Anda di halaman 1dari 11

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Konsep Asupan Cairan (Air Putih)
a. Pengertian Asupan Cairan (Air Putih)
Cairan (Air putih) merupakan pilihan yang cocok untuk mengisi
volume lambung karena derajat fluiditas kimus di lambung
mempengaruhi pengosongan lambung. Selain itu air putih sudah
berbentuk cair merata tanpa harus dicerna lagi sebelum disalurkan ke
duodenum. (Sherwood dalam Yasmara, 2013). Air secara kimiawi
tidak mempengaruhi sekresi hormon oleh kelenjar endokrin di saluran
pencernaan (Corvin dalam Yasmara, 2013).
Terapi cairan adalah sistem penyembuhan alami, menggunakan
kebutuhan tubuh terhadap air, dan respons tubuh secara fisiologis
terhadap air untuk mencegah, mengoreksi dan meningkatkan rentang
sehat manusia (Yasmara, 2013).
b. Asupan Cairan (Air Putih)
Dengan minum 500 ml air putih Lower Maximum Volume
(LMV) yaitu volume minimal yang dimasukkan ke dalam lambung
yang mampu menyebabkan gerakan peristaltik pada lambung (Lunding
et al., 2011), maka rangsangan dari regangan lambung ini melalui saraf
otonom ekstrinsik menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon
melalui refleks gastrokolik. Refleks gastrokolik mampu menstimulasi
otot polos kolon sehingga meningkatkan motilitas kolon dan mencegah
terjadinya konstipasi (Bassotti & Villanaci dalam Yasmara, 2013).
Prosedur intervensi penelitian adalah pemberian minum air
putih segera setelah bangun pagi sebanyak 500 ml yang dihabiskan
dalam waktu 20 menit. Dan tidak makan ataupun minum selama 45
menit sebelum dan sesudah pemberian (Yasmara, 2013).
c. Penilaian Asupan Cairan (Air Putih)
Data asupan cairan diperoleh dengan menggunakan formulir
catatan minum selama 3 hari (3D-fluid diary). Data konsumsi cairan
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kurang (< 65% AKG) dan
10

cukup (≥ 65% AKG) menurut Hardinsyah, et al. dalam Muawanah


(2016).
2. Konsep Aktifitas Fisik Pada Ibu Post Partum
a. Definisi
Aktifitas fisik pada ibu post partum adalah kebijaksaan untuk
selekas mungkin pasien melakukan gerakan di tempat tidur dan keluar
dari tempat tidurnya untuk berjalan. Menurut penelitian, Aktifitas fisik
yang dilakukan secara dini tidak mempunyai pengaruh yang buruk,
tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal, tidak memengaruhi
penyembuhan luka episiotomy, dan tidak memperbesar kemungkinan
terjadinya prolaps uteri atau retrofleksi. Aktifitas fisik dini tidak
dibenarkan pada pasien dengan penyakit anemia, jantung, paru-paru,
demam, dan keadaan lain yang masih membutuhkan istirahat.
Sebagian besar pasien dapat melakukan ambulasi segera
setelah persalinan usai. Aktifitas tersebut amat berguna bagi semua
sistem tubuh, terutama fungsi usus, kandung kemih, sirkulasi dan paru-
paru. Hal tersebut juga membantu mencegah trombosis pada pembuluh
tungkai dan membantu kemajuan ibu dari ketergantungan peran sakit
menjadi sehat. Aktivitas dapat dilakukan secara bertahap, memberikan
jarak antara aktivitas dan istirahat.
Ibu yang tidak mengalami komplikasi dalam persalinan hampir
semua, selalu bangkit segera untuk pergi ke toilet dan mandi. Mereka
mungkin membutuhkan seseorang untuk membantu, pada tahap awal
ini dimana beberapa perempuan mengeluh pusing atau pandangan kabur
ketika mereka pertama bangun setelah persalinan.
b. Keuntungan dilakukan aktifitas fisik secara dini
Menurut FK UNPAD (2008), manfaat dan keuntungan mobilisasi dini
adalah :
1) Penderita merasa lebih sehat dan lebih kuat dengan
early ambulation.
2) Faal usus dan kandung kencing lebih baik.
3) Early ambulation memungkinkan kita mengajar ibu
memelihara anaknya : memandikan, mengganti pakaian, memberi
makanan, dan lain-lain selama ibu masih di RS.
11

4) Lebih sesuai dengan keadaan Indonesia (sosial


ekonomis)
Menurut Manuaba (2010), perawatan puerperium lebih aktif dengan
dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik secarta dini :
1) Melancarkan pengeluaran lokea, mengurangi infeksi puerperium.
2) Mempercepat involusi alat kandungan.
3) Melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan.
4) Meningkatkan kelancaran peredaran darah, sehingga mempercepat
fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme
Meskipun aktivitas secara dini banyak membawa keuntungan, tetapi
tidak dinasihatkan bagi penderita yang telah mengalami partus lama,
penderita dengan suhu badan tinggi, toxemea, atau bagi penderita
dengan penyulit. (Ibrahim, 2008). Penambahan kegiatan dengan early
ambulation harus berangsur-angsur, jadi bukan maksudnya ibu segera
setelah bangun dibenarkan mencuci, memasak, dan sebagainya (Saleha,
2009).
c. Kegaiatan aktivitas fisik pada ibu post partum
1) Belajar miring kiri dan miring kanan
2) Belajar duduk di tempat tidur
3) Belajar turun dari tempat tidur
4) Belajar berjalan

3. Konsep Konstipasi
a. Pengertian Konstipasi
Konstipasi diartikan sebagai perubahan frekuensi defekasi,
volume, dan konsistensi feses. Konstipasi bukan penyakit, melainkan
gejala penurunan frekuensi defekasi (>3 hari sekali atau <2 kali
seminggu) yang diikuti dengan pengeluaran feces yang lama dengan
konsistensi keras dan kering (Yasmara, 2013).
Konstipasi adalah pergerakan feses yang lambat melewati usus
besar dihubungkan dengan banyaknya jumlah feses yang kering dan
keras yang terkumpul pada colon descenden yang disebabkan oleh
absorbsi cairan yang berlebihan (Guyton dan Hall ddalam Muawanah,
2016).
12

b. Gejala Konstipasi
Konstipasi postpartum dengan gejala seperti rasa sakit atau rasa
ketidaknyamanan, tegang, dan feses keras adalah kondisi umum yang
mempengaruhi kejadian hemoroid dan nyeri di daerah episiotomi
(Muawanah, 2016).
c. Epidemiologi Konstipasi
Konstipasi mempengaruhi sekitar 20-25% dari populasi, dapat
terjadi pada semua umur dan didominasi oleh perempuan dengan rasio
kejadian antara perempuan dan laki-laki sebesar 2:1 (Kassolik, et al.,
dalam Muawanah, 2016).

d. Etiologi Konstipasi
Penyebab utama terjadinya konstipasi adalah kurangnya
aktivitas fisik, konsumsi makanan berserat dan asupan cairan (Arnaud
dalam Yasmara, 2013).
Perry Potter (2006) menyebutkan bahwa penyebab umum
frekuensi buang air besar abnormal antara lain kebiasaan defekasi yang
tidak teratur, klien yang mengkonsumsi diit rendah serat, tirah baring
yang panjang, atau kurangnya olahraga, pemakaian laksantif atau obat-
obatan, kelaianan saluran GI, kondisi neurologis yang menghambat
syaraf ke kolon serta penyakit organik (Kusumaningrum, 2015).
Kejadian konstipasi sering berkaitan dengan kurangnya asupan
serat dan asupan cairan (Muawanah, 2016).
1) Aktivitas Fisik
Gerak tubuh yang kurang, baik disengaja maupun tidak disengaja
menyebabkan penurunan peristaltic usus sebagai pemicu terjadinya
konstipasi (Harrington dan Haskvitz dalam Yasmara, 2013).
2) Penurunan Motilitas Kolon
Konstipasi terjadi akibat penurunan motilitas kolon
sehingga memperpanjang waktu transit feses di kolon dan
berakibat kandungan air tetap terus diabsorpsi dari massa feses
13

sehingga feses menjadi kering, keras dan sukar dikeluarkan dalam


proses defekasi (Gutzwiller; Price & Wilson dalam Yasmara,
2013).
Studi yang dilakukan oleh Bassotti dan Villanacci dalam
Yasmara (2013:), kejadian konstipasi diakibatkan oleh kurang atau
tidak adanya kontraksi propagasi dengan amplitudo besar High
Amplitudo Propagated Contraction (HAPCs) di kolon. Kontraksi
ini akan memperpendek waktu feses transit di kolon sehingga
penyerapan air berkurang dan tidak terjadi konstipasi. Kontraksi
propagasi ini timbul pada orang normal setelah makan.
3) Tonus Otot Usus Menurun
Keadaan konstipasi disebabkan tonus otot usus menurun
selama proses persalinan dan pada masa awal pascapartum, diare
sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang makan
atau dehidrasi (Bobak dalam Kusumaningrum, 2015).
4) Kurangnya Makan Berserat Selama Persalinan
Asupan serat adalah jumlah makanan (serat) yang
dikonsumsi oleh responden berdasarkan food recall 3 × 24 jam
(Muawanah, 2016).
Konstipasi mungkin terjadi pada masa nifas awal karena
kurangnya makan berserat selama persalinan dan karena ibu nifas
menahan defekasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan
fisiologis pada otot-otot tubuh dan gerakan peristaltik pada usus.
Ibu nifas yang mempunyai luka laserasi biasanya akan menahan
defekasi karena rasa takut akan rasa nyeri di daeral laserasi (Helen
varney dalam Ismanto, 2012)
Menurut Uliyah dan Ahmad dalam Muawanah (2016),
makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu
proses percepatan defekasi namun jumlah serat dan jenis serat juga
sangat berperan. Serat dapat mencegah dan mengurangi konstipasi
karena dapat menyerap air ketika melewati saluran pencernaan
14

sehingga meningkatkan ukuran feses, namun jika asupan air


kurang, serat akan menyebabkan konstipasi dan menyebabkan
gangguan pada usus besar.
Menurut anjuran makanan 1 hari yang dikeluarkan Depkes
RI, ibu menyusui membutuhkan satu mangkok nasi (200 g), 2 ikan
(50 g), 5 tempe (25 g), 3 mangkok sayur (100 g), 2 iris buah
pepaya (100 g), ibu nifas juga membutuhkan susu. Klien yang
mengkonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani seperti
daging, produk susu, telur dan karbohidrat murni, sering
mengalami konstipasi dengan frekuensi buang air besar abnormal
karena dapat memperlambat peristaltic (Kusumaningrum, 2015).
5) Pantang Makan
Adanya pantang makan berserat mempunyai bagian besar
dalam kejadian konstipasi pada ibu nifas. Massa feses sangat
ditentukan asupan serat. Diet mengandung serat dalam jumlah
besar akan menghasilkan feses yang lunak dan cepat melalui usus.
Sebaliknya diet rendah serat menghasilkan feses kecil dan
melewati usus perlahan (Hesty dalam Kusumaningrum, 2015).
6) Kurangnya Asupan Cairan
Asupan cairan adalah rerata jumlah cairan yang diminum
oleh responden berdasarkan catatan minum selama 3 hari (3D-fl
uid diary). Konsumsi air putih kepada kelompok wanita usia 25–42
tahun sebesar > 2 liter per hari (Muawanah, 2016).
Kebutuhan asupan cairan berkisar antara 1200-1500 cc/hari.
Atau minimal 8 gelas/hari. Kebutuhan nutrisi ibu nifas harus
terpenuhi secara optimal dengan menghindari pantangan makanan,
diit yang salah, memperhatikan kandungan gizi yang seimbang
(Nanny, Vivian, dkk, dalam Kusumaningrum, 2015).
7) Penurunan Peristaltik
Studi terkini menemukan penyebab konstipasi bukanlah
hanya semata-mata diet kurang serat tapi lebih kepada menurunnya
15

peristaltik, bahkan gerak tubuh yang kurang, baik disengaja


maupun tidak disengaja menyebabkan penurunan peristaltik usus
sebagai pemicu terjadinya konstipasi (Harrington & Haskvitz,
dalam Yasmara, 2013:77).
8) Faktor Lain-lain
Hal yang menyebabkan tertundanya defekasi juga dapat
menimbulkan konstipasi seperti mengabaikan keinginan buang air
besar, berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi atau stres,
obstruksi karena tumor lokal atau spasme kolon, gangguan refleks
defekasi, misalnya cedera jalur saraf terlibat (Yasmara, 2013).
Usia juga bisa berpengaruh terhadap konstipasi. Menurut
pendapat Notoatmodjo (2010) usia berpengaruh terhadap daya
tangkap dan kematangan pola pikir seseorang, semakin
bertambahnya usia akan semakin berkembang pula daya tangkap,
kematangan pola pikir serta pengetahuan yang diperoleh dari
pengalamannya sendiri sehingga pengetahuan yang diperoleh
semakin bertambah. Umur 20–35 tahun yaitu umur reproduksi
sehat dan tergolong risiko rendah terjadinya komplikasi dalam
kehamilan maupun persalinan (Gunawan dalam Muawanah, 2016).
Pendidikan juga berpengaruh terhadap kejadian konstipasi.
Menurut pendapat Notoatmodjo (2010) tingkat pendidikan turut
pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya
semakin tinggi pendidikan semakin baik pula pengetahuannya.
Semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan, keterampilan dan
peran positif akan meningkat pula, begitu juga sebaliknya.
Pekerjaan jugat berpengaruh terhadap konstipasi pada ibu
pospartum. Menurut Notoatmodjo S (2010) seseorang yang bekerja
akan lebih luas wawasannya dari pada seseorang yang tidak
bekerja karena dengan bekerja seseorang akan banyak mempunyai
informasi dan pengalaman mengenai kejadian konstipasi. Selain itu
16

ibu yang tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga akan
mempunyai sedikit informasi tentang kejadian konstipasi.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap konstipasi pada ibu
postpartum adalah paritas. Paritas dan kejadian konstipasi sangat
berhubungan dengan pengalaman menurut Notoatmojo S (2010).
Pengalaman juga merupakan sumber atau suatu cara untuk
memperoleh kebenaran. Dimana seorang ibu yang pertama kali
melahirkan memiliki pengalaman yang kurang. Oleh sebab itu
pengalaman pun dapat digunakan sebagai upaya untuk
memperoleh pengetahuan.
e. Patofisiologi Konstipasi pada Ibu Postpartum
Konstipasi mungkin terjadi pada masa nifas awal karena
kurangnya makan berserat selama persalinan dan karena ibu nifas
menahan defekasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan
fisiologis pada otot-otot tubuh dan gerakan peristaltik pada usus.
Adanya pantang makan makanan berserat juga mempunyai bagian
besar dalam kejadian konstipasi pada ibu nifas. Massa feses sangat
ditentukan oleh asupan serat. Diet mengandung serat dalam jumlah
besar akan menghasilkan feses yang lunak dan akan cepat melalui
usus. Sebaliknya diet rendah serat menghasilkan feses kecil dan
melewati usus perlahan (Sulistyawati dalam Kusumaningrum, 2015).
f. Penilaian Konstipasi
Data gejala konstipasi menggunakan kuesioner meliputi
frekuensi defekasi, keluhan mengejan, dan tipe feses berdasarkan The
Bristole Stool Form Scale (Purwaka, et al., 2014). Konstipasi
ditegakkan selama 7 hari yaitu ditemukan 2 keluhan antara lain
frekuensi defekasi kurang dari 3 kali/minggu, adanya keluhan
mengejan, dan feses yang termasuk kategori tipe 1,2,3 pada Bristole
Stool Form Scale (Muawanah, 2016).
4. Pengaruh Asupan Cairan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Penurunan
Konstipasi
17

Penyebab utama terjadinya konstipasi adalah kurangnya aktivitas fi


sik, konsumsi makanan berserat dan asupan cairan (Arnaud, 2003).
Asupan cairan adalah rerata jumlah cairan yang diminum oleh responden
berdasarkan catatan minum selama 3 hari (3D-fl uid diary). Konsumsi air
putih kepada kelompok wanita usia 25–42 tahun sebesar > 2 liter per hari
(Muawanah, 2016). Kebutuhan asupan cairan berkisar antara 1200-1500
cc/hari. Atau minimal 8 gelas/hari. Kebutuhan nutrisi ibu nifas harus
terpenuhi secara optimal dengan menghindari pantangan makanan, diit
yang salah, memperhatikan kandungan gizi yang seimbang (Nanny,
Vivian, dkk, dalam Kusumaningrum, 2015). Gerak tubuh yang kurang,
baik disengaja maupun tidak disengaja menyebabkan penurunan peristaltic
usus sebagai pemicu terjadinya konstipasi (Yasmara, 2013). Hasil
penelitian sebelumnya olah Yasmara (2015) menunjukkan terdapat
pengaruh yang signifikan minum air putih 500 ml di pagi hari terhadap
kejadian konstipasi pada pasien dengan imobilisasi akibat gangguan sistem
muskuloskeletal dengannilai p=0,002 (p<0,05).
Mekanisme asupan cairan bisa menurunkan konstipasi adalah
dengan minum 500 ml air putih (LMV) yaitu volume minimal yang
dimasukkan ke dalam lambung yang mampu menyebabkan gerakan
peristaltik pada lambung (Lunding dalam Yasmara, 2013), maka
rangsangan dari regangan lambung ini melalui saraf otonom ekstrinsik
menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon melalui refleks gastrokolik.
Refleks gastrokolik mampu menstimulasi otot polos kolon sehingga
meningkatkan motilitas kolon dan mencegah terjadinya konstipasi
(Bassotti dan Villanaci dalam Yasmara, 2013).
Sedangkan Penurunan aktivitas fisik dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan
melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi
reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik juga
membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang
baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis dan diafragma sangat penting
bagi defekasi (Asmadi, 2008). Jika konstipasi dibiarkan berlarut-larut bisa
18

menimbulkan kanker kolon, resiko terjadi wasir/ambient (hemorrhoid),


volvulus daerah sigmoid, haemorrhoid, kanker kolon, dan penyakit
divertikular (Darmojo & Martono, 2008).
Dampak dari susah buang air besar yaitu perut kembung, penuh,
sakit pada bagian bawah, nafsu makan berkurang. Tubuh tidak fit,lesu,
mudah lelah, sering mengantuk dan berkeringat dingin. Resiko terjadi
wasir atau ambient hemorrhoid. Pernafasan sesak karena volume perut
untuk bernafas kurang.Resiko usus besar, terjadinya kanker usus, akibat
dari toksin (racun) yang terlalu lama mengendap di bagian lambung.
Dampak Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita
berkunjung ke dokter setiap tiap tahunnya (Kusumaningrum, 2015).

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah suatu hubungan antara
konsep-konsep atau variabel yang akan diamati ( diukur) melalui penelitian
yang akan dimaksud (Alimul A, 2007). Berdasarkan tujuan yang telah
dipaparkan, kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Faktort yang mempengaruhi Faktort yang mempengaruhi


asupan cairan: aktivitas fisik:
1. Usia 1. Gaya hidup
2. Temperatur lingkungan 2. fisik
Proses penyakit Faktor Penyebab :
Asupan cairan Mekanisme Aktivitas
: Konstipasi :
Ibu postpartum 3. Diet 3. Usia,stres 1. Kurangnya aktivitas fisik,
4. Stres Aktivitas fisik juga 2. Asupan cairan
4. kebudayaan 1. Terjadi
5. Sakit membantu seseorang untuk 3. Konsumsi makanan berserat
1. 2. Tidak
Kurangnya terjadi
aktivitas
4. Kebiasaan defekasi fisiktidak teratur,
yang
Mekanisme : mempertahankan tonus otot. 2. Asupan cairan
5. Tirah baring yang panjang,
Minum air putih 500 ml Tonus otot yang baik dari 6. Pemakaian laksantif atau obat-obatan,
pagi hari, lambung akan otot-otot abdominal, otot 7. Kelaianan saluran gi,
mempersepsikan sebagai pelvis dan diafragma sangat 8. Kondisi neurologis yang menghambat
Lower Maximum Volume syaraf ke kolon
penting bagi defekasi
(LMV) dan akan 9. Penyakit organik
(Asmadi, 2008). Sedangkan 10. Penurunan motilitas kolon
menstimulasi barostat
Penurunan aktivitas fisik 11. Tonus otot usus menurun
lambung untuk melakukan 12. Pantang makan
kontraksi (Lunding et al. dapat mengakibatkan
13. Penurunan peristaltic
dalam Yasmara, 2013:79). terjadinya penurunan gerak 14. Mengabaikan keinginan untuk buang air
Peregangan lambung peristaltik dan dapat besar,
memicu peningkatan menyebabkan melambatnya 15. Berkurangnya motilitas kolon karena
motilitas lambung, maka usia,
feses menuju rectum dalam
derajat fluiditas air putih 16. Emosi atau stres, \Obstruksi karena
waktu lama dan terjadi tumor lokal atau spasme kolon,
(Sherwood dalam Yasmara,
reabsorpsi cairan feses 17. Gangguan refleks defekasi, misalnya
2013).
karena cedera jalur saraf yang terlibat
sehingga feses mengeras.
19

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Analisis Asupan Cairan Dan Aktivitas Fisik
Terhadap Kejadian Konstipasi Pada Ibu Post Partum Di Wilayah
Kerja Puskesmas Balowerti Kota Kediri

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah: jawaban sementara dari masalah penelitian
(Nursalam, 2013). Hipotesa penelitian ini adalah : ada pengaruh asupan cairan
dan aktivitas fisik terhadap kejadian konstipasi pada ibu postpartum di
Puskesmas Balowerti Kota Kediri.

Anda mungkin juga menyukai