Anda di halaman 1dari 39

Pandangan Islam terhadap Pegawai Bank dalam Praktik Riba Bank

Konvensional
Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Seminar Pendidikan Agama
Islam (SPAI) yang diampu oleh
……………………
………………………….

oleh :

Kelompok 5

Iklima Nur Aziz 1506885

Mohamad Hilman

Resa Regina H 1505831

Rizka Ramdani 1506382

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MANAJEMEN PERKANTORAN


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mempunya prinsip bahwa ekonomi dalam islam bertujuan untuk
mengembangkan kebijakan untuk semua pihak yang berarti mengandung nilai norma
yang tinggi.2 Ekonomi islam berdiri diatas pijakan perdagangaan yang berdasarkan
syariat, yaitu denga mengembangkan harta melalui cara-cara yang di halalkan oleh
Allah SWT, sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentan muamalah syariah,
yang didasarkan pada hukum pokok, boleh dan halal dalam berbagai muamalah. Islam
juga menekan agar setiap manusia dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya harus dengan aktifitas yang halal. Bank memainkan peranan yang sangat
penting dalam melakukan pendapatan suatu negara, tetapi terjadi masalahnya
kebanyakan bank-bank masih memakai sistem bunga dalam pengoprasian bank
tersebut. Pada dasarnya bunga itu sama dengan riba dan riba dalam agama Islam
hukumnya haram.
Begitu juga dengan sarana dalam mendapatkan kekayaan juga harus dengan
jalan yang halal. Allah SWT menekan hal tersebut dalam firman-Nya Surat Al-
Mulk:15
Artinya: Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Usaha untuk memenuhi dapat dilakukan dengan jalan menjauhkan diri dari
segala yang diharamkan oleh Allah SWT darinya, misalnya riba. Riba secara bahasa
bermakna ziyadah, yang berarti tambahan, tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut
istilah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil..
Konsep dan kaidah umum dalam sistem ekonomi Islam yang bertujuan untuk
memotovasi bergairahnya kegiatan ekonomi melalui mekanisme yang adil, propit
bukanlah merupakan tujuan akhir dari kegiatan investasi maupun bertransaksi. Dalam
buku Said Sa’ad Marthon, Al- Jaziri menjelaskan “ jual beli yang dilakukan oleh
manusia bertujuan untuk mendapatkan profit, sumber kecurangan bisa berasal dari
laba yang diinginkan, setiap penjual dan pembeli berkeinginan untuk mendapatkan
laba yang maksimal, syariah tidak melarang adanya laba dalam jual beli, syariah juga
tidak membatasi laba yang harus di hasilkan, akan tetapi syariah hanya melarang
adanya peniruan, tindak kecurangan
Bank memainkan peranan yang sangat penting dalam melakukan pendapatan
suatu negara, tetapi terjadi masalahnya kebanyakan bank-bank masih memakai sistem
bunga dalam pengoprasian bank tersebut. Pada dasarnya bunga itu sama dengan riba
dan riba dalam agama Islam hukumnya haram. Pertanyaannya adalah bagai mana
nasib seorang umat islam yang bekerja di bank yang berbasis konvensional, pedoman
umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan pengikut-pengikutnya
untuk bekerja mencari uang dengan sesuka hatinya dan dengan jalan apapun yang
dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisa antara yang
boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan
juga pada masalah kemaslahatan umum.
Pertanyaannya adalah bagai mana nasib seorang umat islam yang bekerja di
bank yang berbasis konvensional, pedoman umum tentang masalah kerja, yaitu Islam
tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang dengan sesuka
hatinya dan dengan jalan apapun yang dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada
mereka suatu garis pemisa antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari
perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga pada masalah kemaslahatan umum.
Hadis-hadis sahih itulah yang menyiksa hari orang-orang islam yang bekerja di bank-
bank atau syirkah (persekutuan) yang aktifitasnya tidak lapas dari tulis-menilis dan
bunga riba
Berdasarkan uraian diatas membuat penulis tertarik melakukan miniriset
bagaimana pandangan masyarakat dan di dalam islam terhadap hukum bekerja di
bank, yang terdapat dalam mini riset yang berjudul “Pandangan Islam terhadap
Pegawai Bank dalam Praktik Riba Bank Konvensional”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan judul yang telah di kemukakan diatas,
maka permasalahan yang akan diangkat yaitu
1. Apa hukum pegawai bank konvensional di dalam pandangan islam?
2. Bagaimana hukum riba dalam islam?
3. Mengapa pegawai bank konvensional bertentangan dengan hukum islm?
4. Bagaimana pandangan islam dan masyarakat terhadap pegawai bank?
5. Apa faktor yang menyebabkan menyebabkan riba masih diterapkan dan
tingginya minat menjadi pegawai bank
6. Bagaimana Fatwa Ulama Tentang Orang Bekerja di Bank Konvensional?

7. Bagaimana dalil yang menjadi dasar tentang orang yang bekerja dibank
Konvensional melanggar hukum islam?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang kami peroleh, penelitian ini bertujuan
untuk.
1. Mengetahui hukum pegawai bank konvensional di dalam pandangan islam
2. Mengetahui hukum riba dalam islam
3. Mengetahui Mengapa pegawai bank konvensional bertentangan dengan
hukum islm
4. Mengetahui pandangan islam dan masyarakat terhadap pegawai bank
5. Mengetahui faktor yang menyebabkan riba masih diterapkan dan tingginya
minat menjadi pegawai bank
6. Mengetahui Fatwa Ulama Tentang Orang Bekerja di Bank Konvensional
7. Mengetahui dalil yang menjadi dasar tentang orang yang bekerja dibank
Konvensional melanggar hukum islam?
D. Manfaat
Berdasaran tujuan di atas, penelitian ini diharapkan memiliki:
a. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan guna menambah
bekal ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh
b. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu kasana perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam Fiqh Muamalah
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengerian Bekerja
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Kerja menurut bahasa adalah kegiatan
melakukan sesuatu; yg dilakukan (diperbuat):, sesuatu yg dilakukan untuk mencari
nafkah; mata pencaharian. Sedangkan menurut Istilah Pengertian Kerja adalah segala
aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani
dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT." Sedangkan kerja keras berarti bekerja dengan segala
penuh kesungguhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan
Pengertian kerja dalam Islam dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja
dalam arti luas (umum), yakni semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi atau non materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan
dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian
kerja sangat luas, mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, kerja dalam arti sempit (khusus), yakni kerja untuk memenuhi tuntutan

hidup manusia berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal (sandang, pangan dan

papan) yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang harus ditunaikannya, untuk

menentukan tingkatan derajatnya, baik di mata manusia, maupun dimata Allah SWT.

Dalam melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus

selalu diperhatikan. Seperti bekerja dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik

budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak merampas, tidak

mengabaikan sesuatu, tidak semena-mena (proporsional), ahli dan professional, serta

tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam

(al-Quran dan Hadits).

Menurut Toto Tasmara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan

sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya
secara nalar, yaitu:

1. Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu

sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan

karya atau produk yang berkualitas.

2. Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu yang


direncanakan.

B. Dasar Hukum Bekerja


Dasar hukum bekerja banyak terdapat dalam al-Quran dan sunah salah
satunya terdapat dalam surat :

Artinya : Dan katakanlah "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya


serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS At-Taubah, 105)
Dari keterangan ayat di atas, terdapat kesimpulan bahawa konsep kerja
menurut Islam adalah meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syarak
sebagai balasan kepada upah atau bayaran, sama ada kerja itu bercorak jasmani
(flzikal) seperti kerja buruh, pertanian, pertukangan tangan dan sebagainya atau kerja
bercorak aqli (mental) seperti jawatan pegawai, baik yang berupa perguruan, iktisas
atau jawatan perkeranian dan teknikal dengan kerajaan atau swasta. Antara hadis-hadis
tersebut ialah:
"Tidaklah ada makanan seseorang itu yang lebih baik daripada apa yang dimakannya
dari hasil usaha tangannya sendiri". (Riwayat al-Bukhari)
Berdasarkan konsep ini maka menurut pandangan Islam, masyarakat
seluruhnya dan semua peringkat adalah pekerja. Oleh yang demikian konsep kerja
seperti ini membawa implikasi sosial yang penting, antaranya:
1. Bahwa asal manusia adalah sama sebagai manusia dan pekerja yang
mempunyai kemuliaan dan kehormatan sekalipun perbezaan itu tidaklah
merupakan keistimewaan satu pihak terhadap yang lain.
2. Para pekerja bukanlah hanya satu kelompok dari masyarakat, bahkan mereka
adalah semua anggota masyarakat. Jadi mengikut konsep Islam bahawa
masyarakat itu adalah tersusun atau terbentuk dari kerjasama antara sesama
para pekerja di dalamnya, bukan terdiri dari kumpulan para pekerja dan para
majikan seperti yang difahami menurut sistem ekonomi komunis atau
kapitalis.

C. Prinsip Bekerja dalam Islam


Bekerja bagi manusia merupakan fitrah sekafigus identitas kemanusiaannya itu
sendiri. Dengan demikian bekerja yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan
saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat
dirinya sebagai hamba Allah yang berperan sebagai khalifah-Nya di muka bumi dalam
mengelola alam semesta sebagai wujud rasa syukurnya atas nikmat Allah SWT.45
Islam menempatkan kerja pada tempat yang sangat mulia dan luhur yaitu digolongkan
pada fi sabilillah. Hal ini tercermin dari sabda Rasulullah yang artinya: Diriwayatkan
dari Ka'ab bin Umrah: Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW
bahwa orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para shabat lalu
berkata:
“Ya Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan fi
sabilillah, alangkah baiknya. Maka Rasulullah bersabda: “Kalau ia bekerja itu hendak
menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, ia adalah fi sabilillah, kalau ia bekerja
untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usianya, ia itu fi sabilillah.
Kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak memina-minta, ia adalah
fi sabilillah, (HR Thabrani).
Menurut Mohamad sobari Islam sebagai agama dan ideologi islam memang
mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah
beribadah, Dan, hendaknya kamu takut pada generasi setelah yang ditinggal dalam
kesusahan iman dan ekonomi. Beberapa hadits Nabi menyatakan pentingnya generasi
(umat) yang kuat ketimbang yang lemah dan tidak boleh menggantungkan diri pada
orang lain, serta beberapa ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan
kegiatan atau aktivitas ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan
kpntinyuitas. Misalnya, ajaran Islam yang telah menempatkan kegiatan usaha
perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan,' dengan
menggunakan cara-cara yang halal. Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada
tempat yang sentralnya guna mengejartujuan keduniawian, namun serta merta juga
mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar
telah disuratkan dan disiratkan dalam al-Qur'an dan Hadis. Dari norma tersebut
tampak bagian dan rangkaian sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk bekerja
keras.
Dalam konteks inilah, diperlukan planning yang matang sebelum melakukan
sesuatu pekerjaan baik yang berkaitan dengan permodalan maupun operasionaliasi
kerja, karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menggapai goal
yang diharapkan. Planning inilah yang akan menentukan jalan keberkahan bagi
dirinya.

D. Pendapat Ulama Tentang Bekerja Di Bank Konvensional

Bila diketahui bahwa Bank Konvensional adalah tempat riba yang diharamkan
dalam Islam, maka bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti
membantu mereka dalam keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia
ridho dengan kemunkaran yang dia lihat. Allah berfirman:

Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-

Nya. (QS. Al-Maidah: 2)66

Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas
dosa dan kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas
tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya
Nashoro dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas
kebathilan.
Lebih jelas lagi, perhatikan hadits berikut:

Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba,wakilnya,


sekretarisnya dan saksinya.(HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi
sekretarisuntuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan
haramnya membantu kebathilan”. Para ulama sekarang telah menegaskan tentang
tidak bolehnya menjadi pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban
baginya adalah menghindari dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal,
sesungguhnya Allah Maha luas rizkiNya.
Seorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui
gambarannya dan pokok permasalahannya. Dari sinilah, penting bagi kita untuk
mengetahui hakekat Bank agar kita bisa menimbangnya dengan kaca mata syari’at.
Menurut Yusuf Qardhawi Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu
dapat kita gambarkan secara global sebagai berikut:
1. Pekerjaan Bank Yang Boleh
a. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.
b. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian
tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.
c. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.
d. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank
banyak membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi
pengiriman barang dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual
barang.
Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran
hukumnya adalah boleh dalam pandangan syari’at.
2. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh
a. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut
akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia
dengan bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada
penabung.
b. Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam
tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari
hutangnya dengan peresentase.
c. Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank
tatkala mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah
menerima pinjaman.

E. Pengertian Riba
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-ziyadab), berkembang
(an-numuw), meningkat (al-irtifa), dan membesar (al-‘uluw). Dengan kata lain, riba
adalah penambahan,perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman
pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.
Dalam hal ini, Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kita
Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan
yang diambil tanpa ada suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan
syariah. Demikian juga, Imam Sarakhi dalam kita Al-Mabsut menyebutkan bahwa
tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya ‘iwad yang dibenarkan syariat atas penambahan tersebut.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, yang dimaksud riba adalah
tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga,
menurut Ibn Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan,baik dalam bentuk barang maupun
uang. Sedangkan menurut Allama Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan
atau penambahan; dan jika dalam suaru kontrak penukaran barang lebih dari satu
barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama.
Ada beberapa perbedaan definisi riba dikalangan ulama, tetapi perbedaan ini
lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba di
dalam konteks hidupnya. Sehingga, walaupun terdapat perbedaan dalam
pendefinisiannya, tetapi subtansi dari definisi tersebut sama. Secara umum ekonom
muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tamabahan yang harus
dibayarkan, baik dalam transaksi jaul-beli maupun pinjam meminjam yang
bertentangan dengan prinsip syariah.

F. Dasar Hukum Tentang Riba


1. Riba dalam Islam
A) Al-Qur’an
Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan
sebagaimana berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terbuyung-buyung karena
sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan: “Perdagangan itu sama
saja dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan
riba. Oleh karena itu, barang siapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya
lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginya apa yang telah lalu dan barang
siapa mengulangi lagi (memakan riba) maka itu ahli neraka akan kekal di dalamnya
(QS. Al-Baqarah (2): 275).
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan alah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (QS.Al-Baqarah
(2):276).
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati (QS. Al-Baqarah (2):277).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah
(2):278).
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya (QS.Al-Baqarah (2):279).
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakn riba dengan berlipat-
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan
(QS. Ali ‘Imran (3):130).
Dan disebutkan memakan riba, pahala sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dank arena merekan memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih
(QS. An-Nisa (4):161).
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
menusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya) (QS. Ar-
Rumm (30):39).
B) Al-Hadist
Dari Jubair ra, Rasulullah saw mencela penerima dan pembayar bunga orang
yang mencatat begitu pula yang menyaksikan. Belilau bersabda, “Mereka semua
sama-sama berada dalam dosa” (HR.Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Dari Abu Said al-Khudri ra Rasulullah saw bersabda, “Jangan melebih-
lebihkan satu dengan lainnya; janganlah menjual perak untuk perak, kecuali keduanya
stara; dan jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; dan jangan menjual sesuatu
yang tidak tampak.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad).
Dari Ubada bin Sami ra, Rasulullah saw bersabda, “Emas untuk emas, perak
untuk perak, gandum untuk gandum. Barang siapa membayar labih atau menerima
labih dia telah berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa)” (HR.
Muslim dan Ahmad).
Emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam dengan ukuran yang sebanding
secara tunai. Apabila kelompok ini berbeda-beda (ukurannya), maka juallah sesuka
kalian, apabila tunai (HR.Imam dari Ubadah bin Shamit).
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw telah membagi makan di
antara mereka dengan pembagian yang berbeda. Yang satu melebihi yang lain.
Kemudian Sa’id berkata, “Kami selalu (mengambil cara dengan) saling melenihkan di
antara kami”. Kemudian Rasulullah saw melarang kami untuk saling
memperjualbelikannya selain dengan timbangan (berat) yang sama, tidak melenihkan
(HR. Ahmad).
Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya seonggok makanan tersebut
tidak dijual dengan seonggok makanan, dan (hendaknya) tidak dijual seonggok makan
dengan timbangan makana yang telah ditentukan (HR. Nasa’i).
G. Persoalan Riba Dalam Pandangan Islam
Dalam buku Hukum Ekonomi Islam yang ditulis oleh Suhrawardi dan Farid
menyatakan bahwa kegiatan riba dalam praktiknya merupakan pemeraan yang
dilakukan terhadap si miskin yang perlu ditolong agar dapat melepaskan diri dari
kesulitan hidupnya, terutama sekali untuk memnuhi kebutuhan pokoknya. Akan tetapi,
yang terjadi justru sebaliknya. Tukang riba datang menawarkan jasa dengan cara
meminjamkan uang kepada si miskin tersebut dengan ketentuan uang harus beranak
(berbunga). Hal ini disebabkan si miskin tidak sanggup membayar tepat pada
waktunya maka diadakan penundaan pembayaran, sehingga uang terus beranak (bunga
berbunga). Semakin lama utang tidak dibayar maka semakin besar pulalah bunga yang
dikenakan kepada si miskin. Sering terjadi uatang pokok yang berlipat ganda, yang
pada akhirnya menimbulkan kesulitan bagi yang berutang.
Lebih lanjut dapat dikemukakan landasan hukum tentang pelarangan riba ini
didasarkan kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2):275 s.d
281 dan QS. Ali-Imran (3):130.
Apabila diperhatikan ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut,
secara menjelaskan dengan tegas pengertian riba, hanyalah ketentuan yang
menyatakan; “…janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda..” (QS. Ali-
Imran (3): 130).
Keterangan ahli tafsir dan penjelasan para ahli Hukum Islam, pada umumnya
mereka memandang bahwa riba yang dimaksudkan dalam Al-quran adalah riba nasiah,
yakni bentuk riba yang merajalela pada zaman jahiliah, yaitu beberapa kelebihan
pembayaran yang dimestikan kepada orang yang beruntung sebagai imbalan daripada
tenggang waktu yang diberikan. Jadi, disini jelas terlihat bahwa sebagian para ahli
tafsir berpendapat bahwa riba yang dimaksudkan dalam nash Al-quran tersebut adalah
riba yang bertempo.
Sebaliknya, Yusuf Qardhowi, dkk (1992: 36-37) berpendapat, “Sesungguhnya
riba yang merata di zaman jahiliah bukan riba konsumsi. Tidak ada orang yang datang
meminjam kepada seseorang untuk dimakan. Kalau ada seorang Arab yang memungut
riba dari seorang miskin yang membutuhkan pinjaman guna kepentingan makan dan
minum, hal itu jarang sekali. Oleh karena itu, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar
hukum bahwa riba yang dimaksudkan dalam Alquran tersbut riba konsumsi (untuk
keperluan konsumtif, pen) atau riba jahiliah.”
Dalam muktamae ulama Islam yang diselenggarakan pada bulan Muharram
tahun 1258H (Mei 1965 M) di Aula Majma’ul Buhuts Al Islamiyah di Al-Azhar Asy
Syarif, dan dihadiri oleh pakar hukum, ekonomi, social dari berbagai negara,
keputusan menyangkut riba berikut ini:
a. Keuntungan dari berbagai pinjaman adalah riba yang diharamkan. Dalam hal ini
tidak ada bedanya antara apa yang dinamakan pinjaman konsumsi dengan pinjaman
produksi karena nash Alquran dan sunnah secara keseluruhan telh mentapkan
haramnya keuntungan dari kedua jenis pinjaman itu.
b. Riba sedikit maupun banuak hukumnya tetap haram seperti yang diisyaratkan oleh
pemahaman yang benar dalam nyerap pesan Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
jaganlah kamu memakan riba berlipat-lipat ganda.” (QS. Ali Imaran (3): 30).
c. Pemberian pinjaman dengan riba hukumnya haran dan tidak bisa dibenarkan karena
hajat atau kerepaksaan seseorang. Penerimaan pinjaman dengna riba hukumnya juga
haram dan tidak bisa terangkat dosanya, kecuali bila ia didorong oleh kerterpaksaan,
dan setiap orang diserahkan kepada keimanannya dalam menilai keterpaksaannya itu.
d. Praktik bank berupa rekening berjalan, tukar-menukar cek, kartu kredit, cambiale
dalam negeri, semuanya tergolong yang dibenarkan. Pungutan apapun sebagai jasa
bank atas pekerjaannya tidak termasuk riba.
Semua rekening berjangka dan surat kredit dengan keuntungan dan berbagai
bentuk rupa pinjaman dengan imbalan keuntungan (bunga) merupakan praktik riba
(Yusuf Qardhowi, dkk, 1992: 59-60).
Adapun menyangkut hikmah diharamkannya riba (Syeikh Ali Ahmad Al-
Jurjawi, 1992:376) disebutkan riba tersebut merupakan bencana besar, musibah yang
kalem, dan penyakit yang berbahaya. Orang yang menerima sistem riba maka
kefakiran akan datang kepadanya dengan cepat. Dia akan dikepung dengan
kemelaratan, karena perjalanan hidup ini tidak dapat diduga sebelumnya. Bahkan
sering terjadi seseorang yang pada mulanya berada dalam serba kecukupan kemudian
menjadi jatuh miskin nasibnya. Ketika itu menjadi teman setia kesedihan, pagi dan
sore pikirannya gelisah dan bersedih. Dalam situasi seperti itu ia menjadi orang yang
guncang hatinya, tertipu perasaannya, dan hancur pikirannya. Atau dalam istilah lain
“dia mati sebelum mati”
H. Macam-macam Riba
Dalam buku Sudarsono secara garis besar riba di kelompokan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba utang-putang da riba jual beli. Kelompok pertama tergagi
lagi menjadi Riba Qard dan Riba Jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual-beli
terbagi menjadi riba Fadhl dan Riba Nasiah
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh)
2. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan. RIba Jahiliyyah dilarang karena kaedah
“Kullu Qordin Jarra manfa ah fahuwa riba” (setiap pinjangan yang mengambil
manfaat adalah riba). Dari segi penundaan penundaan waktu penyerahaannya, riba
jahiliyah tergolong riba nasiah, dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan
tergolong riba fadl”
3. Riba Fadhl
Riba Fadhl disebut juga riba buyu yaitu tiba yang timbul akibat pertukaran barang
sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in_ dan sama waktu penyrahannya (yadan bi yadin).
Peertukaran seperti ini mengantung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak
akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat
menimblkan tindakan zalim terhadp salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak
yang lain.
4. Riba Nasiah
Riba Nasiah juga disebut riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang
yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (Al ghurmu bil ghuri)
dan hasil usaha muncul bersama biaya (Al kharaj bi dhaman). Transaksi semsal ini
mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya
waktu. Riba nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.

I. Alasan Melakukan Riba


Ada beberapa alasan untuk membenarkan bunga di dalam system perbankan:
1. Teori Abstinence
Teori ini menganggap bunga adalah sejumlah uang yang diberikan kepada seseorang
karena pemberi pinjaman telah menahan diri (abstinence) dari keinginannya
memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan peminjam.
Pengorbananan untuk menahan keinginan sehinga menunda suatu kepuasan
menuntut adanya kompensasi dan kompensasi itu adalah bunga.
Kelemahan teori ini:
a. Kenyataanya pemberi pinjaman hanya akan meminjamkan uang yang tidaak ia
manfaatkan, pemberi pinajam hanya akan meminjamkan uang berlebihan dari
yang ia perlukan. Dengan demikian, sebenarnya pemberi pinjaman tidak
menahan diri atas apapun. Tentuk ia tak boleh menuntut imbalan atas hal yang
tidak dilakukan tersebut.
b. Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaaan
konsumsi dari teori bunga abstinence. Walaupuan ada, bagaimana menentukan
suku bunga yang adil anatara kedua belah pihak yakni pemberi pinajaman dan
peminjam.
2. Teori bunga sebagai Imbalan Sewa
Teori ini menganggap uang sebagai barang yang mengahsilkan keuntungan bilamana
digunakan untuk melakukan produksi. Jadi uang bila tidak digunakan tidak
menghasilkan keuntungan, tetapi bila digunakan dipastikan menghasilkan
keuntungan sekian persen dari usaha yang dilakukan.
Kelemahan teori ini:
a. Uang tidak bias disamakan dengan barang-barang rumah tangga atau
perusahaan. Karena barang-barang tersebut membutuhkan perawatan dan
nilainya cenderung menyusut.
b. Nilai uang akan sama dengan nilai barang dan sifat uang sama dengan sifat
barang. Nilainya tidak stabil, maka fungsi yang akan kehilangan esensinya.
c. Sulit memperhitungkan besarnya sewa uang yang dikenakan kepada orang lain,
dan bias saja ini akan mengingkari aspek kemanuasiaan.
3. Teori Produktif- Konsumtif
Teori ini menganggap setiap uang yang dipinjamkan akan membawa keuntungan
bagi orang yang dipinjaminya. Jadi setiap uang yang dipinjamkan baik pinjaman
produktif maupun konsumtif pasti menambah keuntungan bagi peminjam sehingga
pihak yang meminjami pinjaman lakukan atas pinjaman yang telah diberikan.
Kelemahan teori ini:
a. Setiap penggunaan pinjaman, terdapat dua kemungkinan memperoleh
keuntungan atau menderita kerugian. Jika dalam menjalankan bisnisnya
peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat membenarkan pemberi
pinjaman menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam.
b. Keuntungan dari peminjam tidak bisa dijamin selalu sama dari bulan ke bulan
atau tahun ke tahun. Artinya bisa saja peminjam mengalami keuntungan dan
kerugian dalam menjalankan usahanya.
4. Teori Opportunity Cost
Teori ini beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti pemberi
pinjaman menunggu atau menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri gna
memenuhi keinginan sendiri. Hal ini serupa dengan memberikan waktu kepada
peminjam. Dengan waktu itulah yang berutang memiliki kesempatan untuk
menggunakan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Hal ini dijadikan
alasan para penganut teori untuk menganggap bahwa pemberi pinjaman berhak
menikmati sebagian keuntungan pminjam. Menurut mereka besar keilnya
keuntungan terkait langsung dengan besar kecilnya waktu. Pemberi pinjaman
dianggap berhak mengenakan harga sesuai dengan lamanya waktu pinjaman.
Kelemahan teori ini:
a. Waktu tidak bisa dijadikan dasar bagi peminjam untuk mendapatkan keuntungan
usahanya. Bisa saja dengan bekerja keras, dengan waktu yang telah ditentukan,
kita akan mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Akan tetapi keberadaan
usaha kita selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi juga kondisi non-ekonomi.
b. Pengaruh waktu dalam berbagai bidang usaha berbeda-beda. Untuk itu, kita tidak
bisa menyamaratakan keuntugan-kerugian yang diperoleh dari setiap usaha,
misalnya pedagang-pedagang yang menjual barangnya dipasar persaingan
sempurna dipastikan setiap harinya memiliki keuntungan-kerugian yang tidak
sama.
5. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
Teori ini beranggapan bahwa: Pertama, modal mempunyai kesanggupan sebagai alat
dalam memproduksi. Kedua, modal mempunyai kekuatan-kekuatan untuk
menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari apa yang bisa
dihasilkan tanpa memakai modal. Ketiga, modal sanggup menghasilkan benda-benda
yang lebih berharga daripada yang dihasilkan tanpa modal. Keempat, modal sanggup
menghasilkan nilai yang lebih besar dari nilai modal itu sendiri. Dengan demikian,
pemberi pinjaman layak untuk mendapat imbalan bunga.
Kelemahan teori ini:
a. Modal akan berfungsi baik bila ada ddukungan faktor produksi yang lain, seperti
profesionalisme, pengembangan teknologi, luasnya industri dan lain-lain.
b. Kondisi sosial-politik akan mempengaruhi keefektifan modal dalam
mempengaruhi optimalisasi produksi.
6. Teori Nilai Uang pada Masa Datang Lebih Redah
Teori ini menganggap bunga sebagai selisih nilai (Agio) yang diperoleh dari barang-
barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang diwaktu
yang akan datang. Ada tiga alasan mengapa nilai barang di waktu yang mendatang aa
berkurang, yaitu: pertama, keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal
tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan peristiwa serta kehidupan manusia yang akan
datang, sedangkan keuntungan masa kini sangat jelas dan pasti. Kedua, kepuasan
terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi mausia daripada
kepuasan mereka pada waktu yang akan datang. Pada masa yang akan datang,
mungkin saja seseoang tidak mempunyai kehendak sama dengan sekarang. Dan
ketia, kenyataan barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna. Dengan
demikian, barang-barang tersebut mempunyai nilai yang leih tinggi dibanding
dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.
Kelemahan teori ini:
a. Bila demikian mengapa banyak orang tidak membelanjakan seluruh
pendapatannya disaat sekarang. Tetapi lebih banyak menyimpan demi keperluan
dimasa yang akan datang. Hal ini menunjukkan orang menahan keinginan masa
kini demi untuk memenuhi keinginan masa depan. Padahal mereka tidak dapat
menduga apa yang bakal terjadi pada masa medatang.
b. Hasil yang nyata dari optimalisasi waktu tergntung pada jenis usaha, sektor
industri, lama usaha, keadaan pasar, sabilitas sosial dan politik dan lain-lain.
7. Teori Inflasi
Teori ini menganggap adanya kecenderungan penurunan ilai uang dimasa yang akan
datang. Maka menurut paham ini, mengambil tambahan dari uang yang dipinjamkan
merupakan sesuatu yang logis sebagai kompensasi penurunan nilai uang selama
dipinjamkan.
Kelemahan teori ini:
Argumentasi tersebut sangat tepat seandainya dalam dunia ekonomi yang terjadi
hanyalah inflasi saja tanpa ada deflasi atau stabilisasi.
Kita tidak boleh menutup kemungkinan dalam masalah transaksi syariah terdapat
keuntungan. Tidak jarang keuntungan yang dihasilkan dari transaksi tersebut
memiliki nilai return yang melebihi nilai inflasi.

J. Perbedaan Bunga Dan Bagi Hasil


Kecenderungan masyarakat menggunakan sistem bunga (interest ataupun usury) lebih
bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kepentingan pribadi, sehingga kurang
mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Berbeda dengn sistem bagi-hasil
(profit-sharing), sistem ini berorientasi pemenuhan kemaslahatan hidup umat manusia.

(LANJUTAN HILMAN)
BAB III
HASIL PENELITIAN

A. Populasi Dan Sampel


Dalam memenuhi mini riset yang kami analis mengenai “pandangan islam terhadap
Pegawai Bank dalam Hukum Praktik Riba Bank Konvensional” kami mengambil populasi dan
sampel sebanyak 100 Responden, dimana responden tersebut berasal dari kalangan
mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai bank dan juga profesi-profesi lainnya. Adapun
besaran data responden yang kami terima yaitu

B. Metode
Adapun metode yang kami gunakan di dalam menganalisis data responden menggunakan dua
cara yaitu :

1. kuisioner melalui media google form.


Kuisioner kami sebarkan melalui media sosial, whats, line dan media lainnya.
Kuidioner ini untuk mengetahui bagaimana pengetahuan masyarakat tentang hukum
bekerja di bank.
2. Mengkaji pustaka
Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan adalah dengan cara mengkaji dan
menelaah buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, antara lain:
Halal dan Haram dalam Islam karangan Yusuf Qardhawi, fawaidul Bunuk Hiya ar
Riba al Haram karangan Yusuf Qardhawi.

C. Hasil dan Pembahasan


Dalam menganalisis mini riset “Pandangan Islam dan Masyarakat terhadap Pegawai
Bank dalam Hukum Praktik Riba Bank Konvensional” selain di lihat dari pandangan islam
kami ingin mengetahui seberapa jauh pandangan masyarakat mengenai pegawai bank itu
sendiri.
Berdasarkan hasil survey yang kami lakukan menggunakan angket berupa google
form. Kami mengajukan pertanyaan dan pendapat masyarakat sebanyak 14 buah yang di
dalamnya membahas pernyataan dan pendapat yang berkaitan dengan riba, pegawai bank
yang bekerja di bank konvensional dan pandangan mengenai mekanisme kerjanya, dari
perolehan data tersebut kami memperoleh data sebagai berikut :

1.

Dari pertanyaan di atas kami ingen mengetahui dari berbagai kalangan mengenai
pandangan tentang riba dan pandangannya terhadap pegawai bank yang bekerja di bank
konvensional.
Kami melihat bahwa populasi yang memberikan pandangan mengenai riba dari
kalangan mahasiswa sebanyak 75%, pegawai negeri 8%, pegawai bank 9% dan profesi
lainnya sebanyak 8%.
Berdasarkan diagram di atas kami simpulkan profesi mahasiswa yang paling banyak
menyumbangkan pandangannya mengenai riba dan pandangannya terhadap pegawai bank
yang bekerja di bank konvensional.
2.

Dalam pertanyaan ini kami ingin mengetahui terlebih dahulu sejauh mana responden
mengetahui tentang riba. Berdasarkan diagram di atas dapat kita lihat sebanyak 97%
responden mengetahui apa itu riba sedangkan sebanyak 3% responden tidak mengetahui apa
itu riba. Dalam hasil survey tersebut kami menyimpulkan bahwa hampir sebagaian besar
masyarakat sudah mengetahui apa itu riba.

3.
Berbeda halnya dengan pertanyaan sebelumnya mengenai apakah masyarakat
mengetahui apa itu riba, pertanyaan ini ingin melihat sejauh mana masyarakat mengenai
hukum dari riba itu sendiri.
Kebanyakan masyarakat telah memahami bahwa praktik riba memiliki hukum dosa
besar. Terlihat dari diagram diatas sebanyak 84% responden mengetahui hukum riba
sedangkan sebanyak 16% responden tidak mengetahu hokum riba. Dapat disimpulkan masih
ada sebagian kecil masyarakat yang belum mengetahui hokum dari riba itu sendiri.
4.

Maksud dari petanyaan diatas adalah apakah masyarakat mengetahui sistem bank
konvensional dengan sistem bunga melanggar hukum islam? Dimana tujuan dari pertanyaan
di atas adalah untuk mengetahui apakah masyarakat tahu bahwa system bunga itu melanggar
hukum islam.

Berdasarkan diagram diatas sebanyak 91% responden mengetahui bahwa sistem bunga
dalam bank konvensional melanggar hukum islam. Sedangkan sebanyak 9% responden tidak
mengetahui bahwa sistem bunga itu melanggar hukum islam.
5.

Kami
mengaitkan
sistem bunga
dengan hukum
pegawai bank karena kami berpendapat bahwa segala praktik kegiatan bank konvensional
mengandung system riba yang dimana pegawai bank membantu di dalam praktik sistem bank
konvensional tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadist bahwa penerima riba, pemberi
riba, dan pencatat riba masuk ke dalam kategori dosa besar ( MASUKAN HADIST)

Berdasarkan diagram diatas sebanyak 96% masyarakat tidak memilih sistem bunga
yang dinilai melanggar hukum islam. Sedangkan sebanyak 4% masyarakat memilih system
bunga yang dinilai lebih menguntungkan bagi mereka.

6.

Berdasarkan survey diatas sebagian masyarakat lebih memilih system bagi hasil
dibandingkan system bunga. System bagi hasil dinilai lebih menguntungkan kedua belah
pihak berdasarkan kesepakatan dan tidak melanggar syariat islam. System bagi hasil disini
tujuannya adalah untuk memberikan pembiayaan operasional bank antara kedua belah pihak,
nasabah dan pihak bank.

Kami menyimpulkan dari 95% responden lebih memilih system bagi hasil, sedangkan
sebanyak 5% responden tidak memilih system bagi hasil. Ini menunjukkan bahwa masyarakat
lebih tertarik dengan system bagi hasil dibandingkan dengan system bunga. Jika kita kaitkan
dengan hukum pegawai bank konvensional berbeda dengan pegawai bank syariah karena
mekanisme yang ada di dalamnya, jika di bank konvensional melakukan mekanisme kerja
dengan system bunga yang mengahasilkan riba tentu saja secara langsung perangkat yang
terlibat di dalam bank konvesional menerima riba. Sedangkan dalam mekanisme bank syariah
yang menerapkan bagi hasil menghasilkan keuntungan yang tidak melanggar syariat islam,
sehingga seluruh perangkat di dalamnya tidak menerima riba akibat dari suatu system.

7.

Dari pertanyaan diatas kami ingin melihat seberapa banyak minat masyarakat di dalam
memilih profesi antara menjadi pegawai bank konvensional dan bank syariah. Seperti dalam
pandangan hukum islam siapapun yan terlibat didalam aktifitas riba termasuk kedalam dosa
besar.
Berdasarkan data diatas kami memperoleh sebanyak 84% responden tidak memilih
bekerja di bank konvensional. Menurut kami besarnya dosa riba dan keterlibatan didalamnya
yang menyebabkan kebanyakan masyarakat tidak memilih bekerja di bank konvensional.
Sedangkan 16% responden memilih bekerja di bank konvensional karena menurut kami
bekerja di bank konvensional dinilai lebih menguntungkan dan memiliki citra yang tinggi.

8.

Berdasarkan dari hasil survey yang kami lakukan sebanyak 74% responden memilih
untuk bekerja di bank syariah. Menurut pendapat kami hal ini dipengaruhi oleh pandangan
masyarakat bahwa mekanisme kerja didalam bank syariah tidak ada campur tangan riba.
Sedangkan sebanyak 26% responden tidak memilih untuk bekerja di bank syariah karena
menurut kami bekerja di bank konvensional lebih memberikan jaminan yang lebih tinggi.

9.
Menurut kami masyarakat tidak merasakan secara langsung dampak dari system bank
konvensional namun jika dikaitkan dengan system yang ada didalamnya berdasarkan
pandangan islam hal tersebut memberikan dampak negative baik skala kecil maupun skala
besar. Misalnya tidak ada keberkahan dalam hidup karena menerapkan system riba dan
banyaknya musibah yang terjadi. Dalam sistem bank konvensional penyaluran investasi
disalurkan ke segala bidang baik yang halal maupun yang haram sehingga hal tersebut
menyebabkan adanya perkembangan perusahaan yang tidak halal dan meresahkan
masyarakat.

10.

Berdasarkan pertanyaan di atas kami ingin mengetahui faktor apa yang menyebabkan
seseorang tetap bekerja di bank konvensional meskipun telah mengetahui hukum riba yang
melanggar syariat islam.

Dari hasil survey yang kami dapatkan, diagram diatas menunjukan sebanyak 87%
responden memilih setuju bahwa factor sosial dan ekonomilah yang mendorong orang lebih
memilih bekerja di bank konvensional. Sedangkan 13% responden tidak setuju bahwa faktor
sosial dan ekonomi lah alasan seseorang memilih bekerja di bank konvensional. Menurut kami
faktor sosial yang mempengaruhi orang tetap bekerja di bank konvensional karena bekerja di
bank konvensial memiliki citra yang tinggi. Sedangkan factor ekonomi yang dimaksud
misalnya seseorang tetap bekerja di bank konvensional karena tuntutan ekonomi seperti
kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dimana orang tersebut tidak memiliki
cadangan pekerjaan.

11.

Maksud dari pertanyaan di atas adalah “ Dalam pandangan responden bekerja di bank
konvensional dengan sistem bunga di dalamnya melanggar hukum islam”. Dari pernyataan
tersebut di harapkan kita dapat melihat sejauh mana pendapat masyarakat mengenai bekerja di
bank konvensional dengan sistem yang ada di dalamnya apakah pekerjaan tersebut termasuk
kedalam melanggar hukum islam atau tidak.

Berdasarkan hasil survey menyatakan sebesar 65% masyarakat setuju bahwa bekerja
di bank konvensional dengan sistem bunga didalamnya melanggar hukum islam. Sedangkan
untuk 35% masyarakat tidak setuju bahwa bekerja di bank konvensional melanggar hukum
islam.
Pertanyaan selanjutnya kami memberikan kesempatan kepada responden untuk
memberikan alasan mengapa dalam pandangan mereka bekerja di bank konvensional itu
melanggar hukum islam begitupun sebaliknya mengapa mereka tidak setuju bahwa bekerja di
bank konvensional tidak melanggar hukum islam. Berikut kami ambil sebagian alasan yang
telah diperoleh berdasarkan survey kuisioner:

Alasan memilih setuju

1. Bekerja di bank konvensional memiliki sistem riba di dalamnya, di dalam al-quran telah
jelas bahwa penerima riba, pemberi riba, pencatat riba, saksi riba termasuk kedalam dosa
besar. Dan menurut saya bekerja di bank termasuk kedalamnya. Meskipun begitu kita tidak
bisa menyalahkan pegawai bank, hanya saja alangkah lebih baik mencari profesi lain, yang
lebih di ridhoi allah
2. bekerja di bank konvensional melanggar hukum islam karena gaji yang diberikan bank
kepada karyawan berasal dari bunga
3. Di bank konvensional, tentu ada riba dan melanggar hukum islam. Dan sebenarnya kita
tidak boleh terlibat dengan sesuatu yang berkaitan dengan riba, terutama pekerjaan. Lebih
baik dihindari untuk tidak bekerja dengan harta riba. Tetapi jika tidak ada pilihan lagi,
maka diperbolehkan, karna islam itu memudahkan, bukan mempersulit

Alasan memilih tidak setuju

1. Sistem bunga merupakan satu hal yang melanggar hukum islam. Tetapi, bekerja di bank
konvensional dengan menggunakan sistem bunga merupakan suatu pilihan. faktor ekonomi
dan lowongan pekerjaan di bank syariah yang masih minim menjadi salah satu alasan
mengapa bekerja di bank konvensional menjadi suatu pilihan.
2. Sebab sistem yang di bangun d indonesia belum sepenuhnya berdasar pada syariat Islam.
Masyarakat berada dalam sistem yang terkadang jauh dari syariat Islam sehingga sulit
melepaskan diri.
3. Tidak mengerti mengenai sistem riba dan hubungannya dengan pegawai bank.

Dari beberapa alasan pro dan kontra mengenai pandangan masyarakat tentang bekerja
di bank konvensional dalam islam sendiri masih terdapat perdebatan. Islam melarang segala
yang berkaitan dengan riba. Namun untuk melihat bagaimana pandangan islam mengenai
hukum bekerja di bank tersebut kami melihat beberapa sumber hadits untuk memperkuat
adanya hukum mngenai larangan bekerja di bank konvensional.

Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud beliau
berkata:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, saksi serta
pencatatnya.” (HR. Ibnu Majah)

Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang
yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba,
dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika
mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga
han kiamat.” (HR. Nasa’i)

Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk
melakukan transaksi terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut
merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.

Yusuf Qardhawi mempunyai suatu pendapat tentang hukum orang yang bekerja di
bank, tidak boleh hukumnya bekerja di bank ribawi sebab bekerja di dalamnya masuk
kedalam kategori tolong menonong didalam berbuat dosa dan melakukan pelanggaran.
Sementara Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 2. Artinya: Dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Islam menyuruh umatnya agar memerangi kemaksiatan. Karena itu Islam
mengharamkan semua bentuk kerjasama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap
orang yang membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosa bersama pelakunya, baik itu
pertolongan dalam bentuk moril maupun materil, perbuatan ataupun perkataan.

Mengenai riba, Rasulullah SAW Bersabda :

Artinya :dari Jabir r.a, ia berkata : “Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, meberikan, menulis dan dua orang yang menyaksikannya”. Ia berkata :
mereka bersetatus hokum sama”. (HR.Muslim).
Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu;
orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi)
riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum
positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga
keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan
berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima Riba
Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan
riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba.
2. Pemberi Riba
Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan
hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan
riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan,
pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur
atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan
riba.
3. Pencatat Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan
riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan
orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.
4. Saksi Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau
perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas
(supervisor).

Namun apabila pekerjaanya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk
mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan
tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka
dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak
diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram
dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak
(ajiir).

status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang
berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau
deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah
bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang
menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya,
termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik
yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak
berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga
(satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan
sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk
mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa
disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis
pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).
12.

Selain kami melihat pandangan masyarakat terhadap pegawai bank karena terlibat
dalam praktik riba, kami ingin mengetahui seberapa besar masyarakat telah menghindari riba
ketika sudah mengetahui hukum riba itu sendiri. Berdasarakan survey yang kami peroleh
sebanyak 52% responden memilih Tidak dan 48% responden memilih Ya.

Setelah kami mengetahui besaran masyarakat yang masih menjalankan riba, kamipun
memberikan kesempatan kepada responden untuk memberikan alasan mengapa mereka masih
menjalankan praktik riba itu sendiri. Berdasarkan survey kuisioner yang kami peroleh tentang
alasan responden masih menjalankan riba dan yang sudah tidak menjalankan riba, sebagai
berikut:

Respondengn menyatakan YA tetap menjalankan riba:

1. Mayoritas masyarakat belum mengetahui ttg riba dan jenis2 riba. dan riba pun byk
jenisnya. dan masih banyaknya yg menjalankan riba. terutama di bank konvensional,
karena bank konvensional lebih maju di sisi teknologinya dibanding bank2 syariah. bank
konvensional memiliki nilai lebih di fasilitas dan pelayanan. jadi masyarakat lebih memilih
bank konvensional dan akhirnya melaksanakan riba.
2. Sistem ekonomi global maupun nasional memaksa kita untuk melakukan itu, dan hal
tersebut tak bisa lagi jadi pilihan tapi sebuah keharusan
3. Karena awamnua saya terhadap bank syariah yg ada. Ada bank syariah pun selalu berkesan
bahwa bank tersebut hanya untuk orang orang yang sangat islami
Resoponden menyatakan Tidak menjalankan riba :

1. Tidak karena di mulai dari diri sendri untuk merubah sistem yg besar seengganya kita
selamat dahulu
2. Tidak menjalankannya lagi karena saya tau hukum riba, dan segera menjauhinya.

Masyarakat kebanyakan tetap menjalankan hukum riba karena perkembangan bank


konvensional yang lebih maju dibandingkan bank syariah. Tuntutan sistem tersebut lah yang
mendorong masyarakat untuk mau tidak mau tetap menjalankan praktik riba.

Namun apabila di tinjau dari pegawai bank yang tetap menjalankan riba hal ini
berbeda, pegawai bank yang tetap menjalankan riba bias saja di dorong oleh factor lain yang
darurat. Sistem riba yang ada di dalam bank konvensional yang menyebabkan perdebatan
bagaimana hukum pegawai bank di dalam menjalannyakanya. Islam tidak menyulitkan namun
mempermudah, maka dari itu pekerjaan tersebut tergantung kepada keadaan, apabila keadaaan
darurat semisal tidak ada pekerjaan lain sedangkan pegawai tersebut membutuhkannya maka
hal tersebut diperbolehkan. Tidak dapat dipungkiri pekerjaan tersebut merupakan kesempatan
yang tidak semua orang dapatkan.

Jika kita lihat dari kajian teori bekerja sebagai aktivitas dinamis mengandung
pengertian bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim harus penuh dengan
tantangan, tidak monoton, dan selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mencari
terobosan-terobosan baru dan tidak pernah puas dalam berbuat kebaikan.Istilah yang paling
dekat pengertiannya dengan kerja keras adalah jihad, yang artinya berjuang di jalan Allah.
Asal katanyayaftac/a artinya bersungguh-sungguh. Sehingga jihad dalam kaitannya dengan
kerja berarti: usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil optimal.
Islam memandang bekerja secara halal juga merupakan jihad, sebagaimana hadits
Rasulullah yang artinya: Mencari yang halal bagian dari jihad (HR Turmuzi). Al-Qur'an
memandang bekerja keras adalah sangat penting. Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa:
95.
Islam memang mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, tidak melupakan kerja
setelah beribadah, Beberapa hadits Nabi menyatakan pentingnya generasi (umat) yang kuat
ketimbang yang lemah dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain, serta beberapa
ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan kegiatan atau aktivitas
ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan kpntinyuitas. Misalnya, ajaran Islam
yang telah menempatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang
penghidupan yang sangat dianjurkan,' dengan menggunakan cara-cara yang halal. Islam juga
menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang sentralnya guna mengejartujuan
keduniawian, namun serta merta juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik.
Fatwa Yusuf Al Qardhawi Tentang Bunga Bank dan Orang yang bekerja di Bank

Konvensional.

Dari banyaknya perdebatan mengenai halal dan haramnya bekerja di bank kami
melihat hasil analisis Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya yang berjudul “Halal dan Haram dan
Islam” yang didalamnya membahas teori bunga bank, ia mengatakan: bunga bank sama
dengan riba, yang hukumnya jelas-jelas haram. Atas pendapat sebagian kalangan yang
menghalalkan bunga komersial (bunga dalam rangka usaha) dan mengharamkan bunga
konsumtif (bunga dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari) qardhawi menyatakan
bahwa baik bunga komersial maupun bunga konsumtif keduanya haram.
Ajaran Islam tentang bunga sangatlah jelas. Islam memberikan motivasi dan
mengajarkan manusia untuk berusaha dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
diberi imbalan pahala atas setiap usaha yang dilakukan. Tetapi Islam memberikan batasan-
batasan bagi manusia dalam berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut dengan tidak
menghalalkan segala cara, sebagaimana firman Allah SWT dalm surat al-baqarah: 168
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Firman Allah ini memberi ultimatum bahwa mendapatkan harta harus dengan
cara bekerja dengan jalan yang baik serta mengambil yang halal, karna sekecil
apapun nikmat Allah yang dikomsumsi dan dimanfaatkan akan diminta
pertanggungjawabannya. Rasulullah menghapuskan semua fikiran yang menganggap
hina terhadap orang yang bekerja, bahkan beliau mengajar sahabat-sahabatnya untuk
menjaga harga diri dengan bekerja apapun yang mungkin, serta dipandang rendah
orang yang hanya menggantungkan dirinya kepada bantuan orang lain. Maka sabda
Rasulullah: "Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat
kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya,
adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang
diminta itu memberi atau menolaknya." (Riwayat Bukhari dan Muslim). Untuk itu
setiap muslim dibolehkan bekerja, baik dengan jalan bercocok-tanam, berdagang,
mendirikan pabrik, pekerjaan apapun atau menjadi pegawai, selama pekerjaan-
pekerjaan tersebut tidak dilakukan dengan jalan haram, atau membantu perbuatan
haram atau bersekutu dengan haram.
Menurut yusuf Qardhawi Bank yang berbasis konvensional ialah pihak
pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan uangnya itu kepada
peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. instansi yang semacam ini tidak
diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh manusia. Akan tetapi
menurutnya Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya membatasi
dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa orang yang
memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente kepada piutang.
Begitu juga penulis dan dua orang saksinya.65 Seperti yang dinyatakan dalam
hadis Nabi: dari Ibn Mas’ud RA mengatakan, Rasulullah SAW mengutuk pemakan
riba dan yang memberinya, diriwayatkan oleh muslim dan Nasa’i, abu dawud dan
tirmizi menambahkan dan kedua saksinya dan penulisnya, muslim meriwayatkan dari
Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan: "Rasulullah melaknat pemakan riba, yang
memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya." Dan beliau
bersabda: "Mereka itu sama." (HR Muslim). dalam riwayat lain disebutkan: "Orang
yang makan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dan dua orang saksinya,
jika mereka mengetahui hal itu, maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi
Muhammad saw. hingga han kiamat." (HR Nasa'i)
Hadits-hadits sahih yang sharih itulah Yusuf Qardhawi berpendapat yang
menyiksa hati orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah
(persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun
perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai
bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam
sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang Dari hadist diatas Yusuf Qardhawi
mempunyai suatu pendapat yang tegas tentang hukum orang yang bekerja di bank:
tidak boleh hukumnya bekerja di bank ribawi sebab bekerja di dalamnya masuk ke
dalam kategori bertolong-menolong di dalam berbuat dosa dan melakukan
pelanggaran.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Bekerja yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan saja


menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya
sebagai hamba Allah yang berperan sebagai khalifah-Nya maka dari itu kita harus
melakukan perencanaan di dalam pekerjaan yang baik agar dapat mendapat
keberkahan di dalamnya dan bernilai ibadah.
Masyarakat sebagian besar memahami bahwa di dalam islam praktik riba
tidak diperbolehkan, dan masyarakat setuju bahwa bekerja di bank konvensional
merupakan pekerjaan yang melanggar syariat islam apabila tidak dalam keadaan
darurat. Islam melarang terlibat dalam praktik riba.
Berdasarkan dalil yang mendukung tentang hukum orang yang bekerja di
bank: tidak boleh hukumnya bekerja di bank ribawi sebab bekerja di dalamnya masuk
ke dalam kategori bertolong-menolong di dalam berbuat dosa dan melakukan
pelanggaran. Dan dalil tersebut terdapat pada surat Al Maidah ayat 2.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan. 2000.Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Lubis,S.,& Wajdi.2012. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta:Sinar Grafika
Mohamad Sobary.1995. Kesalehan dan Tmgkah Laku Ekonomi, Yogyakarta: Bentang
Budaya
Qaddhawi, Yusuf. 1978. Halal dan Haram Dalam Islam, terj H. Mu’mmal Hamidy,
Surabaya:PT. bina Ilmu,
Qardhawi ,Yusuf, 2006.Norma dan Etika Eonomi Islam, terj zainal Arifin, Jakarta:
Gema Insani press
Sudarsono, Heri.2013. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.Yogyakarta:Ekonisia.
Toto Tasmara. 2002. Membudayakan Etos Kerja yang Islami, Jakarta: Gema Insant
Press

Anda mungkin juga menyukai