Anda di halaman 1dari 19

Konsep Aras Ekonomi

Konsep Aras Ekonomi pertama kali dikenalkan oleh Stern dan kawan-kawan dari Universitas California pada tahun 1959. Konsep ini terdiri atas konsep Kerusakan

Ekonomi (EconomicDamage), Aras Luka Ekonomi (Economic Injury Level), Ambang Ekonomi (Economic Threshold) dan Aras Keseimbangan Umum .

Gambar 3.1 menunjukkan letak 3 Aras Ekonomi pada keadaan populasi hama yang normal yaitu semua Aras Ekonomi berada di atas Aras Keseimbangan Umum.

ambar 3.1. Gejolak Populasi Hama Dan Letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi Dan Aras Keseimbangan Umum Pada Keadaan Normal (Sumber : Untung, 2003)

Konsep Aras Ekonomi muncul dan berkembang karena pada waktu itu masyarakat (petani) cenderung untuk menggunakan insektisida secara berlebihan tanpa

menggunakan dasar yang rasional. Insektisida digunakan secara terjadwal menurut umur tanaman secara ekonomi dengan alasan preventif tetapi tidak efisien dan mengandung

risiko besar bagi kualitas lingkungan, oleh karena itu perlu ditetapkan landasan ekonomi dan ekologi yang dapat digunakan untuk memutuskan kapan dan di mana pestisida

harus digunakan (Untung, 2003 : 65).

Konsep Aras Ekonomi didasarkan pada pengamatan OPT dengan melihat jenis OPT, stadia OPT, tingkat kepadatannya, tingkat serangannya dan fase pertumbuhan

tanaman. Berdasarkan pengamatan ini dapat dilihat besarnya tingkat kerusakan yang akan terjadi sehingga dapat diputuskan tindakan pengendalian yang akan dilakukan.

Penggunaan pestisida kimia organik sintetik hanya dapat dibenarkan apabila populasi OPT sudah di atas Aras Ambang Ekonomi.
Kerusakan Ekonomi

Untuk memahami konsep Aras Ekonomi maka perlu diketahui tentang Luka (injury) dan Kerusakan (damage). Menurut Untung (2003 : 67) dan Sunoto (2003 : 3)

Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman sebagai akibat aktivitas atau serangan OPT, jadi terpusat pada OPT dan aktivitasnya. Kerusakan adalah

kehilangan yang dirasakan oleh tanaman akibat serangan OPT antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan kualitas produksi, jadi terpusat pada tanaman dan

tanggapannya terhadap pelukaan oleh OPT. Luka tanaman dapat mengakibatkan kerusakan. `

Stern et.al. (1959) cit. Untung (2003 : 67) menyatakan Kerusakan Ekonomi adalah tingkatan kerusakan tanaman akibat serangan hama yang membenarkan adanya

pengeluaran biaya untuk tindakan pengendalian secara buatan dengan pestisida. Tindakan pengendalian dapat dibenarkan apabila jumlah biaya pengendalian lebih rendah dari

pada besarnya nilai kehilangan potensial yang diderita tanaman karena adanya populasi hama.

Aras Luka Ekonomi

Aras Luka Ekonomi (ALE) adalah keadaan dimana kepadatan populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi. Menurut Mumford dan Norton (1982)

cit. Untung (2003 : 67) bahwa dasar konsep Aras Ekonomi adalah konsep Titik Impas (BreakEeven Concept) dalam pengendalian hama. Pada titik impas ini terjadi kerusakan

ekonomi yaitu pada ALE, sehingga apabila dilakukan pengendalian hama di atas titik impas masih akan menguntungkan. Sebaliknya apabila dilakukan di bawah titik impas

maka hanya akan merugikan petani karena besarnya nilai kehilangan hasil yang diselamatkan lebih rendah daripada biaya pengendalian yang dikeluarkan.

Ambang Ekonomi

Ambang Ekonomi (AE) merupakan istilah yang sudah dikenal dan digunakan untuk pengambilan keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep Pengelolaan

Hama Terpadu (PHT). Menurut Stern dkk. (1959) AE merupakan kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya peningkatan

populasi berikutnya yang dapat mencapai Aras Luka Ekonomi (ALE). Konsep AE lebih menekankan aspek pengambilan keputusan kapan dan di mana petani harus

menggunakan pestisida agar tindakan tersebut efektif menurunkan populasi hama dan mencegah kerugian lebih lanjut serta meningkatkan keuntungan usaha tani. ALE lebih
menekankan aspek perhitungan ekonomi, biaya, manfaat, untung rugi dari tindakan pengendalian hama dengan menggunakan pestisida. Jadi jelas bahwa AE merupakan Aras

Keputusan Tindakan Pengendalian (Untung, 2003 : 71; Wigenasantana, 2001: 7).

Ambang Ekonomi secara konsepsi letaknya harus di bawah garis Aras Luka Ekonomi (ALE), hal ini karena apabila populasi hama telah mencapai garis AE

kemungkinan populasi akan meningkat terus sehingga dapat melewati garis AE. Stern dkk. (1959) cit. Untung (2003 : 72) menyatakan agar populasi hama tidak mencapai

ALE harus diadakan tindakan pengendalian pada aras populasi di garis AE. Penentuan AE dan ALE adalah AE harus di bawah ALE, hal ini dimaksudkan agar petani masih

mempunyai waktu untuk menanggapi perubahan yang terjadi di lapangan. Misalnya apabila dari perhitungan diketahui ALE dari larva penggerek batang padi adalah 5

larva/rumpun maka dapat kita tentukan nilai AE adalah 4 larva/rumpun tanaman.

Penentuan Ambang Ekonomi

Penentuan Ambang Ekonomi suatu OPT didasarkan pada : jenis OPT, yaitu apabila OPT tersebut merupakan OPT utama maka nilai AE cukup tinggi, misalnya hama

Wereng (Nephotettix virescens) nilai Ambang Ekonominya adalah 5 nimfa pertunas pada saat tidak ada serangan penyakit Tungro, jika ada serangan Tungro maka 1 nimfa

pertunas; jenis tanaman yaitu menyangkut Nilai Ekonomi tanaman, apakah dipanen daunnya, bunganya, buahnya, akarnya atau keseluruhan tanaman.

Ambang Ekonomi untuk setiap OPT berbeda karena setiap OPT secara biologi dan ekologi tidak sama. Ada Opt yang menyerang tanaman pada fase pembibitan, fase

pertumbuhan vegetatif dan fase generatif pada saat pengisian bulir dan polong. Ada pula OPT yang menyerang sepanjang umur hidup tanaman.

Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat mempengaruhi nilai Ambang Ekonomi dari OPT, artinya tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi akan

memiliki nilai ambang ekonomi yang tinggi pula.

Monitoring Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Monitoring OPT adalah suatu kegiatan mengamati dan mengawasi perkembangan setiap OPT dan komponen-komponen penyusun agroekosistem. Pengamatan

dilakukan untuk menentukan nilai Ambang Ekonomi dari OPT, sehingga sedikit saja terjadi kenaikan populasi suatu OPT akan cepat diantisipasi dengan melakukan

pengendalian yang dianggap cocok untuk kondisi demikian.


Monitoring perlu dilakukan terutama pada daerah-daerah yang berpotensi meledaknya suatu populasi hama, terutama untuk hama-hama utama dan hama potensial yang

mudah meledak poplasinya apabila kondisi mendukung. Monitoring dapat dilakukan secara terjadwal yang dilakukan sejak tanam sampai menjelang panen. Monitoring

ditujukan untuk mengawasi dinamika populasi hama sehingga apabila terjadi kenaikan populasi hama mendekati Aras Ambang Ekonomi petani sudah bisa menentukan

keputusan pengendalian yang akan dilakukan.

mbang Ekonomi

Pendahuluan

Dalam setiap keputusan akan suatu tindakan pengendalian yang diambil, terdapat 2 aspek yang harus dipertimbangkan yaitu aspek ekologi dan ekonomi, terutama bila
tindakan pengendalian yang akan diambil adalah penggunaan pestisida (fungisida). Aspek ekologi lebih cenderung kepada pengaruh suatu teknik pengendalian terhadap
lingkungan, sedangkan aspek ekonomi lebih kepada perhitungan apakah suatu tindakan pengendalian yang akan dilakukan memberikan keuntungan atau sebaliknya. Dalam
pokok bahasan ini akan dibicara konsep ekonomi dalam pengambilan keputusan tindakan pengendalian penyakit tanaman.

Setelah membaca pokok bahasan ini, pembaca diharapkan mampu;

1. Memahami konsep ekonomi dalam pengelolaan penyakit


2. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ALE

3. Memahami perbedaan konsep aras luka ekonomi dan ambang ekonomi

KONSEP ARAS LUKA EKONOMI

Konsep aras luka ekonomi untuk pertama kalinya dikemukan oleh ahli entomologi. Dalam konsep aras luka ekonomi terdapat 3 komponen/element utama yaitu kerusakan
ekonomi, aras luka ekonomi, dan ambang ekonomi.

1. a. Kerusakan ekonomi
Kerusakan ekonomi merupakan komponen dasar dari konsep aras luka ekonomi. menurut Stern et all. Kerusakan ekonomi adalah jumlah atau tingkat kerusakan yang dapat
kita gunakan ssebagai dasar untuk mengeluarkan biaya melakukan tindakan pengendalian. Kerusakan ekonomi ini dimulai pada saat besarnya kerugian akibat kerusakan
sama dengan biaya pengendalian yang dikeluarkan.

Dalam memahami kerusakan ekonomi ini, kita harus bisa membedakan pengertian antara luka (injury) dan kerusakan (damage). Luka lebih diartikan pada efek keberadaan
penyakit pada tanaman inangnya (misal menyebabkan bercak, layu, dll), sedangkan kerusakan lebih pada pengukuran (lebih pada dampak ekonomi) efek keberadaan penyakit
pada tanaman inangnya (misal menurunkan hasil dan kualitas).

Penentuan kerusakan ekonomi ini sangat penting, karena petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan, sehingga kerugian akibat penyakit dapat
diminimalkan. Konsep kerusakan ekonomi ini akan berdampak pada besarnya hasil yang akan diperoleh petani dari usaha pengendalian yang dilakukannya. Besarnya nilai
yang dapat diselamatkan dari tindakan pengendalian atau yang biasa disebut ambang perolehan dapat dihitung dengan rumus

Perhitungan seperti diatas diharapkan petani dapat menentukan kapan tindakan pengendalian harus dilakukan agar biaya pengendalian yang dikeluarkan tidak melebihi niali
kehilangan hasil akibat penyakit yang dapat diselamatkan.

1. b. Aras Luka Ekonomi (Ambang Kerusakan)

Tujuan akhir dari tindakan pengendalian penyakit adalah untuk menekan penyakit pada level yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi baik pada jumlah maupun
kulitas hasil, dengan demikian ambang kerusakan (tingkat kerusakan ekonomi) haruslah diketahui untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat adanya penyakit.

Tingkat/level xt tertinggi yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi disebut juga dengan aras luka ekonomi atau dalam entomologi “jumlah kepadatan populasi terendah
yang dapat menyebabkan kerusakan secara ekonomi”. Secara matematika pengukuran ALE dapat modelkan sebagai berikut

Yang mana;

C = Biaya pengendalian

P = harga komoditi

e = intensitas penyakit (ALE)

d = koefisien proporsi kehilangan hasil

k = keefektifan tindakan pengendalian.

Bila besarnya nilai d dan k tidak dapat diukur/ditentukan secara langsung, maka digunakan analisis regresi dengan persamaan

Sehingga nilai ALE dihitung dengan rumus


dimana nilai b didapat dari persamaan regresi diatas.

Nilai ambang kerusakan ini bervariasi bergantung pada tanaman, penyakit, dan ekonomi lokal, sehingga dari musim ke musim atau dari daerah ke daerah bisa saja berbeda-
beda nilai ambang kerusakan ini, meskipun penyakitnya sama.

1. c. Ambang ekonomi (ambang tindakan)

Selain berdasarkan pada nilai ALE pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pengendalian adalah menggunakan ambang ekonomi (AE). Ambang ekonomi adalah
suatu tingkat/level kerusakan penyakit (keparahan penyakit) yang mengharuskan dilakukan pengendalian sehingga penyakit tidak berkembang mencapai ALE. Dengan kata
lain AE adalah ambang tindakan (action threshold). Nilai AE lebih rendah dari ALE, sehingga petani mempunyai kesempatan melakukan tindakan pengendalian untuk
mencegah berkembangnya penyakit mencapai/melebihi ALE. Dengan demikian diharapkan tindakan pengendalian yang dilakukan selain menekan penyakit (keparahan
penyakit) mencapai level yang dapat menimbulkan kerusakan ekonomi, juga diharapkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian lebih rendah (setidaknya sama
dengan) nilai kehilangan hasil yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian tersebut.

Model perkembangan penyakit, baik monosiklik dan polisiklik r (R) adalah laju perkembangan penyakit, dimana nilainya bervariasi bergantung pada virulensi patogen,
ketahanan tanaman inang, dan lingkungan yang mendukung. Jika xo, r dan ambang kerusakan telah diketahui, maka dapat diprediksikan kapan penyakit akan
mencapai/melebihi nilai ambang kerusakan, sehingga petani harus tahu kapan harus melukan tindakan pengendalian (pada waktu yang tepat).

Nilai AE ini bukanlah nilai yang konstan (statik) tetapi bervariasi bergantung pada ALE (ketahan tanaman), fase pertumbuhan tanaman pada saat patogen menginfeksi tanaman,
keadaan iklim, geografi daerah, dan system budidaya.

RINGKASAN

Uraian tentang konsep aras luka ekonomi dalam pengambilan keputusan tindakan pengendalian menenkankan pada efisiensi tindakan pengendalian dalam suatu usaha
pertanian. Dengan pemahaman yang baik dan pengukuran yang benar di harapkan petani dapat menentukan kapan waktu yang tepat (dan tidak tepat) untuk melakukan
pengendalian terutama pengendalian menggunakan fungisida. Sehingga tindakan pengendalian yang dilakukan memberikan keuntungan (dalam arti besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk pengendalian lebih kecil atau sama dengan besarnya nilai kehilangan hasil yang dapat diselamat dari tindakan pengendalian yang dilakukan tersebut),

LATIHAN
1. Manakah yang lebih luas aras luka ekonomi atau ambang ekonomi? Jelaskan!
2. Sebutkan faktor-faoktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE?
3. Mengapa AE disebut juga dengan ambang tindakan?

DAFTAR PUSTAKA
Zadok, J, C, R.D Schein. 1979. Epidemilogy and Plant Disease Management. Oxford University Press, 417p
James, WC. 1974. Crop loss assessment and modeling (chapter 14) BAB IX

Ambang Ekonomi Ulat Grayak, Mythimna separata (Lep.; Noctuidae) pada Tanaman Padi

Kartohardjono, A. dan Arifin, M. 2004. Ambang ekonomi ulat grayak, Mythimna separata (Lep.; Noctuidae) pada tanaman padi. Ekologia. 4(2): 41-46.

Arifin Kartohardjono1 dan Muhammad Arifin 2


1
Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA)
2
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BALITBIO)

ABSTRACT

Pest becomes one of productivity handicap in the field of irrigated rice plantation. One type of the potential pest with its sudden attack and often cause a yield failure
is the larvae of Mythimna separata (Lepidoptera: Noctuidae) which are called armyworm (ulat grayak). The aims of this research are 1) to determine the stage rice plant
destruction due to the larvae attack, 2) to determine the rice yield loss due to the attack, 3) to obtain an integrated pest control packet for rice plant, like: a) economic
threshold for the pest larvae, b) the loss of economical yield to becomes in basis making a decision to control the pest larvae. This research was conducted at the greenhouse
of Balitpa, at Bogor on April 2001 and at the yield station (1500 m 2) at the area of Indramayu, West Java, starting at the dry season on June 2001. Paddy variety involved is
IR64 with a planting period of 30.45 and 60 days after transplanting. Larvae density treatment is 0; 1; 2; 3 and 4 larvae of 3rd instar per hill. Replication taken is 3 times at
the field and 4 times at the greenhouse. Experiment done are using random group program which is factorial designed with 2 factors (larvae density and plant age).
Observation is conducted against plant destruction and yield component. Observation results show that: 1) one larvae causes plant damage at the age of 30, 45, and 60
days after planting at a rate between 7.21% - 22,69% and able to decrease the yield from 16.9% to 36.7%, 2) the threshold of the yield decrease for plants with an age of
45 dap (days after planting) is around 2 to 3 larvae per hill, while for the plants age of the 30 dap, 4 larvae per hill will decrease the yield up to 69%, 3) the economical
threshold with an assumed control cost of Rp 185,000,- per ha with paddy yield price of Rp 14,000,- per kg is taken for case of larvae at 3rd instar, while for the plant age of
30 dap has a value of 10.8 larvae per hill.

Key words: rice, armyworm, economic threshold


ABSTRAK

Di antara hambatan produktifitas padi lahan sawah irigasi adalah serangan hama. Hama potensial yang serangannya mendadak, dalam jumlah besar dan sering
menyebabkan puso yaitu ulat grayak, Mythimna separata (Lepidoptera: Noctuidae). Ada beberapa elemen pengendaalian di antaranya ambang ekonomi. Penelitian ini
bertujuan untuk: 1) menentukan tingkat kerusakan tanaman padi yang terserang ulat grayak pada berbagai instar dan tingkat kepadatan, 2) menentukan tingkat kehilangan
hasil padi akibat serangan ulat grayak, dan 3) mendapatkan komponen paket pengendalian ulat grayak terpadu pada tanaman padi seperti: a) ambang ekonomi ulat grayak,
b) tingkat kehilangan hasil ekonomis untuk pengambilan keputusan tindakan pengendalian ulat grayak. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balitpa, Bogor pada April 2001
dan di lapang di daerah Indramayu, Jabar pada areal sekitar 1.500 m 2 pada MK mulai Juni 2001. Varietas padi yang digunakan adalah IR64 dengan umur tanaman 30, 45,
dan 60 hari setelah tanam (hst). Perlakuan kepadatan larva berturut-turut 0; 1; 2; 3 dan 4 ekor larva instar III per rumpun. Ulangan dilakukan 3 kali di lapang dan 4 kali di
rumah kaca. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor (kepadatan larva dan umur tanaman). Pengamatan dilakukan
terhadap kerusakan tanaman dan komponen hasil panen. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa: 1) seekor larva akan menyebabkan kerusakan pada tanaman padi umur
30, 45 dan 60 hst sebesar 7,21 – 22,69% dan dapat menurunkan hasil panen antara 16,9 – 36,7%, 2) ambang penurunan hasil pada tanaman berumur 45 dan 60 hst sekitar
2 sampai 3 ekor larva per rumpun, sedangkan pada tanaman umur 30 hst, 4 ekor per rumpun menurunkan hasil sampai 69%; 3) ambang ekonomi dengan perkiraan biaya
pengendalian Rp 185.000 per ha dengan harga gabah panen Rp 1.400,- per kg bagi larva instar 3 pada tanaman 30 hst bernilai 10,8 ekor per rumpun.

Kata kunci: padi, ulat grayak, ambang ekonomi

PENDAHULUAN

Salah satu hambatan produktivitas pada lahan sawah irigasi adalah serangan hama dan penyakit utama yang terlambat diantisipasi. Serangan hama utama seperti
penggerek batang, wereng, dan tikus sering menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Di samping itu, hama potensial seperti ulat grayak, Mythimna separata (Lepidoptera,
Noctuidae) yang serangannya mendadak dan dalam jumlah besar, juga sering menyebabkan puso. Luas serangan ulat gayak pada tahun 1990 mencapai areal 20.890 ha
(Direktorat Bina Perlintan, 1994). Beberapa elemen untuk mengendalikan hama yaitu pengendalian secara alami, metode sampling, ambang ekonomi serta sifat bio-ekologi
serangga (Watson et al., 1975). Konsep ambang ekonomi muncul dan berkembang karena adanya kecenderungan penggunaan insektisida oleh petani yang semakin
berlebihan tanpa menggunakan dasar yang rasional (Untung, 1996).

Berdasarkan Stern et al. (dalam Untung, 1996) yang dinamakan kerusakan ekonomik adalah tingkatan kerusakan tanaman akibat serangan hama yang membenarkan
adanya pengeluaran biaya untuk tindakan pengendalian secara buatan seperti pengendalian dengan pestisida. Kepadatan populasi terendah yang dapat mengakibatkan
kerusakan ekonomik dinamakan Tingkat Kerusakan Ekonomi (TKE) atau besarnya kehilangan hasil sama dengan ambang perolehan. Mumford dan Norton (dalam Untung,
1996) mengemukakan bahwa konsep TKE yang dikembangkan oleh Stern et al. Pada dasarnya merupakan konsep titik impas atau break even concept. Kerusakan ekonomik
mulai terjadi sejak kepadatan populasi hama mencapai titik impas tersebut (Untung, 1996). Faktor yang mempengaruhi TKE yaitu 1) harga atau nilai produksi tanaman; 2)
biaya pengendalian dan pengelolaan hama; 3) tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh setiap individu hama; 4) kepekaan tanaman terhadap kerusakan oleh serangan hama
(Untung, 1996). Tingkat kerusakan ekonomi ini tidak mudah ditentukan sebab akan bervariasi dari daerah ke daerah, dari musim ke musim dan perubahan nilai ekonomi
manusia terhadap hasil (Stern et al. dalam Oka, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menentukan tingkat kerusakan tanaman padi yang terserang ulat grayak pada berbagai instar dan tingkat kepadatan; 2) menentukan
tingkat kehilangan hasil padi akibat serangan ulat grayak serta 3) mendapatkan komponen paket pengendalian ulat grayak terpadu pada tanaman padi seperti: a) ambang
ekonomi ulat grayak dan b) tingkat kehilangan hasil ekonomis untuk pengambilan keputusan tindakan pengendalian ulat grayak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di rumah kaca Balitpa Bogor dan di lapang Indramayu, Jawa Barat pada MK 2001. Varietas padi yang digunakan adalah IR64 dan ulat grayak
yang digunakan berasal dari lapang kemudian dibiakkan di laboratorium.

Percobaan Rumah Kaca

Padi varietas IR 64 ditanam dalam pot plastik (diameter 25 cm, tinggi 15 cm). Pada stadia vegetatif (30 hari setelah tanam (hst); primordia (45 hst), dan generatif (60
hst), tanaman disungkup plastik milar (diameter 15 cm, tinggi 40 cm) kemudian diinokulasi dengan larva instar III, masing-masing dengan kepadatan 0, 1, 2, 3 dan 4
ekor/rumpun. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap kerusakan tanaman
saat larva menjadi pupa dan hasil panen.

Percobaan Lapang

Padi varietas IR 64 ditanam di lahan petani seluas 1.500 m 2. Pada 30 dan 45 hst, 12 rumpun tanaman disungkup dengan kurungan kain berukuran 1 x 1 x 1 m 3. Larva
instar ke-3 diinokulasikan ke dalam kurungan dengan kepadatan 0, 1, 2, 3, dan 4 ekor/rumpun tanaman. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun
secara factorial dengan ulangan tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap kerusakan tanaman saat larva menjadi pupa dan hasil panen. Tingkat kerusakan tanaman dihitung
dengan rumus SES dari IRRI (1996):

∑ (ni X vi)

I=1

P = ---------------- x 100%

ZN
Keterangan:

P = tingkat kerusakan tanaman

ni = jumlah daun pada skala ke i

vi = nilai skala ke i

Z = nilai skala tertinggi

N = jumlah seluruh daun yang diamati

Nilai skala:

0 = tidak ada serangan

1 = kerusakan 1 – 10%

3 = kerusakan 11 – 30%

5 = kerusakan 31 – 50%

7 = kerusakan 51 – 75%

9 = kerusakan > 75%

Data persentase kerusakan tanaman dan hasil panen dianalisis dengan sidik ragam kemudian perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan DMRT. Persamaan regresi
hubungan antara kepadatan populasi hama dan persentase kehilangan hasil ditentukan. Tingkat kehilangan hasil dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Lo - Li

Pi = ---------------

Li x 100%

Pi = % kehilangan hasil pada perlakuan ke i

Lo = hasil panen pada kontrol

Li = hasil panen pada perlakuan ke i

Penghitungan ambang ekonomi didasarkan atas beberapa pokok perhitungan yang telah diuraikan oleh Untung (1996) dan Arifin (1994).
1. Ambang pendapatan (kg/ha):

Biaya pengendalian (Rp/kg)

= ---------------------------------------------------------------------

Harga produk (Rp/kg) X reduksi oleh serangan ulat (%)

2. % Kehilangan hasil:

ambang pendapatan (kg/ha)

= ------------------------------------- X 100%

Potensi hasil (kg/ha)

3. Penentuan kepadatan larva instar VI yang menyebabkan kehilangan hasil (%) pada penghitungan ke 2, dari persamaan garis regresi antara % kehilangan hasil dan
kepadatan larva.

4. Penentuan ambang ekonomi dilakukan terhadap larva instar ke-3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Kerusakan Tanaman

Hasil pengamatan kerusakan tanaman di rumah kaca pada tanaman yang diinfestasi umur 30, 45 dan 60 hst menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata di antara
perlakuan umur tanaman, tetapi menunjukkan ada perbedaan nyata di antara perlakuan populasi larva (Tabel 1). Pada ketiga umur tanaman, semakin banyak kepadatan
larva, persentase kerusakan tanaman semakin tinggi.
Hasil pengamatan tingkat kerusakan tanaman di lapang disajikan dalam Tabel 2. Tingkat kerusakan tanaman dipengaruhi oleh kepadatan larva. Pada 60 hst,
tanaman diserang tikus sehingga tidak diperoleh data. Hasil pengamatan terdahulu menunjukkan bahwa pada keadaan lapang, pada serangan sedang ditemui larva 3 - 4
ekor; serangan tinggi 9 – 11 ekor, dan serangan rendah kurang dari seekor per rumpun (Kartohardjono dan Arifin, 2000).
B. Kehilangan Hasil Panen Akibat Kerusakan Tanaman

Hasil panen dari pengamatan di rumah kaca disajikan dalam Tabel 3. Hasil panen tersebut tak dipengaruhi oleh perlakuan umur tanaman, tetapi dipengaruhi oleh
kepadatan larva. Semakin banyak kepadatan larva, hasil panen yang diperoleh semakin sedikit.

Tabel 3. Hasil gabah kering panen (gram/rumpun) di rumah kaca pada berbagai umur tanaman dan kepadatan larva ulat grayak instar ke-3, MT 2001
Kehilangan hasil panen akibat adanya larva pada ketiga umur tanaman menunjukkan nilai yang cukup besar, berkisar antara 2,87 sampai 17,0% (Tabel 4). Semakin
besar kepadatan larva pada setiap rumpun, kehilangan hasil panen akan semakin besar. Seekor larva instar ke-3 akan menyebabkan kehilangan hasil antara 2,8 sampai
25,8% (Tabel 4). Penurunan hasil tersebut dipengaruhi oleh kepadatan larva berdasarkan kurva regresi kuadratik (Gambar 2). Pada perlakuan 2 sampai 3 ekor larva/rumpun
kehilangan hasil panen

cenderung konstan dengan nilai 33,5 – 64,5%, sedangkan 4 ekor larva/rumpun dapat menurunkan hasil panen 71 – 77% (Tabel 4).

Hasil panen di lapang disajikan dalam Tabel 5. Hasil panen tak dipengaruhi oleh umur tanaman, tetapi dipengaruhi oleh kepadatan larva. Pada 30 hst ada perbedaan
yang nyata antar perlakuan, sedangkan pada 45 hst tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Kehilangan hasil panen yang disebabkan oleh serangan larva pada umur tanaman berbeda disajikan dalam Tabel 6. Pada 30 hst, kisarannya cukup besar, antara 36 –
69%, sedangkan pada 45 hst antara 16 – 22%. Hal tersebut juga tampak pada kurva regresi kuadratik (Gambar 3) yang menunjukkan bahwa pada 30 hst garisnya masih
meningkat, sedangkan pada 45 hst dengan tiga ekor larva/rumpun telah menyebabkan penurunan hasil yang konstan.
C. Penghitungan Ambang Ekonomi

Model kehilangan hasil untuk penghitungan ambang ekonomi yang digunakan yaitu: log y = log a + b log x; (y = % kehilangan hasil dan x = kepadatan larva).
Penghitungan ambang ekonomi ulat grayak berdasarkan data (a) model kehilangan hasil; (b) potensi hasil varietas IR64 (5 ton/ha) (Puslitbbangtan, 1991), (c) harga gabah
kering panen pada keadaan lapang Rp 1.400,-/kg; (d) biaya pengendalian per ha (Tabel 7), (e) persentase reduksi tanaman oleh serangan ulat grayak instar ke-3 (0.8).
Penghitungan ambang ekonomi mandapatkan hasil sebagai berikut: 1) ambang pendapatan 141,07 kg/ha, 2) persentase kehilangan hasil 2,82%, 3) persamaan regresi
antara % kehilangan hasil dan kepadatan larva yaitu pada 30 hst, log y = log 1,54 + 0,412 log x dan pada 45 hst, log y = log 1,22 + 0,230 log x, 4) berdasarkan
penghitungan di atas maka dapat ditentukan ambang ekonomi ulat grayak untuk instar ke-3. Dari penghitungan yang dilakukan ternyata hanya diperoleh nilai ambang
ekonomi dari tanaman berumur 30 hst. larva instar ke-3, yaitu 10,8 ekor/rumpun.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Serangan ulat grayak akan menyebabkan kerusakan pada tanaman padi, semakin besar kepadatan larva, maka kerusakan yang ditimbulkan semakin tinggi.

2. Seekor larva akan menyebabkan kerusakan pada tanaman padi umur 30 dan 45 hst sebesar 7,21 – 22,69% dan dapat menurunkan hasil panen antara 16,93 – 36,73%.

3. Ambang kehilangan hasil pada tanaman berumur 45 hst sekitar 2 sampai 3 ekor larva per rumpun, sedangkan pada tanaman umur 30 hst, 4 ekor per rumpun, dapat
menurunkan hasil panen sampai 69%.
4. Ambang ekonomi dengan perkiraan biaya pengendalian Rp 185.000,-/ha dan harga gabah panen Rp 1.400,-/kg bagi larva instar ke-3 pada tanaman umur 30 hst bernilai
10,83 ekor/rumpun.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 1994. Economic injury level and sequential sampling technique for the common cutworm Spodoptera litura F. on soybean. Cortr. Centr. Res. Inst. Food Crops Bogor. 82:
13 -37.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1994. Evaluasi Serangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Selama 5 Tahun (1989-1993). Dir. Jen. Tan. Pangan dan Hortikultura,
Jakarta. 29 h.

Kartohardjono, A. dan M. Arifin. 2000 Jenis-jenis ulat grayak dan musuh alaminya pada ekosistem sawah. Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi
Petanian. Cipayung, Bogor, 16 – 18 Oktober 2000. 15 h.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada Univ. Press. 255 h.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2000. Strategi Peningkatan Produksi Padi untuk Keamanan Pangan Nasional. Lokakara Padi. Sukamandi, 22 Maret 2000. 24
h.

Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press. 273 h.

Walson T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1975. Practical insect pest management. W.H. Freeman and Comp, San Francisco. 196 p.

Anda mungkin juga menyukai