Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Oleh :
AULIA PRATIWI 1310311038
NADHILAH LAILANI 1310311003
VANDO VERNANDO S. 1310311160

Preseptor:
dr. Dwitya Elvira, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR.M.DJAMIL PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang bermanifestasi sebagai


hematemesis dan melena akibat varises esofagus dapat ditemukan dalam praktek
sehari-hari dan merupakan salah satu keadaan darurat dalam bidang
gastroenterologi.

Dalam kepustakaan Barat dilaporkan angka kematian yang cukup tinggi (8


– 10%) dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, walaupun telah banyak dicapai
kemajuan baik dari segi diagnostik maupun terapeutik. Di Amerika Serikat
keadaan ini menyebabkan 10.000-20.000 kematian setiap tahunnya dengan angka
kekerapan sekitar 150 per 100.000 populasi. Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo ditemukan rata-rata 200-300 kasus perdarahan SCBA setiap
tahun dengan angka kematian rata-rata 26% (pada tahun 1988).

Terdapat perbedaan populasi penyebab/sumber perdarahan SCBA di


negara-negara Barat dan di Indonesia. Di negara-negara Barat ulkus peptikum
menduduki peringkat teratas (50-60%) dan varises esofagus hanya sekitar 10%.
Semantara di Indonesia (khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) varises
esofagus menduduki peringkat pertama penyebab perdarahan SCBA.

Angka kematian pada perdarahan pertama akibat pecahnya varises esofagus


sekitar 30-50%, hampir 2/3-nya meninggal dalam waktu satu tahun. Kematian
tersebut akibat perdarahan yang tidak dapat dihentikan sehingga terjadi renjatan
dan dapat pula akibat perburukan fungsi hati dengan manifestasi koma hepatik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan untuk mencegah varises esofagus pecah.
Tindakan tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu pencegahan primer, agar tidak
terjadi perdarahan varises, pencegahan sekunder yaitu, pencegahan agar tidak
terjadi perdarahan ulang, pencegahan tersier yaitu penghentian perdarahan aktif.

1
Usaha untuk mencari faktor resiko pecahnya varises amat penting agar
dapat melakukan upaya pencegahan perdarahan dan pengobatan maksimal. Dan
mengingat bahwa angka kematian yang tinggi oleh karena pecahnya varises ini
maka diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan mengenai patofisologi,
manifestasi klinis dan penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas pada
varises esofagus.

1.2 Tujuan

Bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis

khususnya mengenai hematemesis melena ec pecah varises esophagus mulai dari

definisi sampai pada penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

a. Bagi penulis

Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,

mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan

mengenai perdarahan saluran cerna bagian atas.

b. Bagi institute pendidikan

Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan

yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang

berkaitan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HEMATEMESIS MELENA

2.1.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam yang berasal dari


saluran cerna bagian atas. Melena adalah buang air besar berwarna hitam
seperti aspal. Hematemesis menandakan perdarahan saluran cerna bagian
atas (di atas ligamen Treitz). Melena menandakan darah telah berada dalam
saluran cerna selama minimal 14 jam. Sehingga lebih proksimal lokasi
perdarahan, lebih mungkin terjadi melena. Tanda lain dari perdarahan
saluran cerna adalah hematochezia yaitu buang air besar berwarna merah
marun dan tanda-tanda kehilangan darah atau anemia, seperti sinkope.
Hematochezia biasanya menandakan perdarahan saluran cerna bagian
bawah, meskipun dapat ditemui pula pada lesi SCBA yang berdarah masif
dimana transit time dalam usus yang pendek.

Hematemesis melena merupakan keadaan gawat darurat yang sering


dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Pendarahan dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus, gastritis erosif
atau ulkus peptikum.

2.1.2 Epidemiologi

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang terbanyak dijumpai


di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50 %
seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas, kemudian menyusul gastritis
hemoragika dengan 20 - 25%. ulkus peptikum dengan 15 - 20%, sisanya
oleh keganasan, uremia dan sebagainya.

3
2.1.3 Etiologi

 Traumatik
 Kelainan esofagus: varises, esofagitis, keganasan.
 Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum,
keganasan dan lain-lain.
 Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.

2.2 VARISES ESOFAGUS

2.2.1 Definisi

Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan


pembesaran abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah.
Varises esofagus terjadi jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran
tersebut akan mencari jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus,
lambung, atau rektum yang lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak
imbangnya antara tekanan aliran darah dengan kemampuan pembuluh
darah mengakibatkan pembesaran pembuluh darah (varises).

Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi sirosis. Sirosis adalah


penyakit yang ditandai dengan pembentukan jaringan parut di hati.
Penyebabnya antara lain hepatitis B dan C, atau konsumsi alkohol dalam
julah besar. Penyakit lain yang dapat menyebabkan sirosis adalah
tersumbatnya saluran empedu.

2.2.2 Epidemiologi

Frekuensi varises esofagus bervariasi dari 30% sampai 70% pada


pasien dengan sirosis, dan 9-36% pasien yang memiliki risiko tinggi
varises. Varises esofagus berkembang pada pasien dengan sirosis per
tahun sebesar 5-8% tetapi varises yang cukup besar untuk menimbulkan
risiko perdarahan hanya 1-2% kasus. Sekitar 4-30% pasien dengan

4
varises kecil akan berkembang menjadi varises yang besar setiap tahun
sehingga akan berisiko terjadinya perdarahan.

2.2.3 Etiologi

Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan varises esophagus adalah


sebagai berikut:
1. Sirosis
Sejumlah penyakit hati dapat menyebabkan sirosis, seperti infeksi
hepatitis, penyakit hati alkoholik dan gangguan saluran empedu yang
disebut sirosis bilier primer.
2. Bekuan Darah (Trombosis)
3. Infeksi parasit.
4. Budd-Chiari Syndrome
2.2.4 Patofisiologi

Salah satu tempat potensial untuk komunikasi antara sirkulasi splanknik


intraabdomen dan sirkulasi vena sistemik adalah melalui esofagus. Apabila
aliran darah vena porta ke hati terhambat oleh sirosis atau penyebab lain,
hipertensi porta yang terjadi memicu terbentuknya saluran pintas kolateral di
tempat bertemunya sistem porta dan sistemik. Oleh karena itu, aliran darah
porta dialihkan melalui vena koroner lambung ke dalam pleksus vena
subepitel dan submukosa esofagus , kemudian kedalam vena azigos dan vena
kava superior. Peningkatan tekanan di pleksus esofagus menyebabkan
pembuluh melebar dan berkelok kelok yang dikenal sebagai varises. Pasien
dengan sirosis mengalamai varises dengan laju 5%-15% per tahun, sehingga
varises terdapat pada sekitar dua pertiga dari semua pasien sirosis. Varises
paling sering berkaitan dengan sirosis alkoholik.

Ruptur varises menimbulkan pendarahan masif ke dalam lumen, serta


merembesnya darah ke dalam dinding esofagus. Varises tidak menimbulkan
gejala sampai mengalami ruptur. Pada pasien dengan sirosis hati tahap lanjut
separuh kematian disebabkan oleh ruptur varises, baik sebagai konsekuensi
langsung perdarahan atau karena koma hepatikum yang dipicu oleh

5
perdarahan. Meskipun terbentuk, varises merupakan penyebab pada kurang
dari separuh episode hematemesis. Sisanya sebagian besar disebabkan oleh
pendarahan akibat gastritis, ulkus peptik, atau laserasi esofagus.

Faktor yang memicu ruptur varises belum jelas: erosi mukosa di atasnya
yang sudah menipis, meningkatnya tekanan pada vena yang secara progresif
mengalami dilatasi, dan muntah disertai peningkatan tekanan intraabdomen
mungkin berperan. Separuh pasien juga ditemukan mengidap karsinoma
haepato selular, yang mengisyaratkan bahwa penurunan progresif cadangan
fungsional hati akibat pertumbuhan tumor meningkatkan kemungkinan ruptur
varises. Setelah terjadi, perdarahan varises mereda secara spontan hanya pada
50% kasus.

2.2.5 Klasifikasi Varises Esofagus

- Klasifikasi Dagradi

Menurut Dagradi, berdasarkan hasil pemeriksaan esofagoskopi dengan


Eder – Hufford esofagoskop, maka varises esofagus dapat dibagi dalam beberapa
tingkatan, yaitu.

Tingkat 1 : Dengan diameter 2 – 3 mm, terdapat pada submukosa,


boleh dikata sukar dilihat penonjolan kedalam lumen.
Hanya dapat dilihat setelah dilakukan kompresi.

Tingkat 2 : Mempunyai diameter 2 – 3 mm, masih terdapat di


submukosa, mulai terlihat penonjolan di mukosa tanpa
kompresi.

Tingkat 3 : Mempunyai diameter 3 – 4 mm, panjang, dan sudah mulai


terlihat berkelok-kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan
jelas pada mukosa lumen.

Tingkat 4 : Dengan diameter 4 – 5 mm, terlihat panjang berkelok –


kelok. Sebagian besar dari varises terlihat nyata pada
mukosa lumen.

6
Tingkat 5 : Mempunyai diameter lebih dari 5 mm, dengan jelas
sebagian besar atau seluruh esofagusnya terlihat penonjolan
serta berkelok-keloknya varises.

Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk ikut menentukan tindakan lebih


lanjut pada hipertensi portal.

- Klasifikasi Omed

1. Besarnya

Besarnya varises esofagus dibagi dalam 4 derajat, yaitu :

 Penonjolan dalam dinding lumen yang minimal sekali

 Penonjolan kedalam lumen sampai ¼ lumen dengan pengertian


bahwa esofagus dalam keadaan relaksasi yang maksimal.

 Penonjolan kedalam lumen sampai setengahnya.

 Penonjolan kedalam lumen sampai lebih dari setengah dari lumen


esofagus.

2. Bentuknya

Dibedakan 3 macam bentuk varises esofagus, yaitu :

 Sederhana (simple), ialah penonjolan mukosa yang berwarna


kebiru-biruan dan berkelok-kelok dengan atau tanpa adanya
kelainan pada mukosanya.

 Penekanan (congested), ialah penonjolan mukosa yang berwarna


merah tua disertai tanda pembengkakan mukosa dan dengan tanda-
tanda perdarahan.

 Varises yang berdarah, ialah varises yang mengeluarkan darah


segar karena adanya robekan pada permukaan varises tersebut.

3. Varises dengan Stigmata (tanda-tanda perdarahan)

Ialah terdapatnya bekuan atau pigmen darah dipermukaan varises yang


menandakan telah terjadi perdarahan. Klasifikasi Omed ini belum banyak

7
digunakan meskipun sudah lebih baik daripada klasifikasi Dagradi atau Palmer &
Brick, karena dirasakan tidak praktis.

2.2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

 Manifestasi Klinis
Perdarahan dari varices biasanya parah/berat dan bila tanpa perawatan
segera, dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices termasuk
muntah darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan
gumpalan-gumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang
disebabkan oleh efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang
hitam dan bersifat ter disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah
ketika ia melewati usus (melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic
dizziness) disebabkan oleh suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama
ketika berdiri dari suatu posisi berbaring. Gejala lain yang termasuk adalah
gejala penyakit hati kronis, yaitu :
a. Keluhan sekarang :

 Kelemahan, kelelahan, dan malaise

 Anoreksia

 Mual dan muntah

 Penurunan berat badan, biasa terjadi pada penyakit hati akut dan
kronis, terutama karena anoreksia dan berkurangnya asupan
makanan, dan juga hilangnya massa otot dan jaringan adiposa
merupakan fitur mencolok pada stadium akhir penyakit hati.

 Rasa tidak nyaman dan nyeri pada abdomen - Biasanya dirasakan


di hipokondrium kanan atau di bawah tulang rusuk kanan bawah
(depan, samping, atau belakang) dan di epigastrium atau
hipokondrium kiri

 Ikterus atau urin berwarna gelap

8
 Edema dan pembengkakan perut

 Perdarahan spontan dan mudah memar

 Gejala Encephalopathic, yaitu gangguan siklus tidur-bangun,


penurunan fungsi intelektual, kehilangan memori dan, akhirnya,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif di tingkat
manapun, perubahan kepribadian, dan, mungkin, menampilkan
perilaku yang tidak pantas atau aneh.

 Kram otot - umumnya pada pasien dengan sirosis

b. Riwayat medis masa lalu :

 Riwayat ikterus menunjukkan kemungkinan hepatitis akut,


gangguan hepatobiliary, atau penyakit hati yang diinduksi obat

 Kekambuhan ikterus menunjukkan kemungkinan reaktivasi,


infeksi dengan virus lain, atau timbulnya dekompensasi hati.

 Pasien mungkin memiliki riwayat transfusi darah atau


administrasi berbagai produk darah

 Sejarah schistosomiasis di masa kanak-kanak dapat diperoleh


dari pasien yang mengalami infeksi endemik.

 Penyalahgunaan obat intravena

 Riwayat keluarga yang menderita penyakit hati turun-temurun


seperti penyakit Wilson

 Gaya hidup dan riwayat penyakit, seperti steatohepatitis


alcohol (NASH), diabetes militus, dan hiperlipidemia.

 Diagnosis

Esophagogastroduodenoscopy (EGD) adalah gold standard untuk


diagnosis varises esofagus. Jika gold standard tidak tersedia, tahap
diagnostik selanjutnya yang memungkinkan adalah Doppler

9
ultrasonography sirkulasi darah (bukan endoscopic ultrasonography).
Meskipun ini merupakan pilihan kedua yang kurang baik, tapi dapat
menunjukkan temuan varises. Alternatif lain termasuk radiografi /
barium swallow pada esofagus dan lambung, angiografi vena portal dan
manometri.
Sangatlah penting untuk menilai lokasi (esofagus dan lambung)
dan ukuran varises, tanda yang mendekati, tanda akut yang pertama, atau
perdarahan yang berulang, dan (jika memungkinkan)
mempertimbangkan penyebab dan tingkat keparahan penyakit hati.
Panduan Diagnosis Varises Esofagus adalah sebagai berikut:
1. Screening esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk diagnosis
varises esofagus dan lambung direkomendasikan ketika diagnosis
sirosis sudah ditegakkan.

2. Pengamatan endoskopi direkomendasikan berdasarkan level


sirosis, penampakan, dan ukuran varises. Pasien dengan
compensated sirosis tanpa varises sebaiknya melakukan
pengulangan EGD setiap 2-3 tahun, pasien dengan compensated
sirosis disertai varises kecil sebaiknya melakukan pengulangan
EGD setiap 1-2 tahun, sedangkan pasien dengan decompensated
sirosis sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap tahun.

3. Perkembangan varises gastrointestinal dapat ditentukan pada dasar


klasifikasi ukuran pada saat dilakukan EGD.

Perdarahan varises didiagnosis berdasarkan salah satu dari temuan berikut


pada endoskopi:
 Perdarahan aktif dari varix

 “Puting putih” disekitar varix

 Gumpalan darah sekitar varix

 Varises tanpa sumber perdarahan yang lain

Manfaat dari pemakaian Endoskopi:

10
- Mengetahui bagaimana keadaan bagian dalam saluran cerna
(apakah ada luka, daging tumbuh, kelainan bentuk saluran cerna,
dll).
- Dapat digunakan untuk mengambil contoh jaringan bagian dalam
(biopsi) guna pemeriksaan.

2.2.7 Terapi

 Varises Esofagus tanpa Riwayat Pendarahan


Varises tanpa riwayat pendarahan dapat ditangani menggunakan
non-selektif beta-adrenergik bloker (misalnya, propranolol, nadolol,
timolol), asalkan tidak ada kontraindikasi menggunakan obat tersebut.
Misalnya riwayat diabetes militus tipe insulin dependent, penyakit paru
obtruktif yang parah dan gagal jantung kogestif). Pemberian beta-bloker
ditentukan dari 25% penurunan detak jantung istirahat atau penurunan
detak jantung 55x per menit. Penggunaan beta- bloker menurunkan 45%
risiko pendarahan awal. Jika penderita mengalami kontraindikasi
terhadap beta-bloker dapat diberikan nitrat jangka panjang (isosorbide 5-
mononitrat) sebagai alternatif. Penggunaan endoscopic sclerotherapy
atau ligasivisera dengan dikombinasikan propanolol dapat menurunkan
risiko pendarahan pada varises esofagus.

 Varises Esofagus dengan Riwayat Pendarahan


Pada varises dengan pendarahan hal yang harus dilakukan adalah:
menilai tingkat dan volume pendarahan, melakukan pemeriksaan
tekanan darah dan denyut nadi pasien dengan posisi terlentang dan
duduk, melakukan pemeriksaan hematokrit segera, mengukur jumlah
trombosit dan protrombin time, memeriksa fungsi hati dan ginjal, dan
melakukan pengobatan darurat seperti dibawah ini.

 Segera kembalikan tekanan dan volume darah penderita yang


dicurigai sirosis dan pendarahan visera

11
 Lakukan transfuse darah, dilakukan dengan infuse cepat dextrose
dan larutan koloid sampai tekanan darah dan ekskresi urin
normal.
 Lindungi jalan nafas dari pendarahan saluran cerna bagian atas,
terutama jika penderita tidak sadar.
 Jika memungkinkan, perbaiki factor pembekuan dengan cairan
plasma dan darah segar, dan vitamin K-1.
 Masukkan tabung nasogastrik untuk menilai keparahan
pendarahan sebelum dilakukan endoskopi.
 Pertimbangkan terapi farmakologis (octreotide atau somatostatin)
dan endoskopi segera setelah penderita pulih. Tujuannya untuk
menentukan dan mengendalikan pendarahan.

2.2.8 Pencegahan

Perdarahan dari varises esofagus merupakan suatu komplikasi yang bersifat


letal pada pasien sirosis hati dengan hipertensi aliran darah portal. Diperkirakan
sebanyak 5-10% pasien yang mengalami sirosis akan mengalami varises
esophagus setiap tahunnya, dan sekitar 20-30% pasien sirosis dengan varises
esophagus mengalami perdarahan dari varises yang pecah/robek.

Varises esophagus dapat terbentuk saat gradien tekanan vena hepatica (Hepatic
Venous Pressure Gradient/HVPG) meningkat di atas 10 mmHg. Resiko
terjadinya perdarahan pada pasien dengan sirosis dan varises esophagus adalah
bervariasi, dan sebagian besar bergantung pada ukuran dari varises dan
sebagaimana keparahan sirosis hati yang terjadi. Hingga saat ini, metode skrining
yang paling direkomendasikan untuk mendeteksi adanya varises esophagus adalah
endoskopi saluran gastrointestinal bagian atas. Pada endoskopi terlihat
pembengkakan vena esophagus kea rah lumen yang sangat rentan mengalami
perdarahan.

Pada pasien sirosis yang tidak memiliki varises esophagus saat pemeriksaan
endoskopi pertama, perlu dilakukan evaluasi berjangka selama 2-3 tahun dengan
endoskopi untuk mendeteksi adanya perkembangan varises sebelum varises

12
tersebut mengalami perdarahan. Interval evaluasi berjangka tersebut akan semakin
pendek apabila pada pemeriksaan endoskopi pertama pasien telah memiliki
HVPG > 10mmHg. Sekali terbentuk, varises akan terus mengalami peningkatan
ukuran, dengan median 12% per tahun. Maka dari itu, pada pasien dengan varises
berukuran kecil, pemeriksaan endoskopi harus diulang dalam jangka waktu 1-2
tahun dengan diikuti oleh primary prophylaxis.

Strategi untuk primary prophylaxis akan dilakukan sesuai dengan perjalanan


penyakit dari varises, yaitu: terjadinya sirosis hati, hipertensi portal, pembentukan
varises berukuran kecil, varises berukuran sedang hingga besar, dan perdarahan
variseal. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) transjugular
intrahepatic portosystemic shunt; 2) nonselective -blocker; 3) ligasi variseal
endoskopi; 4) mononitrat.

Metode pertama adalah transjugular intrahepatic potosystemic shunt (TIPS),


yaitu sebuah metode yang akan membuat akses dengan vena hepatic melalui vena
jugularis dan menempatkan sebuah stent pada vena portal sehingga membentuk
saluran resistansi rendah dan memungkinkan darah untuk kembali ke sirkulasi
sistemik. Namun metode ini dapat meningkatkan resiko hepatic encephalopathy,
liver failure dan komplikasi prosedural lainnya.

Saat ini, pemberian nonselective -blocker merupakan terapi utama yang


direkomendasikan sebagai primary prophylaxis perdarahan variseal pada pasien
sirosis dengan varises yang memiliki resiko perdarahan tinggi. Pada pasien
dengan sirosis dan varises esophagus dengan berbagai ukuran, nonselective -
blocker dapat menurunkan resiko dari episode perdarahan pertama sebesar 25%
dalam 2 tahun. Sekali dimulai, terapi dengan -adrenergic blocker harus terus
dilakukan, karena resiko perdarahan akan kembali apabilan terapi tidak
dilanjutkan. Propanolol dimulai pada dosis 20mg sehari, sedangkan nadolol
dimulai pada dosis 40mg sehari. Penurunan pada HVPG hingga < 12mmHg akan
menghilangkan resiko terjadinya perdarahan dan peningkatan angka harapan
hidup. Namun, reduksi > 20% dari baseline secara signifikan akan menurunkan
resiko perdarahan variseal. Selain dengan menggunakan HVPG, alternatif lain
untuk mengukur tingkat efektivitas terapi beta-blocker adalah dengan mengukur

13
denyut nadi. Penurunan sebanyak 25% dari baseline atau denyut nadi sebesar 55
hingga 60 denyut nadi per menit merupakan tujuan standar terapi beta-blocker.

Ligasi variseal endoskopis merupakan prosedur yang dapat dilakukan apabila


pasien mengalami intoleransi terhadap penggunaan beta-blocker. Prosedur ini
melibatkan penggunaan rubber band yang ditempatkan pada sekeliling varix yang
diaspirasikan pada sebuah silinder pada ujung endoskopi. Penurunan resiko
perdarahan dikarenakan adanya penurunan ukuran dari variseal, dimana 60% dari
pasien mengalami eradikasi total varises dan 38% mengalami penurunan ukuran
varises.

Metode profilaksis lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan portal
adalah menggunakan vasodilator. Vasodilator menurunkan tekanan hepatica
dengan cara menurunkan resistensi pembuluh darah intrahepatika dan
portokolateral. Karena penemuan itulah diketahui bahwa nitrat (isosorbide
mononitrate) dapat menurunkan tekanan portal namun tetap mempertahankan
perfusi liver. Namun karena agen tersebut tidak spesifik, maka dapat juga
menginduksi hipotensi arterial dan menimbulkan refleks splanchnic
vasoconstriction. Agen mononitrat dapat digunakan sebagai alternatif pada pasien
dengan intoleransi -blocker.

2.2.9 Prognosis

Dalam menentukan prognosis digunakan sistem skor menurut cara Child-


Pugh.

14
Tabel Kategori sistem skor menurut cara Child-Pugh

Keterangan:
Kelas A = dengan skor kurang dari atau sama dengan 6
Kelas B = dengan skor 7-9, dan
Kelas C = dengan skor 10 atau lebih
Pasien dari kelas A biasanya meninggal akibat efek pendarahan.
Sedangkan pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasarnya
predikator ketahanan hidup yang paling sering digunakan untuk menentukan
mortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah pendarahan pertama adalah
klasifikasi Child-pugh. Rata-rata angka kematian setelah pendarahan pertama
pada sebagian besar penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini
berhubungan erat dengan beratnya penyakit hati. Dalam pengamatan selama 1
tahun, rata-rata angka kematian akibat pendarahan varises berikutya adalah
sebesar 5% pada pasien dengan Child kelas A, 25% pada Child kelas B, dan
50% pada Child kelas C.
Selain itu, Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG dapat
digunakan sebagai predikator ketahanan hidup, bila diukur 2 minggu setelah
pendarahan akut. Masih belum jelas, apakah pendarah aktif pada saat
pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagaipredikator terjadinya pendarahan
ulangyang lebih awal. Resiko kematian menurun jika cepat mendapatkan

15
penanganan di rumah sakit, demikian pula resiko kematian ini menjadi
konstan sekitar 6 minggu setelah pendarahan.
Indeks hati juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis
pasien hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari
hasil penelitian sebelumnya, pasien yang mengalami kegagalan hati ringan
(indeks hati 0-2), angka kematiannya antara 0-16%, sementara yang
mempunyai kegagalan hati sedang sampai berat(indeks hati 3-8) angka
kematiannya 18-40%.
Pemeriksaan 0 1 2

Albumin (g %) >3.6 3.0 – 3.5 <3.0

Bilirubin (mg %) <2.0 2.0 – 3.0 >3.0

Gangguan kesadaran - Minimal +

Asites - Minimal +

Tabel indeks hati untuk menilai prognosis pasien hematemesis melena yang
mendapat terapi medik

Keterangan:

1. kegagalan hati ringan = indeks hati 0-3

2. kegagalan hati sedang = indeks hati 4-6

3. kegagalan hati berat = indeks hati 7-10

16
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien

Nama : Tn. D

Umur : 30 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Baringin Lubuk Kilangan Padang

No MR : 992609

Pekerjaan : Satpam

Tanggal Masuk : 8 Oktober 2017

Ruangan : 10 (IP)

Anamnesis

 Keluhan utama

Muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan muntah darah sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit. Muntah darah berwarna merah kehitaman berisi

gumpalan darah dengan frekuensi 4 kali dan berjumlah ± 1 gelas (± 200cc)

setiap kali muntah.

Pasien juga mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak ± 1 bulan yang

lalu dengan konsistensi lembek. Karena keluhan BABnya ini pasien

berobat ke klinik terdekat, kemudian dirujuk ke SPH Hari Minggu pagi

17
tanggal 8 Oktober 2017, dilakukan pemeriksaan darah dan pasien

didiagnosis hematemesis melena dengan hepatitis B. Kemudian pasien

dirujuk ke RSUP dr. M. Djamil Padang pada sore hari.

Keluhan mata mata dan tubuh kuning tidak ada. Penurunan nafsu

makan ada sejak 1 bulan, badan terasa lemas ada. Penurunan berat badan

ada tapi pasien tidak mengetahui berapa kilogram.

BAK lancar, tidak nyeri dan berwarna kuning jernih. Sakit kepala,

demam, sesak nafas, batuk tidak ada.

 Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

- Riwayat Hipertensi (-)

- Riwayat DM (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien

- Tidak ada riwayat hipertensi dan DM di keluarga

 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

Pasien seorang laki-laki dengan pekerjaan sebagai satpam,

merokok (+) sejak 15 tahun yang lalu, 1 bungkus/ hari dan sudah berhenti

sejak 2 tahun ini. Pasien mengaku pernah mengkonsumsi alkohol pada 15

tahun yang lalu dan sudah berhenti tapi pasien lupa jumlah yang diminum.

18
Pasien memiliki tattoo di dada dan lengan kiri atas. Pasien tidak pernah

melakukan transfusi darah sebelumnya.

PEMERIKSAAN FISIK (pemeriksaan dilakukan tanggal 10 Oktober 2017)

Pemeriksaan Umum

 Keadaan umum : sakit sedang  Keadaan gizi : baik

 Kesadaran : Compos Mentis  Tinggi badan : 160 cm

Cooperatif  Berat badan : 60 kg

 Tekanan darah : 90/60 mmHg  Sianosis : tidak ada

 Nadi : 136 x/menit  Ikterus : tidak ada

 Pernapasan : 30 x/menit  Edema : tidak ada

 Suhu : 36,7oC  Anemis : ada

Kulit : Teraba hangat

Tampak luka bekas tato pada lengan atas kiri dan dada

KGB : tidak ada pembesaran KGB

Kepala : normocephal

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : tidak ada kelainan

Hidung : sekret tidak ada, mukosa tidak hiperemis, tidak edema

Tenggorok : tonsil T1-T1 tidak hiperemis

dinding faring posterior tidak hiperemis

19
Gigi dan mulut : karies dentis (-), mukosa bibir basah

Leher : JVP 5-2 cm H2O

Toraks :

Paru : Inspeksi : simetris kiri = kanan

Palpasi : fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung kiri iktus kordis

batas jantung kanan LSD

batas jantung atas RIC II

Auskultasi : irama regular, murmur tidak ada

Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-)

hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : Inspeksi : tidak ada deformitas

Palpasi : nyeri tekan (-)

Perkusi : nyeri ketok CVA (-)

Genitalia : tidak diperiksa

Anus : tidak diperiksa

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

21
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Darah : Hb 9,5 gr/dL (N: 13-16 gr/dL)

Leukosit 11.100/mm3 (N: 5000-10.000/mm3)

Hematokrit 31% (N: 40-50%)

Trombosit 392.000/mm3 (N: 150.000-450.000/mm3)

Kesan : anemia ringan, leukositosis, Hematokrit

Kimia Klinik : GDS 137 mg/dL (N: 180 mg/dL)

SGOT 235 U/L (N: <37 U/L)

SGPT 55 U/L (N: <40 U/L)

Natrium 135 mmol/L (N: 136-145 mmol/L)

Kalium 4,0 mmol/L (N: 3,5-5,1 mmol/L)

Total protein 5,6 g/dl (N: 6,6-8,7 g/dl)


Albumin 2,9 g/dl (N: 3,6-5,0 g/dl)
Globulin 2,7 (N: 1.3-2.7 g/dl)
Kesan : SGOT ↑, SGPT ↑, hiponatremi, total protein dan albumin ↓

Hematologi : PT 12,7
APTT 36,2
Kesan : PT melebihi nilai rujukan
Urinalisis : Warna kuning muda

Jernih

pH 6,0

Protein (-)

22
Reduksi (-)

Leukosit 1-3

Eritrosit (-)

Silinder (-)

Kristal (-)

Epitel Gepeng

Bilirubin (-)

Urobilin normal

Kesan : dalam batas normal

Imunologi/serologi : HbsAg Reaktif

Anti HCV non reaktif

DIAGNOSIS

 Hematemesis Melena ec Pecah Varises Esofagus

 Anemia Ringan ec Perdarahan akut

PENATALAKSANAAN

 Tirah baring

 O2 3 liter/menit

 NGT Alir max 72 jam

 IVFD Aminofusin:Triofusin:NaCL 0,9% = 1 : 1 : 1 8 jam/kolf

 Bolus Sandostatin 2 amp lanjut dengan Drip 20 mg dalam 500 ml NaCl 10

jam/kolf

 Lactulax 3 gr 3 x 1

 Sucralfat 1 gr 3 x 1

 Curcuma 3x1

23
BAB 3
DISKUSI

Seorang laki-laki, 30 tahun, datang ke IGD RSUP DR.M. Djamil Padang

dengan keluhan utama muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Muntah darah berwarna merah kehitaman berisi gumpalan darah dengan frekuensi

4 kali dan berjumlah ± 1 gelas (± 200cc) setiap kali muntah. Selain itu pasien

mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak ± 1 bulan yang lalu dengan konsistensi

lembek. Keluhan muntah darah berwarna kehitaman dan BAB berwarna hitam

yang dikeluhkan pasien merupakan tanda adanya perdarahan saluran cerna bagian

atas. Warna hitam pada muntah (hematemesis) dan BAB (melena) disebabkan

darah bercampur dengan asam lambung. Sedangkan perdarahan saluran cerna

bagian bawah (terletak di distal dari Ligamentum Treitz: duodenum, yeyenum,

ileum, kolon), darah akan berwarna merah segar (hematoskezia). Perdarahan

saluran cerna bagian atas dapat berasal dari esofagus, gaster hingga ligamen treitz.

Penyebab perdarahan SCBA terbanyak di Indonesia yaitu pecahnya varises

esofagus, sedangkan di negara barat penyebab perdarahan SCBA terbanyak (95%)

ialah non-varises dengan sebanyak 50-70% kasus karena perdarahan ulkus

peptikum.

Pecahnya varises esofagus paling banyak disebabkan oleh sirosis hepatis.

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir kerusakan sel-sel hati yang kemudian

menjadi jaringan fibrosis. Kerusakan tersebut ditandai dengan distorsi arsitektur

hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis sel-sel hati.

Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hati

menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun

22
esofagus. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan

penyebab tersering dari sirosis hepatis yaitu sebesar 40-50% kasus, diikuti oleh

virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak

diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C.

Patofisiologi pecahnya VGE pada sirosis hati penting diketahui agar sasaran terapi

untuk mencegah perdarahan menjadi jelas. VGE terjadi karena hipertensi porta

yang diakibatkan oleh peningkatan tahanan ke aliran porta dan banyaknya darah

yang masuk ke vena porta.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tanda vital dapat menunjukkan kondisi

pasien apakah mengalami kehilangan darah yang bermakna, yaitu jika didapatkan:

(1) Tekanan darah sistolik < 100 mmHg, pada pasien didapatkan TDS sebesar 90

mmHg. (2) Nadi ≥ 100x/menit saat pasien datang ke RS, dimana frekuensi nadi

pasien sebesar 136x/menit. Indeks massa tubuh pasien sekitar 25,43 kg/m2 yang

menunjukkan bahwa pasien mengalami normoweight. Pada pemeriksaan fisik,

ditemukan bekas tato pada kulit pasien dapat menjadi faktor resiko.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9,5 gr/dl, 11.100/mm3),

penurunan hematokrit (31%), SGOT 235 U/L, SGPT 55 U/L, Total protein 5,6

g/dl, Albumin 2,9 g/dl, PT 12,7 dan Natrium 135 mmol/L. Pada pasien ini terjadi

anemia ringan yang mana merupakan komplikasi dari terjadinya perdarahan pada

saluran cerna, namun pada pasien ini terjadinya anemia tidak sampai

menimbulkan syok. Anemia yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam

penyebab, dan gambaran apusan darah yang bervariasi, baik anemia normokrom

normositer, hipokrom mikrositer, maupun hipokrom makrositer. Leukositosis

kemungkinan disebabkan adanya proses infeksi.

23
SGOT dan SGPT yang meningkat menunjukan adanya gangguan fungsi

hati. SGOT biasanya lebih meningkat dibandingkan dengan SGPT, namun bila

nilai transaminase normal tetap tidak menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis.

Konsentrasi albumin, yang sintesisnya terjadi di jaringan parenkim hati, akan

mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis. Pemeriksaan

waktu protrombin akan memanjang karena penurunan produksi faktor pembekuan

pada hati yang berkorelasi dengan derajat kerusakan jaringan hati. Konsentrasi

natrium serum akan menurun terutama pada sirosis dengan ascites, dimana hal ini

dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Pemeriksaan

Imunologi/serologi didapatkan HbsAg Reaktif nti HCV non reaktif ini

menandakan teridentifikasinya HBV pada pasien yang menunjukan pasien

terinfeksi hepatitis B. Pada hasil urinalisis urin pasien dalam batas normal.

Pengobatan yang diberikan berupa Bolus Sandostatin 2 ampul dilanjutkan

dengan drip 20 mg dalam 500 ml NaCl 10 jam/kolf. Obat ini mengandung

octreotide yang merupakan obat sitetik octapeptide analog dari hormon alamiah

somatostatin. Efek hemodinamik obat ini sama dengan somatostatin murni, yaitu

menurunkan aliran darah splanknik dan tekanan portal, tanpa efek samping yang

berarti. Lactulax 3 gr 3 x 1 , obat ini mengandung lactulosa, dimana obat ini akan

terhidrolisa menjadi zat asam-asam organik yang akan meningkatkan tekanan

osmosa hingga suasana asam akan membuat feses menajdi lebih lunak. Hal

tersebut juga dapat menghindarkan pasien mengelurakan tekanan yang berlebih

yang dapat memperberat keadaan pasien. Sucralfat 1 gr 3 x 1 berfungsi sebagai

mucoprotector pada pasien ini. Curcuma 3 x 1 berfungsi untuk meningkatkan

nafsu makan pasien.

24
Pasien ini mengalami hematemesis melena ec pecahnya varises esofagus.

Kondisi ini diawali dengan adanya peningkatan tekanan di vena porta

menyebabkan hipertensi porta, lama kelamaan pembuluh melebar dan mukosa

gaster melunak, dan keadaan ini menyebabkan terjadinya perdarahan saluran

cerna bagian atas.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and Management of Upper


Gastrointestinal Bleeding. American Family Physician Volume 85, Number 5. Pp
467-79.

2. Adi P. 2014. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam:


Sudoyo AW,et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: 6 ed Vol 2. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1873-80

3. Djojoningrat, D., 2014. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam:


Sudoyo, AW., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: 6 ed. Vol 2 . Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1729 – 36.

1. Robinson M, Syam FA, Abdulah M. Mortality risk factors in acute


upper
gastrointestinal bleeding. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc.
2012; 13:1-37.

2. Lanas A, Garcia-Rodri’guez LA, Polo-Toma’s M, Ponce M,.Alonso-Abreu


I, perez-Aisa MA, et al. Time trends and impact of upper and lower
gastrointestinal bleeding and perforation in clinical practice. Am J
Gastroenterol. 2009;104:1633-41.

3. Dalton D, Grant-Casey J, Hearnshaw S, Lowe D, Travis S, Rockall T, et al.


the UK comparative audit of gastrointestinal bleeding and the use of blood.
Oxford, UK: National Blood Service;2007 Availablefrom:
http;//hospital.blood.co.uk/library/pdf/UGI_Bleed_Audit_Report_transfusio
n_Extract.pdf

4. Anand, B.S., 2011. Peptic Ulcer Disease, Bayler College of Medicine.


Availablefrom: http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview#a0156
(Accesed 10 November 2016)

8. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam:


Friedman, S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology 2 ed. USA: McGraw-Hill Companies, 53 – 67.

9. Loren L. Gastrointestinal bleeding. In: Braunwald E, Fauci AS, Dasper DL,


hauser SL. Longo DL, Jameson JL, eds. Harrisons’s Principle of
Internalmedicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc: 2005; 235.

26
10. Siregar L, Rani AA, Manan C, Simadibrata M, Makmun D. Clinical profile
and outcome of non-variceal upper gastrointestinal bleeding in relation totiming
of endoscopic Procedure in patient undergoing elective endoscopy.Indones J
Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2011; 12(3):140-5.

11. Wasse H, Gillen LD, Ball AM, Kestenbaum BR, Seliger SL, Sherrard D,
Stehman-Breen CO. Risk factors for upper gastrointestinal bleeding among
end-stage renal disease patients. Kidney Int. 2003; 64: 1455-61.

12. Turner JR. The gastrointestinal tract. In: Kumar V, Abbas A.K, Fausto N,
Aster J.C. Robbins and cotran pathologis basis of disease. 8
ed.Philadelphia: Elsevier Saunders Inc; 2010; 763-70.

13. Caestecker, J.d., 2011. Upper Gastrointestinal Bleeding Clinical Presentation,


Hahnemann University. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/187857-clinical#a0216
(Accesed 10 November 2016)

14. Aljebreen AM FC, Barkun AN. Nasogastric aspirate predicts high-risk


endoscopic lesions in patients with acute upper-GI bleeding. Gastrointest
Endosc. 2004; 59: 17.

15. Nnama H, Complications of GI Bleeding. 2015. Diakses melalui


http://www.livestrong.com/article/190741-complications-of-gi-bleeding/

27

Anda mungkin juga menyukai