat diendapkan. Pompa tersebut dihubungkan dengan pipa
aerator untuk menyebarkan udara yang dihembuskan oleh pompa ke dalam air baku. Pipa
aerator terbuat dari selang plastik dengan penampang 0.8 cm, yang dibentuk seperti spiral
dan permukaannya dibuat berlubang-lubang, jarak tiap lubang + 2 cm.
c. Bak Penyaring
Bak Penyaring terdiri dari bak plastik berbentuk kotak dengan tinggi 40 cm dan luas
penampang 25x25 cm2 serta dilengkapi dengan sebuah keran disebelah bawah. Untuk
media penyaring digunakan pasir, kerikil, arang dan ijuk. Susunan media penyaring media
penyaring dari yang paling dasar keatas adalah sebagai berikut:
Lapisan 1: kerikil atau koral dengan diameter 1-3 cm, tebal 5 cm.
Lapisan 2: ijuk dengan ketebalan 5 cm.
Lapisan 3: arang kayu, ketebalan 5-10 cm.
Lapisan 4: kerikil kecil diameter + 5 mm, ketebalan + 5 cm.
Lapisan 5: pasirsilika, diameter + 0,5 mm, ketebalan 10-15 cm.
Lapisan 6: kerikil, diameter 3 cm, tebal 3-6 cm.
Diantara Lapisan 4 dan 5, dan Lapisan 5 dan 6, dapat diberi spons atau kasa plastik
untuk memudahkan pada waktu melakukan pencucian saringan.
7. Bahan Kimia
Bahan kimia yang diperlukan antara lain: tawas, kapur tohor dan kaporit bubuk.
8. Cara Pembuatan
a. Masukkan air baku kedalam tangki penampung sampai hampir penuh (550 liter).
b. Larutkan 60-80 gram bubuk kapur / gamping (4-6 sendok makan) ke dalam ember kecil
yang berisi air baku, kemudian masukkan ke dalam tangki dan aduk sampai merata.
c. Masukkan slang aerasi ke dalam tangki sampai ke dasarnya dan lakukan pemompaan
sebanyak 50-100 kali. setelah itu angkat kembali slang aerasi.
d. Larutkan 60-80 gram bubuk tawas (4-6 sendok makan) ke dalam ember kecil, lalu
masukkan ke dalam air baku yang telah diaerasi. Aduk secara cepat dengan arah yang
putaran yang sama selama 1-2 menit. Setelah itu pengaduk diangkat dan biarkan air dalam
tangki berputar sampai berhenti dengan sendirinya dan biarkan selama 45-60 menit.
e. Buka kran penguras untuk mengelurakan endapan kotoran yang terjadi, kemudian tutup
kembali.
f. Buka kran pengeluaran dan alirkan ke bak penyaring. Buka kran saringan dan usahakan
air dalam saringan tidak meluap.
g. Tampung air olahan (air bersih) dan simpan ditempat yang bersih.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gambut merupakan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang
setengah membusuk sehingga kandungan bahan organiknya tinggi. Air gambut adalah air
permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah terutama di
Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri berwarna merah kecokelatan, pH yang
rendah, Kandungan zat organik yang tinggi, Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi
yang rendah, Kandungan kation yang rendah.
Proses pengolahan air gambut antara lain netralisasi,aerasi, koagulasi, pengendapan,
dan penyaringan. Kemudian menyiapkan peralatan, bahan kimia dan selanjutnya
memproses air gambut dengan alat penjernih.

B. Saran
Menampung air olahan (air bersih) dan simpan ditempat yang bersih. Jika digunakan
untuk minum sebaiknya dimasak terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
Sudjono Priana.dkk. 2012,Penelitian masalah lingkungan di Indonesia,ISSN No.2088-4818

Tim IPEHIJAU, 2016, Buku Manual Air Gambut & Pengolahannya, Jakarta
KUMPULAN MAKALAH
Sumber : http://dunia-kesmas.blogspot.co.id/2017/12/makalah-pengolahan-air-gambut-
menjadi.html

Gambut

, lahan bergambut di Transilvania


Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang
setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi[1]. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan
lahan-lahan bergambut di berb
agai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire,
dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut
di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar
kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi
energi kira-kira 8 miliar terajoule[2].

Agihan geografis
Deposit gambut tersebar di banyak tempat di dunia, terutama di Rusia, Belarusia, Ukraina,
Irlandia, Finlandia, Estonia, Skotlandia, Polandia, Jerman utara, Belanda, Skandinavia, dan
di Amerika Utara, khususnya di Kanada, Michigan, Minnesota, Everglades di Florida, dan
di delta Sungai Sacramento-San Joaquin di Kalifornia. Kandungan gambut di belahan bumi
selatan lebih sedikit, karena memang lahannya lebih sempit; namun gambut dapat dijumpai
di Selandia Baru, Kerguelen, Patagonia selatan/Tierra del Fuego dan Kepulauan Falkland.
Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut; dan sekitar 7% dari lahan-lahan gambut
itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Manakala
kondisinya sesuai, gambut dapat berubah menjadi sejenis batubara setelah melewati
periode waktu geologis.

Pembentukan gambut

Pemanenan tanah gambut di Frisia Timur, Jerman


Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya,
biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di
perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari
serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang
belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen
bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut
terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah
melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai
kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan
bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.[1]
Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama
bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk
pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian
akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan
yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut
sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis
terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para
ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara.
Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir,
sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan
laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak
kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.[3]

Gambut sebagai sumber energi


Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut
bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar
sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana pohon langka
seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan
pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan dipakai
untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar ada di
Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]

[sunting] Gambut di Indonesia

Luas lahan gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta hektare atau kira-
kira seperempat luas lahan gambut di seluruh daerah tropika. Menurut kondisi dan sifat-
sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.[1]
Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang
terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di
pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak
begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah
mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen
relatif tidak banyak dijumpai.[1]
Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai
gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya
lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada
permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya
bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau
drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya
tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman
seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga
sungai air hitam.[1]
Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini
kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering;
kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit dihuni
oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di
atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa gambut mulai terbentuk di atas
lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu[5]; pada awalnya dengan laju penimbunan
sekitar 0,475 m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), namun kemudian menyusut
hingga sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m[6] Agaknya semakin tua hutan di
atas tanah gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya ketersediaan
hara.
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dibangun di atas lahan gambut ombrogen.

Rujukan
1. ^ a b c d e Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, A.J.Whitten. 1984. Ekologi
Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Jogyakarta. Hal 245-251
2. ^ World Energy Council (2007). "Survey of Energy Resources 2007" (pdf).
http://www.worldenergy.org/documents/ser2007_executive_summary.pdf. Diakses
pada 11 Agustus 2008.
3. ^ International Mire Conservation Group (2007-01-03). "Peat should not be
treated as a renewable energy source" (pdf).
http://www.imcg.net/docum/peatrenewable.pdf. Diakses pada 12 Februari 2007.
4. ^ http://www.industcards.com/st-other-finland.htm
5. ^ Wilford, G.E. 1960. Radiocarbon age determinations of Quaternary
sediments in Brunei and north east Sarawak. British North Borneo Geol. Survey
Ann. Rep.
6. ^ Anderson, J.A.R. 1964. The structure and development of peat-swamps of
Sarawak and Brunei. J. Trop. Geog. 18:7–16.

Sumber : http://ardisyah.blogspot.co.id/2012/04/karakteristik-air-gambut.html

Anda mungkin juga menyukai