Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang sejarah terbentuknya Negara Indonesia, identitas dari etnis
Tionghoa telah dianggap sebagai kelompok etnis yang terpisah dari kelompok
mayoritas dalam suatu negara atau kelompok pribumi. Walaupun negara Indonesia
terdiri dari berbagai macam kelompok etnis dan bahasa, seperti etnis Jawa, Sunda,
Ambon, ataupun Bali, keberagaman etnis tersebut tetap termasuk ke dalam kelompok
pribumi (Urban, 2013).
Etnis Tionghoa selalu menjadi kelompok minoritas di Indonesia. Pada tahun
1930, etnis Tionghoa hanya mewakili 2,03 persen dari total keseluruhan penduduk.
Selain itu, diperkirakan etnis Tionghoa terbentuk sekitar 1,2 persen dari total
penduduk di Indonesia pada tahun 2000 dan 2010 (Ananta dkk, 2008., dalam Chong,
2016). Orang-orang Indonesia yang memiliki etnis Tionghoa sendiri terdiri dari
berbagai latar belakang etnis yang berbeda-beda. Empat kelompok dominan yang
bermigrasi ke Indonesia adalah Hokkien, Hakka, Teochiu, dan Kanton. Masing-
masing dari mereka memiliki bahasa, latar belakang ekonomi, serta budaya yang
berbeda-beda. Karena spesialisasi yang berbeda, masing-masing kelompok berpencar
untuk menempati wilayah-wilayah di Indonesia. Kelompok Hakka bermigrasi ke
Kalimantan Barat, Hokkien terletak ke Jawa dan Sumatera, Teochiu tinggal di Jawa,
Sumatera, dan pulau-pulau Riau, dan Kanton tersebar di seluruh nusantara (Turner
2003, dalam Urban, 2013).
Ketika di Indonesia, etnis Tionghoa diposisikan selamanya sebagai kelompok
pendatang baru, tidak peduli seberapa lama mereka telah menetap di Indonesia
(Hoon, 2008, dalam Urban, 2013). Pada awalnya, etnis Tionghoa mampu bersatu
dengan masyarakat Indonesia. Namun, ketika Belanda menjajah Indonesia, Belanda
menerapkan peraturan divide and rule, yang membagi struktur kekuasaan menjadi
tiga, yaitu kekuasaan Belanda yang berada di tingkat paling atas, kekuasaan pribumi
di tingkat paling bawah dan kekuasaan untuk etnis Tionghoa yang mampu menduduki

1
posisi penengah. Posisi etnis Tionghoa telah terintegrasi sebagai perantara oleh
Belanda dan pribumi. Akhirnya, penduduk pribumi mendorong adanya kelompok
anti-tionghoa dikarenakan etnis Tionghoa mampu mencapai status politik dan sosial
yang lebih tinggi di Indonesia (Vickers, 2005, dalam, Urban, 2013).
Pada masa penjajahan Belanda, etnis Tionghoa memiliki posisi ekonomi yang
kuat yang tidak dapat diabaikan oleh Belanda. Belanda bergantung kepada makelar
dan pedagang eceran yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa, sehingga Belanda
memberikan hak ekonomi istimewa berupa sistem monopoli yang merugikan
masyarakat pribumi (Kahin, 1946, dalam Silva, 2010). Pada saat orde baru, etnis
Tionghoa dikenakan tindakan asimiliasi, yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk
menyerahkan identitas etnis yang dimiliki, mendaftarkan di sekolah pribumi, serta
mengubah nama mereka (Yau, 2008, dalam Silva, 2010).
Ketika masa Era Reformasi, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-
langkah yang signifikan untuk mengatasi masalah yang dihadapi etnis Tionghoa. Saat
ini, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia mampu merayakan “Chinese New Year”
dan diperbolehkan untuk menggunakan nama dan simbol dalam bahasa Cina.
Masyarakat etnis Tionghoa juga mampu bergabung dalam aktivitas politik dan
mampu mengekspresikan diri secara publik (Suryadinata, 2001, dalam Silva, 2010).
Pada masa kepresidenan Abdurahman Wahid, etnis Tionghoa juga mendapatkan
dukungan penuh agar terus berinventasi dan membantu upaya perekenomian
Indonesia (Silva, 2010).
Namun, nyatanya, adanya reformasi dari pemerintah Indonesia terlihat masih
sulit dalam melakukan penetrasi terhadap masyarakat pribumi. Banyaknya
masyarakat Indonesia beretnis Tionghoa masih kesulitan untuk masuk ke dalam
Perguruan Tinggi Negeri (PTN), akademi kepolisian, akademi militer ataupun sulit
dalam beradaptasi di sekolah-sekolah pribumi, seperti sekolah negeri (Johnston,
2005, dalam Silva, 2010). Disamping itu, sekolah memainkan peran aktif dan
signifikan dalam melakukan transmisi nilai-nilai dan menanamkan budaya kepada

2
murid-muridnya. Sekolah juga berfungsi sebagai tempat untuk membangun identitas
diri setiap siswa (Hoon, 2011).
Sekolah telah menjadi sumber lain dalam mempertahankan batas-batas spasial
antara etnis Tionghoa dan pribumi. Banyak orangtua etnis Tionghoa ingin
menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah swasta khusus etnis Tionghoa atau
chinese schools, agar anak-anak mereka mampu mendapatkan transmisi budaya Cina
dan melestarikan budayanya. Selain itu, orangtua etnis Tionghoa juga menyatakan
bahwa anak-anak mereka akan merasa lebih aman dan nyaman jika disekolahkan di
sekolah khusus atau chinese schools. Hal tersebut dikarenakan sekolah pribumi
mayoritas beragama muslim ataupun kristen, yang mampu menciptakan adanya
diskriminasi ataupun cultural distance (Urban, 2013).
Walaupun banyak orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya di chinese
schools, namun adapula orangtua yang tetap menyekolahkan anak-anaknya di sekolah
pribumi. Anak-anak dari etnis Tionghoa telah merasakan diskriminasi di sekolah-
sekolah pribumi. Misalnya, orangtua yang beretnis Tionghoa umumnya diminta untuk
memberikan sumbangan pendidikan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
masyarakat pribumi. Bahkan, anak-anak beretnis Tionghoa seringkali di bully atau
dicemooh oleh teman-temannya di sekolah pribumi (Kini Tionghoa Bukan Cina,
2014).
Berdasarkan studi berkerpanjangan oleh Way (2004), ditemukan bahwa
terdapat pengalaman diskriminasi dan dampak psikologis yang tinggi dan konsisten,
yang dirasakan oleh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) beretnis Tionghoa di
sekolah pribumi (Drake, Hughes & Way, 2007). Diskriminasi yang dilakukan kepada
anak-anak berusia sekolah juga memberikan efek yang serius dan dapat merugikan
psychological well being (PWB) seseorang (Greene, Way & Pahl, 2006). Secara
khusus, diskriminasi dalam situasi kehidupan sehari-hari telah terbukti berhubungan
dengan adanya peningkatan depresi, kecemasan dan gejala psikosomatis (Castaneda,
dkk., 2015).

3
Melalui kasus-kasus diskriminasi bagi etnis Tionghoa tersebut, timbul
pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana kondisi kesejahteraan psikologis bagi
para individu dengan etnis Tionghoa. Peneliti mencoba untuk mengetahui lebih
dalam mengenai bagaimana individu dengan etnis Tionghoa di sekolah pribumi
mampu mengevaluasi dirinya dengan cara positif atau negatif, dan apakah individu
dengan etnis Tionghoa mampu menjalankan kegiatan sehari-harinya secara efektif
meskipun suku Tionghoa termasuk minoritas di Indonesia. Sehingga pada penelitian
ini, peneliti melakukan penelitian tentang Psychological Well Being (PWB) pada
individu dengan etnis Tionghoa di lingkungan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Indonesia.

1.2 Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas yang berkaitan dengan
situasi dan persoalan yang dialami individu yang berada di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dengan etnis Tionghoa, maka permasalahan penelitian
secara umum dapat dirumuskan dalam grand tour question, yaitu bagaimana
Psychological Well Being (PWB) pada individu dengan etnis Tionghoa di lingkungan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) pribumi di Indonesia?

1.3 Signifikansi dan Keunikan Penelitian


Castaneda, dkk (2015), menyimpulkan bahwa perasaan diskriminasi dan
perasaan tidak dapat diterima oleh orang lain dengan baik dapat membahayakan
psychological well being yang dimiliki seseorang. Di sisi lain, ketika individu mulai
merasakan bahwa kondisi psikologisnya tidak stabil atau kurang baik, individu
tersebut akan cenderung melihat atau menerima pesan dari orang lain secara negatif.
Dengan demikian, adanya diskriminasi etnis dapat mempengaruhi cara individu
dalam melihat diri mereka sendiri dan situasi kehidupan mereka, yang
memungkinkan individu untuk menilai situasi baru sebagai suatu ancaman atau
bahaya, sehingga beresiko dapat menambah beban stress individu secara keseluruhan.

4
Berdasarkan data penelitian yang telah ada sebelumnya, peneliti
mengidentifikasi bahwa terdapat signifikansi antara individu yang mengalami
diskriminasi etnis Tionghoa dengan psychological well being yang dimilikinya.
Individu yang mengalami diskriminasi etnis Tionghoa cenderung memiliki resiko
kerentanan terhadap psychological well being dalam dirinya. Namun, belum ada
penelitian selanjutnya yang meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana psychological
well being individu yang mengalami diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia.
Sehingga pada penelitian ini, peneliti memilih subjek yaitu individu dengan etnis
Tionghoa yang memiliki keturunan Indonesia.
Adapun penelitian lainnya yang dilakukan di Amerika menyatakan bahwa
individu dengan etnis Tionghoa-Amerika yang mengalami diskriminasi mendapatkan
beberapa konsekuensi yang merugikan secara langsung, seperti masalah kesehatan
mental, ancaman kesejahteraan fisik maupun psikis, depresi dan juga dapat mengarah
kepada bunuh diri (Yoo & Lee, 2005, dalam Liang & Grossman, 2007). Anak-anak
yang beretnis Tionghoa juga memiliki perasaan tidak berada di sekolah dan tidak
mampu berbaur dengan lingkungan sekolah. Adanya diskriminasi etnis juga
diprediksi mampu memberikan dampak dan berhubungan pada seluruh domain
kehidupan individu (Ying, dkk, 2000, dalam Liang & Grossman, 2007).

1.4 Tujuan Penelitian


Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana psychological
well being pada individu dengan etnis Tionghoa yang duduk dibangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP) pribumi, dengan cara mengkaji aspek penerimaan diri,
pengembangan diri, tujuan hidup, kualitas hubungan dengan orang lain, kapasitas
individu dalam mengatur lingkungan serta kehidupannya dan kemampuan individu
untuk menentukan tindakan sendiri.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis

5
1. Memberikan kontribusi terhadap penelitian tentang bagaimana
psychological well being pada individu yang beretnis Tionghoa di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) pribumi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai dasar
untuk penelitian lebih lanjut mengenai individu etnis Tionghoa yang
mengalami diskriminasi.
3. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai dasar
untuk merancang suatu intervensi agar individu dengan etnis Tionghoa
mampu memiliki psychological well being yang baik walaupun
individu tersebut tergolong minoritas.
1.5.2 Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai psychological well
being individu dengan etnis Tionghoa yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) pribumi di Indonesia. Hal tersebut berguna agar masyarakat mampu memiliki
pandangan bahwa individu yang beretnis Tionghoa seharusnya mendapat perlakuan
yang setara dengan individu pribumi.

6
BAB II
PERSPEKTIF TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Psychological Well-being

2.1.1.1 Definisi Psychological Well Being


Psychological well-being tentang bagaimana kehidupan dapat berjalan
dengan baik. Hal ini merupakan kombinasi mempunyai perasaan baik dan
berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mengalami
well-being tidak selalu merasa baik sepanjang waktu, namun pengalaman emosi
menyakitkan (kekecewaan, kegagalan,kesedihan) juga merupakan bagian
normal dalam kehidupan. Kemampuan mengelola emosi negatif atau
menyakitkan adalah hal penting untuk jangka panjang terbinanya well-being.
Psychological well-being akan tergangu ketika individu mengalami emosi
negatif yang ekstrim atau sangat tahan lama dan mengganggu kemampuan
untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (Huppert, 2009).
Menurut Diener (1984 dalam Deci & Ryan, 2008) psychological well-
being dianggap sebagai hal yang subjektif karena individu mengevaluasi diri
mereka sendiri, secara umum, sejauh mana mereka mengalami wellness.
Deci dan Ryan (2008) memandang psychological well-being dalam dua
persepektif yaitu hedonic dan eudaimonic. Menurut perspektif hedonic,
psychological well-being biasanya dikonseptualisasikan sebagai beberapa
kombinasi dari afektif positif seperti kebahagiaan serta tidak adanya afektif
negatif. Sedangkan perspektif eudaimonic fokusnya pada keberfungsian secara
efektif dan optimal dalam kehidupan individu dan sosial dan hidup dengan cara
yang memuaskan.

7
Sejalan dengan perspektif eudaimonic, Ryff (1989) mendefinisikan
psychological well-being (PWB) mengacu pada perasaan aktualisasi diri dan
dapat berfungsi secara optimal dalam kehidupan. Ryff (1989) menyarankan
model multidimensi PWB, yang terdiri dari enam dimensi psikologis. Setiap
dimensi merupakan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu
dalam upaya berfungsi secara optimal dalam hidup (Keyes, Shmotkin, & Ryff,
2002; Ryff, 1989a; Ryff & Keyes, 1995).

2.1.1.2 Dimensi Psychological Well Being


Model teoritis psychological well-being Ryff (1989) mencakup 6 dimensi yang
berbeda dari wellness, yaitu:
1. Self Acepptance
Penekanan pada penerimaan diri secara keseluruhan kehidupan masa
kini maupun masa lalu seseorang. Individu yang mengevaluasi dirinya secara
positif merupakan individu yang mampu menerima dan memami berbagai
aspek dalam dirinya, termasuk kualitas dan sisi baik atau buruknya individu
tersebut, sehingga ia mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik dan dapat
berfungsi optimal dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Ryff, 1989).
2. Positive relations with others
Hubungan positif merupakan kemampuan individu dalam berelasi dan
menjalin hubungan yang baik dengan orang lain disekitarnya. Individu mampu
memiliki perasaan yang kuat dari empati dan kasih sayang bagi seluruh umat
manusia dan memiliki kasih yang lebih besar, persahabatan yang lebih dalam,
identifikasi yang lebih lengkap dengan orang lain, serta mampu hangat dalam
berhubungan dengan orang lain (Ryff, 1989).
3. Autonomy
Otonomi digambarkan sebagai kualitas individu untuk mandiri,
menentukan nasib sendiri, dan pengaturan perilaku dari dalam diri individu.
Individu mampu memiliki lokus internal terhadap evaluasi, tidak mencari

8
persetujuan dari orang lain tetapi mengevaluasi diri sendiri dengan standar
pribadi. Individu tersebut juga mampu untuk menentukan nasibnya sendiri,
bersikap mandiri, tahan terhadap tekanan sosial dan mengambil keputusan
tanpa campur tangan orang lain (Ryff, 1989).
4. Environmental mastery
Penguasaan lingkungan ditandai dengan kemampuan individu untuk
memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok untuk kondisi psikisnya dan
sesuai dengan kebutuhan individu tersebut (Ryff, 1989).
5.Purpose in life
Tujuan hidup ditandai dengan individu yang mampu memiliki tujuan,
niat, dan arah yang semuanya berkontribusi untuk merasakan bahwa hidup ini
bermakna (Ryff, 1989).
6. Personal growth
Pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya penekanan untuk terus
bertumbuh dan berkembang sebagai manusia, serta terbuka terhadap tantangan
baru atau tugas pada periode yang berbeda dalam kehidupan (Ryff, 1989).

2.1.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being


1. Usia
Sesuai dengan teori Erikson ego integritas, bahwa penerimaan diri
mungkin lebih mudah dicapai oleh usia tua daripada orang yang lebih muda.
Selain itu environmental mastery dan autonomy meningkat sesuai dengan
pertambahan usia, terutama pada dewasa awal hingga usia madya. Dimensi
personal growth dan purpose in life, menuru sesuai dengan bertambahnya usia,
terutama usia madya hingga usia lanjut. Positive relations with others dan self-
acceptance,tidak terpengaruh dengan perbedaan usia.
2. Jenis Kelamin
Wanita dari segala usia secara konsisten menilai dirinya lebih tinggi
pada positive relations with others daripada laki-laki. Wanita cenderung
memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada dimensi personal

9
growth. Keempat dimensi lain tidak memiliki perbedaan signifikan antara
wanita dan laki-laki.
3. Budaya
Orang yang tinggal di budaya individualitas memiliki self-acceptance
dan authonomy lebih besar disbanding budaya kolektivitas. Sedangkan lebih
tinggi pada positive relations with others pada budaya kolektivitas.

2.1.2 Perkembangan Remaja

2.1.2.1 Definisi Remaja


WHO mengidentifikasi remaja sebagai periode pertumbuhan dan
perkembangan manusia yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum
dewasa, dari usia 10 sampai 19 tahun. Masa ini merupakan salah satu transisi
penting dalam rentang kehidupan dan ditandai dengan kecepatan yang luar
biasa dalam pertumbuhan dan perubahan.
Remaja merupakan masa dimana kepentingan untuk berkumpul dengan
teman sebaya meningkat sebagai peran penting dalam hidup. Remaja mulai
membangun pertemanan menjadi lebih intim, eksklusif dan lebih konstan
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dengan mebangun pertemanan menjadi
area bagi remaja untuk mengeksplor identitas, merasa diterima dan
mengembangkan rasa memiliki. Selain itu, dapat menjadi area untuk berlatih
dan mengembangkan kemampuan sosial untuk kesuksesan masa mendatang
(Guzman, 2007).
Menurut pandangan Erikson, remaja mengalami tahap identitas versus
kebingungan identitas. Pada masa ini remaja dituntut untuk memutuskan siapa,
bagaimana dirinya dan tujuan yang ingin dicapai. Apabila remaja berhasil
mengatasi konflik identitas akan megenal diri sebagai sosok yang menyegarkan
dan dapat diterima. Sebaliknya, apabila remaja tidak berhasil mengatasi krisis
identitas, maka mengalami kebingungan identitas dengan menarik diri atau

10
meleburkan ke dalam dunia kawan sebaya sehingga kehilangan identitasnya
(Santrock, 2012).
Menurut Piaget, remaja termasuk dalam tahap perkembangan kognitif
operasional formal. Pemahaman remaja lebih luas bersifat abstrak dan tidak
terbatas pada pengalaman aktual atau konkret. Remaja mampu merekayasa
pemikiran abstrak terhadap situasi atau peristiwa yang masih berupa
kemungkinan dan pemikiran abstrak menjadi seakan-akan benar-benar terjadi.
Remaja mencoba menalar secara logis permikiran abstrak tersebut. Pemikiran
kognitif operasional formal ditandai dengan banyak pemikiran yang
mengandung idealisme dan kemungkinan. Sehingga terlibat dalam
karakterisitik ideal yang mereka inginkan pada dirinya maupun oranglain. Hal
ini menyebabkan remaja sering membandingkan dirinya dengan oranglain
menurut karakterisitik ideal tesebut (Santrock, 2012).

2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Remaja


Ada banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya dan perkembangan
pubertas, termasuk genetik dan biologis, peristiwa kehidupan yang penuh stres,
status sosial ekonomi, nutrisi dan diet, jumlah lemak tubuh, dan kehadiran dari
penyakit kronis (American Psychological Association, 2002).
Remaja membuat diri mereka berpikir bahwa mereka perlu mengubah
sikap mereka, perilaku, atau keyakinan dalam rangka untuk mendapatkan
penerimaan dari orang lain. Tekanan dari teman sebaya dapat mengubah nilai-
nilai perilaku atau keyakinan sesuai dengan individu lain atau kelompok.
Tekanan teman sebaya dapat memiliki banyak hasil maladaptif pada remaja.
Berperilaku di luar kebiasaan dapat timbul karena tekanan teman sebaya. Agresi
fisik, melakukan kejahatan, atau bergabung geng yang merupakan
kemungkinan hasil dari perilaku menyimpang (Wortham, 2015). Sebaliknya,
Tate dan Copas (2010 dalam Wortham, 2015) memberikan gagasan bahwa
tekanan teman sebaya tidak selalu hal buruk. Apabila kelompok memberikan

11
pengaruh dengan cara yang benar, tekanan teman sebaya dapat menjadi hal
yang baik dalam kelompok remaja.
Transisi menuju sekolah menengah pertama menjadi pengaruh terhadap
perkembangan remaja ketika terjadi banyak perubahan secara bersamaan dalam
individu, keluarga dan sekolah (Santrock, 2012). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Hawkin dan Berndt (1985 dalam Santrock, 2012) dibandingkan
antara perasaan yang dialami siswa kelas enam, siswa kelas tujuh merasa
kurang puas terhadap sekolah, kurang adanya komitmen terhadap sekolah, dan
kurang menyukai guru. Transisi ini tidak akan terlalu memberikan tekanan
ketika remaja memiliki relasi positif dengan rekan sebaya.

2.1.3 Rasisme

2.1.4.3 Definisi Rasisme


Rasisme maupun prasangka merujuk pada pandangan negatif dari salah
satu kelompok orang hanya berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam
kelompok itu. . Pada dasarnya, definisi ras sendiri bermacam-macam, tetapi
biasanya mengacu pada kelompok etnis yang berasal dari benua tertentu, seperti
orang Afrika, Eropa, atau keturunan Asia. Rasisme adalah bentuk spesifik dari
prasangka yang melibatkan sikap prasangka atau perilaku terhadap anggota
kelompok etnis (Cohen, 2011).
Istilah rasisme sendiri digunakan untuk merujuk kepada sikap dan
praktik yang secara eksplisit bermusuhan dan memperburuk citra orang-orang
yang ditetapkan sebagai pemilik ras itu sendiri. Hal ini berarti adanya beberapa
tingkat keterlibatan psikologis emosional pada rasisme (Richards, 1997).
Menurut Wilson (1973), rasisme dipahami sebagai kondisi kelembagaan
dengan ketidakseimbangan kelompok dan ideologi dominasi rasial. Dominasi
tersebut ditandai dengan keyakinan bahwa kelompok ras bawahan atau
minoritas secara biologis dan budaya dianggap lebih rendah dibandingkan

12
dengan ras dominan. Keyakinan inilah yang membenarkan dan melegitimasi
perlakuan diskriminatif masyarakat dari kelompok bawahan dan untuk
membenarkan status yang lebih rendah (Bobo & Fox, 2003).
Menurut Breman & Paradies (2010), rasisme didefinisikan secara luas
sebagai perilaku, praktik, keyakinan, dan prasangka yang mendasari adanya
rasa menghindari dan menidaksetarakan atau berlaku tidak adil antarkelompok
dalam masyarakat berdasarkan ras (VicHealth, 2014).
Menurut Breman & Paradies (2010) sendiri, rasisme dapat terjadi pada
tiga tingkatan, yaitu internalisasi, interpersonal, dan sistematik. Internalisasi
adalah penggabungan sikap rasis, keyakinan, atau ideologi dalam pandangan
individu. Interpersonal sendiri merupakan interaksi antarindividu. Sedangkan
sistematik adalah produksi, kontrol, dan akses ke sumber daya dalam
masyarakat (VicHealth, 2014).
Rasisme juga didefinisikan sebagai sistem dominan, kekuatan, dan hak
istimewa berdasarkan sebutan kelompok ras. Berakar pada penindasan suatu
kelompok sebagai kelompok yang inferior, menyimpang, atau tidak diinginkan
oleh kelompok dominan. Hal ini terjadi dalam keadaan dimana anggota
kelompok dominan membuat atau mengonsep hak istimewanya dengan
menjaga struktur, ideologi, nilai dan perilaku yang bermaksud agar kelompok
yang tidak dominan cenderung dikecualikan dari kekuatan, harga diri, status,
dan/atau persamaan akses pada sumber daya masyarakat (Harrel, 2000).
Pada dasarnya, pengertian-pengertian rasisme yang telah dijabarkan
sebelumnya kurang-lebih sama. Namun, pada penelitian kali ini, peneliti
memilih untuk menggunakan teori rasisme yang diungkapkan oleh Bobo & Fox
(2003) karena pengertiannya dapat mewakili keseluruhan sikap rasisme. Selain
itu, dalam jurnalnya juga menjelaskan domain-domain yang terjadi rasisme.
Salah satu domain tersebut sesuai dengan topik pembahasan penelitian ini, yaitu
pada identitas, sekolah, dan proses pencapaian. Hal ini dikarenakan subjek pada
penelitian ini pun juga sangat berhubungan dengan domain tersebut. Namun,

13
untuk menjelaskan dampak dengan lebih luas, peneliti juga akan menambahkan
penjelasan dampak-dampak dari beberapa pendapat lainnya.

2.1.3.2 Dampak Adanya Rasisme


Rasisme, bersama dengan diskriminasi, sendiri terjadi pada beberapa domain
kehidupan sosial, salah satunya yaitu, identitas, sekolah, dan proses pencapaian.
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa stereotip budaya negatif tentang ras dan
etnis minoritas dapat memberi efek buruk pada prestasi akademik individu tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harapan yang rendah menyebabkan murid
minoritas merasa ambivalen tentang sekolah dan ingin melepaskan diri dari
kehidupan akademis. Individu minoritas yang merasa seperti itu biasanya juga
memiliki keyakinan bahwa kerja kerasnya tidak akan memberikan imbalan yang
diharapkan. Penelitian lain juga menjelaskan alasan siswa minoritas masih
menunjukkan hasil yang dibawah teman-teman mayoritasnya. Menurut Steele (1997),
ketika stereotip yang negatif tentang kelompok dibuat menonjol, fungsi akademik di
antara anggota kelompok pun akan terganggu. Efek stereotip ini menunjukkan bahwa
efek yang paling merusak diantara siswa minoritas yang memiliki komitmen besar
untuk berprestasi akademik dan memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sesuatu
(Bobo & Fox, 2003).
Diketahui juga bahwa anak kecil dan remaja cenderung rentan terhadap efek
berbahaya dari rasisme dan berbagai bentuknya. Rasisme memiliki potensi untuk
berpengaruh negatif terhadap perkembangannya, terutama untuk kesehatan fisik,
mental, pendidikan, dan sosial. Diketahui bahwa terdapat hubungan yang konsisten
antara ras berbasis diskriminasi dengan buruknya kesehatan dan kesejahteraan anak,
seperti menimbulkan kecemasan, depresi, dan tekanan psikologis. Sedangkan dari
kesehatan fisik sendiri rasisme terbukti dapat menyebabkan penyakit, seperti penyakit
jantung dan metabolisme pada anak-anak. Selain itu, individu cenderung untuk
melepaskan diri dari kegiatan yang sehat dan coping dengan terlibat dalam perilaku
yang memiliki dampak negatif pada dirinya sendiri, seperti merokok dan minum

14
alkohol. Individu yang mengalami rasisme juga cenderung membatasi aksesnya ke
sumber daya yang diperlukan untuk kesehatannya, seperti pendidikan dan perumahan
(VicHealth, 2014).
Menurut Harrel (2000), terdapat enam jenis stres yang berhubungan dengan
rasisme. Stres tersebut memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan individu.
Keenam jenis stres tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rasisme yang berhubungan dengan kejadian hidup.
2. Melihat orang lain mengalami rasisme.
3. Rasisme mikrostressor harian, seperti diabaikan, dilupakan saat mengantri,
dikira sebagai pembantu, dan diikuti atau diamati di publik.
4. Chronic-contextual stress.
5. Pengalaman kolektif.
6. Transmisi transgenerasional.

2.1.4 Diskriminasi

2.1.4.1 Definisi Diskriminasi


Diskriminasi adalah perilaku yang biasanya negatif terhadap individu atau
kelompok, terutama berbasis jenis kelamin, ras, atau kelas sosial (McLeod, 2008).
Menurut Pettigrew & Taylor (1990) sendiri diskriminasi dianggap sebagai sistem
yang kompleks dari hubungan sosial yang melibatkan tindakan secara halus ataupun
terang-terangan untuk membatasi peluang sosial, politik, atau ekonomi suatu
kelompok tertentu. Diskriminasi yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung memiliki konsekuensi jangka pendek maupun jangka panjang (Bobo & Fox,
2003).
Diskriminasi juga dapat didefinisikan secara sederhana sebagai perilaku yang
berbahaya kepada orang lain karena etnis, kebangsaan, kemampuan bahasa dan
aksen, atau status imigrasinya. Menurut Brown (2015) sendiri, terdapat dua tipe
diskriminasi, yaitu diskriminasi di sekolah dan di luar sekolah. Ia membaginya
menjadi dua tipe tersebut karena fokus kajiannya pada diskriminasi anak.
Diskriminasi di sekolah sangat wajar terjadi karena anak-anak memang

15
menghabiskan banyak waktunya dari masa anak-anak hingga dewasa di sekolah.
Sehingga, diskriminasi di sekolah sangat rentan terjadi. Mereka mendapatkan
perlakuan diskriminasi biasanya dari teman-temannya sendiri. Bahkan, terdapat
bebera guru yang juga melakukan diskriminasi. Sedangkan diskriminasi yang terjadi
di luar sekolah biasanya saat mereka berinteraksi dengan masyarakat. Individu
terkena dampak diskriminasi oleh penjaga toko atau mendapatkan pelayanan yang
buruk saat di retoran karena etnisnya (Brown, 2015).
Diskriminasi merujuk pada perilaku negatif yang dibenarkan terhadap
kelompok atau anggotanya. Perilaku tersebut mencakup tindakan dan penilaian atau
keputusan yang terkait dengan kelompok tersebut (Al Ramiah, Hewstone, Dovidio, &
Penner, tanpa tahun). Correll et al. (2010) sendiri memberikan definisi diskriminasi
sebagai perilaku mengarah ke kategori anggota yang dianggap konsekuensial pada
hasilnya. Perilaku tersebut mengarah ke suatu kelompok tersebut bukan karena
mereka pantas mendapatkan hal tersebut atau karena hubungan timbal balik. Namun,
secara sederhana karena mereka adalah anggota kelompok tersebut. Kriteria tersebut
tidak ditetapkan secara objektif, tetapi lebih suatu hal yang telah berakar pada
kesenjangan sejarah dan saat ini serta norma-norma sosial. Pelaku diskriminasi dapat
membernarkan perilaku mereka, sedangkan target sendiri tidak setuju dengan hal
tersebut. Sehingga, perilaku diskriminatif ini terkadang dibenarkan oleh sebagaian
orang. (Al Ramiah, Hewstone, Dovidio, & Penner, tanpa tahun).
Dari berbagai macam penjelasan diskriminasi yang ada, peneliti memilih
untuk menggunakan teori diskriminasi yang dikemukakan oleh Al Ramiah,
Hewstone, Dovidio, & Penner (tanpa tahun) karena dalam penjelasannya disertakan
bahwa penilaian maupun perilaku yang ditujukan pada kelompok tertentu sebenarnya
tidak berdasarkan suatu hal yang objektif. Selain itu, dalam penjelasan lebih
lanjutnya, terdapat kosekuensi-konsekuensi yang disebabkan oleh perilaku
diskriminasi itu sendiri. Tentunya konsekuensi atau dampak tersebut juga akan
ditambah dari literatur lain untuk melengkapi pemahaman terkait dengan diskriminasi
itu sendiri.

16
2.1.4.2 Dampak Perilaku Deskriminatif
Dapat dilihat dampak dari diskriminasi sendiri dengan banyaknya orang
menempati daerah yang terpisah karena adanya diskriminasi oleh anggota kelompok
mayoritas. Mereka memilih untuk tidak berbagi linkungan dengan anggota kelompok
minoritas dan pendatang baru. Hal ini berarti orang-orang hidup dalam masyarakat
yang terkotak-kotak, masyarakat yang melakukan diskriminasi cenderung terpisah
satu sama lain. Tentunya ini akan memiliki konsekuensi yang jelas terhadap integrasi.
Selain itu, kontak antar kelompok juga cenderung negatif karena adanya prasangka
yang tinggi (Al Ramiah, Hewstone, Dovidio, & Penner, tanpa tahun).
Dampak diskriminasi sendiri dapat menyebabkan mengakarnya hierarki sosial
dan mengurangi mobilitas sosial. Selain itu, diskriminasi juga dapat menimbulkan
kinerja menurun dan tingkat stres meningkat. Hal ini juga terkait dengan peningkatan
kecemasan, stres, dan kesehatan fisik yang buruk untuk individu atau yang
didiskriminasi. Diskriminasi juga berpengaruh terhadap aspek-aspek lain dari
kesehatan mental individu (Al Ramiah, Hewstone, Dovidio, & Penner, tanpa tahun).
Menurut Brown (2015), terdapat tiga dampak dari diskriminasi, yaitu sebagai
berikut.
a. Dampak secara fisik dan psikologis.
Perilaku diskriminasi sendiri berhubungan dengan merendahnya self-
esteem dan kepuasan hidup. Selain itu, diskriminasi juga berpengaruh pada
keputusaasaan masa anak-anak, depresi, dan simtom depresi, kecemasan yang
tinggi, dan kejahatan serta agresivitas. Bahkan, penelitian terbaru
menyebutkan bahwa perilaku diskriminasi dapat memproduksi tingkat stres
yang hampir sama dengan post-traumatic stress disorder.
b. Dampak secara akademis.
Terapat beberapa dampak yang dihasilkan dalam akademis. Dampak-
dampak tersebut, seperti keluar dari sekolah, demotivasi untuk sekolah,
mempersepsikan dirinya sendiri tidak mampu dalam bidang akademis, dan
sebagainya. Hal ini biasanya disebabkan oleh diskriminasi oleh guru.
c. Dampak sosial.

17
Dampak diskriminasi akan menyebabkan dampak negatif yang jangka
panjang apabila individu atau anak tersebut mempunyai pengalaman buruk
yang berkaitan dengan diskriminasi itu sendiri, seperti di keluarkan dari
sekolah karena perlakuan diskriminatif. Hal ini dikarenakan mereka merasa
ditolak oleh lingkungan sekitarnya.

2.2 Perspektif Teoritis


Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Masa ini merupakan
salah satu transisi penting dalam rentang kehidupan dan ditandai dengan kecepatan
yang luar biasa dalam pertumbuhan dan perubahan. Terutama pada transisi menuju
sekolah menengah pertama menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan remaja karena terjadi banyak perubahan secara bersamaan dalam
individu, keluarga dan sekolah (Santrock, 2012).
Remaja merupakan masa dimana kepentingan untuk berkumpul dengan teman
sebaya meningkat sebagai peran penting dalam hidup. Remaja mulai membangun
pertemanan menjadi lebih intim, eksklusif dan lebih konstan dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Dengan membangun pertemanan menjadi area bagi remaja untuk
mengeksplor identitas, merasa diterima dan mengembangkan rasa memiliki. Selain
itu, dapat menjadi area untuk berlatih dan mengembangkan kemampuan sosial untuk
kesuksesan masa mendatang (Guzman, 2007).
Oleh karena itu, pada dasarnya sangat penting untuk memiliki hubungan yang
baik dengan teman sebaya. Namun, terdapat beberapa kondisi pada masyarakat
Indonesia sendiri yang masih banyak melakukan perilaku diskriminatif terhadap
beberapa ras, salah satunya ras Tionghoa. Perilaku diskrimasi sendiri sangat erat
berhubungan dengan rasisme. Individu yang melakukan perilaku diskriminasi
biasanya dipengaruhi oleh prasangka terhadap salah satu kelompok. Kelompok yang
dimaksudkan biasanya dikategorikan oleh beberapa hal, salah satunya ras, seperti
yang telah dijelaskan di atas.

18
Dampak dari perilaku diskrimasi dan rasisme sendiri kurang lebih sama, yaitu
memiliki dampak dalam segi psikologis maupun fisiologis. Dampak psikologis yang
dijelaskan sebelumnya banyak menyebutkan tentang stres, depresi, harga diri, dan
sebagainya yang berhubungan dengan psychological well-being.
Hal diatas tentunya sangat berpengaruh pada perkembangan remaja, termasuk
psychological well-being mereka. Psychological well-being menjelaskan tentang
bagaimana kehidupan dapat berjalan dengan baik, terutama disaat remaja sedang
mengalami banyak perubahan karena masa transisinya. Psychological well-being
akan tergangu ketika individu mengalami emosi negatif yang ekstrim atau sangat
tahan lama dan mengganggu kemampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-
hari (Huppert, 2009). Dengan begitu kami akan meneliti tentang psychological well-
being pada remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP), terutama yang telah
mengalami rasisme maupun deskriminasi. Berikut merupakan dimensi yang
menggambarkan psychological well-being yang telah dibuat oleh Ryff, (1989):
1. Self Acceptance: penerimaan diri secara keseluruhan kehidupan masa kini
maupun masa lalu seseorang.
2. Positive relation with others: kemampuan individu dalam berelasi dan
menjalin hubungan yang baik dengan orang lain disekitarnya.
3. Autonomy: kemampuan individu untuk mandiri, menentukan nasib sendiri,
dan pengaturan perilaku dari dalam diri individu.
4. Environmental mastery: memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok
untuk kondisi psikisnya dan sesuai dengan kebutuhan individu tersebut.
5. Purpose in life: Tujuan hidup ditandai dengan individu yang mampu memiliki
tujuan, niat, dan arah yang semuanya berkontribusi untuk merasakan bahwa
hidup ini bermakna.
6. Personal growth: penekanan untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai
manusia, serta terbuka terhadap tantangan baru atau tugas pada periode yang
berbeda dalam kehidupan.

19
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif ialah
suatu metode penelitian yang menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan
intepretif dan naturalistik yang diterapkan secara alamiah dengan mendapatkan
pemahaman dan melakukan penafsiran fenomena melalui sudut pandang subjek
(Denzin & Lincoln, 2000, dalam Ospina, 2004). Adapun tujuan penulis menggunakan
metode kualitatif adalah agar peneliti mendapatkan pemahaman secara keseluruhan
dan mendalam mengenai well being pada remaja ras tionghoa yang sedang di bully di
SMP regular. Selain itu, peneliti juga dapat terlibat secara langsung untuk
mengeksplorasi diri subjek dalam suatu situasi, kondisi, dan peristiwa yang berkaitan
dengan bagaimana individu mampu menerima dirinya.
Metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah pendekatan studi kasus.
Studi kasus adalah sebuah studi yang mempelajari tentang kasus-kasus khusus atau
kumpulan dari kasus-kasus, dan mendeskripsikan atau menjelaskan kejadian pada
kasus tersebut (Yin, 2011). Melalui pendekatan ini, peneliti akan fokus
mengeksplorasi lebih dalam dan rinci dalam memaknai suatu kasus. Peneliti juga
mengumpulkan berbagai informasi detail menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data selama periode waktu yang berkelanjutan (Stake, 1995, dalam
Creswell, 2003). Selain itu, subjek diharapkan mampu menjelaskan pandangan
mereka tentang realitas sedetail mungkin, sehingga peneliti bisa lebih memahami
perilaku mereka (Robottom & Hart, 1993, dalam Baxter & Jack, 2008).
Jenis studi kasus yang dipilih adalah jenis studi kasus intrinsik. Jenis studi
kasus ini tidak dilakukan dengan maksud untuk menempatkan kasus tersebut
mewakili dari kasus lain, namun lebih fokus pada kekhususan dan keunikan kasus
tersebut (Yin, 2011).

20
3.2 Unit Analisis
Unit analisis pada penelitian ini yaitu penelitian tentang psychological well
being yang merupakan suatu faktor yang harus dipertahankan pada individu yang
mengalami diskriminasi. Sehingga ketika individu yang mengalami diskriminasi
dengan etnis Tionghoa di lingkungan sekolah menengah pertama SMP pribumi di
indonesia memiliki psychological well being yang baik dan stabil, individu akan
mampu melihat dan menerima pesan maupun pandangan orang lain secara positif.
Dimana perilaku diskriminasi seperti hal tersebut dapat merugikan individu yang
mengalami seperti masalah kesehatan mental, ancaman kesejahteraan fisik maupun
psikis, depresi dan juga dapat mengarah kepada bunuh diri (Yoo & Lee, 2005, dalam
Liang & Grossman, 2007).

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian dalam penelitian studi kasus yaitu individu yang memiliki
pengalaman terhadap fenomena tertentu sesuai dengan fokus penelitian dan kriteria
yang ditentukan oleh peneliti (Creswell, 2003). Sehingga pada penelitian ini, peneliti
menetapkan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh subjek yaitu, sebagai berikut:
1. Subjek merupakan ras tionghoa
2. Subjek sedang menjalani pendidikan tingkat SMP, di SMP regular.
3. Subjek berusia 13-17 tahun. Usia tersebut dipilih karena usia remaja saat
tingkat pendidikan SMP dimulai dari 13 tahun. Rentang usia 13-17 tahun
dipilih karena adanya kemungkinan remaja saat berada di tingkat SD, subjek
tidak naik kelas atau terlambat sekolah.
4. Subjek bersekolah di SD yang mayoritas rasnya adalah ras tionghoa.
5. Subjek mengalami bullying di SMP regular.
6. Subjek dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, serta tidak memiliki
hambatan dalam menyampaikan dan menyerap informasi agar proses
pengambilan data dapat berjalan dengan baik.
7. Subjek bersedia menjadi partisipan penelitian dan menyatakan pernyataan
dalam informed consent.
3.4 Teknik Penggalian Data

21
Teknik pengambilan data pada penelitian ini yaitu wawancara. Wawancara
dapat diartikan sebagai sebuah metode untuk mengumpulkan data dengan cara satu
orang sebagai interviewer mengajukan beberapa pertanyaan yang ditujukan kepada
responden. Proses ini dapat dilakukan melalui suatu pertemuan tatap muka dan
melalui telepon (Polit dan Beck, 2006, dalam Whiting, 2008). Wawancara merupakan
teknik yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif. Penggunaan teknik
wawancara sangat sesuai untuk mengeksplor topik-topik sensitif yang tidak
dibicarakan oleh interviewee dalam sebuah forum (Gill, Stewart, Treasure, &
Chadwick (2008).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur
untuk dapat mengungkap bagaimana Psychological Well Being (PWB) pada individu
dengan etnis Tionghoa di lingkungan SMP pribumi di Indonesia. Teknik wawancara
dilakukan oleh beberapa interviewer kepada satu subjek. Digunakan untuk
mengajukan beberapa pertanyaan yang lebih mendalam. Pertanyaan wawancara yang
diajukan, disusun sesuai dengan topik penelitian. Selama proses wawancara,
interviewer juga akan melakukan inquiry jika memang diperlukan.
3.5 Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data
Pada umumnya, pengorganisasian dan analisis data dilakukan untuk mengolah
data yang kita dapatkan menjadi lebih informatif. Pengorganisasian data dibutuhkan
untuk memilah data yang relevan dengan topik penelitian. Hal ini akan memudahkan
peneliti dalam menganalisis data tersebut. Berikut merupakan beberapa hal yang
harus dilakukan dalam mengorganisasikan data kualitatif (Tobacco Control Evalation
Center, n.d.):
1. Memastikan bahwa data yang didapatkan sudah lengkap dan tepat dalam
menjawab pedoman wawancara
2. Beri kode di setiap wawancara subjek
3. Gandakan dokumentasi wawancara subjek sebagai bahan transkip data agar
aman.

22
4. Setelah memberi kode di setiap wawancara subjek, peneliti dapat
mempersiapkan transkip wawancara subjek. Memasukkan semua respon subjek
saat wawancara, lalu parafrase setiap percakapannya.
5. Lalu kategorikan beberapa respon subjek yang mengarah pada suatu tema
tertentu. Memberi warna tertentu di setiap tema respon subjek dapat
mempermudah peneliti dalam mengkoding data.
6. Setelah menandai respon subjek yang memiliki tema serupa, peneliti dapat
memulai analisis data dengan mengurutkan dan mengkategorisasikan
berdasarkan data mentah yang sudah ditandai sebelumnya
7. Dalam meringkas dan memilih jawaban subjek, pastikan makna yang ingin
disampaikan oleh subjek tidak berubah dan masih dalam konteks subjek

Setelah selesai mengorganisasikan data, tahap analisis siap dilakukan. Dalam


melakukan analisis data, kami menggunakan teknik analisis tematik. Analisis tematik
adalah mencari tema yang relevan dari setiap respon subjek untuk mendeskripsikan
sebuah fenomena atau kasus (Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday &
Muir-Cochrane, 2006). Berikut merupakan tahap-tahap analisis tematik menurut
Fereday & Muir-Cochrane (2006):
1. Membuat pedoman (tema awal) sebagai langkah awal sebelum mengkoding
Pedoman yang dimaksud yaitu menentukan beberapa definisi serta dimensi
atau indikator yang lebih operasional berdasarkan teori.
2. Melakukan pengetesan terhadap reliabilitas pedoman awal
Tahap ini sangat penting dalam mengembangkan kerangka penelitian atau
analisis data selanjutnya yang nantinya akan diolah menjadi kesimpulan.
Pengetesan reliabilitas koding ini dapat jujga dilakukan dengan konsultasi
kepada pihak yang lebih ahli dalam topik penelitian, seperti dosen.
3. Merangkum data dan mengidentifikasi tema awal
Setelah transkip sudah lengkap disertakan, peneliti dapat memparafrase
percakapan respon subjek. Proses merangkum atau memparafrase respon
subjek perlu kemampuan membaca, mendengarkan dengan jeli apa yang
dimaksud subjek agar hasil parafrase tetap sesuai dengan yang dimaksud

23
subjek. Lalu, peneliti dapat mengidentifikasi atau menandai respon subjek
yang merujuk pada tema awal.
4. Menerapkan koding dan melengkapinya
Setelah mengidentifikasi respon subjek yang merujuk pada tema awal, peneliti
melakukan koding/memasangkan yang respon subjeknya menunjukkan
perilaku tema awal. Analisis pada tahap ini tidak dibatasi pada kode yang
telah ditetapkan. Selama proses pengkodean bisa ditemukan tema baru yang
mungkin terlihat.
5. Menghubungkan koding dan mengidentifikasi tema
Setelah memperdalam perilaku subjek melalui koding, peneliti dapat
menghubungkan beberapa koding telah dipasangkan tersebut dengan tema
awalnya. Persamaan dan perbedaan antara kelompok data yang terpisah
muncul pada tahap ini, dan pada tahap ini dapat menunjukkan daerah
konsensus dalam menanggapi pertanyaan penelitian dan daerah potensi
konflik dari pertanyaan peneliti.
6. Mengkolaborasi dan melegitimasi tema utama
Tahap akhir menggambarkan proses lebih lanjut mengelompokkan tema-tema
yang diidentifikasi sebelumnya dari teks yang telah diberi kode. Corroborating
digunakan untuk digunakan untuk menggambarkan proses
mengkonfirmasikan temuan data (Crabtree & Miller, 1999 dalam Fereday &
Muir-Cochrane, 2006). Tema yang kemudian lebih lanjut telah dikelompokan
menggambarkan makna.
3.6 Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan salah satu teknik yang
dapat digunakan untuk menguji data layaknya validitas internal dalam penelitian
kuantitatif (Afiyanti, 2008). Kredibilitas dalam sebuah penelitian dibutuhkan untuk
memastikan bahwa penelitian yang dilakukan telah sesuai dengan aturan-aturan
ilmiah serta memastikan analisa yang telah disampaikan merupakan deskripsi yang
akurat (Somantri, 2005).
Jenis kredibilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah member check.
Strategi member checking dapat dilakukan dengan cara terlibat dalam kehidupan

24
subjek penelitian serta kembali mengklarifikasi ulang data yang telah didapatkan oleh
peneliti sekaligus dengan analisis yang telah dibuat (Afiyanti, 2008). Proses
pengklarifikasian kepada subjek dilakukan untuk mengoreksi atau sebaliknya
meningkatkan akurasi studi, dan di waktu yang sama dapat meningkatkan kolaborasi
dan hubungan yang baik (Yin, 2011). Apabila data yang disampaikan saat member
check sudah sesuai dengan subjek dan sudah cukup menjawab pertanyaan
wawancara, maka data tersebut sudah siap untuk dianalisis. Namun, ketika subjek
tidak puas dengan data yang dihasilkan ataupun data masih belum cukup menjawab
pertanyaan wawancara, maka dapat dilakukan penggalian data lebih lanjut.

25
DAFTAR PUSTAKA

Afiyanti, Y. (2008, Juli). Validitas dan realibilitas dalam penelitian kualitatif. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 12(2), 137-141.

Al Ramiah, A., Hewstone, M., Dovidio, J. F., & Penner, L. A. (tanpa tahun). The
social psychology of discrimination: theory, measurement and consequences.
The Social Psychology of Discrimination, 84-112.

American Psychological Association. (2002). Developing Adolescents: A Reference


for Professionals. Washington DC: American Psychological Association.
Baxter, P., & Jack, S. (2008). Qualitative case study methodology: Study design and
implementation for novice researchers. The Qualitative Report, 13(4), 544-
559. Diakses pada tanggal 1 November 2016 dari
http://www.nova.edu/ssss/QR/QR13-4/baxter.pdf

Bobo, L. D., & Fox, C. (2003). Race, racism, and discrimination: bridging problems,
methods, and theory in social psychological research. Social Psychology
Quarterly, 319-332.
Brown, C. S. (2015). The Educational, Psychological, and Social Impact of
Discrimination on THe Immigrant Child. Washington DC: Migration Policy
Institute.

Castaneda, A. E., Rask, S., Koponen, P., Suvisaari, J., Koskinen, S., Harkanen, T.,
Mannila, S., Laitinen, K., Jukarainen, P., & Lathi, I. J. (2015). The association
between discrimination and psychological and social well-being. A
population-based study of russian, somali and kurdish migrants in finland.
Psychology and Developing Societies.
Chong, W. L. (2016, Juli). Rethinking the position of ethnic chinese indonesians.
Makalah dipresentasikan pada pertemuan 9th International Conference of The
International Society for the Study of Chinese Overseas, Vancouver, Canada.

26
Cohen, L. J. (2011, Januari 24). The Psychology of Prejudice and Racism. Retrieved
from Psychology Tiday: https://www.psychologytoday.com/blog/handy-
psychology-answers/201101/the-psychology-prejudice-and-racism

Creswell, J. W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mix methods


approaches. London: Sage Publications.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2008, January). Hedonia, eudaimonia, and well-being: an
introduction. Journal of Happiness Studies, 9, 1-11.
Drake, D.R., Hughes, D., & Way, N. (2007). A closer look at peer discrimination,
ethnic identity, and psychological well-being among urban chinese american
sixth graders. J Youth Adolescence. 37, 12-21.
Greene, M., Way, N., & Pahl, K. (2006). Trajectories of perceived adult and peer
discrimination among Black, Latino, and Asian American adolescents:
Patterns and psychological correlates. Developmental Psychology, 42(2),
218–238.
Gill, P., Stewart, K., Treasure, E., & Chadwick, B. (2008). Methods of data collection
in qualitative research: Interviews and focus groups. British Dental Journal,
291-295.
Guzman, M. R. (2007). Friendships, Peer Influence, and Per Pressure During the
Teen Years. University of Nebraska.

Harrel, S. P. (2000). A multidimensional conceptualization of racism-related stress:


implication for the well-being of people of color. American Journal of
Orthopsychiatry, 42-57.

Hoon, C. Y. (2011). Mapping “chinese” christian schools in indonesia: ethnicity, class


and religion. Asia Pacific Education Review. 12(3). 403-411.
Huppert, F. A. (2009). Psychological Well-being: Evidence Regarding its Causes and
Consequences. Applied Psychology: Health and Well-Being, 1, 137-164.
Kini tionghoa, bukan cina (2014, 27 Maret). Berita Satu [on-line]. Diakses pada
tanggal 24 Desember 2016 dari http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3285-
kini-tionghoa-bukan-china.html.

27
Liang, B., & Grossman, J. M. (2007). Diversity and youth mentoring relationships. In
T. D. Allen & L. T. Eby (Eds.), Handbook of mentoring: A multiple
perspectives approach (pp. 239–258). Malden, MA: Blackwell.

McLeod, S. (2008). Prejudice and Discrimination. Retrieved Januari 2, 2017, from


Simply Psychology: http://www.simplypsychology.org/prejudice.html

Ospina, S. (2004). Qualitative research. Encyclopedia of Leadership [on-line].


Diakses pada tanggal 31 Oktober 2016 dari
http://ualr.edu/interdisciplinary/files/2010/03/Qualitative_Research.pdf
Urban, G. S. (2013). The eternal new comer: Chinese indonesian identify from
indonesia to the united states. A Journal of Transdiciplinary Writing and
Research from Claremont Graduate University. 19(3).

Richards, G. (1997). ‘Race’, Racism and Psychology: Towards a reflexive history.


New York: Routledge.

Ryff, C. D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Exploration on the Meaning of


Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology,
1069-1081.
Ryff, C. D. (1995). Psychological Weil-Being in Adult Life. Association for
Psychological Science, 99-104.
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being
revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719–727.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development (13th ed.). (B. Widyasinta, Trans.)
Erlangga.
Silva, F. D. (2010). The chinese minority in indonesia. Hohonu [on-line]. Diakses
pada tanggal 25 Desember 2016 dari
http://hilo.hawaii.edu/academics/hohonu/documents/vol08x12thechinesemino
rityinindonesia.pdf.
Somantri, G. R. (2005). Memahami metode kualitatif. Makara, Sosial Humaniora,
57-65.

28
VicHealth. (2014, April). Racism and its links to the health of children and young
people. Retrieved from VicHealth: https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUK
Ewi45Yr6pqfRAhVCNY8KHVyvDg4QFggkMAE&url=https%3A%2F
%2Fwww.vichealth.vic.gov.au%2F~%2Fmedia%2Fresourcecentre
%2Fpublicationsandresources%2Fdiscrimination%2Fvh_racism-a

Whiting, L. S. (2008). Semi-structured interviews: Guidance for novice researchers.


Nursing Standard, 22(23), 35-40.
World Helath Organization. (2017, Januari 2). Maternal, newborn, child and
adolescent health. Retrieved from
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/adolescence/dev/en/
Wortham, M. (2015). The Affects of Peer Pressure on Adolescents. Goodwin College.

Yin, R. K. (2011). Qualitative-Research-From-Start-To-Finish. New York: The


Guildford Press.

29

Anda mungkin juga menyukai