Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

TONSILITIS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas kepaniteraan klinik


Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok – Bedah Kepala dan Leher
(THT – KL) Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan, Murni Teguh
Memorial Hospital

Pembimbing :
dr. Eston I. Tarigan, Sp.B

Penyusun :
Sri Rezeki Pasaribu (17010006)
Febri Silvia Dabukke (17010009)
Tia Alviani Juwita (17010017)
Vip Damanik (17010028)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA,


HIDUNG, DAN TENGGOROK – BEDAH KEPALA DAN LEHER (THT – KL)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
PERIODE 26 Maret 2018 – 20 April 2018

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
petunjuk, karunia, dan rahmat-Nya sehingga tugas laporan kasus yang berjudul
“Tonsilitis” ini dapat terselesaikan.
Penulisan laporan kasus ini dibuat guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok – Bedah Kepala dan Leher
(THT – KL). Penulis berharap pembuatan laporan kasus ini berfungsi sebagai apa yang
telah disebut di atas. Dalam penulisan laporan kasus akan sulit terselesaikan tanpa
dukungan berbagai pihak. Untuk itu dengan segenap ketulusan hati, penulis
menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Eston I. Tarigan, Sp.B selaku pembimbing dalam penyusunan tugas
laporan kasus ini.
2. Kedua orang tua dan keluarga yang tidak henti-hentinya memberikan
dukungan moril dan materiil selama mengikuti Kepaniteraan Klinik.
3. Teman-teman yang mengikuti kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok – Bedah Kepala dan Leher (THT
– KL) Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan, Murni
Teguh Memorial Hospital, atas dukungan dan bantuan dalam penyusunan
tugas laporan kasus ini.
Semoga semua pihak yang telah disebutkan tadi mendapat anugerah yang
berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa atas segala kebaikan yang diberikan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa hasil laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun serta
bermanfaat untuk perkembangan ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok –
Bedah Kepala dan Leher (THT – KL).

Medan, April 2018

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
sekarang ini juga banyak sekali masalah kesehatan yang muncul di masyarakat.
Dari hari kehari semakin banyak muncul berbagai macam penyakit infeksi
ataupun penyakit lainnya, salah satunya adalah penyakit tonsilitis atau yang
sering kita kenal dengan radang amandel. Tonsilitis adalah inflamasi atau
pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang
utama meliputi Streptococcus atau Staphylococcus. (Shah, 2014)
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil atau amandel yang dapat
menyerang semua golongan umur. Tonsilitis akut sering menimbulkan
komplikasi. Bila tonsilitis akut sering kambuh walaupun penderita telah
mendapat pengobatan yang memadai, maka perlu diingat kemungkinan
terjadinya tonsilitis kronik. Faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya
tonsilitis: rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca,
pengobatan tonsilitis yang tidak memadai dan higiene rongga mulut yang kurang
baik. (Farokah, 2005)
Tonsilitis akut merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
saluran napas bagian atas, terutama pada anak – anak. Insiden tertinggi terjadi
pada usia 4 – 5 tahun. Pada usia sekolah, insiden tertingginya adalah usia 6 – 12
tahun. (Babaiwa, 2013)
Terdapat beberapa klasifikasi tonsilitis yaitu tosilitis akut, tonsilitis
membranosa dan tonsilitis kronik. Tonsilitis akut dibagi menjadi dua yaitu
Tonsilitis viral dan Tonsilitis bakterial. Pada tonsilitis viral penyebab yang paling
sering adalah Epstein Barr virus, sedangkan tonsilitis bakterial disebabkan
kuman grup A Streptococcus. (Mal, 2010)
Gejala tonsilitis akut berupa nyeri tenggorokan yang semakin parah jika
penderita menelan dan nyeri sering kali dirasakan ditelinga karena tenggorokan
dan telinga memiliki persarafan yang sama. Gejala lainnya berupa demam, tidak
enak badan, sakit kepala, mual dan muntah. (Dhingra, 2005)
Mengingat angka kejadian tonsilitis yang cukup tinggi di masyarakat
serta dampak yang cukup besar akibat dari infeksinya pada penderitanya, penulis
tertarik untuk membuat tulisan tentang tonsilitis ini. Diharapkan dengan adanya

3
tulisan ini dapat menjadi referensi sekaligus sebagai bahan bacaan untuk
memperluas wawasan tentang penyakit tonsilitis.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui anatomi dan
fisiologi tonsil, serta untuk mengetahui manifestasi tonsilitis mulai dari definisi,
etiologi, diagnosis, manifestasi klinis, dan penatalaksanaannya. Selain itu, tujuan
penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan
klinik Departemen Ilmu PenyakitTelinga, Hidung, dan Tenggorok – Bedah
Kepala dan Leher (THT – KL) Fakultas Kedokteran Universitas HKBP
Nommensen Medan, Murni Teguh Memorial Hospital.

1.3. Manfaat
Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang
terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan
dengan makalah ini pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih
mendalam mengenai Tonsilitis sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat
dapat dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di
faring yang terdiri dari :
 Tonsil faringeal (adenoid)
 Tonsil palatina (tonsil faucial)
4
 Tonsil lingual (tosil pangkal lidah)
 Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil).
(Snow, 2003)

Gambar 2.1. Letak anatomi tonsil yang membentuk cincin Waldeyer (Snow, 2003)

Secara histologis, lapisan pada tonsil terbagi atas tiga zona. Ketiga zona
tersebut adalah sebagai berikut :
 Reticular cell epithelium
Lapisan squamous, di dalamnya terdapat antigen presenting cell (Sel M)
yang mentransfer antigen ke dalam organ limfoid
 Extrafolicular area
Terdiri atas sel sel T (Limfosit T)
 Limphoid follicle
Terdiri atas mantle zone (sel-B matur) dan germinal center (sel-B aktif)
(Pasha, 2008)
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk
oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil ini terletak di lateral orofaring dengan dibatasi oleh:
 Lateral → muskulus konstriktor faring superior
 Anterior → muskulus palatoglosus
 Posterior → muskulus palatofaringeus
 Superior → palatum mole
 Inferior → tonsil lingual
(Dhingra, 2005)

5
Tonsil palatina memiliki 2 lapisan (lateral dan medial) serta memiliki 2
kutub (kutub atas dan kutub bawah. Berikut ini penjelasan dari bagian bagian
tersebut :
 Lapisan medial
Lapisan ini ditutupi oleh epitel squamous bertingkat non-keratinizing yang
berlekuk masuk ke dalam substansi tonsil dan membentuk kripta. Pintu
masuk dari 12 – 15 kripta dapat terlihat pada lapisan medial ini. Salah satu
dari kripta tadi, yang terletak dekat dengan kutub atas merupakan kripta
dengan ukuran paling besar dan dalam yang dikenal dengan crypta magna
atau intratonsillar cleft. Kripta dapat diisi oleh material seperti sel epitel,
bakteri, atau debris makanan.
 Lapisan lateral
Lapisan ini ditutupi oleh kapsul berupa jaringan fibrosa. Diantara kapsul dan
bagian dalam tonsil terdapat jaringan ikat longgar yang menjadi batas saat
dilakukan tonsilektomi. Tempat ini juga merupakan tempat pengambilan
sampel nanah pada penderita peritolsillar abscess. Beberapa serat otot
palatoglossus dan otot palatopharingeal juga melekat pada kapsul tonsil

 Kutub atas
Bagian ini memanjang sampai pallatum mole. Lapisan medialnya ditutupi
oleh lipatan semilunar, yang memanjang diantara pilar anterior dan posterior,
dan menutupi fossa supratonsilar.
 Kutub bawah
Bagian ini melekat pada pangkal lidah. Lipatan triangular dari membran
mukosa memanjang dari pilar anterior sampai bagian anteroinferior dari
tonsil dan menutupi anterior pillar space. Tonsil dipisahkan dari lidah oleh
tonsillolingual sulcus yang sering menjadi tempat terjadinya keganasan.
(Dhingra, 2005)

6
Gambar 2.2. Gambaran anatomi tonsil palatina (Dhingra, 2005)

Gambar 2.3. Anatomi tonsil palatina dan komponen disekitarnya (Probst, 2006)
Tonsil palatina mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, melalui cabang-cabangnya, yaitu :
 A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya
 A. tonsilaris dan A. palatina asenden.
 A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
 A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
 A. faringeal asenden.

Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:


 Anterior : A. lingualis dorsal.
 Posterior : A. palatina asenden.
 Diantara keduanya : A. tonsilaris.

Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:

7
 A. faringeal asenden
 A. palatina desenden.
(Pulungan, 2005)

Gambar 2.4. Sistem perdarahan tonsil palatina (Pulungan, 2005)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan
celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang
lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak
mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi. (Probst, 2006)
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata. (Probst, 2006)

8
Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yang merupakan nervus glosofaringeal. (Snow, 2003)
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringeal. (Snow, 2003)
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening
eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. Tonsil bagian bawah
mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan
juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. (Snow, 2003)
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. (Farokah, 2005)

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk


diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai
2 fungsi utama yaitu :

9
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
(Soepardi, 2012)

Gambar 2.5. Anatomi Faring dan Tonsil (Snow, 2003)


Tonsil termasuk bagian Mucosal Associated Lymphoid Tissues (MALT),
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disentisisasi
dan berperan dalam sistem kekebalan permukaan mukosa. Tonsil mempunyai
dua fungsi utama, yaitu: menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan
efektif serta tempat produksi antibodi. Sebagian besar terletak di sekitar
kapiler intraepitel tonsil palatina (Health Technology Assessment, 2004; Ugras
dan Kutluhan, 2008).
Limfosit terbanyak tonsil adalah limfosit B berkisar antara 50-65% dan
limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit. Tonsil berfungsi mematangkan sel
limfosit B menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. Tonsil selalu
menerima berbagai macam paparan antigen secara langsung (Wiatrak dan
Woolley, 2007; Mogoanta, dkk., 2008; Scadding, 2009).
Transpor antigen pada dasar dan dinding kripte tonsil terdapat sel-sel
khusus micropore (M) dengan bentukan tubulovesikular. Bila tonsil dibelah dan
dilihat dengan mikroskop akan ditemukan banyak bentukan sentrum
germinativum tempat sel T dan sel B. Antigen dari luar, kontak dengan

10
permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa (sel M), antigen
precenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit pada tonsil ke sel T helper
(Th) di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator
yang akan merangasang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M
pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel
memori. IgG dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila konsentrasi
antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum
germinativum sehingga tersensitisasi terhadap antigen, mengakibatkan
terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi
limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan
imunoglobulin (Scadding, 2009; Health Technology Assessment, 2004;
Jeyakumar, 2013).

Gambar 2.5 Bentukan molekul dimer IgA (Scadding, 2009)

Mayoritas limfosit dari MALT mengeluarkan IgA yang diilustrasikan


pada Gambar 2.5. IgA bergabung pada rantai J melewati sel epitel menuju
permukaan mukosa, selama proses ini IgA dilapisi sekret untuk melindungi
molekul dari pencernaan enzimatik. Sistem retikuloendotelial mengangkut dan
menyerap Gabungan IgA sebagai kompleks imun. IgG dominan dihasilkan oleh
tonsil palatina dengan 30-35% IgA, 1-3% IgD dan dapat juga ditemukan IgE.
IgA dan IgG disekresi langsung melalui celah antara sel-sel epitel dan
meningkat bila terjadi peradangan (Scadding, 2009).

11
Umur maksimal aktifitas tonsil 4-10 tahun. Tonsil mulai mengalami
involusi pada saat pubertas. Pada tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel
kripte retikuler terjadi perubahan epitel skuamosa berlapis, mengakibatkan
rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan aktifitas lokal sistem sel B serta
menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum
juga berkurang (Wiatrak dan Woolley, 2007). Terdapat peningkatan spesifik
protein M, IgA, dan IgG pada pasien tonsilitis rekuren dibandingkan dengan
tonsilitis kronis (hipertrofi tonsil). Penemuan ini menyimpulkan bahwa respon
imun terhadap protein M berperan penting sebagai pencegahan kolonisasi
bakteri pada tonsil (Eryaman, dkk., 2013). Sitokin pro inflamasi dan anti
inflamasi berperan penting dalam sistem imunologi tonsil. Termasuk sitokin tipe
Th1 (sitokin pro inflamasi), yaitu: interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-γ),
tumor necrosis factor α (TNF-α) dan sitokin tipe Th2 (sitokin anti inflamasi),
yaitu: IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-13. Bonanomi, dkk. menunjukkan adanya
peningkatan IL-6 pada 24 jam pertama kultur setelah paparan stres pada tonsil
(Todorovic dan Zvrko, 2013).

2.2. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan
oleh bakteri, virus, dan jamur. (Soepardi, 2012)

2.3. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, tonsilitis dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla
palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi
maupun virus. Tonsilitis akut dapat dibagi menjadi :
 Acute superficial tonsilitis, biasanya disebabkan oleh infeksi virus dan
biasanya merupakan perluasan dari faringitis serta hanya mengenai
lapisan lateral.
 Acute folicular tonsilitis, infeksi menyebar sampai ke kripta sehingga
terisi dengan material purulen, ditandai dengan bintik – bintik kuning
pada tonsil
 Acute parenchymatous tonsilitis, infeksi mengenai hampir seluru bagian
tonsil sehingga tonsil terlihat hiperemis dan membesar,
12
 Acute membranous tonsilitis, merupakan stase lanjut dari tonsilitis
folikular dimana eksudat dari kripta menyatu membentuk membran di
permukaan tonsil. (Dhingra, 2005)

Gambar 2.6. Gambaran Acute


parenchymatous tonsilitis
(Dhingra, 2005)

2. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar
akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta
tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat
pembentukan sikatrik yang kronis. Durasi maupun beratnya keluhan nyeri
tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan
dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis
adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai
akibat infeksi tonsil yang berulang. (Pulungan, 2005)

Macam-macam tonsillitis menurut (Soepardi, Effiaty Arsyad, dkk, 2007 ):


1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus
Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut

13
supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien.

b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus,
Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada
lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut,
gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
3. Tonsilis Kronik

14
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.4. Etiologi
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus atau infeksi
virus. Tonsil berfungsi untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih
yang bertugas membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut.
Tonsil akan berubah menjadi tempat infeksi bakteri maupun virus, sehingga
membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis. Penyebab tonsilitis adalah
infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan patogen utama
pada manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan imunologi
pasca streptococcus. (Flint, 2010).

Tabel 2.1. Etiologi terjadinya tonsilitis (Campisi, 2003)


\

15
Dari beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
Streptococcus β Hemolitikus Grup A merupakan penyebab utama dari tonsilitis
dengan persentase sekitar 15 – 30% dari semua jenis bakteri. (Hsieh, 2011)
Beberapa etiologi lain yang juga cukup tinggi insidennya dalah menyebabkan
terjadinya tonsilitis adalah Haemophyllus influenza Staphylococcus aureus dan
Streptococcus Pyogens. (Babaiwa, 2013)

Gambar 2.7. Gambaran tonsilitis akut. Etiologi disebabkan oleh (a) Streptococcus beta
hemoliticus grup A (b) Lesi eksudatif terlihat pada kedua tonsil (c) Infeksi
mononukleosis (Onerci, 2009)
16
2.5. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan
membentuk antibodi terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini
secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. (Farokah,
2005)
Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya
sehingga sakit menelan dan demam tinggi. Sekresi yang berlebih membuat
pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan akan terasa mengental. Tetapi bila
penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap
infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit. Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun
juga membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan. (Farokah,
2005)

Gambar 2.9. Tonsilitis akut dengan folikel pada tonsil (Snow, 2003)

Infeksi berulang pada tonsilitis akut sering tejadi pada pengobatan yang
tidak adekuat. Hal terjadi dikarenakan kemampuan bakteri untuk bertahan pada

17
lingkungan intraseluler di dalam kripta tonsil, sehingga tidak terkena paparan
antibiotik yang diberikan pada pasien. Dengan begitu bakteri tersebut dapat
berkembang biak dan menyebabkan reinfeksi kembali. (Mal, 2010) Mekanisme
lain yang dapat menjelaskan kejadian ini adalah karena penetrasi antibiotik ke
dalam tonsil yang rendah akibat jaringan parut karena infeksi tonsilitis. Selain
itu juga adanya flora normal yang menghasilkan enzim protektif dan membentuk
lapisan biofilm juga dapat menghalangi penetrasi dari antobiotik ke dalam tonsil.
(Alasil, 2011)

Gambar 2.10. Pembesaran tonsil. Disebabkan oleh (A) Tonsilitis berulang (B) Pada
pasien Obstructive Sleep Apnea (C) Unilateral hipertrofi tonsil (Alasil, 2011)

Tonsilitis kronis adalah suatu keadaan dimana penyakit terjadi secara


berulang diikuti oleh episode serangan akut atau keadaan subklinis dari suatu
infeksi yang persisten, biasanya terjadi akibat penatalaksanaan yang kurang
adekuat. Terminologi tonsilitis berulang/recurrent merupakan keadaan yang
hampir sama dengan tonsilitis kronis. Akan tetapi pada keadaan tonsilitis
berulang, ada suatu keadaan dimana tonsil kembali ke keadaan normal secara
makroskopis dan histologis diantara dua serangan. Hal ini yang membedakannya
dengan tonsilitis kronis dimana keadaan ini tidak ditemukan. (Ugras, 2008)
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi
oleh detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear serta terbentuk detritus yang
terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.
(Dhingra, 2005)

18
Patofisiologi tonsilitis kronis adalah akibat adanya infeksi berulang pada
tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi. Proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta
ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris. Proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.
(Dhingra, 2005)

Gambar 2.11. Gambaran tonsilitis kronis. Tidak ada kriteria diagnostik yang jelas untuk
tonsilitis kronis. Kripta tonsil yang dalam, debris putih pada kripta, dan vaskularisasi
pada pilar anterior tampak pada tonsilitis kronis. Debris putih terdiri dari sisa sisa
makanan yang dapat menyebabkan halitosis (Onerci, 2009)

Bakteri di dalam saluran tenggorok bayi akan mulai muncul sejak


pemberian makanan melalui mulut. Bakteri tersebar di dinding faring permukaan
tonsil maupun ke rongga mulut. Bakteri di dalam tenggorok pada umumnya

19
adalah flora normal. Flora normal di tenggorok terdiri dari bakteri gram positif
dan gram negatif baik yang aerob maupun anaerob. Bakteri anaerob seperti
Actinomyces, Nocardia, dan Fusobacterium mulai ditemukan pada usia 6 sampai
8 bulan. Bacteroides, Leptotrichia, Propioni bacterium, dan Candida muncul
sebagai flora rongga mulut. Populasi Fusobacterium akan meningkat dengan
terbentuknya gigi. (Pulungan, 2005)
Bakteri aerob termasuk; Streptococcus non hemolyticus, Streptococcus
mitis, Streptococcus spp, Staphylococcus non coagulatif, Gemella haemolysans,
Neisseria spp dan lain-lain. Kondisi yang menguntungkan dari host terhadap
perkembangan bakteri dapat mengakibatkan terjadinya perubahan flora normal
menjadi patogen. (Pulungan, 2005)
Peranan bakteri anaerob pada tonsilitis sulit dijelaskan. Bakteri anaerob
merupakan flora normal pada tonsil. Tidak ditemukan perbedaan bakteri anaerob
pada tonsil yang sehat dengan tonsilitis akut. Pada tonsilitis kronis juga tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara bakteri anaerob di permukaan tonsil
dengan di inti tonsil. Namun demikian secara invitro ditemukan sinergi antara
bakteri anaerob dan pertumbuhan Streptococcus β hemolyticus group A. Bakteri
anaerob mempengaruhi pertumbuhan bakteri patogen. (Pulungan, 2005)
Peranan bakteri anaerob penghasil β laktamase seperti Bacteroides
fragilis, Fusobacterium spp, dapat menurunkan penetrasi penisilin terhadap
bakteri patogen. Bakteri anaerob penghasil β laktamase yang resisten terhadap
penisilin dapat melindungi organisme patogen dimaksud. Pemeriksaan
bakteriologi terhadap tonsil kanan dan tonsil kiri tidak ditemukan perbedaan.
(Pulungan, 2005)

Gambar 2.8. Gambaran cherry red tounge general. Mengindikasikan infeksi


Streptococcus beta hemoliticus Grup A (Onerci, 2009)
2.6. Manifestasi Klinis

20
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan,
anoreksia, otalgia, tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang
ringan hingga menjadi parah, sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis
dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluarnya nanah pada
lekukan tonsil. (Shah, 2014)
Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila
biasanya bercak-bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini
mungkin keabu-abuan dan kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul,
membentuk membran dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis jaringan
lokal. (Liston, 1997)
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang menderita
tonsilitis akut, yaitu sebagai berikut ini :
1. Tanda
 Napas berat dan lidah yang licin
 Hiperemis pada pilar, uvula dan palatum mole
 Kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan gambaran bintik bintik
kuning yang merupakan gambaran material purulen pada kripta yang terbuka
(acute folicular tonsilitis). Kedua tonsil dapat membesar hingga dapat
bertemu pada midline orofaring.
 Pembesaran dari KGB jugulodigastrikus
2. Gejala
Gejala yang sering ditemui berupa kesulitan dalam menelan, gangguan fonasi,
respirasi dan pendengaran. Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain :
 Sakit tenggorokan
 Sakit menelan
 Perubahan suara (serak)
 Sakit pada telinga
 Snoring (akibat obstruksi jalan napas atas)
 Napas berbau
 Gangguan pendengaran
 Pasien tampak sangat sakit
(Dhingra, 2005)
2.7. Diagnosis Banding
Gejala yang paling sering dialami oleh penderita tonsilitis adalah disfagia
dan pembesaran pada tonsil. Berikut ini beberapa penyakit yang bisa menjadi
diagnosis banding dari tonsilitis :
 Hipertrofi tonsil
 GERD (Gastro Esophageal Reflux)
 Leukemia
 Limphoma of the head and neck

21
 NPC (Nasopharingeal carcinoma)
 Tumor ganas tonsil

(Shah, 2014)

Gambar 2.12. Diagnosis banding nyeri saat menelan (Ludman, 2007)

22
Gambar 2.13. Gambaran hipertrofi tonsil (a) Tonsil kanan yang mengalami hipertrofi (b)
Kissing tonsils, tonsil menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA) (Onerci, 2009)

2.8. Penatalaksanaan Tonsilitis


Pemeriksaan kultur bakteri penyebab tonsilitis rekuren maupun tonsilitis
kronis perlu dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sebagai bukti empiris
dalam penatalaksanaan tonsilitis. Terdapat perbedaan bakteri pada permukaan
tonsil dengan bakteri di dalam inti tonsil sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
swab permukaan tonsil maupun pemeriksaan dari inti tonsil. Swab dari inti
tonsil didapatkan dari tonsil yang telah dilakukan tonsilektomi. (Pulungan, 2005)

Untuk pasien yang menderita tonsilitis akut, berikut ini penatalaksanan


yang dapat diberikan, yaitu :

23
1. Antibiotik golongan penisilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin
atau klindomisin.
2. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid
untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
3. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
4. Pemberian antipiretik.
(Soepardi, 2012)

Indikasi dilakukannya pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi


pada tonsil dan saluran napas adalah sebagai berikut :
1. Akut tonsilitis disertai dengan gejala sistemik
2. Unilateral peritonsilitis
3. Memiliki riwayat demam reumatik
4. Keadaan immunosupresi
(Paleri, 2010)

Penatalaksanaan tonsilitis akut dengan memperbaiki higiene mulut,


pemberian antibiotika spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B
kompleks. Pada beberapa penelitian menganjurkan pemberian antibiotik lebih
dari 5 hari. Pemberian antibiotik secepatnya akan mengurangi gejala dan tanda
lebih cepat. Meskipun demikian, tanpa antibiotik, demam dan gejala lainnya
dapat berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala lainnya dapat
berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala dapat bertahan sampai 9
hari selama pemberian terapi. (Dhingra, 2005)
Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama
untuk tonsilitis akut yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B
hemoliticus (GABHS). Walaupun pada kultur GABHS tidak dijumpai, antibiotik
tetap diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika dalam 48 jam gejala tidak
berkurang atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik dilanjutkan
dengan amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari. Pada tonsillitis kronik
dilakukan terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur/hisap dan terapi
radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil. (Soepardi, 2012)
Pada tonsilitis yang berulang, penggunaan antibiotik ciprofloxacin dan
gentamisin perlu dipertimbangkan. Hal ini karena organisme yang sering

24
menyebabkan infeksi berulang ini adalah Pseudomonas aeruginosa dan
beberapa bakteri lain yang sensitif terhadap ciprofloxacin dan gentamisin. Pada
pasien anak, penggunaan amoxicillin atau kombinasi amoxicillin-asam
klavulanat adalah pilihan pertama pada tonsilitis berulang, dimana penggunaan
ciprofloxacin menjadi kontraindikasi. (Babaiwa, 2013)

Tabel 2.2. Uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri patogen penyebab tonsilitis (S)
Sensitif (I) Intermediate (R) Resisten (Pulungan, 2005)

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,


Namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit.

Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi :

25
1. Indikasi absolut
 Infeksi tenggorokan berulang yang terjadi :
a. Tujuh kali atau lebih dalam satu tahun
b. Lima kali per tahun dalam dua tahun
c. Tiga kali per tahun dalam tiga tahun
d. Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau kerja dalam satu
tahun
 Abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah
abses diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar merupakan
indikasi asolut.
 Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :
a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
c. Gangguan artikulasi suara
 Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma
pada anak, dan kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa.
Sebelumnya harus dilakukan dahulu biopsi eksisional.
2. Indikasi relatif
 Karies difteri yang tidak respon dengan pemberian antibiotik
 Karies streptococcus , yang mungkin menjadi sumber infeksi lainnya
 Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon dengan terapi
medikamentosa
 Tonsilitis streptococcus berulang pada pasien dengan valvular heart
disease.
3. Bagian dari operasi lain
 Palatofaringoplasti yang dilakukan karena adanya sleep apnea syndrome.
 Neurektomi glossofaringeal. Tonsil diangkat terlebih dahulu baru
kemudian nervus glossofaringeal diangkat dan bed of tonsil tetap
ditinggalkan.
 Pengangkatan prosessus stiloideus
(Dhingra, 2005)

26
Tabel 2.3. Teknik – teknik tonsilektomi (Dhingra, 2005)

Beberapa perawatan yang harus dilakukan pada pasien yang telah


menjalani tonsilektomi adalah sebagai berikut :
1. Perawatan awal
 Pasien tetap dikondisikan dalam keadaan “Posisi Koma” sampai efek
anestesi hilang
 Awasi tanda – tanda perdarahan dari hidung dan mulut
 Awasi tanda – tanda vital pasien
2. Diet
 Saat pasien sudah sadar, pasien dapat mulai diberikan makanan cair,
seperti susu dingin atau es krim. Kulum – kulum es batu juga dapat
mengurangi rasa nyeri. Diet diberikan bertahap mulai dari makanan
lunak sampai makanan biasa/solid. Pemberian puding, jelli, dan telur
rebus dapat diberikan pada hari kedua post-operasi.
3. Oral hygine
 Pasien diberikan obat kumur 3 – 4 kali sehari. Mulut dibersihkan dengan
air bersih setiap selesai makan
4. Analgesik
 Nyeri, biasanya terjadi secara lokal pada tenggorokan yang dapat
menjalar ke telinga, dapat diredakan dengan analgesik lemah, seperti
paracetamol. Analgesik dapat diberikan setengah jam sebelum pasien
makan.
5. Antibiotik
 Antibiotik yang sesuai dapat diberikan secara injeksi /oral selama sekitar
satu minggu

27
 Pasien dapat dipulangkan 24 jam setelah operasi jika tidak ada
komplikasi dan dapat beraktivitas normal kembali 2 minggu setelah
operasi.
(Dhingra, 2005)

Gambar 2.14. Tonsil yang sudah diangkat beserta kapsulnya (Onerci, 2009)

2.10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita tonsilitis
adalah sebagai berikut :
1. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol ke arah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
4. Tonsilitis kronis dengan serangan akut
28
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi kronis
dapat terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses.
5. Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang dari
tonsilitis akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius.
6. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-
sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan
yang tidak rata pada perabaan.
7. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan
di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah
didrainasi.
8. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan
33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab
tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini
megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis.
(Dhingra, 2005)

29
Gambar 2.15. Tonsitolith yang sudah diangkat (Onerci, 2009)
2.11. Prognosis
Tonsilitis biasanya dapat sembuh dalam waktu beberapa hari dengan beristirahat
dan pengobatan suportif. Penanganan gejala klinis dapat membuat penderita Tonsilitis
lebih nyaman bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Antibiotik tersebut
harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila
penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang
tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya. Infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam
rematik atau pneumonia. (Snow, 2003)
2.12. Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau beberapa anak
pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang sama, khususnya bila Streptokokus
pyogenase adalah penyebabnya. Risiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegahterpapar dari penderíta Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan.
Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan
kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang.
Karier Tonsilitis seharusnya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran
infeksi pada orang lain. (Pulungan, 2005)

30
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjer limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring /
gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air-bond droplets), tangan dan
ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat
mengenai orang dewasa. Jarang mngenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun. Penyebab
tersering tonsillitis akut adalah steptokokus beta hemolitikus grup A. yaitu sekitar 50%
dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsillitis akut adalah
Haemophilus influenza. Pada tonsillitis kronis, dapat berupa komplikasi dan tonsillitis
akut.
Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsillitis akut, tonsillitis difteri, dan
tonsillitis kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda. Penatalaksanaan dari
tonsillitis dapat dilakukan secara konservatif maupun operatif. Terapi konservatif
dilakukan untuk mengeliminasi kusa, yaitu infeksi dan mengatasi keluhan yang
mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia
berat, gangguan tidur, terbentuk abses atau tidak berhasil dengan pengobatan
konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
indikasi, kontraindikasi, serta komplikasi yang mungkin timbul.

3.2. Saran
Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam
menghadapi pasien yang datang dengan kejadian Tonsilitis. Hal ini penting untuk dapat
mengenali tanda – tanda kegawatdaruratan pada pasien Otitis Media Akut sehingga
penanganan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat serta penyakit
tidak berkembang menjadi lebih parah lagi.

DAFTAR PUSTAKA

31
Alasil, Saad., dkk. 2011. Bacterial identification and antibiotic susceptibility patterns
of Staphyloccocus aureus isolates from patients undergoing tonsillectomy in
Malaysian University Hospital. Diunduh dari :
http://www.academicjournals.org/article/article1380532457_Alasil%20%20et
%20al.pdf [Diakses 13 November 2014]
Babaiwa, U.F., Onyeagwara N.C., dan Akerele J.O. 2013. Bacterial tonsillar microbiota
and antibiogram in recurrent tonsillitis. Diunduh dari :
http://www.biomedres.info/yahoo_site_admin/assets/docs/298-302-
babaiwa.160223425.pdf [Diakses 13 November 2014]
Campisi, Paolo., dan Ted L. Tewfik. 2003. Tonsilitis and its Complications. Diunduh
dari :
http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/02_February/tonsiliti
s.pdf [Diakses 13 November 2014]
Dhingra, P.L., dan Shruti Dhingra. 2005. Diseases of Ear, Nose and Throat, Fifth
Edition. New Delhi : Elseiver.
Farokah. 2005. Laporan Penelitian: Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi
Belajar Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Diunduh dari :
http://eprints.undip.ac.id/12393/1/2005FK3602.pdf [Diakses 11 November 2014]
Flint, Paul W. dkk. 2010. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th edition.
Philadelphia : Mosby Elsevier.
Hsieh, T.H., dkk. 2011. Are empiric antibiotics for acute exudative tonsillitis needed in
children ?. Diunduh dari :
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0CDgQFjA
D&url=http%3A%2F%2Fwww.ejmii.com%2Farticle_pdf.php%3Fcode
%3DPDT4e9e3678ce968&ei=6ZlkVNb1K8GzuQS1wYDICg&usg=AFQjCNE1
YYaUD7IXF6LjdhI-jl084-fVRw&bvm=bv.79189006,d.c2E [Diakses 13
November 2014]
Liston, S.L. 1997. Adams, Boeis dan Higler. Eds. Buku Ajar Penyakit THT Boeis Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ludman, H., dan Patrick J.B. 2007. ABC of Ear, Nose and Throat, Fifth Edition.
Massachusetts : Blackwell Publishing Inc.

Mal, R.K., A.F. Oluwasanmi, dan J.R. Mitchard. 2010. Tonsillar Crypts and Bacterial
Invasion of Tonsils: A Pilot Study. Diunduh dari :
http://benthamopen.com/tootorj/articles/V004/83TOOTORJ.pdf [Diakses 13
November 2014]

32
Onerci, T.M. 2009. Diagnosis in Otorhinolaryngology, An Illustrate Guide. New York :
Springer.
Paleri, Vinidh., dan John Hill. 2010. An Atlas of Investigation and Management ENT
Infections. Oxford : Clinical Publishing.
Pasha, R. 2008. Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Clinical Reference Guide.
Singular : Thompson Learning.
Probst, Rudolf., Gerhard Greves, dan Heinrich Iro. 2006. Basic Otorhinolaryngology A
Step-by-Step Learning Guide. USA: Georg Thieme Verlag, 2006; Hal 113-9.
Pulungan, M.R., dan Novialdi N. 2005. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Diunduh dari :
http://repository.unand.ac.id/18395/1/MIKROBIOLOGI%20TONSILITIS
%20KRONIS.pdf [Diakses 13 November 2014]
Shah, K. Udayan. 2014. Tonsilitis and Peritonsilar abcess. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview [Diakses 11 November
2014].
Snow, James B. dan John Jacob Ballenger. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery 16th Edition. Chicago : Williams & Wilkins.
Soepardi, E.A. dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; hal 223-4.
Ugras, Serdar., dan Ahmet Kuthulan. 2008. Chronic Tonsilitis can be Diagnosed with
Histopatologic Findings. Diunduh dari : http://www.bioline.org.br/pdf?gm08018
[Diakses 13 November 2014]

33

Anda mungkin juga menyukai