Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

VERIFIKASI ALAT HPLC (High Peformance Liquid


Chromatography) DENGAN STANDAR GLIFOSAT DAN
PARAQUAT UNTUK ANALISIS RESIDU PESTISIDA

Disusun Oleh :
Mudliatul Husna
24030115130125

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Judul : Verifikasi Alat HPLC (High Performance Liquid


Chromatography) dengan Standar Glifosat dan
Paraquat untuk Analisis Residu Pestisida

Nama : Mudliatul Husna

NIM : 24030115130125

Perusahaan/Instansi : Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


(BALINGTAN) Jaken, Pati, Jawa Tengah

Lokasi Perusahaan/Instansi :

Durasi PKL : 1 Bulan ( 8 Januari – 9 Februari )

Telah diseminarkan :

Semarang, 7 Februari 2018

Mengetahui Menyetujui

Koordinator PKL Dosen Pembimbing

(Dra. Sriyanti, M. Si) (Dra. Nies Suci M.,MS)


NIP. 196902051994032002 NIP. 19570518198602200
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Judul : Verifikasi Alat HPLC (High Performance Liquid


Chromatography) dengan Standar Glifosat dan
Paraquat untuk Analisis Residu Pestisida

Nama : Mudliatul Husna

NIM : 24030115130125

Perusahaan/Instansi : Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


(BALINGTAN) Jaken, Pati, Jawa Tengah

Lokasi Perusahaan/Instansi :

Durasi PKL : 1 Bulan ( 8 Januari – 9 Februari )

Telah diseminarkan :

Semarang, 7 Februari 2018

Mengetahui Menyetujui

Koordinator PKL Dosen Pembimbing

(Dra. Sriyanti, M. Si) (Dra. Nies Suci M.,MS)


NIP. 196902051994032002 NIP. 195705181986022001
SURAT KETERANGAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan Praktek Kerja Lapangan dengan judul “
VERIFIKASI ALAT HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
DENGAN STANDAR GLIFOSAT DAN PARAQUAT UNTUK ANALISIS
RESIDU PESTISIDA”

Laporan Praktek Kerja Lapangan ini ditulis sebagai bukti bahwa penulis telah
menempuh mata kuliah Praktek Kerja Lapangan yang wajib dilaksanakan bagi
mahasiswa Departemen Kimia Fakultas Sains dan Matematika. Praktek Kerja
Lapangan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dan
menerapkan ilmu pengetahuan secara teoritis yang didapat dibangku perkuliahan
dengan praktek secara nyata di lapangan.

Praktek Kerja Lapangan ini terlaksana berkat bimbingan, arahan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui Laporan Praktek Kerja Lapangan ini
penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Ibu Prof.Dr. Widowati,M.Si selaku Dekan Fakultas Sains Dan Matematika


Universitas Diponegoro
2. Ibu Dwi Hudiyanti, M.Sc., selaku Kepala Departemen Kimia Fakultas Sains
dan Matematika Universitas Diponegoro yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan ini
3. Ibu Sriyanti, S.Si, M.Si., selaku Koordinator Praktek Kerja Lapangan yang
telah memberikan izin dan pengarahan sebelum dilaksanakannya Praktek
Kerja Lapangan
4. Ibu Dra. Nies Suci M, MS., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam pelaksanaan Praktek Kerja
Lapangan dan penyusunan laporan ini
5. Bapak Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si., selaku Kepala Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian (Balingtan) Pati, Jawa Tengah
6. Bapak Asep Kurnia, SP. M.Eng., selaku Pembimbing Lapangan di Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Pati, Jawa Tengah
7. Para analis di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Pati yang
telah membantu, membimbing dan mengarahkan selama pelaksanaan
Praktek Kerja Lapangan.
8. Kedua orang tua yang selalu menasehati dan memberikan saran sekaligus
motivasi selama pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan di Balingtan
9. Teman-teman satu kelompok PKL di Balingtan yang telah mendukung dan
bekerja sama selama pelaksanaan PKL
10. Teman-teman Kimia angkatan 2015 yang telah memberikan dukungan dan
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Praktek
Kerja Lapangan ini.

Dalam penyusunan dan penulisan laporan Praktek Kerja Lapangan ini penulis
menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun guna penyempurnaan
laporan PKL ini. Harapannya, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Pati, 7 Februari 2018


Penulis

Mudliatul Husna
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah
mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus
sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat
yang baik bagi akar untuk bernapas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup
berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan
untuk hidup dan bergerak (Jenny, 1953). Pencemaran tanah dapat terjadi akibat
masuknya benda asing misalnya senyawa kimia buatan manusia ke tanah dan
mengubah suasana/lingkungan asli tanah sehingga menyebabkan penurunan
kualitas tanah.
Pestisida telah digunakan secara luas untuk mencegah dan memberantas
hama selama penanaman dan perawatan setelah pemanenan pada komoditas
pertanian dan perkebunan. Di Indonesia, terjadi peningkatan penggunaan pestisida
yaitu pada tahun 2006 tercatat sebanyak 1.557 formulasi pestisida yang terdaftar
meningkat menjadi 2.628 pada tahun 2010. Padahal, penggunaan pestisida dapat
meninggalkan residu yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan,
menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, dan menghambat perdagangan
(Chen et al., 2011; Departemen Pertanian, 2011). Pestisida digunakan berkali-kali
selama waktu pertumbuhan dan kadang tetap digunakan pada saat menjelang panen
untuk meningkatkan hasil panen dan meningkatkan kualitas (Rhandawa et al.,
2006). Penggunaan pestisida yang berlebihan menjadi sumber pencemaran pada
bahan pangan, air dan lingkungan hidup. Akibatnya residu yang ditinggalkan secara
langsung maupun tidak langsung mengganggu kualitas tanah, air bahkan sampai ke
tubuh manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan terhadap penggunaan
pestisida melalui pemenuhan nilai BMR (Batas Maksimum Residu) sehingga dapat
menjamin keamanan pangan dengan cara membatasi kadar residu pestisida pada
komoditas pangan.
Pestisida jenis organofosfat adalah senyawa yang toksik karena
mempengaruhi sistem saraf dengan cara mengacaukan kerja enzim yang meregulasi
asetilkolin, yaitu suatu neurotransmitter yang diperlukan agar saraf kita dapat
bekerja secara normal. Pada umumnya pestisida organofosfat termasuk dalam
insektisida. Pestisida ini tidak persisten baik di lingkungan maupun dalam makhluk
hidup, termasuk pada tanaman. Didalam tubuh organofosfat berikatan dengan
enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang menyebabkan penumpukan asetilkolin
pada syaraf (Achmadi, 2008 dan Sartono, 2002). Asetilkolin yang tertimbun dalam
susunan syaraf pusat akan mengakibatkan tremor,inkoordinasi, kejang, dan lain-
lain. Dalam system syaraf autonom akumulasi ini menyebabkan diare, urinisasi
tanpa sadar, bronkokonstriksi dan miosis. Profenofos merupakan salah satu jenis
insektisida organofosfat dengan batas maksimum residu sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia yaitu 2 mg/kg. Profenofos dilaporkan dapat menyebabkan
kerusakan genetic pada kultur limfosit darah perifer manusia, menginduksi kelainan
kromosom dalam sel somatic pada mencit jantan dan memberikan efek genotoksik
dan histopatologik pada tikus (Fatma et al., 2007). Akibatnya, untuk memperoleh
kadar pestisida yang efektif diperlukan penyemprotan dengan frekuensi yang
meningkat.
QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) adalah salah
satu pengembangan teknik ekstraksi yang sesuai untuk preparasi sampel
multiresidu. Teknik ini memiliki keunggulan kemudahan dan kecepatan karena
berupa kit, sesuai untuk issue “green laboratories” karena tidak memerlukan pelarut
organik banyak, dan dapat digunakan untuk semua jenis pestisida yang lazim
digunakan dalam pertanian. Jika telah diperoleh metode preparasi sampel yang
optimal maka harus dilakukan validasi metode analisis sebelum dapat digunakan
dalam analisis rutin di laboratorium.
Sedangkan untuk mencapai kadar yang sangat kecil tersebut digunakan
metode kromatografi seperti High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
atau Gas-Chromatography (GC). Metode GC lebih disukai dalam analisis pestisida
karena mampu mencapai sensitivitas tinggi selain HPLC. GC juga dilengkapi
dengan detektor yang sangat selektif seperti MS (Mass Spectrometry)
(Skoog,1997). Disamping itu GC tidak memerlukan sistem pelarut mahal
dibandingkan HPLC.
Melihat fakta di atas maka urgensi/keutamaan penelitian ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan terhadap tersedianya metode analisis cemaran multi-residu
pestisida dalam bahan pangan yang mudah dan cepat yang siap pakai. Pada
penelitian ini akan dilakukan pengembangan metode analisis multi-residu pestisida
pada sampel tanah dengan menggunakan metode QuEChERS GC-ECD. Pestisida
yang digunakan dalam penelitian ini pestisida organofosfat.
1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mampu mengetahui karakteristik profenofos
2. Melakukan analisis residu pestisida jenis organofosfat (profenofos) pada
tanah menggunakan metode QuEChERS
BAB II
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN/INSTANSI

2.1 Profil

Gambar 1: Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) merupakan Unit
Pelaksanaan Teknik (UPT) eselon III dibawah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (Badan Litbang Pertanian). Balingtan bertanggung jawab kepada Kepala
Badan Litbang Pertanian, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan
oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(BBSDLP). Sebelumnya, Balingtan merupakan kebun percobaan (1953) yang
berada di bawah Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor. Seiring dengan
perkembangan sektor pertanian, Kebun Percobaan yang berada di daerah lahan
tadah hujan ini mengalami perubahan fungsi sebagai stasiun nasional penelitian
tanaman pangan di lahan tadah hujan di bawah Balai Penelitian Tanaman Pangan
(1981).

2.2 Sejarah Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


Balai Penelitian Lingkungan Pertanian yang selanjutnya disebut
BALINGTAN adalah unit pelaksana teknis dibidang penelitian dan pengembangan
yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Lahan Pertanian(BBSDLP).
Peranan Kebun Percobaan yang dinilai strategismendorong pemerintah untuk
meningkatkan status Kebun Percobaan ini menjadi loka Penelitian Tanaman
Pangan (Lolittan) pada tahun 1994. Lolittan ini berada di bawah Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan dan memiliki fungsi baru, yaitu
melaksanakan kegiatan penelitian tanaman di bidang pencemaran lahan dan
lingkungan. Lolittan mengalami perubahan nama pada tahun 2002 berdasarkan SK
mentan No 66/Kpts/OT.210/1/2002 menjadi Loka Penelitian Pencemaran
Lingkungan Pertanian (Lolingtan) yang berada di bawah Puslitbangtan. Sesuai
mandatnya, Lolingtan melaksanakan penelitian di bidang pencemaran lingkungan
di lahan pertanian dan penanggulangannya.Isu-isu lingkungan yang semakin
penting menjadikan Lolingtan memiliki peran yang sangat strategis. Berdasarkan
peran tersebut, pemerintah meningkatkan status Lolingtan menjadi Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian (Balingtan) pada tahun 2006.
Dengan demikian, tanggung jawab setelah menjadi Balingtan menjadi
semakin besar. Adapun tugas yang diemban oleh Balingtan adalah melaksanakan
penelitian lingkungan pertanian, melaksanakan penelitian komponen teknologi
pengelolaan; pengendalian dan remediasi pencemaran serta budidaya pertanian
ramah lingkungan; memberikan pelayanan teknik dan penyiapan kerja sama,
informasi dan dokumentasi serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil
penelitian pencemaran lingkungan pertanian dan melaksanakan tata usaha dan
rumah tangga balai.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No:27/Permentan/OT.140/3/2013 Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian mempunyai tugas melaksanakan penelitian emisi,
mitigasi dan absorsi Gas Rumah Kaca dari pertanian, serta pencemaran lingkungan
dan penanggulangannya di lahan pertanian.
2.3 Tugas Pokok dan Fungsi
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian NO.27/Permentan/OT.140/3/2013 Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian mempunyai tugas pokok dan fungsi:
2.3.1 Tugas Pokok

Melaksanakan penelitian emisi, mitigasi dan absorsi Gas Rumah Kaca dari
pertanian, serta pencemaran lingkungan dan penanggulangannya di lahan pertanian.

2.3.2 Fungsi

1. Pelaksanaan penyusunan program, rencana kerja, anggaran, evaluasi, dan


laporan penelitian emisi, mitigasi dan absorsi Gas Rumah Kaca dari pertanian, serta
pencemaran lingkungan dan penanggulanannya dilahan pertanian;
2. Pelaksanaan penelitian emisi, mitigasi dan absorsi Gas Rumah Kaca dari
lahan pertanian;
3. Pelaksanaan penelitian teknologi pengelolaan pengendalian lingkungan
pertanian dan remediasi pencemaran;
4. Pelaksanaan penelitian komponen teknologi budidaya pertanian ramah
lingkungan;
5. Pemberian pelayanan teknis penelitian pencemaran lingkungan dan
penanggulangannya di lahan pertanian;
6. Penyiapan kerja sama, informasi, dokumentasi, serta penyebarluasan dan
pendayagunaan hasil penelitian pencemaran lingkungan dan penanggulangannya di
lahan pertanian;
7. Pelaksanaan urusan kepegawaian, keuangan, rumah tangga dan
perlengkapan Balingtan

2.4 Visi dan Misi


2.4.1 Visi
Menjadi Lembaga Penelitian Lingkungan Pertanian Terkemuka dalam Mewujudkan
Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan
2.4.2 Misi

1. Melaksanakan penelitian teknologi pencegahan dan penanggulangan


pencemaran lingkungan dan emisi gas rumah kaca di lahan pertanian
2. Mendiseminasikan dan mendayagunakan hasil-hasil penelitian lingkungan
pertanian serta membangun kerjasama dalam meningkatkan khasanah ilmu
pengetahuan dan teknologi lingkungan pertanian dengan institusi dari dalam dan
luar negeri
3. Mengembangan jejaring kerjasama nasional dan internasional (networking)
dalam penguasaan sains dan teknologi pengelolaan lingkungan pertanian
(sciencetific recognition) serta pemanfaatannya dalam pembangunan pertanian
(impact recognition)

2.5 Fasilitas
2.5.1 Laboratorium Gas Rumah Kaca (Lab. GRK)
Laboratorium Gas Rumah Kaca (GRK) Balingtan adalah salah satu
laboratorium yang dimiliki Balingtan dengan fasilitas laboratorium dan
fasilitas penunjang lapang yang modern. Beberapa alat yang terdapat di
Laboratorium Gas Rumah Kaca, diantaranya adalah :

1. Gas kromatografi, Shimadzu GC-8A dengan 2 detektor Flame


Ionization Detector (FID) untuk analisis CH4 secara manual dan otomatis.
2. Gas kromatografi Shimadzu GC-14A series yang digunakan untuk
pengukuran emisi N2O dengan menggunakan Electron Capture Detector
(ECD), selain itu juga dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID)
untuk analisa CH4 dan Thermal Conductivity Detector (TCD) untuk analisis
gas CO2.
3. Boks penangkap gas CH4 berukuran 40 x 40 x 60 cm
4. Boks penangkap gas CO2, N2O berukuran 40 x 20 x 15 cm
5. 12 box penangkap CH4 terbuat dari pleksiglas berukuran 1m x1m x
1m
Laboratorium Gas Rumah Kaca melayani analisa sampel gas CH4, CO2 dan
N2O.

Gambar 2: Laboratorium Gas Rumah Kaca (GRK)

2.5.2 Laboratorium Terpadu (Lab. Terpadu)


Laboratorium Terpadu (Lab. Terpadu) merupakan salah satu
laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) yang
berlokasi di Jaken-Pati Jawa Tengah. Lab Terpadu mulai berdiri pada tahun
2007, namun telah dirintis sejak tahun 1996. Laboratorium Terpadu
merupakan penggabungan antara lab tanah dan lab residu pestisida yang
dirintis pada tahun 2003.Sejak tanggal 15 Desember 2011 Laboraturium
Balingtan telah berhasil memperoleh sertifikat ISO/IEC 17025:2005 dari
Komite Akreditasi Nasional (KAN) No. Akreditasi LP-556-IDN.

Laboratorium Terpadu (Lab Terpadu) merupakan salah satu


laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) yang
berlokasi di Jaken, Pati, Jawa Tengah. Tupoksi laboratorium Terpadu adalah
mendukung kegiatan penelitian Balingtan dalam melakukan analisis
pencemaran lingkungan khususnya analisis kimia tanah, tanaman, air dan
pupuk serta residu pestisida di lingkungan pertanian. Selain itu lab Terpadu
juga melakukan pelayanan pengujian terhadap pelanggan dari luar lingkup
Balai, seperti perguruan tinggi, petani, swasta, instansi pemerintah dan para
stakeholder lainnya.

Laboratorium Terpadu mempunyai beberapa alat utama antara lain


Spektrofotometer, HPLC, AAS, Gas Chromatography (GC). Alat pendukung
yang menunjang tugas pokok laboratorium antara lain multimeter (pH, EC,
TSS, Eh), furnace, oven, fume hood, glassware dryer, centrifuge, shaker,
digestor, Kjeldahl, genset dll. Semua alat utama maupun penunjang analisa
merupakan alat yang modern dan terkalibrasi. Metoda pengujian yang
digunakan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
mengacu pada SNI dan standar internasional yang berlaku seperti Association
of Analytical Communities (AOAC) dan American Standard Testing and
Material (ASTM). Selain itu didukung pula oleh analis yang terlatih dan
berpengalaman, dengan selalu mengadakan program pelatihan dan
pengembangan bagi seluruh manajemen dan stafnya, sehingga menghasilkan
hasil analisa yang akurat.

Memberikan layanan jasa pengujian bagi kalangan peneliti, swasta,


dosen,mahasiswa, dan pemerhati lingkungan. Adapun analisa yang dilakukan
di Lab. Terpadu yaitu analisa rutin dan analisa khusus.Analisa rutin meiputi:
penentuan pH H2O, pH KCl, kadar air,tekstur,C-organik, N-total,P-total,K-
total,KTK,penetapan susunan kation dan kapasitas tukar kation, dan kdd.
Sedangkan untuk analisa khusus meliputi: analisa logam berat, residu
pestsida, asam humat, asam fulfat, unsur hara makro mikro.

Tabel 1. Jenis Analisis di Laboratorium Terpadu

No. Jenis Pengujian Bahan Uji


1. Logam Berat: Pb, Cd, Cu, Ni, Zn, Tanah, air, tanaman dan pupuk
Hg, Fe, Al, Co, Mn, Cr, As.
2. Tekstur, pH, DHL, Kadar Air, Tanah, air,tanaman dan pupuk
KTK, Bv, Bj, C-Organik, N total, P,
K, Asam Humat Fulfat, Kation
dapat ditukar (Ca, Mg, Na, K),
Nitrat, Nitrit, dan unsur hara makro-
mikro lainnya.
3. Residu Pestisida Tanah,air,tanaman dan pupuk
 Organoklorin:
Lindan,Aldrin,Dieldrin,
Heptaklor, DDT, Endosulfan
 Organofosfat:
Diazinon, Fenitrotion,
Metidation, Klorpirifos, Paratio,
Profenofos
 Karbamat:
MIPC, BMPC, Karbofuran
 Piretroid:
Sipermetrin, Deltametrin,
Sihalotrin, Fenfalerat

Metoda pengujian yang dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Balai


Penelitian Lingkungan Pertanian, mengacu kepada standar internasional yang
berlaku (ASTM dan SNI). Laboratorium Terpadu Balingtan dilengkapi pula
dengan berbagai perangkat pendukung analisa modern dan terkalibrasi,
sehingga menghasilkan hasil analisa yang akurat

2.5.3 Laboratorium Residu Bahan Agrokimia (Lab. RBA) di Bogor


Laboratorium Residu Bahan Agrokimia (Lab. RBA) berdiri sekitar
tahun 1980 dengan nama laboratorium toksikologi dibawah kelompok
peneliti hama tanaman pangan Balai Penelitian tanaman pangan.
Laboratoium toksikologi bertugas membantu peneliti dalam menganalisis
residu pestisida dalam tanah, air dan produk pertanian. Sekitar tahun 1993
terjadi perubahan organisasi ditingkat badan litbang yang mana Balittan
Bogor berubah nama menjadi Balitbiogen, seiring dengan perubahan tersebut
laboratorium toksikologi berubah menjadi laboratorium biokimia dan
enzimatik. Tahun 1999 laboratorium kembali mengalami perombakan. Dari
hasil perombakan tersebut terbentuk bebrapa laboratorium salah satunya
laboratorium toksikologi yang mempunyai tugas membantu peneliti dalam
menganalisis residu pestisida dalam tanah, air dan produk pertanian.
Laboratorium toksikologi telah terakreditasi oleh KAN tahun 2002
berdasarkan ISO 17025. Tahun 2007 laboratorium toksikologi bergabung
dengan balingtan dan berubah nama menjadi Lab. Residu Bahan Agrokimia
(RBA).

Laboratorium RBA sampai saat ini mempunyai alat utama Gas


Kromatografi (GC), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT),
Spektrofotometer, alat uji kualitas air dan peralatan pendukung lainnya
seperti pH meter, Timbangan analitik, Sokhlet dan lain-lain yang digunakan
untuk analisis residu bahan agrokimia, seperti residu pupuk dan residu
pestisida selain analisis tersebut lab RBA juga mampu melakukan analisis
daya seraf Iod, C organaik, asam-asam organik. Adapun jenis residu pestisida
yang dapat di analisis di Lab RBA berkedudukan di Laladon Bogor dengan
didukung oleh SDM yang memadai (analis 2 orang, S1 3 orang, S3 1 orang.
Dengan peralatan dan SDM yang ada Lab RBA mampu melayani permintaan
analisis dari para peneliti Balingtan dan lingkup Badan Litbang serta di luar
Badan Litbang antara lain : mahasiswa, perguruan tinggi maupun dari swasta.

Jenis residu pestisida yang dapat dianalisis di Lab. RBA yaitu:

Tabel 2. Jenis Residu Pestisida yang dapat dianalisis di Laboratorium RBA

Organofosfat Piretroid Karbamat Herbisida Pupuk Asam Organik

Diazinon Deltametrin Karbofuran Glifosat Nitrat Asam Humat

Fenitrotion Sipermetrin BPMC Paraquat Ammonium IAA

Metidation Permethrin MIPC Diuron C Organik Giberelin

Dimetoat Siflutrin Metsulfuron

Klorpirifos Fenvalerat

Parathion Sihalotrin

Propenofos

Selain itu Laboratorium Residu Bahan Agrokimia sebagai laboratorium


rujukan bidang analisis residu pestisida (Residu Bahan Agrokimia) sehingga
memerlukan alat-alat utama yang sangat menunjang program tersebut. Alat
utama yang diperlukan seperti GC-MS untuk analisis residu pestisida secara
lengkap. Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) yang digunakan
untuk analisis logam berat, spektrofotometer untuk analisis pupuk dan residu
pupuk dan Water checker untuk menganalisis kualitas air. Selain alat utama
tersebut laboratorium perlu alat pendukung laboratorium untuk
memperlancar proses preparasi dan ekstraksi contoh analisis. Dengan
penambahan peralatan perlu diperkuat oleh penambahan tenaga analis
dengan demikian lab RBA akan mampu menjadi lab yang mempunyai
kualitas dan kompetensi yang tinggi dalam melakukan analisis pestisida,
logam berat, dan residu pupuk sehingga dapat meningkatkan pelayanannya
kepada para peneliti di lingkup Balingtan dan Badan Litbang, instansi lain
maupun swasta. Sejak tanggal 15 Desember 2011 Laboraturium Balingtan
telah berhasil memperoleh sertifikat ISO /IEC 17025:2005 dari Komite
Akreditasi Nasional (KAN) No. Akreditasi LP-556-IDN.

Gambar 3 : Laboratorium RBA

2.6 Struktur Organisasi BALINGTAN


Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (BALINGTAN) merupakan unit
pelaksana teknis di bidang penelitian dan pengembangan yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Balitbangtan) dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian
(BBSDLP). Komitmen Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dalam aktifitasnya
diantaranya:

1. Mengutamakan ketepatan waktu


2. Menghasilkan produk penelitian yang bermutu dan data hasil penelitian
yang bvalid
3. Meningkatkan kualitas, kompetensi dan profesionalisme Sumber Daya
Manusia
4. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sarana prasarana
5. Meningkatkan jejaring kerjasama desiminasi
6. Melakukan perbaikan berkelanjutan untuk mencapai kepuasan pelanggan
Saat ini BALINGTAN dipegang oleh Kepala Balai Dr.Ir.Asep Nugraha
Ardiwinata, M.Si. Adapun tugas pokok Kepala Balai adalah melaksanakan
penelitian pencemaran lingkungan dan penanggulangannya di lahan pertanian.
Berikut ini fungsi dari Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian:

1. Melaksanakan penelitian pencemaran tanah, air dan tanaman serta emisi


gas rumah kaca dari pertanian
2. Melaksanakan penelitian teknologi pengelolaan pengendalian
lingkungan pertanian dan remediasi pencemaran
3. Melaksanakan penelitian komponen teknologi budidaya pertanian
ramah lingkungan
4. Penyiapan kerja sama, informasi,dokumentasi serta penyebaran dan
pendayagunaan hasil penelitian pencemaran lingkungan dan
penanggulangannya di lahan pertanian
5. Pemberian layanan teknik kegiatan penelitian pencemaran lingkungan
dan penanggulangannya di lahan pertanian
6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai Penelitian
Lingkungan Pertania

Di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian terdapat Koordinator Program


yang bertugas membantu Kepala Balai dalam mengkoordinasi segala bentuk
program kerja yang dilakukan di Balingtan. Kepala Balai membawahi langsung
Kasubbag TU yang bertugas mengurus urusan tata usaha di Balingtan dan Yasie
Yantek dan Jasliti yang bertugas mengurus masalah penelitian. Kemudian
dimasing-masing laboratorium dikoordinasi oleh kelti(ketua peneliti) yaitu Kelti
EA GRK yang mengkoordinasi segala kegiatan dan program kerja di Laboratorium
Gas Rumah Kaca, kemudian Kelti EP3 yang bertugas mengkoordinasi
Laboratorium Terpadu dan RBA.
Selain sebagai laboratorium penelitian, laboratorium terpadu juga
merupakan laboratorium jasa dengan mitra kerja sama dari instansi
pemerintah,perusahaan swasta, perorangan dan perguruan tinggi. Sedangkan
laboratorium Gas Rumah Kaca bertugas dalam melakukan penelitian dan mengkaji
mengenai dampak gas rumah kaca pertanian terhadap lingkungan dan meneliti
mengenai cara bercocok tanam yang tepat untuk meminimalisir terbentuknya gas
rumah kaca di lahan pertanian. Tugas Kelti mengkoordinir setiap program kerja dan
bertanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan serta membawahi para staff di
Laboratorium yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada Kepala Balai
Balingtan. Peneliti bertugas dalam mencetuskan ide penelitian dan mengkoordinasi
para karyawan lain dalam melakukan sampling pada setiap penelitian dan
pembuatan jurnal penelitian maupun publikasi lainnya. Adapun tugas peneliti
dibantu oleh teknisi/analis yang membantu dalam pengoperasian maupun perbaikan
alat. Selain teknisi juga terdapat buruh lepas yang membantu dalam proses
budidaya tanaman yang diteliti, seperti menanam tanaman budidaya, merawat
hingga panen. Setiap hasil penelitian yang dilakukan kemudian
dipertanggungjawabkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (Balitbangtan) dan dipublikasikan melalui jurnal maupun website
Balingtan. Segala penemuan dari penelitian kemudian akan diterapkan pada
pertanian masyarakat sekitar dengan diawali penyuluhan hingga proses penerapan
dimana apabila berhasil kemudian akan diterapkan diseluruh Indonesia dalam skala
yang lebih luas dan sesuai dengan wilayahnya.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Validasi Metode
Validasi metode analisis adalah proses dimana suatu metode ditetapkan
melalui serangkaian uji laboratorium untuk menjelaskan bahwa karakter
penampilan metode tersebut memenuhi persyaratan untuk penerapan metode yang
dimaksut (Gandjar dan Rohman,2007)

Validasi metode menurut United states Pharmacopoeia (USP,2004)


dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel dan
tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus
divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya
cukup mampu untuk mengatasi problem analisis.

Validasi adalah konfirmasi melalui bukti-bukti pemeriksaan dan telah sesuai


dengan tujuan pengujian. Validasi harus dilakukan terhadap metode non-standar
dan metode yang dikembangkan laboratorium. Rentang ukur dan akurasi dapat
diperoleh dari hasil validasi metode yang sesuai dengan kebutuhan customer.
Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang objektif
bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus dipenuhi. Laboratorium
harus memvalidasi:

1. Metode tidak baku

2. Metode yang didesain/dikembangkan laboratorium

3. Metode baku yang digunakan diluar lingkup yang dimaksud

4. Metode baku yang dimodifikasi

5. Metode baku untuk menegaskan dan mengkonfirmasi bahwa metode itu sesuai
untuk penggunaan yang dimaksudkan (Riyanto,2014)

Estimasi ketidakpastian pengukuran merupakan prosedur untuk estimasi


ketidakpastian pengukuran dalam pengujian, sedapat mungkin menggunakan
metode statistik yang sesuai. Pertimbangan untuk semua komponen estimasi
ketidakpastian. Beberapa sebab metode uji perlu divalidasi yaitu:

1. Apabila metode tersebut baru dikembangkan untuk suatu permasalahan yang


khusus

2. Apabila metode yang selama ini sudah rutin, direvisi untuk suatu pengembangan
atau diperluas untuk memecahkan suatu permasalahan analisa yang baru

3. Apabila hasil QC menunjukkan bahwa metode yang sudah rutin tersebut berubah
terhadap waktu (QC charts)

4. Apabila metode rutin digunakan di laboratorium yang berbeda, atau dilakukan


oleh analis yang berbeda atau dilakukan dengan peralatan yang berbeda
(Riyanto,2014)

3.2 Parameter Validasi


Metode kuantitatif untuk pengujian validasi mengandung beberapa
parameter yang ditentukan yaitu:

3.2.1. Batas Deteksi (LOD)


LOD adalah konsentrasi analit terendah yang dapat dideteksi dan
diidentifikasi dengan mengingat tingkat kepastian. Batas deteksi didefinisikan
sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan
masih memberikan respon yang cukup bermakna meskipun tidak selalu dapat
dikuantifikasi. LOD merupakan parameter yang dapat dipengaruhi oleh perubahan
kecil dalam sistem analitis (misalnya suhu, kemurnian reagen, efek matriks, kondisi
berperan). Oleh karena itu, penting bahwa parameter ini selalu dilakukan oleh
laboratorium dalam memvalidasi metode (Riyanto, 2014).

Nilai LOD dapat dihitung berdasarkan Rumus :

𝑠𝑏
LOD = 3 x 𝑏

Dimana sb : Simpangan Baku

b : Slope/Kemiringan (Garis linier dari kurva kalibrasi)


3.2.2. Presisi
Presisi adalah ukuran kedekatan hasil analisis diperoleh dari serangkaian
pengukuran ulangan dari ukuran yang sama. Hal ini mencerminkan kesalahan acak
yang terjadi dalam sebuah metode. Dua set diterima secara umum kondisi di mana
presisi diukur adalah kondisi berulang dan direproduksi. Presisi biasanya diukur
sebagai koefisien variasi atau deviasi standar relatif dari hasil analisis yang
diperoleh dari independen disiapkan standar kontrol kualitas. Presisi tergantung
konsentrasi dan harus diukur pada konsentrasi yang berbeda dalam rentang kerja,
biasanya di bawah, pertengahan dan bagian atas. Presisi diterima pada konsentrasi
yang lebih rendah adalah 20% (Riyanto,2014).

Presisi atau precision adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian


antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata
jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel yang diambil dari campuran
yang homogen. Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif
(koefisien variasi). Precision dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan)
atau reproducibility (ketertiruan). Repeatability adalah keseksamaan metode jika
dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam
interval waktu yang pendek. Repeatability dinilai melalui pelaksanaan penetapan
terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang
sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal.
Reproducibility adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang
berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang
berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula.
Analisis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari
batch yang sama. Reproducibility dapat juga dilakukan dalam laboratorium yang
sama dengan menggunakan peralatan, pereaksi, dan analis yang berbeda
(Riyanto,2014).

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif


(RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat
fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan
kondisi laboratorium. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat
dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis (Harmita,2004)

Menurut Bievre (1998), presisi dapat dinyatakan sebagai keterulangan


(repeatability), ketertiruan (reproducibility) dan presisi antara (intermediate
precision). Parameter presisi tersebut antara lain :

1. Keterulangan (Repeatability)

Keterulangan adalah ketelitian yang diperoleh dari hasil pengulangan dengan


menggunakan metode, operator, peralatan, laboratorium, dan dalam interval
pemeriksaan waktu yang singkat. Pemeriksaan keterulangan bertujuan untuk
mengetahui konsistensi analit, tingkat kesulitan metode dan kesesuaian metode.

2. Presisi Antara (Intermediate Precision)

Presisi antara merupakan bagian dari presisi yang dilakukan dengan cara
mengulang pemeriksaan terhadap contoh uji dengan alat, waktu, analis yang
berbeda, namun dalam laboratorium yang sama.

3. Ketertiruan(Reproducibility)

Ketertiruan yaitu ketelitian yang dihitung dari hasil penetapan ulangan


dengan menggunakan metode yang sama, namun dilakukan oleh analis, peralatan,
laboratorium dan waktu yang berbeda

Presisi dari metode uji ditentukan dengan rumus :

𝑆𝐷
Rumus 1 : % RSD = x 100%
𝑋

∑(𝑥−𝛸)2
Rumus 2 : SD = √ 𝑁−1

Keterangan :

RSD : Relatif Standar Deviation

SD : Standar Deviasi yang diperoleh berdasarkan (Rumus 2)

X : Nilai/ Data Rata-rata


x : Data kadar hasil analisis

N : Jumlah ulangan

Menurut american pre-veterinary medical assosiation (APVMA) (2004)


tingkat presisi yang sebaiknya dipenuhi berdasarkan konsentrasi analit yang
dianalisis dapat dilihat dalam Tabel 3

Tabel 3 : Tingkat presisi berdasarkan konsentrasi analit

Jumlah komponen terukur dalam Tingkat presisi (y)


sampel (x)
x ≥ 10,00 % y≤2%
1,00 % ≤ x ≤ 10,00 % y≤2%
0,10 % ≤ x ≤ 1,00 % y ≤ 10 %
x ≤ 0,10 % y ≤ 20 %

Uji presisi dilakukan untuk mengetahui kedekatan atau kesesuaian antara


hasil uji yang satu dengan yang lainnya pada serangkaian pengujian. Presisi hasil
pengukuran digambarkan dalam bentuk persentase Relative Standar Deviation
(%RSD). Besarnya RSD menyatakan tingkat ketelitian analis, semakin kecil %
RSD yang dihasilkan maka semakin tinggi tingkat ketelitiannya. Uji presisi yang
dilakukan termasuk jenis uji keterulangan (repeatability). Presisi dipengaruhi oleh
kesalahan acak (random error), antara lain ketidakstabilan instrumen, variasi suhu
atau pereaksi, keragaman teknik dan operator yang berbeda (Hidayat,1989)

3.2.3. Linearitas dan Daerah Kerja


Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah
pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat
ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima.
Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang
dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit
dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam
pengujian linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat
terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam beberapa kasus,
untuk memperoleh hubungan proporsional antara hasil pengukuran dengan
konsentrasi analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik dulu
sebelum dibuat analisis regresinya. Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang
berbeda konsentrasinya antara 50–150% kadar analit dalam sampel. Di dalam
pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0–200%.
Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko
(Riyanto,2014).

Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r


pada analisis regresi linier y = a + bx. Hubungan linier yang r = +1 atau –1
bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis
terutama instrumen yang digunakan. Parameter lain yang harus dihitung adalah
simpangan baku residual (Sy). Dengan menggunakan kalkulator atau perangkat
lunak komputer, semua perhitungan matematik tersebut dapat diukur. Linearitas
adalah kemampuan metode analisis memberikan respon proporsional terhadap
konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah
dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan,
keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Riyanto,2014).

Gambar 4 : Perbandingan nilai R2 dengan data hasil pengukuran

Linieritas adalah kemampuan suatu metode analisis untuk mendapatkan hasil


yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran yang ada
(Wenclawiak, 2004). Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan standar
dalam mendeteksi analit dalam contoh. Linieritas metode dapat menggambarkan
ketelitian pengerjaan analisis suatu metode yang ditunjukkan oleh nilai koefisien
determinasi sebesar ± 0,997 (Chan, 2004)

Uji linieritas dilakukan dengan suatu seri larutan standar yang terdiri dari
minimal empat konsentrasi yang berbeda dengan rentang 50-150 % dari kadar analit
dalam sampel. Parameter hubungan kelinieran yang digunakan yaitu koefisien
korelasi (r) dan koefisien determinasi (R) pada analisis regresi linier y = bx + a (b
adalah slope, a adalah intersep, x adalah konsentrasi analit dan y adalah respon
instrumen). Koefisien determinasi adalah rasio dari variasi yang dijelaskan terhadap
variasi keseluruhan. Nilai rasio ini selalu tidak negatif sehingga ditandai dengan
R2. Koefisien korelasi adalah suatu ukuran hubungan linier antara dua set data dan
ditandai dengan r. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai a = 0 dan r = +1
atau -1 merupakan hubungan yang sempurna, tanda + dan - bergantung pada arah
garis. Tanda positif (+) menunjukkan korelasi positif yang ditandai dengan arah
garis yang miring ke kanan, sedangkan tanda negatif (-) menunjukkan korelasi
negatif yang ditandai dengan arah garis yang miring ke kiri (Spiegel, 1988).

Contoh penentuan daerah kerja atau daerah linier yaitu penentuan kadar Cu dengan
AAS:

1. Buat deret larutan kerja 0,05; 1; 2; 3; 4; 6; 8 dan 10 mg/L yang diencerkan dari
larutan induk 1000 mg/L (SRM tertelusur ke NIST)

2. Analisis kadar Cu dengan AAS Flame pada panjang gelombang 324,7 nm

Tabel 4.1 Data hasil pengukuran larutan standar Cu dengan AAS

No. Konsentrasi mg/L Absorbansi


1. 0.5 0.0905
2. 1 0.178
3. 2 0.3379
4. 3 0.4938
5. 4 0.6438
6. 6 0.9116
7. 8 1.1315
8. 10 1.2344

Gambar 5: Kurva kalibrasi larutan standar Cu

Jika semua data digunakan untuk membuat kurva kalibrasi, maka R2


(koefisien korelasi) yang diperoleh yaitu 0,979 sehingga tidak memenuhi syarat
linieritas dimana R2 harus mendekati 1. Untuk meningkatkan nilai R2 maka
dibuang data yang menyebabkan kurva tidak linier, sehingga didapatkan nilai R2
0,999. Pada Gambar 5 terlihat bahwa derah kerja atau daerah linear yaitu 0,5-4
mg/L (Riyanto,2014).

Uji ini dilakukan dengan membuat satu seri larutan standar yang terdiri dari
4 konsentrasi yang bertingkat. Larutan standar diukur 7 kali diperoleh nilai
absorbansi. Nilai absorbansi dirata-rata sehingga diperoleh data konsentrasi versus
absorbansi rata-rata sehingga dibuat kurva hubungan antara absorbansi versus
konsentrasi. Hasil pengujian linieritas penentuan kadar nikel dalam natrium
hidroksida dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 : Kurva Kalibrasi larutan standar Ni

Berdasarkan Gambar 6 : diperoleh nilai koefisian determinasi (R2) pada


penentuan kadar nikel adalah 0,9980. Nilai koefisien determinasi yang didapat
mendekati satu dan sesuai dengan syarat keberterimaan yaitu nilai koefisien
determinasi hasil uji linieritas adalah > 0,9970 (Chan, 2004). Menurut Kantasubrata
(2008) untuk jumlah deret standar (n) 4 dengan tingkat kepercayaan 95% nilai
koefisien determinasi minimal 0,811. Oleh karena itu, uji linieritas untuk metode
penentuan kadar nikel dalam natrium hidroksida menghasilkan korelasi yang linier
sehingga memenuhi kriteria keberterimaan artinya kinerja metode yang digunakan
untuk rentang konsentrasi yang diukur sangat baik (Riyanto,2014).

3.2.4.Akurasi
Accuracy adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis
dengan kadar analit yang sebenarnya. Accuracy dinyatakan sebagai persen
perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Accuracy dapat ditentukan
melalui dua cara, yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode
penambahan baku (standard addition method) (Riyanto,2014).

Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam


plasebo (semua campuran reagent yang digunakan minus analit), lalu campuran
tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar standar yang
ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Recovery dapat ditentukan dengan cara
membuat sampel plasebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit
dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang
diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Tetapi bila
tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui
seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen
misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi
(Riyanto,2014).

Dalam metode adisi (penambahan baku), sampel dianalisis lalu sejumlah


tertentu analit yang diperiksa (pure analit/standar) ditambahkan ke dalam sampel,
dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang
sebenarnya (hasil yang diharapkan). Pada metode penambahan baku, pengukuran
blanko tidak diperlukan lagi. Metode ini tidak dapat digunakan jika penambahan
analit dapat mengganggu pengukuran, misalnya analit yang ditambahkan
menyebabkan kekurangan pereaksi, mengubah pH atau kapasitas dapar
(Riyanto,2014).

Dalam kedua metode tersebut, recovery dinyatakan sebagai rasio antara hasil
yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Biasanya persyaratan untuk recovery
adalah tidak boleh lebih dari 5% (Riyanto,2014).

Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai


berikut:

𝐶1−𝐶2
% Perolehan kembali (recovery) = x 100
𝐶3

C1 = konsentrasi dari analit dalam campuran contoh + sejumlah tertentu analit

C2 = konsentrasi dari analit dalam contoh

C3 = konsentrasi dari analit yang ditambahkan kedalam contoh

Akurasi merupakan derajat ketepatan antara nilai yang diukur dengan nilai
sebenarnya yang diterima (Gary, 1996). Akurasi merupakan kemampuan metode
analisis untuk memperoleh nilai benar setelah dilakukan secara berulang. Nilai
replika analisis semakin dekat dengan sampel yang sebenarnya maka semakin
akurat metode tersebut (Khan, 1996). Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap
konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4: Nilai persen recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel

Analit pada matriks sampel Recovery yang diterima (%)


10< A ≤ 100 (%) 98-102
1 < A ≤ 10 (%) 97-103
0,1 < A ≤ 1 (%) 95-105
0,001 < A ≤ 0,1 (%) 90-107
100 ppb < A ≤ 1 ppm 80-110
10 ppb < A ≤ 100 ppb 60-115
1 ppb < A ≤ 10 ppb 40-120

(Harmita,2004)

Kesulitan utama dalam evaluasi akurasi adalah fakta bahwa kandungan


sesungguhnya analit yang akan diuji tidak diketahui. Akurasi dinyatakan sebagai
persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Pengujian persen
perolehan kembali dilakukan dengan menganalisis contoh yang diperkaya dengan
sejumlah analit yang ditetapkan. Jumlah absolut yang diperoleh dari analisis ini dan
jumlah yang diperoleh dari pengujian yang sama untuk contoh (tanpa penambahan
analit) dapat digunakan untuk menentukan nilai perolehan kembali analit itu.
Kriteria akurasi sangat tergantung pada konsentrasi analit dalam matriks sampel
dan keseksamaan metode (RSD) (Riyanto,2014).

Metode analisis yang mungkin digunakan untuk menetapkan akurasi yaitu


metode menggunakan CRM (Certified Refference Material)dan adisi standar. CRM
mempunyai nilai tertelusur ke SI dan dapat dijadikan sebagai nilai acuan (refference
value) untuk nilai yang sebenarnya. Syarat CRM yang digunakan matriksnya cocok
dengan contoh uji (mempunyai komposisi matriks yang mirip matriks contoh uji).
Apabila CRM tidak tersedia maka dapat menggunakan bahan yang mirip contoh uji
yang diperkaya dengan analit yang kemurniannya tinggi atau disebut metode adisi
standar, lalu diuji persen recovery-nya. Analit yang terkait dalam matriks contoh
harus dilarutkan atau dibebaskan sebelum dapat diukur karena analit tidak boleh
hilang selama proses agar hasil pengujian akurat maka efisiensi pelarutan harus
100%. Akurasi dapat juga diartikan sebagai kedekatan hasil analisis terhadap nilai
sebenarnya atau seberapa jauh hasil menyimpang dari harga yang sebenarnya
(standar). Uji ini sangat baik dilakukan bila menggunakan sertified reference
material (CRM). Namun penetapan akurasi dilakukan dengan cara uji perolehan
kembali (recovery) karena tidak tesedianya CRM. Analit yang ditambahkan ke
dalam matriks contoh adalah sebesar 0,1ppm; 0,2ppm; 0,3ppm; 0,5ppm. Nilai
recovery yang mendekati 100% menunjukkan bahwa metode tersebut memiliki
ketepatan yang baik dalam menunjukkan tingkat kesesuaian dari suatu pengukuran
yang sebanding dengan nilai sebenarnya (Riyanto,2014).

Penentuan akurasi suatu metode biasanya terdapat kesalahan-kesalahan yang


menyebabkan nilai akurasi yang diperoleh kecil atau tidak tepat 100 %, kesalahan
ini disebabkan karena adanya kesalahan personal seperti pemipetan dan kesalahan
sistematis seperti peralatan atau pereaksi yang digunakan. Namun demikian,
kesalahan sistematik pada prinsipnya dapat diidentifikasi dan diperkecil
(Riyanto,2014).

Untuk mengecek efisiensi proses pretreatment dan preparasi tersebut maka


dilakukan uji perolehan kembali (recovey test, %R) yang dapat dirumuskan dengan
persamaan yang berbeda yaitu:

[𝐶] 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙+𝑠𝑝𝑖𝑘𝑒−[𝐶]𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Recovery (%) = [𝐶]𝑠𝑝𝑖𝑘𝑒
x 100%

Akurasi melalui uji perolehan kembali harus memperhatikan konsentrasi


akhir sampel setelah ditambahkan analit dari larutan standar (spike) berkisar antara
2–5 dari kali konsentrasi sampel sebelum ditambahkan analit. Nilai konsentrasi
sampel yang telah ditambahkan analit tidak boleh melebihi batas rentang kerja
tertinggi pada ruang lingkup metode pengujian yang digunakan. Konsentrasi
sampel yang telah ditambahkan analit harus masuk dalam regresi linear kurva
kalibrasi yang digunakan. Syarat-syarat analit (standar) ke sampel harus memiliki
sifat-sifat yaitu larutan standar yang ditambahakan ke sampel (spike) memiliki
kemurnian tinggi, memiliki matrik hampir sama dengan sampel; dan memilki
kelarutan hampir sama dengan sampel (Riyanto,2014).

1. Penentuan recovery menggunakan SRM Penentuan recovery dengan


Standard Reference Material Kode NBS 2781 (Lumpur Domestic) analisis
merkuri (Hg) dengan ICP-OES adalah:
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐻𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
Recovery (%) = x 100%
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐻𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑆𝑅𝑀
3.40±0.13
Recovery (%) = 3.64±0.25 x 100%

Recovery (%) = 93,4%

2. Penentuan recovery menggunakan metode spike


Penentuan recovery logam Pb pada sampel air limbah (sampel dari uji
profisiensi) dengan menggunakan metode spiking diketahui data bahwa
konsentrasi Pb pada sampel uji profisiensi sebesar 1,23 mg/L. Pada sampel
tersebut ditambahkan (di-spiking) dengan larutan standar Pb sebesar 1,0
mg/L. Setelah ditambah dengan larutan standar, kemudian dianalisis
didapatkan konsentrasi Pb sebesar 2,25 mg/L.
Dari data tersebut dapat ditentukan recovery yaitu sebesar:
[𝐶] 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙+𝑠𝑝𝑖𝑘𝑒−[𝐶]𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Recovery (%) = [𝐶]𝑠𝑝𝑖𝑘𝑒
x 100%
2.25−1.23
Recovery (%) = x 100%
1.0

Recovery (%) = 102%


Nilai recovery sebesar 102% merupakan nilai yang baik, berarti metode uji
tersebut memiliki akurasi yang baik, dengan batas penerimaan 95%-105%
(Riyanto,2014).

3.2.5 Batas Kuantifikasi (LOQ)


Batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam
sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada
kondisi operasional metode yang digunakan. LOQ diekspresikan sebagai
konsentrasi yang dapat memberikan respon memenuhi kriteria cermat dan seksama.
LOQ dapat dihitung dengan rumus :

𝑠𝑏
LOQ = 10 x dimana Sb : Simpangan baku ; b : slope/kemiringan
𝑏

(Riyanto,2014).

3.3 Pestisida
3.3.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan berbagai hama. Berdasarkan asal katanya pestisida berasal dari
bahasa inggris yaitu pest berarti hama dan cida berarti pembunuh. Yang dimaksud
hama bagi petani sangat luas yaitu : tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit
tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteria dan virus, nematoda (cacing
yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan.

Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur
tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain serta mikroorganisme atau virus yang
digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6 tahun 1995)

Menurut peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 (yang dikutip oleh


Djojosumarto, 2008) pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk :

1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak


tanaman atau hasil-hasil pertanian.

2. Memberantas rerumputan.

3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian


tanaman, tidak termasuk pupuk.

4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan dan


ternak.

5. Memberantas dan mencegah hama-hama air.


6. Memberikan atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang
yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

Pestisida yang digunakan di bidang pertanian secara spesifik sering disebut


produk perlindungan tanaman (crop protection products) untuk membedakannya
dari produk-produk yang digunakan dibidang lain(Djojosumarto, 2008).
Pengelolaan pestisida adalah kegiatan meliputi pembuatan, pengangkutan,
penyimpanan, peragaan, penggunaan dan pembuangan / pemusnahan pestisida.
Selain efektifitasnya yang tinggi, pestisida banyak menimbulkan efek negatif yang
merugikan. Dalam pengendalian pestisida sebaiknya pengguna mengetahui sifat
kimia dan sifat fisik pestisida, biologi dan ekologi organisme pengganggu tanaman.
(Wudianto R, 2010).

3.2.2 Penggolongan Pestisida


A. Penggolongan pestisida berdasarkan sasaran (Wudianto R, 2010) yaitu :

1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa


mematikan semua jenis serangga.

2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan


bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.

3. Bakterisida. Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan


aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.

4. Nermatisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda.

5. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia


yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.

6. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun


yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput,
bekicot serta tripisan yang banyak dijumpai di tambak.

8. Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk


membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.

9. Pestisida lain seperti Pisisida, Algisida, Advisida dan lain-lain.

10. Pestisida berperan ganda yaitu pestisida yang berperan untuk membasmi

2 atau 3 golongan organisme pengganggu tanaman.

B. Berdasarkan Sifat dan Cara Kerja Racun Pestisida (Djojosumarto, 2008)

1. Racun Kontak

Pestisida jenis ini bekerja dengan masuk ke dalam tubuh serangga sasaran
lewat kulit (kutikula) dan di transportasikan ke bagian tubuh serangga tempat
pestisida aktif bekerja.

2. Racun Pernafasan (Fumigan)

Pestisida jenis ini dapat membunuh serangga dengan bekerja lewat sistem
pernapasan.

3. Racun Lambung

Jenis pestisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk
ke dalam organ pencernaannya.

4. Racun Sistemik

Cara kerja seperti ini dapat memiliki oleh insektisida, fungisida dan herbisida.
Racun sistemik setelah disemprotkan atau ditebarkan pada bagian tanaman akan
terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar atau daun, sehingga dapat
membunuh hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti jamur dan bakteri.
Pada insektisida sistemik, serangga akan mati setelah memakan atau menghisap
cairan tanaman yang telah disemprot.

5. Racun Metabolisme
Pestisida ini membunuh serangga dengan mengintervensi proses metabolismenya.

6. Racun Protoplasma

Ini akan mengganggu fungsi sel karena protoplasma sel menjadi rusak.

C. Berdasarkan Bentuk Formulasi Pestisida

Formulasi pestisida yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut
bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme
pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient), (Wudianto R, 2010). Beberapa
jenis formulasi pestisida sebagai berikut :

1. Tepung Hembus, debu (dust = D)


Bentuknya tepung kering yang hanya terdiri atas bahan aktif, misalnya
belerang atau dicampur dengan pelarut aktif, kandungan bahan aktifnya rendah
sekitar 2-10%. Dalam penggunaannya pestisida ini harus dihembuskan
menggunakan alat khusus yang disebut duster.
2. Butiran (granula = G)
Pestisida ini berbentuk butiran padat yang merupakan campuran bahan aktif
berbentuk cair dengan butiran yang mudah menyerap, bagian luarnya ditutup
dengan suatu lapisan.
3. Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wettable powder = WP)
Pestisida berbentuk tepung kering agak pekat ini belum bisa secara langsung
digunakan untuk memberantas jasad sasaran, harus terlebih dahulu dibasahi air.
Hasil campurannya dengan air disebut suspensi. Pestisida jenis ini tidak larut dalam
air, melainkan hanya tercampur saja. Oleh karena itu, sewaktu disemprotkan harus
sering diaduk atau tangki penyemprotnya digoyang-goyang.
4. Tepung yang larut dalam air (water-sofable powder = SP)
Pestisida berbentuk SP ini sepintas mirip WP. Penggunaanya pun
ditambahkan air. Perbedaannya terletak pada kelarutannya. Bila WP tidak bisa
terlarut dalam air, SP bisa larut dalam air. Larutan ini jarang sekali mengendap,
maka dalam penggunaannya dengan penyemprotan, pengadukan hanya dilakukan
sekali pada waktu pencampuran.
5. Suspensi (flowable concentrate = F)
Formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut
serbuk yang dicampur dengan sejumlah kecil air. Hasilnya adalah seperti pasta yang
disebut campuran basah. Campuran ini dapat tercampur air dengan baik dan
mempunyai sifat yang serupa dengan formulasi WP yang ditambah sedikit air.
6. Cairan (emulsifiable concentrare = EC)
Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan
aktif dengan perantara emulsi (emulsifiet). Dalam penggunaanya, biasanya
dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairan
semprotnya disebut emulsi.
7. Solution (S)
Solution merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan pestisida ke
dalam pelarut organik dan dapat digunakan dalam pengendalian jasad pengganggu
secara langsung tanpa perlu dicampur dengan bahan lain. Formulasi ini hampir
tidak ditemui.

3.3 Residu Pestisida


Residu adalah bahan kimia pestisida yang terdapat diatas atau didalam benda
dengan implikasi waktu atau penuaan(aging), perubahan kimia (alteration) atau
keduanya (Tarumingkeng,1992). Menurut Mc Ewen dan Stephenson (1979), residu
pestisida dalam bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang
langsung diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena
ditanam pada tanah yang mengandung residu pestisida yang persisten.

Menurut Sutamihardja et al.,(1982) tidak hanya gulma yang dipengaruhi oleh


pestisida tetapi juga beberapa jenis tumbuhan seperti sayur,buah dan tanaman
lainnya bahkan dapat juga pada tanah. Hal ini disebabkan pada waktu aplikasi
pestisida terhadap hama atau penyakit tanaman terjadi deposit pestisida dan
akhirnya menjadi residu pada tanaman tersebut.

Residu pestisida adalah sisa pestisida termasuk hasil perubahannya yang


terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan,tumbuhan, air, udara atau tanah
(Deptan,2007). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk
memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR) adalah
salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan dalam
mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada
komoditas makanan dan daging hewan.

3.4 Organofosfat
Organofosfat adalah racun pembasmi serangga yang paling toksik terhadap
binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, kadal, cicak, dan mamalia.
Pestisida ini mengganggu pergerakan otot dan dapat menyebabkan
kelumpuhan.Organofosfat dapat menghambat aktifitas enzim cholinesterase yang
mempunyai peranan penting pada transmisi saraf. Senyawa organofosfat adalah
kelompok insektisida yang paling banyak digunakan di dunia. Organofosfat tidak
persisten atau bioakumulasi di lingkungan. Senyawa organofosfat pertama dikenal
pada tahun 1854, namun karena sifatnya yang toksik maka senyawa ini baru muncul
kembali pada tahun 1930-an. Tetraethyl pyrophosphate (TEPP) adalah insektisida
organofosfat yang pertama kali digunakan (Minton and Murray, 1988).

Senyawa golongan organofosfat merupakan turunan dari asam fosfat yang


dapat dibedakan menjadi turunan alifatik seperti tetraetilpiriofosfat, azordin,
diklorovos, mevinfos, dan metamidofos, turunan fenil seperti parathon, profenofos,
sulprofos, dan turunan heterosoklik seperti diazinon,azinfosmetil, klorpirifos
(Minton and Murray, 1988). Toksisitas pestisida organofosfat sangat tergantung
pada kandungan bahan aktifnya. Organofosfat dapat dikelompokkan kedalam tiga
kelompok, (a)kelompok yang sangat toksik, seperti chlorfenvinphos, yang memiliki
LD50 pada range 1-30 mg/kg, (b) kelompok yang memiliki LD50 pada range 30-
50 mg/kg, seperti dichlorvos, dan (c) kelompok toksik yang memiliki range 60-
1300 mg/kg,seperti malathion (Minton and Murray, 1988).

Senyawa organofosfat bersifat tidak stabil, mudah terurai dilingkungan dan


bersifat lebih toksik dibandingkan senyawa organoklor, dengan konsentrasi yang
kecil mampu menyebabkan kematian (Afriyanto, 2008). Senyawa organofosfat
dapat mempengaruhi sistem saraf dan menghambat fungsi enzim asetilkolin
esterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Keracunan pestisida golongan
organofosfat disebabkan asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan
terus menerus saraf muskarinik, nikotinik, dan sistem saraf pusat. Gejala efek
muskarinik yaitu saliva, lacrimasi, urinasi, diare, kejang perut, nausea, vomitus,
bradicardia, miosis, dan berkeringat. Gejala efek nikotinik yaitu pegal-pegal,
lemah, tremor, paralysis, dyspnea, dan tachicardia. Gejala efek sistem saraf pusat
yaitu bingung, gelisah, insomnia, neurosis, sakit kepala, emosi tidak stabil, bicara
terbata-bata, depresi respirasi, dan gangguan jantung, serta koma (Afriyanto, 2008).
Semua organofosfat dapat terabsorbsi melalui oral,inhalasi maupun kulit yang sehat
(Sartono, 2002).

3.5 Profenofos

Profenofos merupakan salah satu insektisida golongan organofosfat.


Insektisida ini merupakan racun kontak dan lambung berspektrum luas.
Mempunyai nama kimia O-4-bromo-2-klorofenil O-etil S-propil
fosforotioat(C11H15O3PSBrCl) dengan berat molekul 373, 65 g/mol (US EPA,
2006). Di Indonesia, profenofos pada umumnya diaplikasikan pada tanaman cabai
dan tomat. Profenofos memiliki nama dagang Curacron, Polycron, dan Selecron.

Profenofos merupakan insektisida yang mudah terdegradasi. Profenofos


dalam tanah akan hilang pada kondisi netral sampai basa dengan waktu paruh
beberapa hari. Degradasi klorpirifos dalam tanah akan menghasilkan produk 4-
bromo-2 chlorophenol dan O-ethyl-S-propylphosphorthioate. 4-bromo-2
chlorophenol bersifat persisten di tanah sedangkan O-ethyl-S-propyl
phosphorthioate belum diketahui tingkat persistensinya (US EPA, 2006).
Proses degradasi profenofos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis,
dan aktivitas mikroorganisme. Pada proses hidrolisis dengan pH 7, waktu paruh
profenofos adalah 24-62 hari. Pada proses fotolisis di air dan di tanah senyawa
profenofos bersifat stabil. Pada proses aktivitas mikroorganisme di tanah dengan
kondisi aerobik waktu paruh profenofos 104-108 hari sedangkan pada kondisi
anaerobik waktu paruhnya adalah 3 hari. Pada proses aktivitas mikroorganisme
anaerobik di air waktu paruh profenofos adalah 3 hari (US EPA, 2006).

3.6 Klorpirifos
(struktur)

Klorpirifos adalah insektisida golongan organofosfat yang bersifat non


sistemik (WHO, 2002) yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan
(masuk ke lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan). Penerapan
klorpirifos pada bibit dan tumbuhan dilakukan dengan penyemprotan langsung atau
tidak langsung. Klorpirifos adalah kristal putih yang memiliki bau yang tajam,
yang tidak bercampur dengan air tapi bercampur dengan liquid berminyak.
Klorpirifos digunakan untuk mengendalikan coleoptera, diptera, homoptera, dan
lepidoptera, serta untuk mengontrol hama seperti nyamuk (larva dan dewasa),
blattellidae, muscidae, dan isopteran.

Klorpirifos memiliki karakteristik yaitu dari tidak memiliki warna sampai


berwarna putih kristal, serta memiliki bau seperti senyawa sulfur. Klorpirifos
memiliki tekanan uap 1,87 x 10-5 mmHg pada suhu 25 ºC dan memiliki berat
molekul 350,6 g/mol. Sifat lainnya dari klorpirifos yaitu memiliki tingkat kelarutan
0,0014 g/L (1,4 mg/L) pada suhu 25 ºC dan memiliki koefesien penyerapan tanah
sebesar 360 sampai 31.000 tergantung pada tipe tanah dan kondisi lingkungan
(Christensen et al., 2009). Klorpirifos mempunyai nama dagang Dursban, Lorsban,
Dowcow, Eradex, dan Piridane.

Proses utama dalam degradasi klorpirifos adalah metabolisme aerobik dan


anaerobik. Klorpirifos terserap (terabsorpsi) secara kuat kedalam tanah dan tidak
bisa langsung terlepas. Karena sifat alami klorpirifos yang non polar, klorpirifos
memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan di alam memiliki kecendrungan
untuk membagi fasa dari fasa aqueous menjadi fasa organik (WHO, 2004).

Proses degradasi klorpirifos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis,


dan aktivitas mikroorganisme. Pada proses hidrolisis dengan pH 7, waktu paruh
klorpirifos adalah 72 hari. Pada proses fotolisis di air dan di tanah senyawa
klorpirifos bersifat stabil. Pada proses aktivitas mikroorganisme di tanah dengan
kondisi aerobik waktu paruh klorpirifos 11-180 hari sedangkan pada kondisi
anaerobik waktu paruhnya adalah 39-51 hari (Christensen et al., 2009).

3.7 Diazinon
(struktur)

Diazinon pertama kali terdaftar di Amerika Serikat pada tahun 1956 sebagai
insektisida organofosfat, akarisida, dan nematisida. Diazinon merupakan jenis
insektisida organofosfat yang digunakan untuk pertanian dan non pertanian (rumah
dan taman). Diazinon adalah insektisida non-sistemik yang diaplikasikan pada
buah-buahan, tanaman hortikultura, kentang, padi, tebu, tembakau, dan lain-lain.
Sifat fisik dan kimia diazinon yaitu tidak mempunyai warna, mempunyai tekanan
uap 8,25 x 10-5 mmHg pada suhu 25 ºC, memiliki rumus molekul C12H21N2O3PS
dengan berat molekul 304,36 g/mol, tingkat kelarutan dalam air 40 mg/L pada
suhu 25 ºC dan memiliki koefesien penyerapan tanah (KOC) sebesar 2,28
(Christensen et al., 2009). Diazinon mempunyai nama dagang Diazinon,
Spectracide, dan Basudin.

Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang tidak persisten di dalam


tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi secara
kimiawi dan biologi. Sekitar 46% dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan
hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon diaplikasikan ke dalam tanah, tidak akan
terikat secara kuat dengan tanah (Christensen et al., 2009).

Menurut Christensen et al. (2009), hidrolisis diazinon menjadi lebih lambat


pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah. Produk utama dari hidrolisis adalah
2 isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine. Namun, jika tidak cukup air pada
kondisi asam, tetraetil dithio dan thiopirofosfat diproduksi, keduanya lebih toksik
dari diazinon

3.8 Tanah

Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak
bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik.Tanah sangat vital peranannya
bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan
dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah
yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas dan
tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian
besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak (Jenny, 1953).
Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu
tanah.Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan
air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi.Komposisi tanah
berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan
bagian dari tanah (Jenny, 1953).
Tanah berasal dari pelapukanbatuan dengan bantuan organisme, membentuk
tubuh unik yang menutupi batuan. Proses pembentukan tanah dikenal sebagai
''pedogenesis''. Proses yang unik ini membentuk tanah sebagai tubuh alam yang
terdiri atas lapisan-lapisan atau disebut sebagai horizon tanah. Setiap horizon
menceritakan mengenai asal dan proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang telah
dilalui tubuh tanah tersebut (Jenny, 1953).
Tanah terbentuk dari bahan induk yang telah mengalami
modifikasi/pelapukan akibat dinamika faktor iklim, organisme (termasuk manusia),
dan relief permukaan bumi (topografi) seiring dengan berjalannya waktu.
Berdasarkan dinamika kelima faktor tersebut terbentuklah berbagai jenis tanah dan
dapat dilakukan klasifikasi tanah. Tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan
yang melapuk dan mengalami proses pembentukan lanjutan. Usia tanah yang
ditemukan saat ini tidak ada yang lebih tua daripada periode tersier dan kebanyakan
terbentuk dari masa Pleistosen (Jenny, 1953).
Tubuh tanah terbentuk dari campuran bahan organik dan mineral. Tanah non-
organik atau tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral.
Sebaliknya, tanah organik (organosol/humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap
bahan organik yang terdegradasi (Jenny, 1953).
Tanah organik berwarna hitam dan merupakan pembentuk utama lahan
gambut dan kelak dapat menjadi batu bara. Tanah organik cenderung memiliki
keasaman tinggi karena mengandung beberapa asam organik (substansi humik)
hasil dekomposisi berbagai bahan organik. Kelompok tanah ini biasanya miskin
mineral, pasokan mineral berasal dari aliran air atau hasil dekomposisi jaringan
makhluk hidup. Tanah organik dapat ditanami karena memiliki sifat fisik gembur
(sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena memiliki keasaman
tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil terbatas dan di bawah
capaian optimum (Jenny, 1953).
Tanah non-organik didominasi oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel
pembentuk tanah. Tekstur tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel
pembentuk tanah: pasir, lanau (debu), dan lempung. Tanah pasiran didominasi oleh
pasir, tanah lempungan didominasi oleh lempung. Tanah dengan komposisi pasir,
lanau, dan lempung yang seimbang dikenal sebagai geluh (loam)(Jenny, 1953).
Warna tanah merupakan ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna
tanah sangat bervariasi, mulai dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning,
hingga putih. Selain itu, tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan
warna yang kontras sebagai akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian
(leaching). Tanah berwarna hitam atau gelap seringkali menandakan kehadiran
bahan organik yang tinggi, baik karena pelapukan vegetasi maupun proses
pengendapan di rawa-rawa. Warna gelap juga dapat disebabkan oleh kehadiran
mangan, belerang, dan nitrogen. Warna tanah kemerahan atau kekuningan biasanya
disebabkan kandungan besi teroksidasi yang tinggi, warna yang berbeda terjadi
karena pengaruh kondisi proses kimia pembentukannya. Suasana aerobik/oksidatif
menghasilkan warna yang seragam atau perubahan warna bertahap, sedangkan
suasana anaerobik/reduktif membawa pada pola warna yang bertotol-totol atau
warna yang terkonsentrasi (Anonim b, 2014).
Struktur tanah merupakan karakteristik fisik tanah yang terbentuk dari
komposisi antara agregat (butir) tanah dan ruang antaragregat. Tanah tersusun dari
tiga fase: fase padatan, fase cair, dan fase gas. Fasa cair dan gas mengisi ruang
antaragregat. Struktur tanah tergantung dari imbangan ketiga faktor penyusun ini.
Ruang antaragregat disebut sebagai porus (jamak pori). Struktur tanah baik bagi
perakaran apabila pori berukuran besar (makropori) terisi udara dan pori berukuran
kecil (mikropori) terisi air. Tanah yang gembur (sarang) memiliki agregat yang
cukup besar dengan makropori dan mikropori yang seimbang. Tanah menjadi
semakin liat apabila berlebihan lempung sehingga kekurangan makropori (Anonim
b, 2014).
Pencemaran tanah terjadi akibat masuknya benda asing (misalnya senyawa
kimia buatan manusia) ke tanah dan mengubah suasana/lingkungan asli tanah
sehingga terjadi penurunan kualitas tanah. Pencemaran dapat terjadi karena
kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial;
penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan
sub-permukaan; kecelakaan kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau
limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang
langsung dibuang ke tanah secara sembarangan (illegal dumping)(Anonim b, 2014)

3.9 Metode QuEChERS


QuEChERS berasal dari kata Quick(cepat); Easy (mudah); Cheap (murah);
Effective (EFektif); Rugged (stabil); Safe (aman). Metode ini merupakan metode
yang diperkenalkan untuk menganalisis berbagai macam residu pestisida dalam
makanan maupun tanah dengan menghancurkan sampel (buah-buahan, sayur,
tanah, dll) dalam blender. Metode QuEChERS memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan metode tradisional, diantaranya:

1. Recovery tinggi (>85%) dicapai untuk polaritas yang luas dan volatilitas
berbagai pestisida termasuk analit yang sulit.
2. Sangat akurat (benar dan tepat) hasil yang dicapai
3. Throughput / kualitas pengerjaan sampel tinggi, sekitar 10 sampel
dimungkinkan selesai sekitar 30-40 menit
4. Penggunaan hanya sedikit pelarut
5. Dapat melakukan tanpa banyak pelatihan atau keterampilan teknis
6. Metodenya sangat baik karena pembersihan ekstrak dilakukan untuk
menghilangkan asam organic
7. Biaya reagen dalam metode sangat murah
8. Hanya sedikit perangkat yang diperlukan untuk persiapan sampel

3.10 Gas Chromatography (GC)


3.10.1 Gas Pembawa
Gas pembawa digunakan sebagai fase gerak, gas yang lazim dipakai adalah
helium, hydrogen, atau nitrogen (DAY dan UNDERWOOD, 2002). Adapun
persyaratan yang harus dipenuhi oleh gas pembawa adalah Inert, Murni dan cocok
untuk detector yang digunakan.

3.10.2 Sistem Penginjekan Sampel


Injector merupakan tempat injeksi yang digunakan sebagai tempat untuk
menyuntikkan sejumlah volume tertentu dari cuplikan sampel. Dalam kromatografi
gas sampel yang masuk kedalam kolom harus dalam bentuk fase gas. Oleh karena
itu, senyawa yang berbentuk padatan atau cairan harus dapat diuapkan terlebih
dahulu dalam injector sebelum masuk kedalam kolom.penguapan dilakukan dengan
cara pemanasan,karena itu pada bagian injector ini selalu dipanaskan.

Syringe digunakan untuk menyuntikkan sampel kedalam injector. Jarum


suntik mikro ini dibuat dari bahan lembaran dan tidak menyerap komponen-
komponen dalam sampel uji. Bahan yang paling cocok adalah baja tahan karat
(stailess steal). Untuk tembaga, kuningan dan aliasi logam tembaga yang lainnya
tidak dapat digunakan. Alat ini ditusukkan melalui septum yang terdapat pada
tempat injeksi. Fungsi septum pada tempat injeksi yaitu untuk mencegah kebocoran
gas pada kolom (Khopkar,1990)

3.10.3 Kolom
Pada bagian inilah terjadinya pemisahan komponen dari cuplikan. Secara
umum kolom yang lebih Panjang dapat memisahkan lebih baik, namun waktu
analisisnya lebih lama. Semakin kecil diameter dalam, semakin baik pemisahannya.
Kolom dibuat spiral untuk menghemat tempat , kolom berisi fase diam dan tempat
fase gerak akan lewat didalamnya sambal membawa sampel. Secara umum terdapat
2 jenis kolom yaitu kolom terpaket( pcked column ) umumnya terbuat dari glass
atau stainless steal coil dengan Panjang 1-5 m dan diameter kira-kira 5 mm. kolom
kapiler lebih menyerupai pipa dengan ruang yang sempit serta memiliki diameter
dalam sebesar 0.3-0.5 mm.

3.10.4 Termostat
Thermostat memiliki 3 macam fungsi yaitu : mengatur suhu secara terpisah
pada injector port, kolom dan detector. Pengaturan suhu sangat penting karena
pemisahan sangat dipengaruhi suhu dalam kolom sehingga suhu dalam kolom
diatur oleh thermostat agar tidak mengganggu pemisahan. Ada 2 cara mengatur
suhu kolom : isothermal dimana suhu diatur selama analisis, temperature program
dimana suhu diatur selama rentang waktu analisis.

3.10.5 Detektor
Detector adalah alat untuk menunjukkan dan mengukur jumlah komponen
yang dipisahkan oleh gas pembawa. Alat ini akan mengubah analit yang telah
terpisahkan dan dibawa oleh gas pembawa menjadi sinyal listrik yang proporsional.
Oleh karena itu alat ini tidak boleh memberikan respon terhadap gas pembawa yang
mengalir pada waktu yang bersamaan. Kuat lemahnya sinyal bergantung pada laju
aliran massa sampel dan bukan pada konsentrasi sampel gas penunjang. Range
suatu detector dinyatakan sebagai sinyal terbesar yang teramati dibagi sinyal
terlemah yang masih terdeteksi dan masih memberikan respon yang linear. Detector
harus terletak dekat kolom baik untuk menghindarkan kondensasi cairan maupun
dekomposisi sampel sebelum mencapai detector (Khopkar,1990)

Beberapa detector yang digunakan antara lain:

1. FID (Flam Ionization Detector)


2. TCD (Thermal Conductivity Detector)
3. MS (Mass Spectrophotometer)
4. ECD (Electron Capture Detector)
5. FPD (Flame Photomeric Detector)

3.10.6 Rekorder
Rekorder berfungsi sebagai pengubah sinyal dari detector menjadi bentuk
kromatogram. Dari kromatogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis kualitatif
dan kuantitatif.
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan


4.1.1 Alat
1. Seperangkat alat kromatografi Gas
2. Sentrifuge
3. Shaker
4. Timbangan/ neraca
5. Tabung sentrifuge 50 ml
6. Vacuum
7. Mikropipet
8. Pipet volume 10 ml
9. Tabung Vial
10. Rotary Evaporator
11. Labu alas bulat
12. Erlenmeyer
13. Tabung reaksi
14. Spatula
15. Corong
4.1.2 Bahan
1. Sampel tanah
2. Aseton
3. NaCl
4. Na2SO4
5. Standart Profenofos 1 ppm
6. Standart Klorpirifos 1 ppm
7. Standart Diazinon 1 ppm
8. Kertas saring
4.2 Prosedur Kerja
4.2.1 Preparasi

1. Pengeringan Sampel

Sampel tanah ditempatkan pada nampan dan dikeringkan dengan mengangin-


anginkan pada udara kering. Selama itu perlu dijaga jangan sampai ada debu
kotoran atau bahan lain yang mencampurinya. Pengeringan dilakukan hingga
mencapai kadar air 15 %. Proses pengeringan sampel kurang lebih satu minggu
untuk kemudian bisa dilakukan proses penumbukan.

2.Penumbukan/ Penghalusan Sampel

Sampel tanah dibuat menjadi 2 ukuran yaitu 0,5 mm dan 2 mm. Sampel tanah
ditumbuk pada lumpang porselen dan diayak dengan ayakan ukuran lubang 2 mm.
Sampel tanah hasil ayakan disimpan dalam plastic yang sudah diberi kode sampel.
Selanjutnya sampel tanah yang berukuran 0,5 mm yang lolos dari ayakan 2 mm
diambil untuk kemudian disimpan dalam plastic yang sudah diberi kode sampel.
Lumpang , ayakan dan alat-alat lainnya harus bersih sebelum dipakai untuk contoh
berikutnya.

3.Penyimpanan Sampel

Sampel yang telah selesai proses penumbukan dan pengayakan selanjutnya


disimpan di ruangan sampel. Setelah selesai analisis sampel disimpan di Gudang
penyimpanan sampel untuk jangka waktu tertentu agar memudahkan bila
diperlukan untuk pengulangan analisis. Sampel tanah atau sampel tanaman sebelum
masuk tahapan analisis (ekstraksi, dll) sampel harus di cek terlebih dahulu kadar air
dengan alat pengukur kadar air portable.

4.Penimbangan Sampel

10 gram sampel tanah ukuran 0,5 mm ditimbang sebanyak 3 kali. Jadi ada
tiga sampel tanah yang sama yang akan di analisis residu pestisida profenofos
(dilakukan pengulangan 3 kali).
4.2.2 Ekstraksi Sampel
Sampel tanah 10 gram kemudian dimasukkan kedalam botol Teflon 50 ml.
Kemudian sampel dibuat menjadi larutan sampel 1 ppm dengan menambahkan
larutan standar mix profenofos 100 ppm, klorpirifos 100 ppm dan diazinon 100
ppm(masing-masing tabung berisikan 10 gram sampel tanah, 0,1 ml larutan standar
profenofos 0,1 ml standar klorpirifos dan 0,1 ml standar diazinon dan dilarutkan
dalam 9,7 ml pelarut aseton). Campuran dikocok dengan shaker selama 30 menit.
Setelah dishaker sampel ditambahkan dengan 4 gram Na2SO4 dan 4 gram NaCl, lalu
dikocok selama 1 menit. Botol Teflon dimasukkan dalam tabung sentrifuge dan
disentrifuge selama 4 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Hasil dari sentrifuge
disaring menggunakan kertas saring, setelah itu filtrat hasil penyaringan dipipet
sekitar 1,5 ml dan dimasukkan kedalam botol vial dan diberi kode. Sampel siap
dianalisis dan diukur menggunakan GC (Gas Chromatography). Penginjekan 1
sampel membutuhkan waktu 20 menit.

4.2.3 Analisis menggunakan Gas Kromatografi


Sampel diinjeksi ke dalam kromatografi gas. Kondisi kromatografi gas untuk
deteksi residu profenofos adalah sebagai berikut :

Program : GC Solution

Kolom : Rtx-5

Panjang kolom :30 cm

Diameter kolom :0,25 cm

Gas pembawa : Nitrogen dalam 1,5 ml/menit

Detector : ECD (Electron Capture Detektor)

Suhu detector : 2500 C

Suhu injector : 2500 C

Suhu kolom : 2300 C

Mode :Splitless
Oven : Suhu dibuat tetap

Waktu conditioning selama kurang lebih 30 menit. Pembilas yang digunakan


adalah aseton. Sebelum digunakan untuk menginjeksi sampel injector akan terlebih
dahulu terbilas dengan pelarut aseton sebanyak 3 kali dan setelah digunakan untuk
menginjeksi sampel atau akan digunakan ke sampel selanjutnya injector akan
terbilas aseton sebanyak 10 kali agar semua pengotor dapat hilang.
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian,
bahan pangan, pakan hewan maupun pada tanah dan air pada area pertanian , baik
sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini
mencakup senyawa turunan pestisida seperti senyawa hasil konversi,metabolit,
senyawa hasil reaksi dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh
toksikologis (Komisi Pestisida, 1997). Residu pestisida tersebut kadang-kadang
masih ditemukan sampai saat hasil pertanian mengalami proses selanjutnya atau
bahkan sampai saat dikonsumsi. Besarnya residu pestisida yang ditemukan dalam
tanaman tergantung pada dosis, jumlah dan interval aplikasi, factor-faktor
lingkungan fisik yang memengaruhi dekomposisi pestisida, jenis tanaman yang
diperlakukan, formulasi dan cara aplikasinya, jenis bahan aktif dan sifat
fitokimianya serta saat aplikasi terakhir sebelum hasil tanaman dipanen. Residu
pestisida masih mempunyai potensi untuk menimbulkan keracunan terhadap
manusia dan organisme bukan sasaran lainnya, tergantung dari besarnya residu ,
sifat fitokimia, sifat bioakumulatif dan toksisitasnya maka keracunan yang
ditimbulkan dapat bersifat akut maupun kronis. Dampak negative yang dapat
ditimbulkan oleh residu pestisia terhadap kesehatan manusia selain karsinogenik
(kanker) adalah menimbulkan EDs( Endocrine Disrupting Pesticides) yakni dapat
memengaruhi metabolism steroid, fungsi tiroid, spermatogenesis, hormone
gonadotropik, aktifitas oestrogenik dan aktifitas anti-androgenik. Maka, dibeberapa
negara telah diberlakukan peraturan perundang-undangan mengenai residu
pestisida. Negara-negara maju telah menetapkan Batas Maksimum
Residu(Maximum Residu Limit = MRL) pestisida dalam berbagai komoditas
pertanian. Nilai batas maksimum residue rat kaitannya dengan nilai konsumsi
harian yang diterima (Acceptable Daily Intake = ADI). Nilai ADI sangat ditentukan
oleh pola konsumsi masyarakat suatu negara. Maka seyogyanya setiap negara
memiliki nilai MRL dan ADI sendiri. Karena berbagai keterbatasan dari banyak
negara maka FAO dan WHO telah memprakarsai penyusunan pedoman mengenai
nilai MRL dan ADI dari berbagai jenis pestisida dalam berbagai macam komoditas
pertanian.

Dalam pengambilan sampel tanah sebaiknya dibedakan antara tanah


permukaan (sampai kedalaman 5 cm) dan tanah dibawah permukaan (kedalaman
lebih dari 5 cm). Residu pestisida pada tanah dibawah permukaan menunjukkan
kedalaman penetrasi pestisida. Tanah permukaan dapat diambil dengan camgkul
kecil sedangkan yang dibawah permukaan harus diambil dengan alat khusus (bor
tangan). Banyaknya contoh tanah untuk keperluan analisis adalah 500 gram. Hal-
hal yang perlu diperhatikan sebelum sampel tanah dimasukkan dalam plastic atau
tempat lainnya adalah bahan-bahan organic yang menempel pada tanah sebaiknya
dibuang untuk mengurangi gangguan analisis. Tanah sebelum dianalisis terlebih
dahulu dikering anginkan selama kurang lebih satu minggu dalam ruangan kering
hingga kadar air maksimum 15 % setelah itu ditumbuk hingga lolos saringan/
ayakan 2 mm.

Berbagai metode analisis telah dipublikasi, baik oleh Lembaga pemerintahan


suatu negara, Lembaga penelitian maupun perusahaan pestisida. Ditinjau dari
jumlah jenis pestisida yang hendak diketahui dalam suatu sampel, metode analisis
terbagi atas:

a. Metode untuk residu tunggal, artinya hanya satu jenis residu pestisida yang
hendak dicari dari satu sampel. Metode ini untuk pengujian residu satu
pestisida tertentu dalam berbagai sampel
b. Metode multi residu yang bertujuan untuk mengetahui sebanyak mungkin
jenis residu pestisida yang terdapat dalam satu sampel.

Dalam analisis residu profenofos menggunakan gas kromatografi ini


digunakan metode Quechers dimana metode ini merupakan pengembangan Teknik
ekstraksi yang sesuai untuk preparasi sampel multiresidue. Teknik ini tidak
memerlukan pelarut organic banyak dan dapat digunakan untuk semua jenis
pestisida yang lazim digunakan dalam pertanian. Menurut Nollet & Toldra (2015)
metode Quechers memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode SNI,
diantaranya sebagai berikut :

a. Recovery tinggi (>85%) dicapai untuk polaritas yang luas dan volatilitas
berbagai pestisida, termasuk analit yang sulit
b. Sangat akurat (benar dan tepat) hasil yang dicapai
c. Throughput/kualitas pengerjaan sampel tinggi, sekitar 10 sampel
dimungkinkan selesai sekitar 30-40 menit
d. Penggunaan hanya sedikit pelarut
e. Metodenya sangat baik karena pembersihan ekstrak dilakukan untuk
menghilangkan asam organic
f. Hanya sedikit perangkat yang diperlukan untuk persiapan sampel.

Dalam metode Quechers ini tidak melalui proses pemurnian (Clean Up),
sehingga sampel tanah yang sudah di ekstraksi dan sudah tersaring langsung
dilakukan pengukuran/ analisis menggunakan kromatografi gas.

Ekstraksi adalah tahap awal analisis sampel, pelarut yang digunakan dalam
ekstraksi menggunakan metode Quechers ini adalah aseton. Pelarut yang digunakan
harus pelarut organic yang mudah menguap. Persyaratan pelarut untuk analisis
residu pestisida adalah:

a. Melarutkan dengan baik pestisida yang hendak dianalisis


b. Melarutkan sedikit mungkin komponen lain dari smapel yang diekstrak. Hal
ini dimaksutkan untuk mengurangi gangguan dalam analisis
c. Titik didih tidak boleh terlalu tinggi (umumnya lebih rendah dari 800 C ),
agar pada saat penguapan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi
d. Tingkat kemurniannya tinggi. Biasanya digunakan pelarut dengan kualitas
tinggi untuk analisis, kualitas residua tau pelarut yang telah mengalami
pemurnian dan didistilasi dengan alat distilasi yang seluruhnya terbuat dari
gelas.

Untuk analisis residu tunggal, pemilihan pelarut lebih mudah dilakukan.


Sedangkan untuk analisis multi residu harus diusahakan agar pestisida yang dituju
terekstrak semuanya. Selain aseton, pelarut yang umum digunakan adalah n-
heksan, petroleum eter, diklorometan, asetonitril, kloroform, methanol dan sering
juga berupa campuran antara dua pelarut. Hal penting lain yang sangat perlu
diperhatikan dalam pemilihan pelarut dalam analisis residu ini adalah sifat
kepolaran dari residu yang akan dianalisis. Kepolaran pestisida sangat bervariasi,
mulai dari yang non polar (missal DDT) sampai yang sangat polar (missal Azodrin
dan pestisida yang berupa garam). Seperti yang kita ketahui pelarut polar akan
melarutkan dengan baik senyawa polar, begitupun pelarut non polar akan
melarutkan dengan sangat baik senyawa non polar. Apabila dalam suatu contoh
terdapat campuran residu pestisida yang polar dan non polar maka pemilihan
pelarut hendaknya dilakukan dengan bijaksana, biasanya menggunakan pelarut
yang kepolarannya sedang atau campuran antara dua pelarut yang non polar dan
polar. Karena senyawa yang akan dianalisis dalam analisis residu pestisida ini
adalah senyawa non polar yaitu pestisida golongan organofosfat maka pelarut yang
digunakan adalah pelarut yang bersifat non polar juga yaitu aseton (indeks polaritas
aseton 5,4 ). Berikut adalah Daftar Indeks Polaritas dari beberapa Pelarut :

Tabel 5 : Daftar Indeks Polaritas Pelarut

Pelarut Indeks Polaritas Titik didih (0 C)


n-heksan 0,0 68,9
Sikloheksan 0,0 80,7
Isooktan 0,4 99,2
Karbontetraklorida 1,7 76,5
Toluene 2,3 110,6
Diklorometan 3,4 40,0
1-Butanol 3,9 117,2
Tetrahydrofuran 4,2 67,0
2-Propanol 4,3 82,4
Etil asetat 4,3 77,1
Kloroform 4,4 61,7
1,4- Dioksan 4,8 101,0
Etanol 5,2 78,5
Aseton 5,4 56,2
Asetonitril 6,2 81,6
Methanol 6,6 65,0
Air 9,0 100,0

Proses ektraksi dengan metode Quechers ini dilakukan dengan membuat


larutan sampel menjadi 1 ppm yaitu dengan menambahkan standar mix (0,1 ml
standar profenofos 100 ppm + 0,1 ml standar klorpirifos 100 ppm + 0,1 ml standar
diazinon 100 ppm) pada 10 gram sampel tanah dan dilarutkan dalam aseton 9,7 ml.
Larutan standar mix yang ditambahkan dimaksudkan untuk mengkondisikan
larutan sampel dalam keadaan tercemar residu pestisida. Selanjutnya campuran
dishaker 30 menit agar larutan tercampur rata dan homogen.

Penambahan NaCl dan Na2SO4 bertujuan untuk mengikat bahan-bahan


pengotor lain missal lemak yang tidak dibutuhkan dalam analisis, sehingga harus
dipisahkan atau dihilangkan dari larutannya agar tidak mengganggu pada
pengukuran residu. Untuk mempermudah memisahkan campuran larutan dilakukan
sentrifugasi dengan alat sentrifuge. Tujuan dari sentrifugasi itu sendiri adalah untuk
memisahkan supernatant dari residunya. Teknik sentrifugasi merupakan suatu
Teknik pemisahan yang dilakukan berdasarkan partikel dalam medan gaya
sentrifugal. Partikel yang berbeda dalam berat jenis, ukuran, dan bentuk akan
mengendap searah dengan gaya sentrifugal dengan kecepatan yang berbeda.
Kecepatan tergantung dengan gaya sentrifugal yang mengenai partikel searah
dengan jari-jari radial ke arah luar (menjauhi sumbu) (Lehninger,1999). Hal ini
berarti molekul/senyawa yang memiliki berat molekul yang besar akan mengendap
sebagai residu sedangkan molekul atau senyawa yang memiliki berat molekul yang
kecil akan terkandung didalam filtrat. Residu pestisida profenofos, klorpirifos dan
diazinon akan terkandung didalam filtrat, sedangkan serat-serat kasar tanah akan
mengendap menjadi residu. Proses sentrifugasi berlangsung selama 4 menit dengan
kecepatan 2500 rpm.

Larutan hasil sentrifugasi kemudian di saring menggunakan kertas saring.


Supernatant/ Filtrat yang dihasilkan kemudian dipipet sekitar 1,5 ml dan
dimasukkan kedalam botol vial yang sudah diberi kode dan ditutup untuk
selanjutnya dilakukan analisis menggunakan kromatografi gas (GC).

Residu pestisida yang terdapat dalam sampel biasanya dalam jumlah sangat
kecil dalam orde ppm (part per million), ppb (part per billion) bahkan ppt (part per
trillion). Karena itu diperlukan alat yang cukup sensitive yang dapat mendeteksi
jumlah pestisida sekecil itu. Alat yang biasa digunakan untuk menganalisis residu
adalah kromatografi gas. Dengan menggunakan detector khusus alat ini dapat
mendeteksi residu pestisida sampai 1 nanogram bahkan sampai 100 pikogram.
Detector yang digunakan dalam analisis ini adalah detector penangkap electron
(Electron Capture Detector- ECD). Detektor lain yang biasa digunakan dalam
analisis residu adalah detector nyala api (Flame Photometry Detector-FPD) untuk
residu pestisida yang mengandung unsur fosfor dan sulfur. Dan detector ionisasi
nyala (Flame Ionization Detector-FID) untuk residu pestisida yang mengandung
unsur fosfor dan nitrogen.

Pemisahan dalam kromatografi gas disebabkan oleh perbedaan dalam


kemampuan distribusi analit diantara fase gerak dan fase diam didalam kolom pada
kecepatan dan waktu berbeda. Lima komponen utama dalam kromatografi gas
adalah Gas pembawa, injector sampel, kolom, detector dan akuisisi data.

Gas pembawa yang digunakan dalam analisis ini adalah gas Nitrogen. Jenis
gas pembawa yang digunakan harus sesuai dengan tipe detector dan tujuan analisis.
Gas harus memenuhi syarat diantaranya : gas sesuai dengan detector yang
digunakan, inert,kering dan murni. Jenis-jenis gas pembawa yang umum digunakan
pada analisis residu pestisida memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Berikut tabel
jenis-jenis gas pembawa yang umum digunakan:

Tabel 6 : jenis detector dan gas yang dibutuhkan


Detector Gas Pembawa Gas pembakar Gas Pendukung
TCD He - -
FID N2 atau He H2 Udara
ECD N2 - -
FPD N2 atau He H2 Udara atau O2

Fase gerak

Fase diam

Gas pembawa

Dll

Proses validasi metode dilakukan untuk memastikan bahwa metode analisis yang
digunakan telah memenuhi tujuannya, artinya data yang dihasilkan adalah benar
dan dapat dipercaya. Validasi terhadap suatu metode Analisa menjadi factor penting
karena hanya metode Analisa yang telah dibuktikan validitasnya maka hasil
pengukurannya bias dipertanggung jawabkan dan dapat dipergunakan sebagai
landasan dalam perhitungan berikutnya. Parameter-parameter validasi metode
diantaranya adalah linearitas, selektivitas, akurasi, presisi, LOD, LOQ. Namun
dalam analisis residu pestisida kali ini hanya menentukan linearitas, akurasi dan
presisi dari suatu metode.

Dari pengukuran menggunakan kromatografi gas yang telah dilakukan, didapatkan


data sebagai berikut :

Profenofos Klorpirifos Diazinon


Ulangan Waktu Retensi Area Waktu Retensi Area Waktu Retensi Area
1 10,454 47252,1 7,521 104930,7 5,543 20129,1
2 10,456 42739,4 7,522 98172,8 5,542 19444
3 10,455 47198 7,523 110230 5,542 23693,8
Dimana dari data diatas menunjukkan bahwa terdapat residu golongan profenofos,
klorpirifos maupun diazinon pada sampel yang dapat dilihat dari waktu retensi yang
dihasilkan dari masing-masing sampel yang memberikan nilai yang mendekati
waktu retensi dari standar profenofos, klospirifos dan diazinon.

Berikut adalah data pengukuran standar:

standar Profenofos Klorpirifos Diazinon


Waktu Retensi Area Waktu Retensi Area Waktu Retensi Area
1 10,426 48381,7 7,497 126562,1 5,526 10553
0,8 10,428 38214,6 7,498 104780,5 5,527 8566,2
0,6 10,429 29713 7,499 82240,4 5,528 6484
0,4 10,43 19270,3 7,501 55726,9 5,528 4252,6
0,2 10,433 10126,2 7,502 30397,1 5,531 2261
Dari pengukuran standar diatas dapat disimpulkan bahwa waktu retensi untuk
residu pestisida profenofos adalah 10,43 ; klorpirifos 7,5 ; diazinon 5,53 . Sehingga
data pengukuran sampel yang dihasilkan jika menunjukkan waktu retensi sampel
seperti waktu retensi standar atau mendekati waktu retensi standar maka dalam
sampel tersebut terkandung pestisida profenofos, klorpirifos dan diazinon.

1. Uji Liniearitas
Validasi metode penetapan kadar diawali dengan uji liniearitas dan
pembuatan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi merupakan hubungan antara
respon instrument berupa luas area kurva dari analit terhadap konsentrasi
dari analit. Suatu kurva kalibrasi yang baik akan menghasilkan nilai
koefisien relasi (r) mendekati 1, yang artinya peningkatan luas area kurva
analit berbanding lurus dan sigifikan dengan peningkatan konsentrasinya.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap 6 seri konsentrasi
standar profenofos, klorpirifos dan diazinon (1; 0,8; 0,6; 0,4; 0,2; 0,1 ppm).
Hubungan antara konsentrasi profenofos, klorpirifos , diazinon dengan luas
area yang dihasilkan ditunjukkan oleh kurva kalibrasi pada gambar :
Kurva Kalibrasi
60000
y = 45845x + 1935
50000 R² = 0.9962

40000
Area

30000

20000

10000

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (ppm)

Gambar 7: Kurva Kalibrasi Profenofos

Kurva Kalibrasi
12000
Area

y = 10278x + 283.77
10000 R² = 0.9992

8000

6000

4000

2000

0
0 0 0 1 1 1 1
Konsentrasi (ppm)

Gambar 8: Kurva Kalibrasi Diazinon


Kurva Kalibrasi
140000
y = 121156x + 7173.8
120000 R² = 0.9988
100000

80000
Area

60000

40000

20000

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (ppm)

Gambar 9: Kurva Kalibrasi Klorpirifos

Pada uji liniearitas hubungan antara konsentrasi dengan luas area puncak diperoleh
nilai koefisien korelasi (r) untuk profenofos sebesar 0,9962 untuk klorpirifos
sebesar 0,9988 dan untuk diazinon sebesar 0,9992 yang artinya dari ketiga kurva
tersebut menunjukkan koefisien korelasi mendekati satu, hal ini menandakan ketiga
kurva tersebut memenuhi syarat sehingga dapat digunakan untuk menghitung
konsentrasi profenofos, klorpirifos dan diazinon pada sampel tanah yang dicemari
pestisida profenofos, klirpirifos dan diazinon.

2. Uji Akurasi dan Presisi


Akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil
sebenarnya. Uji akurasi dinyatakan dalam persen perolehan kembali
(Recovery) dari beberapa ulangan.
Uji presisi merupakan ukuran derajat kesesuaian antara hasil uji individual,
diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur
diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari
campuran yang homogen (Harmita, 2006). Uji presisi dinyatakan dalam
penentuan standar deviasi.
Pada penentuan akurasi dan presisi ini diperoleh dengan cara mengukur
larutan dengan hanya satu macam konsentrasi campuran pestisida
profenofos, klorpirifos dan diazinon yang diadisikan ke dalam matriks
sampel yang dilakukan replikasi/ pengulangan 3 kali. Berikut hasil
perolehan kembali (Recovery) dan presisi dari residu profenofos pada
sampel tanah dengan metode Quechers

C Standar yang ditambahkan C SPIKE


Ulangan C Sampel (µg/g) (µg/ml) (µg/ml) % Rec
1 0 1 0,9885 98,85
2 0 1 0,89 89
3 0 1 0,9873 98,73
Rata-rata 0,955266667
Standar Deviasi (SD) 0,056525776
%RSD 5,917277113
SD Horwitz 16,11059295
2/3 SD Horwitz 10,79409728
% Recovery 95,52666667
Batas Keberterimaan 70-120%
Akurasi (70-120% rec) Diterima
Kesimpulan
Presisi (%RSD ≤ 2/3 SD Horwitz) Diterima

Dari data yang diperoleh % uji perolehan kembali(recovery) profenofos


adalah 95,5267% . Hasil uji perolehan kembali (recovery) yang didapatkan
berada dikisaran yang masih dapat diterima yaitu berada pada rentang 70-
120%. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa data uji akurasi
telah memenuhi persyaratan.
Nilai presisi (ketelitian) pengujian dapat diketahui berdasarkan nilai %RSD.
Nilai %RSD dari profenofos yang diperoleh dari pengukuran menggunakan
kromatografi gas adalah 5,917278% , dimana nilai presisi dapat diketahui
dapat diterima atau tidaknya dari perhitungan nilai Horwitz. Jika % RSD ≤
2/3 SD Horwitz maka pengukuran presisi yang dilakukan memenuhi kriteria
seksama atau dengan kata lain presisi pengukurannya baik (diterima),
sebaliknya jika %RSD ≥ 2/3 SD Horwitz maka pengukuran presisi yang dilakukan
tidak memenuhi kriteria seksama atau presisi pengukurannya kurang baik (tidak
diterima).

Anda mungkin juga menyukai