Anda di halaman 1dari 13

Penerjemahan Metafora

Parlindungan Pardede
parlpard2010@gmail.com
Universitas Kristen Indonesia

Pendahuluan
Metafora lazim digunakan dalam komunikasi sehari-hari untuk
memperkenalkan objek atau konsep baru atau menawarkan makna yang
lebih tepat. Namun ungkapan ini digunakan secara lebih intensif dalam karya
sastra, khususnya puisi. Selain untuk memperkenalkan objek atau konsep
baru seperti dalam komunikasi sehari-hari, dalam puisi metafora digunakan
untuk mengungkapkan makna secara singkat dan padat dan sekaligus
menghadirkan efek puitis.
Makalah ini menyoroti konsep-konsep yang berkaitan dengan
penerjemahan metafora. Pembahasan diawali dengan kontroversi
translatibilitas metafora, yang kemudian dilanjutkan dengan strategi
penerjemahan yang dapat digunakan dalam pekerjaan menerjemahkan
metafora. Pada bagian akhir, secara singkat diulas aspek-aspek yang
memengaruhi pemilihan strategi penerjemahan metafora.

Translatibilitas Metafora (Metaphor Translatibility)


Meskipun sering digunakan, metafora ini sering dijuluki sebagai
ekspresi yang misterius karena maknanya sulit dijelaskan, apalagi
diterjemahkan, sehingga metafora dipandang sebagai bagian paling sulit
dalam tugas penerjemahan. Menurut Newmark (1998: 104), masalah utama
dalam penerjemahan secara umum adalah pemilihan metode penerjemahan
bagi sebuah teks, sedangkan masalah penerjemahan yang paling sulit
secara khusus adalah penerjemahan metafora. Sebagai akibat dari kesulitan
itu, terdapat dua pandangan yang bertentangan secara ekstrim mengenai
translatibilitas metafora. Menurut Dagut (1987: 25), di satu pihak, tidak sedikit
ahli penerjemahan, seperti Nida, Vinay and Darbelnet, yang menganggap
metafora tidak bisa diterjemahkan. Di pihak lain, beberapa tokoh, seperti
Kloepfer dan Reiss, menganggap bahwa metafora, sebagai bagian dari
bahasa, bisa diterjemahkan. Translatibilitas ini didukung oleh beberapa kajian
yang menunjukkan bahwa, walaupun sebagian metafora harus diterjemahkan
secara ekstra hati-hati, majas ini tetap bisa diterjemahkan. Selain kedua
pihak yang beroposisi di atas, tidak sedikit pakar penerjemahan yang tidak
mau terlibat dalam persoalan penerjemahan metafora. Akibatnya, teori dan
kajian tentang penerjemahan metafora yang tersedia sangat minim.
Terdapat paling tidak tiga penyebab sulitnya penerjemahan metafora.
Pertama, seperti dijelaskan oleh Dagut (1987: 24), metafora dalam BSu,
pada hakikatnya, merupakan unsur semantik yang baru. Akibatnya, BSa tidak
memiliki persediaan padanan untuk metafora itu. Kedua, metafora
merupakan bagian dari sebuah bahasa, dan semua bahasa pada hakikatnya
tidak terpisahkan dari budaya. Akibatnya, kebanyakan metafora sangat sarat
dengan nilai-nilai budaya. Sehubungan dengan itu, metafora hanya dapat
dipahami jika nilai-nilai budaya yang terkait dengannnya telah terlebih dahulu
dipahami. Ketiga, metafora merupakan sarana untuk mengungkapkan makna
secara kreatif, singkat, dan padat. Oleh karena itu, agar mampu
menerjemahkan metafora, penerjemah harus mampu menulis secara kreatif.
Senada dengan itu, Larson (1998: 275-276) menjelaskan enam
penyebab sulitnya memahami dan menerjemahkan metafora. Penyebab
pertama adalah citra yang digunakan dalam metafora mungkin tidak lazim
dalam BSa. Sebagai contoh, ungkapan “white as snow” tidak begitu dipahami
oleh penutur bahasa Indonesia. Ungkapan itu lebih baik diterjemahkan
menjadi “seputih kapas”. Ke dua, topik metafora tidak selalu dinyatakan
dengan jelas. Sebagai contoh, ungkapan “the tide turned against the
government” sulit dipahami pembaca karena ketidaktahuan bahwa “the tide”
mengacu pada “opini public”. Ketiga, titik kesamaan kadang-kadang implisit
sehingga sulit diidentifikasi atau mengakibatkan pemahaman yang berbeda
bagi penutur bahasa lain. Sebagai contoh, ungkapan “He is a pig” bisa
diapahami menjadi “Dia jorok”, atau “Dia rakus” dalam budaya tertentu. Ke
empat, perbedaan budaya BSu dan BSa dapat membuat penafsiran yang
berbeda terhadap titik kesamaan. Ke lima, BSa mungkin tidak membuat
perbandingan seperti yang terdapat pada metafora TSu. Sebagai contoh,
bahasa Inggris mengungkapkan perdebatan yang sengit dengan ungkapan
“storm”, seperti dalam “There was a storm in the parliament yesterday”.
Namun bahasa lain mungkin menggunakan “fire”, bukan “storm” untuk
menyatakan hal yang sama. Keenam, setiap bahasa memiliki perbedaan
dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.
Berdasarkan kajiannya atas beberapa bagian sebuah novel Ibrani dan
terjemahannya dalam bahasa Inggris, Larson (1998: 17) menyebutkan dua
faktor yang menentukan translatibilitas metafora. Pertama, pengalaman
kultural khusus dan asosiasi semantik yang dieksploitasi oleh metafora
tersebut. Jika vehicle (topik) sebuah metafora sarat dengan muatan budaya
dan asosiasi semantik yang spesifik, metafora itu tidak bisa diterjemahkan.
Faktor kedua adalah faktor linguistik. Jika sebuah metafora mengandung
unsur-unsur leksikal spesifik yang tidak bisa direproduksi dalam bahasa
target, metafora itu tidak bisa diterjemahkan.
Sedangkan van den Broeck (1981) menjelaskan bahwa kaidah
penerjemahan teks secara umum berlaku juga pada penerjemahan metafora.
Namun, mengingat hakikat metafora yang memiliki kekhususan, kaidah
berikut dapat diterapkan pada penerjemahan metafora: (1) Tingkat
translatibilitas tinggi jika bahasa BSu dan BSa merupakan “jenis” bahasa
yang dekat, dengan catatan poin kedua dan ketiga berikut dipenuhi. (2)
Tingkat translatibilitas tinggi bila BSu dan BSa memiliki kontak. (3) Tingkat
translatibilitas tinggi jika evolusi kebudayaan secara umum di BSu dan BSa
sejajar. (4) Tingkat translatibilitas rendah bila penerjemahan melibatkan lebih
dari satu jenis informasi. Dengan kata lain, sebuah teks dengan kandungan
satu informasi lebih mudah diterjemahkan daripada teks dengan jenis
informasi yang banyak.
Snell-Hornby (1955: 41), yang mengadopsi dan mengembangkan
model van den Broeck, menekankan bahwa translatibilitas sebuah metafora
tidak dapat ditentukan hanya melalui “seperangkat kaidah-kaidah yang
abstrak” tetapi tergantung pada struktur dan fungsi metafora dalam teks yang
dikerjakan. Tingkat translatibilitas sebuah metafora ditentukan oleh tingkat
kekhususan budaya teks sasaran serta jarak geografis dan waktu pemisah
latar belakang budaya antara BSu dan BSa.
Paparan di atas mengungkapkan bahwa keunikan metafora dalam
penerjemahan membuat pandangan para ahli terhadap translatibilitas majas
ini cukup beragam. Sebagian ahli menganggap metafora tidak bisa
diterjemahkan. Sebagian lagi berpendapat, metafora bisa diterjemahkan.
Bahkan tidak sedikit yang menjaga jarak dengan permasalahan ini sehingga
teori dan kajian tentang penerjemahan metafora masih sangat sedikit.
Berdasarkan prosedur dan strategi yang ada, terlihat bahwa keunikannya
membuat penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan pemilahan
elemen-elemen yang ada dan analisis terhadap unsur-unsur itu untuk
memperoleh pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun
internal lainnya.

Strategi Penerjemahan Metafora


Seperti dijelaskan sebelumnya, strategi penerjemahan adalah
langkah-langkah yang digunakan dalam memecahkan masalah-masalah
penerjemahan. Karena metafora merupakan bentuk ungkapan yang paling
sulit diterjemahkan, beberapa ahli mencoba merumuskan strategi khusus
untuk menerjemahkannya. Ahli penerjemahan yang pertama kali berkontibusi
signifikan bagi penerjemahan metafora adalah Dagut, Newmark dan Larson.
Menurut Dagut (1987: 28), metafora merupakan sebuah penyimpangan
kreatif terhadap sistem semantis. Oleh karena itu, secara teoretis, metafora
tidak memiliki ungkapan yang sepadan dalam bahasa lain. Jika
penerjemahan terminologi-terminologi yang diinstitusionalkan, seperti
polisemi dan idiom dilakukan melalui substitusi (menemukan dan mengedit
padanan-padanan yang telah tersedia dalam Bsa), penerjemahan metafora
merupakan aktivitas penciptaan ulang (a re-creation job). Dengan kata lain,
penerjemah harus mereproduksi metafora-metafora yang berterima dalam
konteks linguistik dan budaya BSa. Akan tetapi, Dagut tidak memberikan
uraian mengenai strategi-strategi yang dapat digunakan untuk
menerjemahkan metafora.
Newmark merupakan salah satu pakar penerjemahan yang yakin
bahwa metafora dapat diterjemahkan. Menurut Newmark (1981: 88-91),
secara garis besar, penerjemahan metafora dilakukan dalam dua langkah: (1)
mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan, dan (2) menentukan
prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora tersebut ke
dalam BSu. Dia menyarankan tujuh prosedur atau strategi penerjemahan
metafora berikut.
Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama
dalam BSa dengan cara mereproduksi citra yang sama di TSa. Strategi ini
sesuai untuk metafora yang memiliki frekuensi dan keberlakuan yang
sepadan antara BSu dan BSa.
Ke dua, mengganti citra dalam BSu dengan citra standar yang
berterima dalam BSa, atau menerjemahkan metafora menjadi metafora lain
namun dengan makna yang sama. Strategi ini dapat digunakan dengan baik
jika frekuensi citra dalam register BSa sama dengan dalam register BSu.
Pendekatan ini lazim digunakan untuk menerjemahkan metafora standar
yang kompleks, seperti idiom dan pepatah yang citranya selalu mengandung
konotasi kultural sehingga tidak dapat diterjemahkan secara semantis ke
BSa.
Ke tiga, menerjemahkan metafora menjadi simile sambil
mempertahankan citra. Strategi ini sesuai digunakan jika citra BSu tidak
memiliki kesepadanan di dalam BSa. Sebagai contoh, “He is hanging on a
thread in the coming competition” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi simile “Nasibnya bagai telur di ujung tanduk dalam kompetisi
mendatang.”
Ke empat, menerjemahkan metafora menjadi sebuah simile dengan
menambahkan citra. Strategi ini sesuai digunakan jika citra BSu tidak
memiliki kesepadanan di dalam Bsa, penerjemah dapat mengubah metafora
tersebut menjadi sebuah simile. Sebagai contoh, ungkapan “I read you like a
book” dapat diterjemahkan menjadi “Aku memahami kamu semudah
memahami buku.”
Ke lima, mengubah metafora menjadi makna harfiah (sense). Strategi
ini untuk menerjemahkan metafora yang sarat dengan makna harfiah atau
register (termasuk frekuensi, tingkat formalitas, muatan emosional, dan
keumuman). Sebagai contoh, ungkapan “His business continues to flourish”
dapat diterjemahkan menjadi “Bisnisnya terus maju pesat.”
Ke enam, menghapus metafora jika metafora tersebut tidak ada
manfaatnya, atau hanya membuat TSa menjadi bertele-tele. Sebagai contoh,
ungkapan “Your definition is easy to perceive. “He is a snail; he always walks
slowly”, cukup diterjemahkan menjadi “Dia berjalan lambat sekali”.
Ke tujuh, menggunakan metafora yang sama yang dikombinasikan
dengan deskripsi harfiah atau keterangan tambahan diantara dua tanda baca
koma. Prosedur ini digunakan untuk menerjemahkan metafora yang tidak
memiliki padanan berterima dalam BSa. Dalam konteks ini, keterangan
tambahan tersebut digunakan untuk memperkuat citra agar metafora itu
dipahami pembaca TSa.
Newmark menyusun daftar strateginya berdasarkan preferensi.
Dengan kata lain, disarankan agar penerjemah memprioritaskan penggunaan
masing-masing strategi tersebut sesuai dengan urutan dalam daftar di atas.
Strategi kedua digunakan jika, misalnya karena benturan budaya, strategi
pertama tidak dapat digunakan. Strategi ketiga dipakai hanya jika strategi ke
dua tidak sesuai dengan kebutuhan, dan seterusnya.
Sama dengan Newmark, Larson (1988: 278-279) yakin bahwa
metafora dapat diterjemahkan setelah penerjemah mengidentifikasi unsur-
unsur pembentuknya, yaitu topik, citra dan titik kesamaan. Selain itu,
penerjemah juga harus mengetahui konteks ungkapan secara menyeluruh
agar makna metafora tersebut dapat dipahami. Larson juga mengusulkan
lima strategi penerjemahan metafora berikut.
Pertama, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama
di dalam BSa. Hal ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat
dipahami pembaca TSa tanpa adanya salah pengertian. Sebagai contoh,
metafora bahasa Inggris “economic growth” dan “flow of traffic” dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi metafora “pertumbuhan
ekonomi” dan “arus lalu lintas”.
Ke dua, menerjemahkan metafora BSu menjadi sebuah simile jika
dalam sistem BSa membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora.
Sebagai contoh, metafora bahasa Inggris “The road is a snake’, yang
mengungkapkan bahwa bentuk jalan tersebut berbelok-belok seperti seekor
ular, lebih baik diterjemahkan menjadi simile “Jalan itu seperti ular.”
Ke tiga, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora lain dalam
BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu tersebut. Sebagai
contoh, ungkapan ““icy needles” lebih baik diterjemahkan menjadi “jarum-
jarum dingin” ke dalam bahasa Indonesia. Kedua metafora ini memang
sangat berbeda. Akan tetapi, karena dalam kultur bahasa Indonesia citra
‘dingin” lebih sesuai daripada citra “icy”, sehingga makna metafora “jarum-
jarum dingin” lebih mudah dipahami daripada “jarum-jarum es”, maka
penerjemahan tersebut akan lebih efektif.
Ke empat, menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang
sama di dalam BSa yang disertai dengan penjelasan tentang makna
metafora tersebut. Sebagai contoh, metafora “The tongue is a fire” bisa
diterjemahkan menjadi “Lidah adalah api. Api menghanguskan benda-benda,
dan ucapan kita bisa menyakiti orang lain.”
Ke lima, menerjemahkan metafora menjadi menjadi ungkapan non-
metaforis. Dengan demikian, TSa berubah menjadi ungkapan dengan makna
harfiah. Strategi ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan metafora
berbentuk idiom yang kesan metaforisnya benar-benar hampir tidak disadari
penutur. Sebagai contoh, metafora “He was a pig’ diterjemahkan menjadi
“Dia sangat berantakan” atau “Dia tidak pernah rapi”.
Jika daftar strategi Newmark dan Larson di atas dibandingkan, terlihat
tidak ada perbedaan substansial. Jumlah strategi Newmark lebih banyak
karena adanya dua strategi yang tidak terdapat dalam daftar Larson: (a)
pengalihan metafora menjadi simile dengan menambahkan citra; dan (b)
strategi penghapusan. Kedua strategi ini pada dasarnya dapat digunakan
hanya dalam penerjemahan teks prosa, bukan dalam penerjemahan puisi.
Sebagai contoh, setiap kata dalam puisi sarat dengan makna. Oleh karena
itu, strategi penghapusan harus dicegah.
Beberapa penelitian terkini memperlihatkan bahwa strategi
penerjemahan metafora yang diusulkan Newmark dan Larson tersebut dapat
diterapkan. Penelitian Pardede (2013) mengungkapkan ke 174 metafora
bahasa Indonesia dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image
in Indonesian diterjemahkan dengan menggunakan tiga strategi, yaitu: (1)
menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama (59,8%); (2)
menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama
(35,6%); dan (3) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis
atau makna harfiah (4,6%). Penelitian Waluyo (2007) mengungkapkan bahwa
strategi penerjemahan yang digunakan untuk mengalihkan 100 metafora
bahasa Indonesia dalam penerjemahan novel Saman ke dalam bahasa
Inggris adalah: (1) penerjemahan metafora menjadi metafora yang sepadan;
(2) parafrase; (3) penerjemahan metafora menjadi metafora yang berbeda
namun dengan makna yang sama; (4) penerjemahan harfiah. Penelitian
Sudrama (2003) mengungkapkan bahwa metafora bahasa Inggris dalam
novel Master of the Game karya Sidney Sheldon ke dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan tiga strategi, yakni: menerjemahkan metafora ke
dalam metafora, menerjemahkan metafora menjadi simile, dan
menerjemahkan metafora menjadi ungkapan harfiah.

Aspek-Aspek yang Memengaruhi Pemilihan Strategi Penerjemahan


Metafora
Untuk memilih metode penerjemahan yang baik bagi sebuah metafora
tertentu, penerjemah perlu membuat pertimbangan menyeluruh terhadap
semua aspek, termasuk tujuan penerjemahan, target pembaca dan jenis
teks. Berikut ini adalah uraian singkat terhadap ketiga aspek tersebut.

1. Tujuan Penerjemahan
Penerjemahan pada umumnya bertujuan untuk menghasilkan teks
tertentu bagi pembaca kalangan tertentu di lingkungan tertentu. Maksud dan
tujuan penerjemahan tersebut merupakan faktor kunci yang secara signifikan
mempengaruhi prinsip-prinsip yang digunakan penerjemah. Misalnya, jika
tujuannya adalah untuk menyampaikan nilai-nilai budaya BSu, penerjemah
akan memberi penekanan pada BSu sebanyak mungkin. Jika tujuannya
adalah untuk memastikan bahwa teks terjemahan memiliki muatan emosional
dan persuasif yang sama seperti aslinya, penerjemah akan menggunakan
strategi lain, untuk memastikan pembaca dapat memahami hasil terjemahan
dengan baik.

2. Pembaca Target
Setiap penerjemahan berorientasi pada publik BSa, karena
menerjemahkan adalah tindakan untuk menghasilkan teks bagi publik bahasa
tertentu untuk tujuan tertentu dan kelompok pembaca tertentu dalam
lingkungan tertentu (Nord, 1987: 12). Oleh karena itu, pembaca target
dianggap sebagai faktor penting lainnya yang mempengaruhi pemilihan
strategi penerjemahan oleh penerjemah. Hal ini megindikasikan bahwa
sebelum menerjemahkan, penerjemah perlu bertanya diri sendiri: Siapa
pembaca target? Apa latar belakang mereka (misalnya golongan sosial, usia
dan jenis kelamin)? Apakah mereka berwawasan luas atau sederhana, awam
atau ahli? Informasi seperti itu akan membantu penerjemah untuk
memutuskan tingkat formalitas, kadar emosional, dan kesederhanaan yang
perlu dia buat dalam proses penerjemahan.

3. Jenis Teks
Keputusan tentang pendekatan penerjemahan yang akan digunakan
tidak terlepas dari faktor jenis teks. Semua teks memiliki fungsi ekspresif,
informatif dan vokatif. Namun salah satu fungsi ini akan berperan dominan,
sedangkan dua lainnya bersifat tambahan. Ketika menerjemahkan karya
sastra, yang secara umum dianggap sebagai saluran budaya, penerjemah
harus mereproduksi bentuk dan isi BSu tanpa mengganggu “rasa” budaya
TSu. Di sisi lain, penerjemahan karya ilmiah dan laporan teknis, yang fungsi
didominasi oleh fungsi informatif, harus menggunakan register yang sesuai.
Sedangkan pada teks vokatif, gaya yang dominan adalah persuasif atau
imperatif. Oleh karena itu, terjemahan yang berhasil untuk teks jenis ini
adalah yang memicu tanggapan yang diinginkan dari pembaca teks sasaran.

Kesimpulan
Meskipun lazim digunakan dalam komunikasi sehari-hari, metafora
sering dijuluki sebagai ekspresi yang misterius karena maknanya sulit
dijelaskan, apalagi diterjemahkan, sehingga metafora dipandang sebagai
bagian paling sulit dalam tugas penerjemahan. Kesulitan itu diakibatkan oleh
tiga factor. Pertama, metafora dalam BSu, pada hakikatnya, merupakan
unsur semantik yang baru. Akibatnya, BSa tidak memiliki persediaan
padanan untuk metafora itu. Kedua, metafora merupakan bagian dari sebuah
bahasa, dan semua bahasa pada hakikatnya tidak terpisahkan dari budaya.
Akibatnya, kebanyakan metafora sangat sarat dengan nilai-nilai budaya.
Sehubungan dengan itu, metafora hanya dapat dipahami jika nilai-nilai
budaya yang terkait dengannnya telah terlebih dahulu dipahami. Ketiga,
metafora merupakan sarana untuk mengungkapkan makna secara kreatif,
singkat, dan padat. Oleh karena itu, agar mampu menerjemahkan metafora,
penerjemah harus mampu menulis secara kreatif. Karena ketiga faktor yang
begitu kompleks tersebut, tidak sedikit linguis yang menganggap metafora
tidak bisa diterjemahkan. Akan tetapi, sebagai bagian dari bahasa, metafora
pasti bisa diterjemahkan.
Untuk membantu penerjemahan metafora, Newmark dan Larson
mengajukan seperangkat strategi, yang diterapkan setelah terlebih dahulu
mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan. Strategi tersebut
mencakup: (1) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di
dalam BSa, (2) menerjemahkan metafora BSu menjadi sebuah simile jika
dalam sistem BSa membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora,
(3) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora lain dalam BSa tapi
memiliki makna yang sama dengan metafora BSu tersebut, (4)
menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa
yang disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut, (5)
menerjemahkan metafora menjadi menjadi ungkapan non-metaforis, (6)
mengalihkan metafora menjadi simile dengan menambahkan citra, dan (7)
menghapus metafora jika metafora tersebut tidak ada manfaatnya, atau
hanya membuat TSa menjadi bertele-tele. Berbagai hasil penelitian terkini
memperlihatkan bahwa strategi-strategi tersebut dapat diterapkan.

Referensi
Dagut, Menachem. “Can Metaphor be Translated.” Babel: International
Journal of Translation, 22(1),1987

Larson, Mildred L. Meaning-Based Translation: a Guide to Cross-Language


Equivalence. (Lanham and London: University Press of America,
1998).

Newmark, Peter. Approaches to Translation: A Guide to Cross-Language


Equivalence. (Oxford: Pergamon Press, 1981).

_______. A Textbook of Translation. (New York: Prentice-Hall International,


1988).

Nord, C. Translating as a Purposeful Activity: Functionalist Approaches


Explained. (Manchester: St. Jerome Publishing, 1997)

Pardede, Parlindungan (2013). Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa


Indonesia ke dalam Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi on Foreign
Shores: American Image in Indonesian Poetry. Jakarta: Universitas
Kristen Indonesia. Diunduh 4 Desember 2013 dari:
https://drive.google.com/file/d/0B7pJkzTapTsONkp3R21v
SFdGbFU/edit?usp=sharing

Snell-Hornby, Mary. Translation Studies: An Integrated Approach.


(Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 1955)

Sudrama, K. (2003). Strategies for Translating into Indonesian English


metaphors in the novel “Master of the Game”: A case study. (Thesis).
Denpasar: Udayana University.
van den Broeck, Raymond. The Limits of Translatability Exemplified by
Metaphor Translation. Dalam Poetics Today, Vol. 2, No. 4, pp. 73-87
(Duke University Press, 1981), 2011 http://www.jstor.org/
stable/1772487 (diakses 15 Februari 2011)

Waluyo, T. N. (2007) The translations strategies of Indonesian metaphors into


English. (Magister Thesis) Jakarta: Gunadarma University.

Anda mungkin juga menyukai