Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai oleh pelebaran pembuluh
darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esophagus muncul akibat adanya
obstruksi aliran darah menuju hepar. Obstruksi ini bisa berupa jaringan parut pada
hati yang disebabkan oleh penyakit hati. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan vena portal (>10 mmHg) yang menetap atau biasa disebut juga hipertensi
portal. Adanya hipertensi portal akan mendistensi vena proksimal ke tempat
obstruksi dan meningkatkan tekanan kapiler pada organ yang dialiri oleh
pembuluh darah vena yang terobstruksi, salah satunya adalah esofagus.
Ketidakseimbangannya tekanan aliran darah dan kemampuan pembuluh darah
mengakibatkan pembesaran pembuluh darah (varises), bahkan bisa sampai pecah.
Perdarahan varises esophagus mempunyai rata-rata morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan perdarahan saluran cerna bagian atas
lainnya seperti ulkus peptikum. Penderita varises esophagus yang telah
mengalami perdarahan memiliki kesempatan 70% mengalami perdarahan ulang
dan sekitar sepertiga dari episode perdarahan lebih lanjut yang lebih fatal.
Kelainan terkait dalam system ginjal, paru, kardiovaskular dan kekebalan tubuh
pada pasien dengan varises esofagus berkontribusi sebesar 20-65% dalam
mengakibatkan kematian.
Bila tidak diterapi, mortalitas varises esophagus adalah 30-50%, namun
bila dilakukan terapi maka mortalitasnya menurun hingga 20%. Angka kematian
tertinggi terjadi pada beberapa hari pertama hingga beberapa minggu perdarahan
awal, karena itu intervensi dini sangat penting untuk mempertahankan
kelangsungan hidup. Intervensi dini ini diperlukan karena perdarahan pada traktus
gastrointestinal atas potensial mengancam jiwa, sehingga harus ditangani dengan
cepat dan tepat serta mendapatkan penanganan medis yang agresif untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (3).
Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi dari sirosis hepar.
Sekitar 50% penderita sirosis hati akan ditemukan varises esofagus, dan sepertiga
pasien dengan varises akan terjadi perdarahan yang serius dari varisesnya tersebut

dalam hidupnya. Sirosis hepar adalah penyakit yang ditandai dengan


pembentukan jaringan parut di hati. Penyebabnya antara lain yaitu Hepatitis B dan
C, atau konsumsi alkohol dalam jumlah besar. Penyakit lain yang dapat
menyebabkan sirosis adalah tersumbatnya saluran empedu. Beberapa keadaan lain
yang juga dapat menyebabkan varises esofagus yaitu gagal jantung kongestif yang
parah, trombosis, sarkoidosis, schistomiasis dan sindrom Budd-Chiari (3,4,5).
Varises esofagus biasanya tidak bergejala, kecuali jika sudah robek dan
berdarah. Beberapa gejala yang terjadi akibat perdarahan esofagus adalah muntah
darah, tinja hitam seperti ter atau berdarah, kencing sedikit, sangat haus, pusing
dan syok pada kasus yang parah. Pemeriksaan endoskopi diperlukan pada kasus
perdarahan varises esofagus untuk menegakkan diagnosis, menilai varises dan
merencanakan penatalaksanaan yang tepat berdasarkan penyakit dasarnya (3, 4,
6).
Penatalaksanaan perdarahan pada varises esofagus dengan terapi
farmakologi, endoskopi antara lain adalah skleroterapi dan ligase, tamponade
balon, Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS), dan operasi (2,7,8).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Varises esofagus adala terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10
mmHg yang menetap, sedangkan tekanan aliran darah portal dalam keadaan
normal sekitar 5-10 mmHg (Dite P. et al, 2007; Block B. et al, 2004; Azer &
Katz, 2010).
B. Epidemiologi
Terdapat perbedaan populasi penyyebab atau sumber perdarahan
saluran cerna bagian atas di Negara-negara barat dan di Indonesia. Di Negaranegara Barat, ulkus peptikum menduduki peringkat teratas (50-60%) sebagai
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas, dan varises esofagus hanya
sekitar 10%. Sedangkan di Indoneisa, varises esofagus menduduki peringkat
pertama penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas.
Sebagian besar kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di
Indonesia yaitu sebanyak 70-80%, diakibatkan oleh varises esofagus. Dari
1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSUD dr.Soetomo Surabaya, 76,9% disebabkan oleh pecahnya varises
esofagus, 19,2% disebabkan oleh gastritis esofagus, 1% disebabkan oleh tukak
peptic, 0,6% disebabkan oleh tukak lambung dan 2,6% karena sebab-sebab
lain.
Varises paling sering terjadi pada beberapa sentimeter esofagus
bagian distal meskipun varises dapat terbentuk dimanapun di sepanjang
traktus gastrointestinal. Sekitar 50% pasien dengan sirosis akan terjadi varises
gastroesofagus dan sekitar 3070% akan terbentuk varises esofagus. Sekitar
430% pasien dengan varises yang kecil akan menjadi varises yang besar
setiap tahun dan karena itu mempunyai risiko akan terjadi perdarahan (Dite P.
et al, 2007; Azer & Katz, 2010).
Walaupun pengelolaan perdarahan gastrointestinal telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8-10%.

Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan
akibat komorbiditas yang menyertai (Pangestu, 2009).
C. Anatomi
Dinding Esofagus
Esofagus merupakan suatu organ berbentuk silindris berongga
dengan panjang sekitar 18-26 cm. Esofagus menghubungkan antara faring dan
lambung. Batas proksimal esofagus adalah sfingter esofagus atas, yang
berjalan ke distal sampai mediastinum posterior seperti cekungan tabung otot
hingga sfingter esofagus bawah. Esofagus merupakan bagian fungsional yang
secara anatomis berhubungan dengan pertemuan antara muskulus konstriktor
faring dengan krikofaring. Esofagus merupakan pusat kontraksi tonik,
berdinding tebal, terdapat otot polos sirkuler yang panjangnya 2-4 cm, sampai
hiatus diafragma (Ala I. et al, 2001).
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapis yaitu: mukosa, submukosa,
muskularis propria dan adventisia. Esofagus tidak terdapat lapisan serosa
sehingga merupakan saluran cerna yang unik. Mukosa normal terdiri dari
epitel berlapis pipih, antara muskularis propria dan mukosa terdapat aliran
limfatik yang berasal dari muskularis propria. Muskularis propria terdiri dari
otot bergaris dan otot polos yaitu pada bagian proksimal otot bergaris, bagian
tengah otot bergaris dan polos dan pada bagian distal otot polos. Otot lapisan
dalam tersusun sirkuler dan lapisan luar longitudinal (Gambar 1) (Jane Y. et al,
2003; Ala I. et al, 2001).

Gambar 1. Histologi lapisan dinding esofagus (Ala I. et al, 2001)

Vaskularisasi
Vaskularisasi esofagus mengikuti pola segmental. Pada esofagus
bagian atas disuplai oleh cabang-cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia,
bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan arteria
bronkialis, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika
sinistra dan frenika inferior. Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental.
Vena-vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke vena azigos dan
hemiazigos, yang selanjutnya ke vena kava superior, dan di bawah diafragma
vena esofagus mengalir ke vena gastrika sinistra, yang selanjutnya ke vena
porta (Price & Wilson, 2002).
Pembuluh darah sistem gastrointestinal merupakan bagian dari sistem
yang disebut sirkulasi splanknik. Sirkulasi ini meliputi aliran darah dari usus,
limpa, pankreas dan hati. Model dari sistem ini adalah sedemikian rupa
sehingga semua darah yang melewati usus, limpa, dan pankreas akan menuju
ke hati melalui vena porta. Aliran darah pada vena porta, yang berasal dari
aliran darah vena mesenterika superior (vena mesenterika inferior mengalir ke
vena splenika) dan vena splenika, membawa sekitar 1500 ml darah per menit.
Suplai darah ke hati ini adalah sekitar 80% (Azer & Katz, 2010; Price &
Wilson, 2002).
Di dalam hati, darah akan mengalir melewati berjuta-juta sinusoid hati
(saluran vaskuler intrahepatik) yang sangat kecil dan akhirnya meninggalkan
hati melalui vena hepatika yang masuk ke dalam vena kava dari sirkulasi
sistemik (Gambar 2) (Guyton & Hall, 2002).

Gambar 2. Sirkulasi Splanknik (Guyton & Hall, 2002).

D. Etiologi
Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah
penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi ini
dapat diklasifikasikan sebagai prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik
(Tabel 1) (Azer & Katz, 2010).

Tabel 1. Etiologi Hipertensi Portal

Prehepatik
Trombosis vena plenik
Trombosis vena porta
Kompresi ekstrinsik
pada vena porta

intrahepatik
Fibrisis hepatik kongenital
Hipertensi portal idiopatik
Tuberkulosis
Schistosomiasis
Sirosis bilier primer
Sirosis alkoholik
Sirosis virus hepatitis B
Sirosis virus hepatitis C
Penyakit wilson
Defisiensi antitripsin alfa-1
Hepatitis aktif kronis
Hepatitis fulminan

Pascahepatik
Sindroma BuddChiari
Trombosis vena
kava inferior
Perikarditis
konstriktif
Penyakit hati
venooklusif

E. Patofisiologi
Sirosis merupakan fase akhir dari penyakit hati kronis yang paling
sering menimbulkan hipertensi portal. Tekanan vena porta merupakan hasil
dari tahanan vaskular intrahepatik dan aliran darah pada portal bed. Pada
sirosis, tahanan vaskular intrahepatik dan aliran porta keduanya sama-sama
meningkat (Dite P. et al, 2007).

Bila ada obstruksi aliran darah vena porta, apapun penyebabnya,


akan mengakibatkan naiknya tekanan vena porta. Tekanan vena porta yang
tinggi merupakan penyebab dari terbentuknya kolateral portosistemik,
meskipun faktor lain seperti angiogenesis yang aktif dapat juga menjadi
penyebab. Walaupun demikian, adanya kolateral ini tidak dapat menurunkan
hipertensi portal karena adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran
vena porta. Kolateral portosistemik ini dibentuk oleh pembukaan dan dilatasi
saluran vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan vena kava
superior dan inferior. Aliran kolateral melalui pleksus vena-vena esofagus
menyebabkan pembentukan varises esofagus yang menghubungkan aliran
darah antara vena porta dan vena kava (Dite P. et al, 2007; Bendtsen F. et al,
2008).
Pleksus vena esofagus menerima darah dari vena gastrika sinistra,
cabang-cabang vena esofagus, vena gastrika short/brevis (melalui vena
splenika), dan akan mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos.
Sedangkan vena gastrika sinistra menerima aliran darah dari vena porta yang
terhambat masuk ke hepar (Gambar 3) (Block B. et al, 2004).

Gambar 3.

Anastomosis portocaval pada hipertensi porta (Block B. et al, 2004).


Sistem vena porta tidak mempunyai katup, sehingga tahanan pada
setiap level antara sisi kanan jantung dan pembuluh darah splenika akan
menimbulkan aliran darah yang retrograde dan transmisi tekanan yang
meningkat. Anastomosis yang menghubungkan vena porta dengan sirkulasi

sistemik dapat membesar agar aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat
yang obstruksi sehingga dapat secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik
(Azer & Katz, 2010).
Hipertensi portal paling baik diukur secara tidak langsung dengan
menggunakan wedge hepatic venous pressure (WHVP). Perbedaan tekanan
antara sirkulasi porta dan sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG)
sebesar 1012 mmHg diperlukan untuk terbentuknya varises. HVPG yang
normal adalah sekitar 510 mmHg. Pengukuran tunggal berguna untuk
menentukan prognosis dari sirosis yang kompensata maupun yang tidak
kompensata, sedangkan pengukuran ulang berguna untuk memonitoring
respon terapi obat-obatan dan progresifitas penyakit hati (Dite P. et al, 2007;
Azer & Katz, 2010).
Bila tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi
pecahnya varises. Kemungkinan pecahnya varises dan terjadinya perdarahan
akan meningkat sebanding dengan meningkatnya ukuran atau diameter varises
dan meningkatnya tekanan varises, yang juga sebanding dengan HVPG.
Sebaliknya, tidak terjadi perdarahan varises jika HVPG di bawah 12 mmHg.
Risiko perdarahan ulang menurun secara bermakna dengan adanya penurunan
dari HVPG lebih dari 20% dari baseline. Pasien dengan penurunan HVPG
sampai <12 mmHg, atau paling sedikit 20% dari baseline, mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk terjadi perdarahan varises berulang,
dan juga mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadi asites, peritonitis
bakterial dan kematian (Dite P. et al, 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan peranan endotelin-1 (ET-1) dan
nitric oxide (NO) pada patogenesis hipertensi porta dan varises esofagus.
Endotelin-1 adalah vasokonstriksi kuat yang disintesis oleh sel endotel
sinusoid yang diimplikasikan dalam peningkatan tahanan vaskuler hepatik
pada sirosis dan fibrosis hati. Nitric oxide adalah vasodilator, yang juga
disintesis oleh sel endotelial sinusoid. Pada sirosis hati, produksi NO
menurun, aktivitas endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan produksi
nitrit oleh sel endotelial sinusiod berkurang (Azer & Katz, 2010).

F. Klasifikasi
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan
akan meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. Berikut ini
adalah derajat dari varises esofagus berdasarkan gambaran endoskopis
(Gambar 4) (Block B. et al, 2004):
I
: Distensi vena masih terbatas pada mukosa esofagus
II
: Isolated. Varises lurus, masih terbatas permukaan, muncul ke arah
III

lumen tanpa penyempitan signifikan (<5 mm)


: Large. Varises menimbulkan penyempitan lumen yang signifikan

IV

(>5mm)
: Obstruksi lumen hampir total dan sangat berisiko mengalami
perdarahan.

Gambar 4. Derajat Varises Esofagus (Block B. et al, 2004).

G. Penegakan Diagnosis
Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises
belum pecah yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah
ditegakkan diagnosis sirosis hendaknya dilakukan skrining diagnosis melalui
pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD) yang merupakan standar
baku emas untuk menentukan ada tidaknya varises esofagus. Pada pasien
dengan sirosis yang kompensata dan tidak didapatkan varises, ulangi EGD
setiap 23 tahun, sedangkan bila ada varises kecil, maka pemeriksaan EGD
diulangi setiap 12 tahun. Pada sirosis yang dekompensata, lakukan
pemeriksaan EGD setiap tahun. Efektivitas skrining dengan endoskopi ini bila
ditinjau dari segi biaya, masih merupakan kontroversi, maka untuk keadaankeadaan tertentu disarankan untuk menggunakan gambaran klinis, seperti
jumlah platelet yang rendah, yang dapat membantu untuk memprediksi pasien
yang cenderung mempunyai ukuran varises yang besar (Vaezi et al, 2006).
Bila standar baku emas tidak dapat dikerjakan atau tidak tersedia,
langkah diagnostik lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan
ultrasonografi Doppler dari sirkulasi darah (bukan ultrasonografi endoskopik).
Alternatif pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan radiografi dengan menelan
barium dari esofagus dan lambung, dan angiografi vena porta serta manometri
(Dite P. et al, 2007; Vaezi et al, 2006; Bendtsen F. et al, 2008).
Pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, sangatlah penting menilai
lokasi (esofagus atau lambung) dan besar varises, tanda-tanda adanya
perdarahan yang akan terjadi (imminent), perdarahan yang pertama atau
perdarahan yang berulang, serta bila mungkin untuk mengetahui penyebab
dan beratnya penyakit hati (Dite P. et al, 2007).
Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan
akan meluas sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut. 2 Pada
pemeriksaan endoskopi didapatkan gambaran derajat 1, terjadi dilatasi vena
(<5 mm) yang masih berada pada sekitar esofagus. Pada derajat 2 terdapat
dilatasi vena (>5 mm) menuju kedalam lumen esofagus tanpa adanya
obstruksi. Sedangkan pada derajat 3 terdapat dilatasi yang besar, berkelokkelok, pembuluh darah menuju lumen esofagus yang cukup menimbulkan
obstruksi. Dan pada derajat 4 terdapat obstruksi lumen esofagus

hampir

lengkap, dengan tanda bahaya akan terjadinya perdarahan (cherry red spots)
(Ala I. et al, 2001)
Setelah varises esofagus telah diidentifikasi pada pasien dengan
sirosis, risiko terjadinya perdarahan varises adalah sebesar 25-35 %. Oleh
karena sirosis hati akan mempunyai prognosis buruk dengan adanya
perdarahan varises, maka penting untuk dapat mengidentifikasi mereka yang
berisiko tinggi dan pencegahan kejadian perdarahan pertama. Perdarahan
varises esofagus biasanya tanpa rasa sakit dan masif, serta berhubungan
dengan tanda perdarahan saluran cerna lainnya, seperti takikardi dan syok.
Faktor risiko untuk perdarahan pada orang dengan varises adalah derajat
hipertensi portal dan ukuran dari varises. Varises sangat tidak mungkin untuk
terjadi perdarahan jika tekanan portal < 12 mmHg (Vaezi et al, 2007; Ala I. et
al, 2001).
Perdarahan varises didiagnosis atas dasar ditemukannya satu dari
penemuan pada endoskopi, yaitu tampak adanya perdarahan aktif,

white

nipple, bekuan darah pada varises (Dite P. et al, 2007). Sedangkan adanya red
wale markings atau cherry red spots yang menandakan baru saja
mengeluarkan darah atau adanya risiko akan terjadinya perdarahan (Gambar
5) (Block B. et al, 2004).
Cherry-red spots

Red wale marking

Gambar 5. Pemeriksaan varises esofagus dengan endoskopi (Block B. et al,


2004)

Pada pasien dengan dugaan terjadi perdarahan dari varises, perlu


dilakukan pemeriksaan EGD. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin setelah masuk rumah sakit (12 jam), khususnya pada pasien dengan
perdarahan yang secara klinis jelas. Penundaan lebih lama (24 jam) dapat di

lakukan pada kasus perdarahan

ringan yang memberikan respon dengan

vasokonstriktor (Bendtsen F. et al, 2008).


Pada saat dilakukan endoskopi, ditemukan perdarahan dari varises
esofagus atau varises gaster. Varises diyakini sebagai sumber perdarahan,
ketika vena menyemprotkan darah atau ketika ada darah segar dari
esophageal-gastric junction di permukaan varises atau ketika ada darah segar
di fundus, jika terdapat varises lambung. Dalam keadaan tidak ada perdarahan
aktif (lebih dari 50% kasus) atau adanya varises sedang dan besar dengan
tidak adanya lesi, maka varises potensial untuk menjadi sumber perdarahan
yang potensial (Bendtsen F. et al, 2008).

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan perdarahan gastrointestinal adalah stabilisasi
hemodinamik dan meminimalkan komplikasi. Resusitasi awal harus dengan
cairan intravena dan produk darah, serta penting perlindungan pada saluran
nafas. Setelah dicapai hemodinamik yang stabil, namun bila perdarahan terus
berlanjut hendaknya dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat sumber
perdarahan, dan untuk identifikasi kemungkinan pilihan terapi seperti
skleroterapi, injeksi epineprin atau elektrokauter (Bendtsen F. et al, 2008; Ala
I. et al, 2001).
Terapi Farmakologi
Prinsip pemberian farmakoterapi adalah menurunkan tekanan vena
porta dan intravena. Hanya ada dua farmakoterapi yang direkomendasikan
untuk pentatalaksanaa perdarahan varises esofagus yaitu: vasopresin dan
terlipresin (Block B. et al, 2004).
Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif nenurunkan
tekanan portal dengan menurunkan aliran darah portal yang menyebabkan
vasokonstriksi splanknik. Penatalaksanaan dengan obat vasoaktif sebaiknya
mulai diberikan saat datang ke rumah sakit pada pasien dengan hipertensi
portal dan dicurigai adanya perdarahan varises. Dikutip dari Science Direct,
tujuan pemberian farmakoterapi adalah untuk menurunkan tekanan portal,
yang berhubungan erat dengan tekanan varises. Terapi ini rasional bila tekanan

portal yang tinggi ( > 20 mmHg) dengan prognosis yang kurang baik
(Bendtsen F. et al, 2008; Era AD.et al, 2008).
Obat vasoaktif dapat diberikan dengan mudah, lebih aman dan tidak
memerlukan keterampilan. Terapi dapat dimulai di rumah sakit, dirumah atau
saat pengiriman ke rumah sakit yang akan meningkatkan harapan hidup pasien
dengan perdarahan masif. Obat vasoaktif juga akan memudahkan tindakan
endoskopi (Bendtsen F. et al, 2008).
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long acting,
bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih sedikit
dibandingkan dengan vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi
porta

terjadi

sirkulasi

hiperdinamik

dengan

vasodilatasi.

Terlipresin

memodifikasi sistem hemodinamik dengan menurunkan cardiac output dan


meningkatkan tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler sistemik. Terlipresin
memiliki efek menguntungkan pada pasien ke gagalan hepatorenal, yaitu
dengan kegagalan fungsi ginjal dan sirosis dekompensata. Dengan demikian,
dapat mencegah gagal ginjal, yang sering terdapat pada pasien dengan
perdarahan varises. Ketika dicurigai perdarahan varises diberikan dosis 2 mg/
jam untuk 48 jam pertama dan dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian
dosis diturunkan 1 mg/ jam atau 12-24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek
samping terlipresin berhubungan dengan vasokonstriksi seperti iskemia
jantung dan infark saluran cerna (Block B. et al, 2004, Bendtsen F. et al, 2008;
Era AD.et al, 2008).
Terapi Endoskopi
Terapi endoskopi dilakukan pada kasus perdarahan varises, terutama
dalam upaya mencapai homeostasis. Temuan endoskopi juga berguna sebagai
indikator prognosis risiko perdarahan ulang. Teknik endoskopi yang
digunakan mencapai homeostasis adalah dengan memutus aliran darah
kolateral dengan cepat seperti ligasi atau skleroterapi karena trombosis.
Endoskopi dapat dilakukan pada pasien dengan varises esofagus sebelum
perdarahan pertama terjadi, saat perdarahan berlangsung dan setelah
perdarahan pertama terjadi (Block B. et al, 2004; McKay & Webster, 2007).

Sebelum perdarahan pertama


Deteksi varises esofagus sebelum terjadi perdarahan pertama
biasanya didapatkan pada pemeriksaan stadium hipertensi portal, jarang
varises esofagus terdeteksi secara kebetulan (Block B. et al, 2004,13). Varises
yang ringan tidak memerlukan tindakan endoskopi. Varises dengan risiko
perdarahan yang tinggi, dapat diterapi dengan Propanolol 80-240 mg/hari
yang bisa juga dikombinasikan dengan Isosorbide Mononitrate 2x40 mg/hari.
Spironolakton dalam dosis 100-200 mg/hari dapat diberikan sebagai alternatif
pengganti beta blocker. Endoskopi sebelum perdarahan pertama hanya
bertujuan untuk deteksi tingkat keparahan varises, tidak dilakukan tindakan
operasi dan Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunting (TIPS)
(Bendtsen F. et al, 2008).
Selama perdarahan pertama berlangsung
Terapi endoskopi terbukti efektif mengendalikan perdarahan aktif
dan dapat menurunkan mortalitas serta efektif mencegah perdarahan varises
berulang dibandingkan terapi medikamentosa dengan vasopressin atau
tamponade balon. Tamponade balon dilakukan setelah tindakan endoskopi,
operasi atau TIPS yang gagal. Terapi endoskopi selama perdarahan terdiri dari
skleroterapi dan ligase (Block B. et al, 2004, Bendtsen F. et al, 2008).
Skleroterapi dengan polidocanol (etoksiskerol), pada prinsipnya
adalah memberikan tekanan dan trombosis pada varises, menginduksi
inflamasi dengan akibat terbentuk parut. Disuntikkan pada daerah para varises
atau intra varises. Terapi ini sudah terbukti, baik pada kasus dimana lapang
pandang buruk dan relatif lebih mudah dilakukan (Gambar 6) (Block B. et al,
2004; Bendtsen F. et al, 2008).

Gambar 6. Skleroterapi (Block B. et al, 2004; Bendtsen F. et al, 2008)


Teknik tindakan skleroterapi dilakukan dengan posisi miring, bagian
atas fleksi, terpasang oksimetri, alat dimasukan dan perdarahan varises
diidentifikasi. Injeksi dimulai dekat kardia. Suntikan pada intravarises dan
paravarises. Disuntikan 0,5 ml disekitar varises (untuk kompresi, inflamasi
dan fibrosis) dan 0,1 ml langsung pada varises (merangsang trombosis),
maksimum suntikan 2 ml pada setiap tempat suntikan. Jika terdapat
perdarahan setelah suntikan, berikan tekanan pada varises sekitar 1 menit. Jika
terapi tidak berhasil, skleroterapi tidak dilanjutkan dan pasang pipa
Sengstaken- Blakemore (Block B. et al, 2004; Bendtsen F. et al, 2008).
Ligasi bertujuan untuk merangsang trombosis, nekrosis dan
terbentuk parut. Keuntungan terapi ini adalah rata-rata komplikasi rendah,
secara keseluruhan morbiditas dan mortalitas karena perdarahan lebih rendah
dibandingkan skleroterapi, serta awal perdarahan ulang biasanya jarang
dibandingkan dengan skleroterapi. Kerugiannya adalah terbatasnya pandangan
pada kasus perdarahan yang masif, sebab darah pada esofagus akan
menghalagi tutup plastik dimana pita elastik akan dipasang. Varises di tarik ke
dalam ujung endoskop dan diligasi dengan pita plastik (Gambar 7) (Block B.
et al, 2004; Bendtsen F. et al, 2008).

Gambar 7. Alat Ligasi (Block B. et al, 2004)


Tamponade balon pada prinsipnya adalah melakukan kompresi
eksternal pada perdarahan varises dengan mengembangkan balon. Tamponade
balon tepat di lakukan jika tidak ada pilihan endoskopik emergensi atau
setelah tindakan endoskopik, terapi operasi atau TIPS gagal. Pada varises
esofagus digunakan pipa Sengstaken-Blakemore dengan dua balon (Gambar
8). Teknik ini tidak dilakukan jika pasien muntah. Periksa pipa untuk
kekedapan udara sebelum digunakan, olesi pipa dan balon menggunakan
pelumas. Berikan anestesi pada mukosa hidung, tekan sisa udara dari balon,
masukan pipa melalui hidung sampai dengan panjang 50 cm. Pompa balon
gastrik sampai 50 ml dan diklem. Perlahan-lahan pipa ditarik sampai ada
tahanan, bila terdengar suara seirama dengan pernafasan berarti gagal.
Lindungi pipa dengan plester yang kuat, fiksasi pipa pada lubang hidung.
Pompa balon sampai 45 mmHg dengan manometri kemudian diklem.
Kempeskan pipa 30 menit setiap 6-8 jam sekali. Maksimum pemasangan pipa
adalah 24 jam (Block B. et al, 2004; Treger R. et al, 2011).

Gambar 8. Pipa Sengstaken-Blakemore (Treger R. et al, 2011)


Setelah perdarahan pertama
Varises esofagus yang sudah diterapi ligase atau diberikan sklerosan
dengan polidokanol, akan dilakukan penghilangan varises bagian fundus
dengan histoakril. Kemudian direncanakan untuk evaluasi sekitar 4 hari
setelah tercapai hemostasis. Respon yang baik dengan ligase atau skleroterapi,
selanjutnya dipantau dalam 4 minggu, 3 bulan dan 6 bulan. Jika varises
menetap, skleroterapi atau ligase dilanjutkan dalam waktu 2-4 minggu hingga
tercapai hasil eradikasi sempurna. Sisa varises yang kecil biasanya dilanjutkan
dengan ligase ataupun skleroterapi dan diberikan tambahan propranolol
(Block B. et al, 2004).
Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)
Merupakan cara untuk menurunkan tahanan aliran porta dengan cara
shunt (memotong) aliran melalui hati. Prinsipnya adalah menghubungkan

vena hepatik dengan cabang vena porta intrahepatik. Puncture needle di


masukkan ke dalam vena hepatik kanan melalui kateter jugular. Selanjutnya
cabang vena porta intra hepatik di tusuk, lubang tersebut dilebarkan kemudian
di fiksasi dengan expanding stent (Gambar 9). Hal ini merupakan cara lain
terakhir pada perdarahan yang tidak berhenti atau gagal dengan farmakoterapi,
ligasi atau skleroterapi (Block B. et al, 2004; Bendtsen F. et al, 2008).

Gambar 9. TIPS.
Operasi
Prinsipnya adalah melakukan pembedahan pada anastomosis
portosistemik. Tindakan ini tidak praktis pada situasi kegawatdaruratan dan
mempunyai angka mortalitas sangat tinggi dibandingkan dengan TIPS (Block
B. et al, 2004).

I. Prognosis
Pada beberapa studi, angka mortalitas pada episode awal dari
perdarahan varises adalah sebesar 50%. Angka kematian akibat perdarahan
varises ini berhubungan dengan derajat keparahan penyakit hati.
Pada pasien dengan varises esofagus, sekitar 30% akan mengalami
perdarahan pada tahun pertama setelah terdiagnosis. Pada pasien dengan

HVPG >20% mmHg dalam 24 jam pada perdarahan varises, bila


dibandingkan dengan pasien yang tekanannya lebih rendah, mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya risiko perdarahan ulang dalam minggu
pertama atau gagal mengontrol perdarahan, dan mempunyai mortalitas yang
lebih tinggi dalam 1 tahun. Pada pasien yang tidak diterapi, sekitar 60% akan
terjadi perdarahan ulang yang berlanjut dalam 1-2 tahun (Dite P, et al, 2007).

BAB IV
KESIMPULAN
1. Varises esofagus adala terjadinya distensi vena submukosa yang diproyeksikan
ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal.

2. Etiologi terjadinya varises esofagus dan hipertensi portal adalah penyakitpenyakit yang dapat mempengaruhi aliran darah portal. Etiologi ini dapat
diklasifikasikan sebagai prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik
3. Varises esofagus biasanya dimulai dari esofagus bagian distal dan akan meluas
sampai ke esofagus bagian proksimal bila lebih lanjut
4. Varises esofagus biasanya tidak memberikan gejala bila varises belum pecah
yaitu bila belum terjadi perdarahan. Oleh karena itu, bila telah ditegakkan
diagnosis sirosis hendaknya dilakukan skrining diagnosis melalui pemeriksaan
esofagogastroduodenoskopi (EGD).
5. Prinsip pemberian farmakoterapi adalah menurunkan tekanan vena porta dan
intravena. Hanya ada dua farmakoterapi yang direkomendasikan untuk
pentatalaksanaa perdarahan varises esofagus yaitu: vasopresin dan terlipresin
6. Terapi endoskopi dilakukan pada kasus perdarahan varises, terutama dalam
upaya mencapai homeostasis. Terapi Endoskopi dapat dilakukan pada pasien
dengan varises esofagus sebelum perdarahan pertama terjadi, saat perdarahan
berlangsung dan setelah perdarahan pertama terjadi
7. Pada beberapa studi, angka mortalitas pada episode awal dari perdarahan
varises adalah sebesar 50%. Angka kematian akibat perdarahan varises ini
berhubungan dengan derajat keparahan penyakit hati.

DAFTAR PUSTAKA
Ala I, Sharara S, Don C, Rockey R. 2001. Gastroesophageal variceal
hemorrhage. N Engl J Med 2001. Available from: www.nejm.org.
Azer SA, Katz J. Esophageal varices 2010. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/175248-overview.
Bendtsen F, Krag A, Moller S. 2008. Treatment of acute variceal bleeding.
Digestive and liver disease 2008. Available from: www.sciencedirect.com

Block B, Schachschal G, Schmidt H. 2004. Esophageal varices. In: Block B,


Schachschal G, Schmidt H, eds. Endoscopy of the upper GI Tract.
Germany: Grammlich. p. 85-150.
Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Khan AG, Bjorkman D, et al. 2007.
Esophageal varices. World gastroenterology organisation practise
guideline
2007.
Available
from:
http://www.worldgastroenterology.org/graded-evidence-access.html.
Era AD, Franchis RD, Iannuzzi F. 2008. Acute variceal bleeding:
pharmacological treatment and primary/ secondary propilaxis. Best
practice & research clinical gastroenterology. Available from:
http://www.scientdirect.com.
Guyton AC, Hall JE. 2002. Prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinalmotilitas, pengaturan saraf, dan sirkulasi darah. Dalam: Guyton AC, ed.
Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; hal. 817-9.
Jane Y, Yang Y, Ellen S, Deutsch D, James S, Reilly R. Bronchoesophagology. In:
James B, Snow JR, John JB, eds. 2003. Otorhinolaryngology head and
neck surgery. 16th ed. Ontario: BC Decker Inc; p. 1562-73.
McKay R, Webster NR. 2007. Variceal bleeding. Continuing education in
anestesia,
critical
care
&
pain.
Available
from:
http://ceaceep.oxfordjournals.org/.
Pangestu A. 2009. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Ilmu
penyakit dalam. Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing; hal. 447-53.
Treger R, Kulkami R. Sengstaken-Blakemore Tube 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/81020-overview.
Vaezi MF. Upper gastrointestinal bleeding. In: Vaezi MF, Park W, Swoger J, eds.
2006. Esophageal diseases. Oxford: An imprint of atlas medical
publishing Ltd; p. 110-4.
Wilson LMC. 2002. Esofagus. Dalam: Price SA, Wilson LMC, ed. Patofisiologi.
Edisi 4. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; hal. 357-450.
.

Anda mungkin juga menyukai