Anda di halaman 1dari 10

DILAN SULMINI TIRTA

1650401035

MI 3B

PEMIMPIN KAFIR TAPI ADIL

ARTIKEL 1

PEMIMPIN merupakan satu elemen yang sangat penting dalam semua aspek kehidupan.
Pemimpin memiliki peranan yang sangat urgen untuk mencapai satu tujuan. Pemimpin juga
memiliki peranan yang sangat besar dalam mengarahkan pencapaian suatu tujuan yang diridhai
Allah Subhanahu Wata’ala.

Maka, berbicara tentang kepemimpinan tidak bisa lepas dari Islam, karena Islam telah mengatur
segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan.

Pihak-pihak yang bermaksud melepaskan kepemimpinan dari Islam adalah orang-orang yang
ingin menempatkan Islam hanya sebatas ritual keagamaan yang berada di masjid-masjid yang
jauh dari urusan politik, ekonomi, sosial dan aspek kehidupan lainnya.

Berbeda dengan orang yang berpaham sekuler, seorang muslim memilik cara pandang yang
tauhidi yang tidak memisahkan antara dunia dan akhirat, antara fisik dengan metafisik. Karena
bagi seorang muslim dunia adalah wasilah untuk menggapai kebahagiaan di akhirat.

Bagi kaum muslimin, memilih pemimpin adalah suatu perkara yang sangat vital. Karena baik-
buruknya kehidupan mereka di dunia dan di akhirat tidak lepas dari peranan seorang pemimpin.

Oleh karena itu, dengan tegas Allah melarang orang-orang yang beriman untuk mengambil
pemimpin dari kalangan orang-orang kafir atau orang-orang munafik. Dalam Surat Ali Imron
ayat 28 Allah memperingatkan orang-orang beriman agar jangan menjadikan orang-orang kafir
sebagai pemimpin mereka;

‫س ممحن التلحمه فمححي حشححميءء إمتل حأنَ تحتتقمححوُا مممنهمححمم تمقحححاَةة ً حويمححححذذمرمكمم‬ ‫تل يحتتمخمذ املمممؤمممنوُحنَ املحكاَفممريحن أحمولمحياَحء ممن مدومنَ املمممؤمممنيحن َ حوحمن يحمفحعمل ذحذلم ح‬
‫ك فحلحمي ح‬
٢٨﴿ ‫صيمر‬ ‫﴾التلحهم نحمفحسهم ً حوإمحلىَ التلحمه املحم م‬

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan


meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).”

Dan Allah menerangkan bahwa mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin akan
mendatangkan laknat dan murka Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam Surat Al Maidah ayat 80
Allah berfirman;
DILAN SULMINI TIRTA
‫ط التلحهم حعلحميمهمم حومفي املحعحذا م‬
٨٠﴿ َ‫ب هممم حخاَلممدوحن‬ ‫ت لحهممم حأنفممسهممم حأنَ حسمخ ح‬ ‫﴾تححرذى حكمثيةرا ذممنهممم يحتححوُلتموُحنَ التمذيحن حكفحمروا لحبممئ ح‬
‫س حماَ قحتدحم م‬

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir
(musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu
kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaanmereka sediakan untuk
diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan”.

Bolehkah Kita Memilih Pemimpin Kafir?

Istilah Pemimpin Kafir yang Jujur Lebih Baik adalah Propaganda Berbahaya

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda;

َ‫ضا‬ ‫المؤمن للمؤمن كاَلبنياَنَ يشدد بحمع م‬


‫ضه بع ة‬

“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya itu bagaikan sebuah bangunan, yang satu menguatkan
yang lain.”

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah juga bersabda;

‫ ول يممسلمممه‬،‫ ل يظلمه‬:‫المسلم أخوُ المسلم‬

“Seorang muslim itu saudara muslim lainnya, tidak boleh mendhaliminya, dan tidak boleh pula
menyerahkannya (kepada musuh).”

Dan para ulama pun telah bersepakat akan haramnya seorang muslim menjadikan pemimpin dari
kalangan orang-orang kafir.

Tokoh Syiah

Belum lama ini beredar pernyataan menyesatkan yang menyebar di masyarakat bahwa
‘pemimpin kafir tapi adil itu lebih baik dari pada pemimpin muslim yang dzalim’. Ironisnya
ungkapan ini disandarkan kepada perkataan Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
Anhu.

Sekilas ungkapan ini kelihatan benar, tapi sebenarnya salah dan rancu menurut Islam. Bukankah
Islam mengharamkan pemeluknya untuk berlaku dhalim, dan sebaliknya Islam selalu
memerintahkan kepada keadilan?

Sama halnya Islam mengharamkan pemeluknya untuk mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang kafir selain orang-orang mukmin.

Dalam sejarah Islam memang ditemukan pemimpin-pemimpin yang dhalim, dan Islam tetap
memandang perbuatannya sebagai sebuah kedhaliman. Dan dalam sejarah peradaban manusia
banyak juga dijumpai pemimpin-pemimpin kafir dan diantara mereka ada yang adil, tetap saja

DILAN SULMINI TIRTA


Islam memandang mereka sebagai orang yang dhalim karena kekafiran mereka. Bukankah
kekafiran dan kemusyrikan merupakan kedhaliman yang besar di sisi Allah?

‫حواملحكاَفممروحنَ هممم ال ت‬
َ‫ظاَلممموُحن‬

“Dan orang-orang kafir, mereka adalah orang-orang yang dhalim” (QS: Al-Baqarah : 254)

Ungkapan tersebut tidak lebih dari propaganda hanya untuk melegitimasi kepemimpinan orang
kafir di tengah mayoritas kaum Muslim dan berusaha menggiring opini umat Islam untuk
menerima pemimpin dari kalangan non-muslim.

Faktanya, pernyataan itu bukan ungkapan Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib yang dimuliakan.

Yang benar ungkapan diatas adalah pernyataan dari seorang tokoh Syiah bernama Ali Bin Musa
Bin Ja’far Bin Thawus atau dikenal Radhiuddin Ali bin Thawus ketika Mongol menguasai
Negeri Baghdad tahun 1258 M atau 656 H untuk mencari selamat pemimpin mereka Hulagu
Khan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Al-Adab As-Sulthaniyah wa Ad-Duwal Al-Islamiyah


yang ditulis Ibnu Ath-Thoqthoq, setelah meluluhlantakkan Kota Baghdad dan menenggelamkan
kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama ke Sungai Dajlah, saat itu pasukan Tatar yang
dipimpin panglima kafir yang dikenal bengis Hulagu Khan kemudian mengumpulkan para cerdik
pandai dan ulama.

Ketika Pasukan Tartar Mejadikan Buku Para Ulama Sebagai Tempat Penyeberangan

Mongol, Penakluk yang Tertaklukkan

Untuk mencari legitimasi kekuasaan dan demi meraih simpati rakyat Baghdad, Hulagu Khan
kemudian bertanya kepada mereka, mana yang lebih baik pemimpin kafir tapi adil atau
pemimpin muslim tapi dzalim? Maka dijawablah dengan lantang oleh seorang pemuka ulama
Syiah Radhiuddin Ali bin Thawus;

َ‫ ذلك بأنَ لناَ عدل الكاَفر العاَدل عندماَ يحكححم وعليححه وزر كفححره لوُحححده بينمححاَ لنححا‬،‫الحاَكم العاَدل الكاَفر أفضل علىَ المسلم الجاَئر‬
‫ وله لوُحده إسلمه الذي يثاَب عليه‬،‫ظلم المسلم الجاَئر إذا حكم‬

“Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang dhalim. Karena keadilan
pemimpin kafir untuk rakyatnya dan dosa kekafirannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan
kedhaliman pemimpin muslim yang dhalim adalah untuk rakyatnya, sedangkan islamnya
pahalanya untuk dirinya sendiri.”

Maka, jelaslah ungkapan diatas adalah kedustaan yang diatasnamakan Sahabat Ali bin Abu
Thalib dan sebuah propaganda untuk menggiring opini umat Islam agar memilih pemimpin kafir
dan bentuk legitimasi dan loyalitas yang diberikan kepada orang-orang kafir untuk menjadi
penguasa di negeri muslim.

DILAN SULMINI TIRTA


Seharusnya, ungkapan tersebut lebih layak disandarkan kepada para penjilat kekuasaan daripada
disandarkan kepada sahabat Nabi yang mulia, Ali bin Abi Thalib.

Sebab, adalah suatu hal yang sangat mustahil bagi seorang sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib
untuk membuat pernyataan yang bertentangan dengan firman Allah;

‫ام مفي حشميءء إملت حأنَ تحتتقمححوُما مممنهمححمم تمقحححاَةة حويمححححذذمرمكمم د‬


‫امحح‬ ‫س ممحن د‬ ‫لت يحتتمخمذ املمممؤمممنوُحنَ املحكاَفممريحن أحمولمحياَء ممن مدمومنَ املمممؤمممنيحن حوحمن يحمفحعمل حذلم ح‬
‫ك فحلحمي ح‬
‫صيمر‬‫ام املحم م‬
‫نحمفحسهم حوإمحلىَ د‬

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan


meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS: Ali Imron: 28).

Apalagi para ulama sedunia sepakan urusan pemimpin ini dan tidak ada perselisihan dengannya.

Sebagai Muslim yang baik, seharusnya kita tidak terkecoh kalau ada ungkapan yang hampir
mirip dengan yang telah disebutkan diatas. Bahwa seolah-oleh “pemimpin kafir yang jujur lebih
baik daripada pemimpin muslim yang korup.”

Kita dituntut cerdas untuk membaca situasi dan kondisi yang tengah dialami oleh bangsa dan
negara kita akhir-akhir ini. Sebab dari 200 juta umat Islam, masih banyak kita temukan
pemimpin Muslim yang jujur dan tidak korup. InsyaAllah.*

ARTIKEL 2

SETIAP kali ada even pemilihan kepala daerah atau presiden di Indonesia, salah satu wacana
yang sering dimunculkan adalah mengenai kepemimpinan non-Muslim di negeri yang mayoritas
Muslim ini. Tahun 2017 mendatang akan diselenggarakan Pilkada di DKI Jakarta, ibu kota
Republik Indonesia.

Even Pilakada DKI kali ini mendapatkan perhatian lebih bukan hanya kerena posisi strategis ibu
kota negara, tetapi juga disebabkan calon incumbent yang non-Muslim Ahok akan maju kembali
dalam Pilkada kali ini. Seperti biasa segera muncul pro-kontra tentang kepemimpinan non-
Muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim.

Salah satu yang selalu diulang-ulang adalah selalu muncul dari kalangan Muslim yang membela
kepemimpinan non-Muslim ini. Argumen yang diusung selalu sama, yaitu menolak ayat-ayat
yang dijadikan dalil haramnya umat Islam memilih pemimpin kafir dengan menganggapnya
bukan larangan tegas untuk itu. Selain itu, argumen lain yang selalu diulang-ulang adalah
pendapat Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Hisbah fî Al-Islâm aw Wazhîfah Al-Hukûmah Al-
Islâmiyyah (hal. 7 dalam cet. Dar El-Kutub El-Imiyyah Libanon). Biasanya yang dikutip dari
buku itu adalah penggalan kalimat: “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan
akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman.”

Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat atau hadis yang tegas yang melarang
kepemimpinan non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syâdz (nyleneh, menyimpang)
dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab dalam masalah ini telah terjadi ijmâ’ (kesepakatan)
DILAN SULMINI TIRTA
di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu, maupun di masa sekarang yang
membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawi
dalam Al-Wajîz fî Al-Fiqh Al-Khilâfah (Dar Al-I’lam Al-Dauly [tt.], hal. 22-23) menyebutkan
bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat
dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkâm al-imâmah bi al-
dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam salah satunya adalah menegakkan agama Islam
(iqâmah al-dîn al-islâmy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kâfir) terhadap
ajaran Islam dapat menegakkan Islam?

Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga ditopang oleh dalil yang sangat banyak di dalam
Al-Quran (bukan hanya satu atau dua ayat), maka tidak mengherankan apabila para ulama
bersepakat atas wajibnya syarat “Islam” bagi pemimpin kaum Muslim.

Al-Qahi Iyadh berkata;

“Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir;
dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun.”
(Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawâwi Jld. 12 hal. 229). Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh
ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum
Muslim dalam keadaan apapun.” (Ahkâm Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jld. II
hal. 414).

Dalam sistem hukum Islam, ijmâ’ merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat setelah
Al-Quran dan Sunnah Nabi SHalallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Seandainya benar terdapat ijmâ’ di kalangan ulama mengenai kewajiban syarat “Islam” bagi
pemimpin kaum Muslim, lalu timbul pertanyaan apakah benar bahwa Ibnu Taimiyyah berbeda
pendapat mengenai masalah ini? Salah satu buktinya adalah kutipan di atas. Kalau memang
benar, berarti klaim ijmâ’ gugur dengan sendirinya. Inilah yang akan dibahas secara lebih
mendalam pada tulisan ini. Untuk membahas masalah ini, ada dua hal yang harus didudukkan,
yaitu: bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah sendiri terhadap syarat seorang pemimpin kaum
Muslim dan dalam konteks apa ia mengatakan perkataannya di atas.

Syarat Pemimpin Menurut Ibnu Taimiyyah

Hal yang cukup menyulitkan untuk memastikan apa yang dipersyaratkan bagi seorang pemimpin
kaum Muslim menurut Ibnu Taimiyyah adalah gaya Ibnu Taimiyyah dalam membahas masalah
ini. Dalam kitab-kitab fikih siyasah yang umum seperti tulisan Al-Mawardi Al-Ahkâm Al-
Sulthâniyyah, biasanya dibahas secara gamblang dan khusus mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi seorang pemimpin sehingga para pembaca segera dapat mengetahui pendapatnya
mengenai masalah ini. Sementara Ibnu Taimiyyah di dalam buku-bukunya yang khusus
berkenaan dengan siyasah, yaitu Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah, Al-Hisbah fî Al-Islâm, dan Al-
Khilâfah wa Al-Mulk tidak menyebutkannya secara khusus. Oleh sebab itu, para pembaca harus
memmbacanya secara mendalam dan hati-hati untuk mengetahui bagaimana pandangan Ibnu
Taimiyyah mengenai masalah ini.

DILAN SULMINI TIRTA


Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhilla’ Dammam
KSA (1994: hal. 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah Al-Siyâsah ‘inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan
Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisannya dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah
menetapkan dua syarat umum bagi seorang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah wa al-amânah
(kekuatan dan amanah). Kesimpulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam
Al-Siyâsah Al-Syar’iyyah (Dar Al-Afaq Al-Jadidah Beirut, 1998: 15):

‫ مححن اليححة‬: ‫ي املحمميححمن { )سححوُرة القصححص‬


ِ‫ت املقحموُ ي‬ ‫ } إمتنَ حخميحر حممن امستحأمحجمر ح‬: َ‫ كماَ قاَل تعاَلى‬. ‫ القوُة والماَنة‬: َ‫فإنَ الوُلية لهاَ ركناَن‬
‫ وقاَل تعاَلىَ في‬. (54 ‫ من الية‬: ‫ك امليحموُحم لححدميحناَ حممكينن أحممينن { )سوُرة يوُسف‬ ‫ } إمنت ح‬: ‫ وقاَل صاَحب مصر ليوُسف عليه السلم‬. (26
(21-19 ‫ الياَت‬: ‫ع ثحتم أحمميءن { )سوُرة التكوُير‬ ‫م ء‬ ‫ح‬
َ‫طا‬ ‫م‬ }{ ‫ن‬ ‫كي‬‫م‬ ‫ش‬
‫ح م ح م ء‬ ‫ر‬‫م‬ ‫ع‬‫ل‬‫م‬ ‫ا‬ ‫ذي‬‫ } إمنتهم لحقحموُمل حرمسوُءل حكمريءم {} مذي قمتوُءة معمنحد م‬: ‫صفة جبريل‬
.

Sesungguhnya kepemimpinan itu memliki dua rukun: kekuatan dan amanah, sebagaimana
firman Allah Swt., “Sesaungguhnya sebaik-baiknya orang yang kau upah adalah yang kuat lagi
amanah. (QS Al-Qashash: 26). Berkata pemimpin Mesir kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau
sekarang ini memiliki posisi yang kuat dan terpercaya di sisi kami.” (QS Yusuf: 54); Allah Swt.
berfirman tentang sifat Jibrir, “Sesungguhnya itu merupakan ucapan utusan yang mulia; yang
memiliki kekuatan dan kedudukan yang kuat di sisi Sang Pemilik Arsy; yang taat lagi dapat
dipercaya.” (QS Al-Takwir: 19-21).

Yang dimaksud dengan “kekuatan” oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus dimiliki
seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima perang
harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia tidak akan
mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara orang yang akan
memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan
di dalam Al-Quran dan Al-Sunnah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya di
tengah-tengah manusia.

Adapun yang dimaksud dengan “amanah” adalah sikap takut hanya pada Allah, tidak
memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut pada manusia.
Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah Swt., “Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah
pada-Ku; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.
Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang
yang kafir. (QS Al-Ma’idah: 44). Kalau merujuk pada syarat “amanah” ini agak sulit dimengerti
kalau Ibnu Taimiyyah tidak mempersyaratkan pemimpin harus seorang “Muslim”. Kalau bukan
Muslim, bagaimana mungkin dia bisa takut pada Allah dan memperjual-belikan ayat-ayat Allah?
Bahkan syarat yang ditetapkan Ibn Taimiyyah ini lebih dari sekedar harus “Muslim.” Dia harus
memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu “takut pada Allah Swt.”

Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak
berbeda dengan penulis-penulis lain. Akan tetapi maksud yang ingin disampaikan Ibnu
Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-
Mawardi, misalnya, maka kita akan segera bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah
telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan Al-Mawardi.

DILAN SULMINI TIRTA


Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah (Dar Ibn Qutaibah Kuwait, 1989: 3-5), Al-Mawardi
menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi
kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Untuk itu, orang yang akan
memangku amanah ini harus memiliki syarat antara lain: adil (dengan berbagai syaratnya,
termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat mengantarkannya melakukan
ijtihad, sehat panca indra, sehat anggota tubuh, memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian
untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat yang ditetapkan Al-Mawardi ini
esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu: memiliki kekuatan (al-quwwah)
dan amanah. “Islam” pasti merupakan salah satu syarat mutlak di dalamnya karena tujuan dari
kepemimpinan itu sendiri adalah untuk menegakkan agama sebagaimana tugas oara Nabi.

Kalau kita telaah lagi semua tulisan Ibnu Taimiyyah tentang masalah politik ini akan semakin
jelas bahwa sama sekali ia tidak pernah memberikan ruang bagi dibolehkannya pemimpin kafir.
Salah satu yang semakin menguatkan kesimpulan ini dapat dilihat dalam Al-Khilâfah wa Al-
Mulk (Maktabah Al-Manar Yordan, 1994: 43).

Ia menulis satu bab “Al-Amîr Yatawallâ Imâmah Al-Shalâh wa Al-Jihâd” (Seorang Amir Harus
Memimpin Sholat dan Jihad). Seandainya Ibnu Taimiyyah membolehkan diangkatnya pemimpin
non-Muslim, mengapa ia begitu yakin menulis kewajiban pemimpin semacam ini yang tidak
mungkin dikerjakan kecuali oleh seorang Muslim?

Konteks Ucapan Ibnu Taimiyyah tentang “Daulah Kafir yang Adil”

Hal berikutnya yang harus diklarifikasi adalah tentang pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas. Amat
disayangkan bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah ini, hanya dikutip dan dipahami sepotong-
sepotong. Seandainya dilihat secara utuh, baik dalam konteks keseluruhan pemikiran Ibnu
Taimiyyah maupun dalam konteks di mana kalimat yang dikutip tersebut, maka para pembaca
yang jujur akan segera mengerti bahwa Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak memaksudkan
ucapannya sebagai kebolehan orang kafir dijadikan pemimpin kaum Muslim. Apalagi kalau
kutipan ini dipandang secara lebih kritis, bisa jadi ungkapan ini akan tertolak dengan sendirinya.
Akan kita urai mengenai masalah ini sebagai berikut.

Pertama, dilihat dari cara Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kalimat ini ia hanya menyebutkan
dengan kata yurwâ (diriwayatkan), tapi sama sekali tidak menyebut diriwayatkan dari siapa;
apakah dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, atau tokoh ulama lainnya? Ibnu Taimiyyah adalah orang
yang sangat kritis terhadap riwayat-riwayat yang digunakannya untuk menyusun argumentasi. Ia
terkategori ahl al-hadîts yang sama sekali tidak menoleransi riwayat-riwayat yang lemah dan
tidak jelas; apalagi riwayat palsu. Amat sangat disayangkan, kali ini Ibnu Taimiyyah agak
ceroboh. Ia sama sekali tidak menyebutkan ini riwayat semacam apa. Kalau menggunakan
metode kritik Ibnu Taimiyyah terhadap riwayat-riwayat, kutipan yang tidak jelas sumbernya
semacam ini seharusnya sudah tertolak sejak awal.

Bisa jadi juga bahwa Ibnu Taimiyyah mengikuti tradisi para muhadditsîn dalam menggunakan
kata “yurwâ” ini untuk menunjukkan suatu riwayat yang lemah yang tidak bisa digunakan
sebagai dasar dalil karena ketidakjelasan riwayat itu sendiri. Hanya saja, ia menyampaikannya
karena pernah mendengar riwayat itu sehingga kalaupun ia menyampaikannya kepada pembaca

DILAN SULMINI TIRTA


bukan untuk dijadikan sebagai landasan dalil yang kuat, melainkan hanya untuk memperkuat
pendapatnya tentang tema yang tengah dibicarakan, yaitu tentang pentingnya keadilan

Kedua, bila kemungkinan kedua di atas yang kita gunakan, maka kita berhusnuzhan bahwa
kutipan ini bukan sungguh-sungguh untuk dijadikan sebagai landasan dalil mandiri tentang
sesuatu, melainkan untuk menguatkan konteks pembicaraan yang tengah ia wacanakan.
Ungkapan tersebut secara utuh disimpan dalam pembahasannya tentang tujuan dari kekuasaan
dalam Islam. pada awal wacana Ibnu Taimiyyah menulis, “Ini adalah kaidah-kaidah tentang
hisbah. Tujuanya adalah untuk memberikan pengetahuan bahwa segala bentuk kekuasaan dalam
Islam tujuannya adalah agar seluruh pelaksanaan agama hanyalah dipersembahkan untuk Allah
Swt. dan agar kalimat Allah menjadi kalimat tertinggi…” (Al-Hisbah fî Al-Islâm, tt: 6). Lalu
pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ketaatan
sepenuhnya pada Allah Swt., baik dalam perkara agama maupun dunia. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya ada orang yang benar, ada juga yang salah sehingga perlu ada yang memenang
peranan dalam amar ma‘rûf dan nahyi munkar. Inilah yang dimaksud hisbah di dalam Islam.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang berbeda-beda agama dan keyakinan
memiliki pandangan yang berbeda-beda pula terhadap masalah agama dan dunia. Akan tetapi,
dalam masalah keadilan dan kezhaliman di dunia semua orang memiliki pandangan sama, yaitu
bahwa kezhaliman akan berakibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia ini, sedangkan
keadilan akan berakibat sebaliknya. Setelah itu, baru ia katakan bahwa ada riwayat yang
menyatakan seperti ungkapannya di atas. Kutipan di atas secara agak panjang isinya sebagai
berikut:

‫ت حكححاَفمحرةة‬ ‫صمر التدمولحةح املحعاَمدلحةح حوإممنَ حكاَنح م‬ ‫ ” ت‬: ‫ظملمم حومخيحمةن حوحعاَقمبحةم املحعمدمل حكمريحمةن حولمهححذا يممرحوى‬
‫ام يحمن م‬ ِ‫س لحمم يحتححناَحزمعوُا مفي أحتنَ حعاَقمبحةح ال ي‬
‫فإ متنَ التناَ ح‬
‫م‬ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ح‬
‫صمر التدمولة الظاَلمحمة حوإممنَ حكاَنحت مممؤممحنة‬‫ح‬ ‫م‬
‫حوحل يحن م‬

“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara
balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan
menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim
sekalipun beriman.”

Kalau memperhatikan konteksnya, Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak sedang membicarakan
pemimpin Islam atau kafir, melainkan sedang membicarakan masalah keadilan. Dalam hal-hal
duniawi ada dimensi-dimensi keadilan yang rumusnya disepakati bersama oleh orang-orang yang
berbeda-beda keyakinan sekalipun. Dalam hal demikian, bila keadilan ditegakkan sekalipun
penegaknya itu adalah “negara yang kafir”, maka akan ada pertolongan Allah Swt., dalam arti
akan berbuah hal-hal yang baik. Sementara bila tidak ditegakkan, walaupun di “negara yang
Muslim”, pasti akan berakibat keburukan. Boleh dikatakan bahwa maksud Ibnu Taimiyyah
adalah ingin memberi tekanan kepada keadilan, bukan membicarakan mengenai boleh atau
tidaknya pemimpin yang kafir.

Kalau yang dibicarakan adalah keadilan, maka dalam dimensi yang lebih luas, keadilan itu juga
termasuk di dalamnya menegakkan agama. Menegakkan agama berarti menegakkan hak-hak
Allah Swt. Menegakkan hak Allah Swt. adalah salah satu bentuk keadilan dalam hidup ini,
karena “ibadah” merupakan salah satu tujuan dari kehidupan manusia di dunia. Ibadah adalah

DILAN SULMINI TIRTA


wujud sikap yang adil terhadap Allah Swt. Bagaimana mungkin keadilan ini dapat ditegakkan
oleh orang yang secara keyakinan menentang Allah Swt. alias “kafir”. Kalau membaca
keseluruhan tulisan Ibnu Taimiyyah dalam berbagai risalahnya di atas, Ibnu Taimiyyah pasti juga
berkesimpulan seperti itu. Namun patut disayangkan ia menyebutkan riwayat yang tidak jelas
sumbernya bagi para oembaca untuk menguatkan argumentasinya sehingga membuka celah bagi
orang-orang yang berpikiran picik untuk memelintir ucapannya. Padahal, dengan mencantumkan
riwayat itu, sama sekali tidak terpikirkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk menjadi dalil tentang
bolehnya pemimpin kafir bagi kaum Muslim. Wallâhu A’lam.*

ARTIKEL 3

Manhajuna.com – Akhir-akhir ini beredar ungkapan yang sangat disukai suatu ‘kaum’ demi
memuluskan jalan bagi seorang kafir untuk memimpin negerinya. Mereka menyebar perkataan
yang mereka klaim sebagai perkataan Ali ra, yaitu, “Pemimpin kafir yang adil lebih utama dari
pemimpin muslim yang zalim.”

Siapa muslim yang tidak mengormati Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu?! Semua mencintai
dan memuliakannya. Maka akan tampak sekali betapa kata-kata tersebut akan memberikan
pengaruh kaum muslimin, terutama yang awam.

Tahukah anda, dibalik kata-kata itu ada racun syiah? Jangan marah dulu….:) sini saya jelaskan.

Ungkapan itu bukan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, tapi perkataan seorang tokoh
ulama (baca: pendeta) syiah yang bernama Ali bin Musa bin Ja’far bin Thawus, dikenal dengan
sebutan Sayyid Ibnu Thawus, Tokoh ulama Syiah asal Irak yang lahir tahun 589. Lengkapnya
silakan lihat Wikipedia.

Baca juga: Tanggapan Kultwit Tentang Pemimpin Kafir

Pintarnya mereka (baca: liciknya) adalah ketika menyebut sumber ungkapan tersebut hanya
menulis Ali ra saja, tidak menyebut nasabnya dengan lengkap, agar para pembaca mengira
bahwa itu adalah ungkapan Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, tentu tujuannya agar mudah
diterima masyarakat.

Kapan kata-kata itu diucapkan?

Anda ingat sejarah kelam yang menimpa dunia Islam saat keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah
di Baghdad?

Yap, itu terjadi pada tahun 656 H = 1258 M. Saat itu pasukan Tatar yang dipimpin panglima kafir
dan bengis yang bernama Hulagu Khan, menyerbu Baghdad dan menaklukkannya.

Baghdad luluh lantak dan porak poranda, perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan kitab-
kitab berharga mereka musnahkan, penduduknya mereka bantai, sehingga ada yang
memperkirakan satu juta warga Baghdad terbunuh. Kelam sekali.

DILAN SULMINI TIRTA


Nah, suatu kali, Hulagu Khan mengumpulkan para ulama Baghdad untuk meminta fatwa mereka
(hebat, orang kafir minta fatwa), mana yang lebih utama, pemimpin kafir yang adil atau
pemimpin muslim yang zalim? Para ulama saat itu diam tak berfatwa. Sangat boleh jadi karena
kondisinya sangat dilematis, karena di hadapan mereka ada pemimpin kafir yang kejam sedang
berkuasa dan dapat berbuat apa saja, sementara mereka yakin bahwa seorang kafir tidak boleh
diangkat sebagai pemimpin. Namun akhirnya Ali bin Thawus ini berani mengeluarkan fatwanya
dengan menyatakan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih utama dari pemimpin muslim yang
zalim.

Kisah ini tercatat dalam kitab-kitab karangan kaum Syiah sendiri, di antaranya; Al-Adab As-
Sulthaniyah, karangan Ibnu Thaqthaqi.

Ini teks arabnya dari kitab tersebut:

‫ السححلطاَنَ الكححاَفر العححاَدل أم‬:‫لماَ فتح السلطاَنَ هوُلكوُ بغداد في سنة ست وخمسين وستماَئة أمر أنَ يستفتىَ العلمححاَء أيهمححاَ أفضححل‬
َ‫ فلمحاَ وقفحوُا علحىَ الفتيحاَ أحجمحوُا عحن الجحوُاب وكحاَن‬، ‫السلطاَنَ المسلم الجاَئر ؟ ثم جمع العلماَء باَلمستنصححرية لحذلك‬
‫ فلمححاَ رأى إحجححاَمهم تنححاَول الفتيححاَ ووضححع‬، ‫رضيِي الدين علي بن طاَووس حاَضراة هذا المجلس وكاَنَ مقدماَ ة محترمححاَة‬
‫الداب السححلطاَنية لبححن‬- .‫ فوُضححع النحاَس خطحوُطهم بعححده‬، ‫خطححه فيهححاَ بتفضححيل العححاَدل الكححاَفر علحىَ المسححلم الجحاَئر‬
2-/‫الطقطقي‬

Jadi ucapan tersebut tidak bersumber dari Al-Quran, hadits, perkataan shahabat dan para ulama
salaf dari kalangan Ahlussunah wal jamaah. Tapi dari mulut seorang syiah yang memang
berkepentingan dengan ucapan tersebut saat itu. Mengapa? Karena mereka sedikit atau banyak
termasuk yang berperan atas kejatuhan Khilafah Abbasiyah, tentu disamping faktor-faktor lain.
Karena kelompok syiah terus merongrong penguasa Bani Abbasiyah.

Tercatat dalam sejarah ada perdana menteri pada masa akhir Khilafah Bani Abbasiyah yang
bernama Ibnu Alqami yang secara diam-diam berkonspirasi dengan Hulagu Khan untuk
menyerang Baghdad dan meruntuhkan kekhalifahan Bani Abbasiyah, dengan harapan setelah itu
dia diserahkan kekuasaan atas Baghdad. Namun setelah pasukan Hulagu Khan menguasa
Baghdad, kekuasaan itu tak diberikan kepadanya dan bahkan dia sendiri dibunuh. Kematian
tragis seorang pengkhianat.

DILAN SULMINI TIRTA

Anda mungkin juga menyukai