Anda di halaman 1dari 47

KEPERAWATAN KRITIS II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR


INTRAHOSPITAL DAN METODE RESUSITASI CAIRAN

Disusun oleh:
Kelompok 1 Kelas A2
Angkatan 2014

Dwida Rizky Pradiptasiwi 131411131015


Moh Thoriq Hidayatullah 131411133011
Sacharisa Agape Sudiani 131411133004
Putri Mei Sundari 131411131067
Amalia Fardiana 131411131017
Widya Fathul Jannah 131411131073
Roudhotul Jannah 131411131035
Gilang Dwi Kuncahyono 131411131030
Lidia Inneke Wendey 131411133012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberi rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Luka Bakar Intrahospital Dan Metode
Resusitasi Cairan”.
Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Keperawatan Kritis II
Semester 8 tahun ajaran 2017/2018. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Nadia Rohmatul Laili, S.Kep, Ns., M.Kep selaku fasilitator kelompok 1
kelas A2 Keperawatan Kritis II.
2. Teman-teman kelompok 1 yang telah membantu penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Akan tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Surabaya, 7 Maret 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................2

DAFTAR ISI ............................................................................................................3

BAB 1 ......................................................................................................................5

PENDAHULUAN ...................................................................................................5

1.1 Latar Belakang ..........................................................................................5

2.1 Rumusan Masalah .....................................................................................6

3.1 Tujuan ........................................................................................................6

3.1.1. Tujuan Umum ................................................................................... 6

3.1.2. Tujuan Khusus .................................................................................. 6

BAB 2 ......................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................7

2.1 Definisi ......................................................................................................7

2.2 Etiologi ......................................................................................................7

2.3 Patofisiologi...............................................................................................8

2.4 Karakteristik luka bakar ............................................................................9

2.4.1 Fase luka bakar .................................................................................. 9

2.4.2 Zona luka bakar ............................................................................... 10

2.4.3 Kedalaman luka bakar ..................................................................... 11

2.4.4 Luas luka bakar ............................................................................... 12

2.4.5 Berat dan ringannya luka bakar....................................................... 16

2.5 Penatalaksanaan Luka Bakar ...................................................................16

2.5.1 Pertolongan Awal Pada Luka Bakar ............................................... 16

2.5.2 Waktu Hospitalisasi Pasien Dengan Luka Bakar ............................ 19

2.5.3 Intra Hospital ................................................................................... 19

3
2.5.4 Komplikasi pada pasien luka bakar intrahospital ....................................33

2.5.5 WOC ........................................................................................................35

2.5.6 Asuhan keperawatan ................................................................................36

PENUTUP ..............................................................................................................46

3.1 Kesimpulan ..............................................................................................46

3.2 Saran ........................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................47

4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi, jenis
yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi
dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan juga
cukup mahal untuk penanganannnya. Prevalensi cedera luka bakar di
Indonesia sebesar 2,2% , dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sama-sama
3,8% sedangkan di Provinsi Lampung tercatat sebesar 1,7% dari
keseluruhan kasus cedera. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan luka
bakar pun cukup tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung
atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung
dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2004; DEPKES RI, 2007).
Penyebab luka bakar selain karena api ( secara langsung ataupun
tidak langsung ), juga karena pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung
dari api ( misalnya tersiram panas ) banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga (Sjamsuhidajat, 2005 ). Dengan memperhatikan prinsip-prinsip
dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat yang tepat
diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka- angka
tersebut diatas. Prinsip- prinsip dasar tersebut meliputi kewaspadaan akan
terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita yang mengalami trauma
inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal dengan
resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulit- penyulit
yangmungkin terjadi akibat trauma listrik, misalnya rabdomiolisis dan
disritmia jantung. Mengendalikan suhu tubuh dan menjuhkan /
mengeluarkan penderita dari lingkungan trauma panas juga merupakan
prinsip utama dari penanganan trauma termal ( American College
of Surgeon Committee on Trauma, 1997). Kulit adalah organ kompleks

5
yang memberikan pertahanan tubuh pertama terhadap kemungkinan
lingkungan yang merugikan. Kulit melindungi tubuh terhadap infeksi,
mencegah kehilangan cairan tubuh, membantu mengontrol suhu tubuh,
berfungsi sebagai organ eksretoridan sensori, membantu dalam proses
aktivasi vitamin D, dan mempengaruhi citra tubuh. Luka bakar adalah hal
yang umum, namun merupakan bentuk cedera kulit yang sebagian besar
dapat dicegah.
2.1 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari luka bakar?
2. Bagaimana etiologi dari luka bakar?
3. Bagaimana patofisiologi dari luka bakar?
4. Bagaimana karakteristik luka bakar (fase, zona, kedalaman, luas, serta
penilaian berat dan ringannya luka bakar)
5. Bagaimana resusitasi luka bakar pada pasien dengan intrahospital?
3.1 Tujuan
3.1.1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dan pelaksanaan luka
bakar serta resusitasi pada pasien intrahospital
3.1.2. Tujuan Khusus
1. Memahami definisi dari luka bakar
2. Memahami etiologi dari luka bakar
3. Memahami patofisiologi dari luka bakar
4. Memahami karakteristik luka bakar (fase, zona, kedalaman,
luas, serta penilaian berat dan ringannya luka bakar
5. Memahami resusitasi luka bakar pada pasien dengan
intrahospital

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit
dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun
jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber
panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/
gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003).
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid
(misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat
menimbulkan luka bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia
terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan
sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses
penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan
kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan
dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003).

2.2 Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah:
a. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas
(scald), jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat
terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya (logam panas, dan
lain-lain) (Moenadjat, 2005).
b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar bahan kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau
alkali yang biasa digunakan dalam bidang industry militer ataupun bahan
pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga
(Moenadjat, 2005).

7
c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang disebabkan karena arus, api
dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh
darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan
sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi
kontak,baik kontak dengan sumber arus maupun grown (Moenadjat,
2005).
d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber
radioaktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif
untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industry. Akibat
terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka
bakar radiasi (Moenadjat, 2005).
2.3 Patofisiologi
Jaringan lunak akan mengalami cedera bila terkena suhu diatas 1150F
(460C). Luasnya kerusakan bergantung pada suhu permukaan dan lama
kontak. Sebagai contoh pada kasus luka bakar tersiram air panas pada orang
dewasa, kontak selama 1 detik dengan air yang panas dari shower dengan
suhu 68,90C dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis dan
dermis sehingga terjadi cedera derajat tiga (full-thickness injury). Sebagai
manifestasi dari cedera luka bakar panas, kulit akan melakukan pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan pembentukan oksigen reaktif dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan penurunan tekanan
onkotik. Hal ini menyebabkan kehilangan cairan serta viskositas plasma
meningkat dengan menghasilkan suatu formasi mikrotrombus. Cedera luka
bakar dapat menyebabkan keadaan hipermetabolik yang dimanifestasikan
dengan adanya demam, peningkatan laju metabolisme, peningkatan ventilasi,
peningkatan curah jantung, peningkatan glukoneogenesis, serta meningkatkan
katabolisme otot viseral dan rangka. Adanya luka pada sistem pernafasan
misalnya pada wajah yang merusak mukosa sehingga terjadi udema pada
laring dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan menyebabkan

8
ketidakefektifan pola nafas. Terjebak kebakaran dalam ruangan tertutup juga
dapat menyebabkan cedera inhalasi sehingga terjadi cedera alveolar yang
ditandai dengan adanya sputum berkarbon yang memunculkan diagnosa
ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang diakibatkan karena keracunan gas
(PCO2 yang meningkat sedangkan PO2 turun). Keracunan gas tersebut dan
sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan
adanya penurunan cairan intravaskuler sehingga terjadi hipovolemia dan
hipoksia jaringan dan memunculkan diagnosa ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer (Muttaqin & Kumala, 2012, Nurarif dan Hardhi, 2015).
Bila luas bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam
(Wim De Jong, 2004). Untuk luka bakar yang lebih kecil, tanggapan tubuh
terhadap cedera terlokalisasi pada area yang terbakar. Namun, pada luka yang
lebih luas (misalnya, meliputi 25% atau lebih total area permukaan tubuh
[total body surface area-TBSA]), tanggapan tubuh terhadap cedera bersifat
sistemik dan sebanding dengan luasnya cedera. Tanggapan sistemik terhadap
cedera luka bakar biasanya bifasik, ditandai oleh penurunan fungsi
(hipofungsi) yang diikuti dengan peningkatan fungsi (hiperfungsi) setiap
sistem organ. (Black & Hawk, 2009)

2.4 Karakteristik luka bakar


2.4.1 Fase luka bakar
Menurut Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase :
1. Fase akut
Disebut fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme
bernafas), circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi
obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca

9
trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase
akut.Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah
kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka
yang terjadi menyebabkan:
a) Proses inflamasi dan infeksi
b) Problem penutupan luka
c) Keadaan hipermetabolisme
3. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat
luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul
pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan
pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
2.4.2 Zona luka bakar
Menurut Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar,
yaitu:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Daerah yang mengalami kontak langsung. Kerusakan jaringan berupa
koagulasi (denaturasi) protein akibat pengaruh trauma termis.Jaringan ini
bersifat non vital dan dapat dipastikan mengalami nekrosis beberapa saat
setelah kontak, karenanya disebut juga zona nekrosis.
2. Zona statis
Daerah di luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona
koagulasi.Kerusakan yang terjadi di daerah ini terjadi karena perubahan
endotel pembuluh darah, trombosit, dan respon inflamasi lokal;
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi (no flow phenomena).Proses
tersebut biasanya berlangsung dalam 12-24 jam pasca trauma; mungkin
berakhir dengan zona nekrosis.
3. Zona hiperemia

10
Daerah di luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi
tanpa banyak melibatkan reaksi sel. Tergantung keadaan umum dan terapi
yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau
berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (perubahan derajat luka
yang menunjukkan perburukan disebut degradasi luka).

2.4.3 Kedalaman luka bakar

Luka bakar derajat I


a. Kerusakan terbakar pada lapisan epidermis (superficial).
b. Kulit kering, hiperemik berupa eritema.
c. Tidak dijumpai bulae.
d. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
e. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari.
f. Contohnya adalah luka bakar akibat sengantan matahari.
Luka bakar derajat II
a. Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi
disertai proses eksudasi.
b. Dijumpai bullae.
c. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
d. Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas
kulit normal.
Luka bakar derajat II dibedakan menjadi:

11
a. Derajat II dangkal (superficial).
1. Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
2. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
3. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari, tanpa
operasi penambalan kulit (skin graft).
b. Derajat II dalam (deep).
1. Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
2. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh.
3. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
Bahkan perlu dengan operasi penambalan kulit (skin graft).
Luka bakar derajat III
a. Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam.
b. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
mengalami kerusakan.
c. Tidak dijumpai bulae.
d. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, karena kering letaknya
lebih rendah dibanding kulit sekitar.
e. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai
eskar.
f. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf
sensorik mengalami kerusakan/kematian.
g. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari
dasar luka.

2.4.4 Luas luka bakar

12
Banyak cara menghitung luas luka bakar, tetapi yang banyak dipakai adalah
cara Rule of Nine dari Wallace, adalah sebagai berikut (untuk dewasa):

TABEL 1
Luas Luka Bakar Berdasarkan Rule Of Nine
NO AREA %
1. Head and neck 9
2. Anterior trunk 18
3. Posterior trunk 18
4. Genitalia 1
5. Right arm 9
6. Left arm 9
7. Right thigh 9
8. Left thigh 9
9. Right leg 9
10. Left leg 9
Total 100

Perhitungan luas luka bakar untuk anak ≤ 15 tahun ditetapkan berdasarkan


modifikasi dari Rule of Nine sebagai berikut:

13
Tabel 2. Luas luka bakar berdasarkan Rule of Nine untuk usia kurang dari sama
dengan 15 tahun

NO DAERAH PERMUKAAN TUBUH 0-1 TH 5 TH 15 TH


1 Kepala, muka dan leher 18 % 14 % 10 %
2 Badan sebelah depan 18 % 18 % 18 %
3 Badan sebelah belakang 18 % 18 % 18 %
4 Alat gerak atas kanan 9% 9% 9%
5 Alat gerak atas kiri 9% 9% 9%
6 Alat gerak bawah kanan 14 % 16 % 18 %
7 Alat gerak bawah kiri 14 % 16 % 18 %
Jumlah total 100 % 100 % 100 %
Antara umur 1-5 tahun, tiap tahun tiap tungkai bertambah 0,4 % dan antara
umru 5-15 tahun, tiap tahun tiap tungkai bertambah 0,2 %. Satu telapak tangan
penderita mempunyai luas 1 % dari luas tubuhnya. Disamping dengan cara Rule of
Nine, ada cara yang kadang dipakai untuk menghitung luas permukaan tubuh yang
terkena luka bakar sesuai dengan golongan usia. Cara ini menggunakan Lund and
Browder Chart.
TABEL 3
Luas Luka Bakar Berdasarkan Lund And Browder Chart
AGE-YEARS
NO AREA
0-1 1-4 4-9 10-15 ADULT
1 Head 19 17 13 10 7
2 Neck 2 2 2 2 2
3 Anterior trunk 13 17 13 13 13
4 Posterior trunk 13 13 13 13 13
5 Right buttock 2½ 2½ 2½ 2½ 2½
6 Left buttock 2½ 2½ 2½ 2½ 2½
7 Genitalia 1 1 1 1 1
8 Right upper arm 4 4 4 4 4
9 Left upper urm 4 4 4 4 4

14
AGE-YEARS
NO AREA
0-1 1-4 4-9 10-15 ADULT
10 Right lower arm 3 3 3 3 3
11 Left lower arm 3 3 3 3 3
12 Right hand 2½ 2½ 2½ 2½ 2½
13 Left hand 2½ 2½ 2½ 2½ 2½
14 Right thigh 5½ 6½ 8½ 8½ 9½
15 Left thigh 5½ 6½ 8½ 8½ 9½
16 Right leg 5 5 5½ 6 7
17 Left leg 5 5 5½ 6 7
18 Right foot 3½ 3½ 3½ 3½ 3½
19 Left foot 3½ 3½ 3½ 3½ 3½
Gambar 10. Estimation of burn size using Lundand Browder Chart

15
2.4.5 Berat dan ringannya luka bakar
Berdasarkan berat / ringan luka bakar, diperoleh beberapa kategori
penderita (Yefta Moenadjat, 2003):

1) Luka bakar berat / kritis (major burn)


a. Derajat II-III > 20% pada klien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun.
b. Derajat II-III > 25% pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama.
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki dan perineum.
d. Adanya trauma pada jalan napas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar.
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi.
f. Disertai trauma lainnya (misal fraktur iga / lain-lain).
g. Klien-klien dengan risiko tinggi.
2) Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15-25% pada dewasa, dengan luka bakar derajat
III < 10%.
b. Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia < 10 tahun atau dewasa
> 40 tahun, dengan luka bakar derajat III < 10%.
c. Luka bakar dengan derajat III < 10% pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki dan perineum.
3) Luka bakar ringan (mild burn)
a. Luka bakar dengan luas < 15% pada dewasa.
b. Luka bakar dengan luas < 10% pada anak dan usia lanjut.
c. Luka bakar dengan luas < 2% pada segala usia; tidak mengenai muka,
tangan, kaki dan perineum.
2.5 Penatalaksanaan Luka Bakar
2.5.1 Pertolongan Awal Pada Luka Bakar
Pertolongan pertama saat kejadian menurut Sjamsuhidayat (2010) :
a. Luka bakar suhu atau thermal
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh,
misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar dengan

16
kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-
guling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan
bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya dengan mencelupkan
bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air dingin atau melepas
baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah
merendam daerah luka bakar dalam air mengalir selama sekurang-
kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya
mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan proses
koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang akan
terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap
meluas.
b. Luka bakar kimia
Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang
sering mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan
luka karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya
kecoklatan, padahal daya rusak masih terus menembus kulit, kadang
sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat
kimia secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir
dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis.
Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu
untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat
menambah kerusakan jaringan. Sebagai tindak lanjut, kalau perlu
dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan
elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat
10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor
menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan
terikat menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam,
mungkin diperlukan debridemen yang disusul skin grafting dan
rekonstruksi.

17
Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera
berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara terus
menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.
c. Luka bakar arus listrik
Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita
mengandung muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus.
Kemudian kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral
harus diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari
yang diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas. Kadang luka
bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih
dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna gelap
karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini
mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus
dirubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang
menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau
pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar
cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol. Pada
penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per dosis)
mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal berespon
terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi anggota gerak
gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram
(EKG) harus dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan jantung dan
pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis
dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama
pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes
elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada
tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati kavitas peritonealis
dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.
d. Luka bakar radiasi
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari
kontaminan sehingga harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong

18
penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju
pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari
dan dihentikan, dan benda yang terkontaminasi dibersihkan dengan air
sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di tempat aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan.
Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia,
trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak
digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.
2.5.2 Waktu Hospitalisasi Pasien Dengan Luka Bakar
Indikasi hospitalisasi pasien dengan luka bakar yaitu :
a. Luka bakar pada wajah, tangan, daerah kemaluan
b. Luka bakar akibat bahan kimia dan listrik
c. Menderita gangguan atau penyakit lain: penyakit jantung, ginjal,
diabetes.
d. Luka bakar derajat 2 dengan luas ≥15% (dewasa) dan ≥10% pada
anak dan lansia
e. Luka bakar derajat 3 ≥10%
2.5.3 Intra Hospital
2.5.3.1 Initial
1. Penatalaksanaan ABC (airway, breathing, circulation)
a. Airway
Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari
sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas ditambah
sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami
pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi
(pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi
dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan
nafas yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut
dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal,
endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu
adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau
krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret

19
yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan
memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah
dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
Pemasangan pipa Nasofaringeal yang berbentuk pipa bulat lunak
yang sesuai dengan anatomi nares, nasofaring dan hipofaring. Dimasukkan
melalui satu atau kedua nares sehingga ujungnya mencapai tepat di atas
epiglotis. Pipa nasal mempunyai keuntungan karena bisa dipasang pada
penderita yang masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan
muntah.
b. Breathing
Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
1) Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret
banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah
mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran
masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena
kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10
L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia
(dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
2) Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap
air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah
dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
3) Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila
dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi.
Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas
atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap
mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang
potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi
dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi
akut menggunakan steroid.

20
4) Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan
untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan
nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan
oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan
dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode
endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain
bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik
untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
5) Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal
mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan
sejak fase akut antara lain:
a. Pengaturan posisi
b. Melatih reflek batuk
c. Melatih otot-otot pernafasan.

Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan


secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih
kooperatif

6) Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan
distresparpernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem
pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan
volume kontrol.
c. Circulation
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan
pemasangan IV line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk
pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi

1. Pemasangan infus intravena atau IV line

21
Pemasangan dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar
minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi,
dianjurkan pemasangan CVP

2. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)

Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan


merupakan parameter dalam menggambarkan informasi volume cairan
yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada
kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi
cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di
saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan
atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau
plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.

3. Melepaskan penghalang

Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi


sekunder akibat edema

4. Resusitasi cairan.

Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan


permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma
protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial
mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema
interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu
sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan
perfusi sel atau jaringan atau organ.

Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang
hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan
interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan

22
menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini
dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu
singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab
syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.

2.5.3.2 Resusitasi Cairan


Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal
penanganan luka bakar terutama pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang
adekuat akan mencegah syok yang disebabkan karena kehilangan cairan
berlebihan pada luka bakar. Penyebab kematian pada fase akut (48 jam pertama)
ialah syok luka bakar dan inhalation injury. Syok luka bakar dapat terjadi karena
kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi. Terapi cairan yang tidak memadai dapat
menyebabkan perubahan fisiologi pasien luka bakar diantaranya perfusi pada
ginjal dan mesenteric vascular beds yang berkurang, kerusakan ginjal akut,
iskemik, kolaps kardiovaskular dan kematian. Pemberian cairan yang berlebihan
dapat menimbulkan fluid creep, sindrom kompartemen ekstermitas, meningkatkan
tekanan intraokular, sindrom kompartemen okular, edema paru dan otak, acute
respiratory distress syndrome, serta gangguan berbagai organ.
Tatalaksana resusitasi cairan dan pertimbangan terjadinya edema perlu
diperhatikan selama 24-48 jam pertama setelah timbul luka bakar. Sebanyak 13%
dari korban kecelakaan meninggal selama 48 jam pertama karena kegagalan
resusitasi. Abdominal Compartment Syndrome merupakan akibat dari kelebihan
cairan yang telah teridentifikasi sebagai komplikasi utama dari upaya resusitasi.
Perhatian terhadap titrasi dari resusitasi cairan setiap jam dibutuhkan untuk
menghindari dampak tersebut dan “resuscitation morbidities” (Cancio, 2014). Hal
yang perlu dianalisis dalam kasus ini adalah pemberian cairan yang melebihi
rumus yang diperkirakan (Luo et al.,2015). Oleh karena itu, perlu dilakukan
monitoring terhadap terapi cairan dengan cara melihat jumlah urin yang
diproduksi, pengukuran hemodinamik, pengukuran tegangan gas jaringan
subkutan dan penentuan saturasi oksigen jaringan menggunakan near-infrared
spectroscopy (NIRS) (Tricklebank, 2008). Salah satu monitoring terapi cairan
adalah produksi urin. Perfusi organ yang memadai ditunjukkan oleh produksi urin
lebih dari 30 ml/jam (0,5ml/kgBB/jam) untuk dewasa dan 1 ml/kgBB/jam untuk

23
anak-anak. (Mlcak et al.,2012). Diuretik kuat seperti furosemid biasanya diberikan
saat terjadi akumulasi cairan untuk mencapai keseimbangan cairan negatif dan
memperbaiki hasil terapi setelah dilakukan pengaturan keseimbangan cairan
(Rewa dan Bagshaw, 2015)
Terapi cairan yang diberikan pada pasien luka bakar adalah cairan
kristaloid dan koloid. Cairan kristaloid mengandung elektrolit yang terdistribusi
20% di intravaskular dan 80% di ekstravaskular. Sesuai dengan hal ini, efisiensi
cairan untuk mengembang di volume plasma
hanya 20% (Nuevo et al., 2013). Sedangkan koloid berisi elektrolit dan
makromolekul organik yang memiliki kemampuan terbatas dalam melintasi
membran endotelial (Lira dan Pinsky, 2014). Salah satu contoh koloid adalah
albumin yang memiliki kemampuan mengembangkan
volume sampai 5 kali volume asal dalam waktu 30 menit, kecuali bila dijumpai
kebocoran kapiler (Moenadjat, 2009).

Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada :


1. Rumus Parkland yaitu:
4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dalam ringer laktat yang
jumlahnya disesuaikan dengan berat badan:
≤10 Kg: 100 mL/kg
11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 mL
>20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL
Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam
pertama dan 50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah
digunakan secara luas sejak 40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka
bakar selama 24 jam pertama setelah trauma, namun penelitian terbaru
mengatakan bahwa formula Parkland tidak dapat memprediksi kehilangan
cairan secara akurat khususnya pada pasien dengan luka bakar luas,
akibatnya pasien seringkali mendapatkan jumlah cairan lebih sedikit
dibandingkan seharusnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk
yang melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland menyebabkan
penurunan kebutuhan cairan pada 84% pasien. Penelitian ini juga

24
menyebutkan jumlah cairan yang diberikan pada pasien luka bakar tidak
hanya memperhatikan luas serta kedalaman luka, namun harus
diperhatikan apakah pasien ini membutuhkan bantuan ventilasi mekanik
atau tidak karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan kebutuhan
cairan.
2. Rumus Baxter
pada tahun 1979, ia memberikan teknik resusitasi cairan pada 954
pasien luka bakar dengan menggunakan formulasi cairan :
3,7– 4,3 mL/Kg/total luas permukaan tubuh (TLPT)
dan didapatkan hasil sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak
mengalami keluaran yang baik.
3. Rumus Gavelstron
(5000 mL x LPT yang mengalami luka bakar) + (2000 mL x
TLPT)
Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan
menggunakan formulasi 2– 4 mL/kg/% LPT selama 24 jam pertama. Setelah
pemberian terapi cairan, dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan
yaitu terdapatnya gangguan hemodinamik pasien seperti sesak napas,
hepatomegali atau terdapatnya ronkhi basah halus pada basal paru.
Pemantauan ini kerap kali harus dilakukan karena pemberian cairan
berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema yang merupakan
komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi menimbulkan
kompikasi misalnya abdominal compartement syndrome dan edema paru.
4. Rumus Evans
l. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =
jumlah NaCl / 24 jam
2. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg
=jumah plasma / 24 jam
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan
tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik
kembali cairan yang telah keluar)

25
3. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan
yang hilang akibat penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan hari kedua.
5. Rumus Curreri
Rumus ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kalori pada
pasien luka bakar.
25 kcal/kgBB/hari ditambah dengan 40 kcal%luka bakar/hari
Petunjuk perubahan penggunaan cairan bisa diketahui dengan :
1. Pemantauan urin
output tiap jam
2. Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
3. Kecukupan sirkulasi perifer
4. Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
5. Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa
2.5.3.3 Penatalaksanaan Luka Bakar Mayor Minor
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan
dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran
dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa
sakit yang minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup.
Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka
akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya koloni
bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup untuk mencegah
evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka diusahakan semaksimal
mungkin agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya rasa sakit.
Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar.
1. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya
barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup dengan
pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan melembabkan

26
kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk
mengatasi rasa sakit dan pembengkakan
2. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap harinya,
pertamatama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut
dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain
luka dapat ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari bahan
alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver skin) ) atau
bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra)
3. Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal
dan cangkok kulit (early exicision and grafting ).
2.5.3.4 Perawatan Kritis Pasien Luka Bakar
Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Luka BakarTerapi nutrisi merupakan
bagian dari tatalaksana pasien luka bakar mulai dari fase akut hingga fase
rehabilitasi. Tujuan tatalaksana nutrisi pada pasien luka bakar ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan energi, mempertahankan status gizi, mengatasi
hiperkatabolik dan kehilangan nitrogen, mencegah muscle wasting, mempercepat
penyembuhan luka, meningkatkan fungsi imun, dan menurunkan resiko
overfeeding. Penatalaksanaan untuk mencegah resiko overfeeding yaitu diberikan
sebesar 20-25 kkal/kg/hari pada fase akut dan fase awal kritis, sedangkan pada
fase anabolitik (flow) atau penyembuhan dapat diberikan 25-30 kkal/kg/hari.
Pemberian nutrisi pada pasien luka bakar perlu mempertimbangkan fase ebb
maupun fase flow sesuai dengan respons metabolisme yang dialami pasien. Fase
ebb ditandai dengan kondisi hipometabolisme, berlangsung dalam beberapa menit
sampai dengan 48-72 jam pasca trauma, namun lama berlangsungnya fase ini
tidak dapat diketahui secara pasti. Karakteristik fase ini antara lain hipovolemia,
gangguan perfusi, penurunan utilisasi oksigen, curah jantung, suhu tubuh, tekanan
darah. Sedangkan pada fase flow terjadi hipermetabolisme dan hperkatabolisme
sebelum terjadi anabolisme, pada luka bakar fase hiperkatabolisme terjadi lebih
lama.

ESPEN 2013 merekomendasikan terapi nutrisi diberikan dalam 12 jam pasca luka
bakar dan sebaiknya melalui jalur enteral. Pemberian nutrisi enteral dapat dimulai
pada keadaan hemodinamik tidak stabil, weaning vasopresor, abdomen supel atau

27
tidak distensi, dan berkurangnya gastric output. Pasien dengan residu lambung
rendah (<200 ml) dan abdomen supel dapat mulai diberikan nutrisi enteral dengan
kecepatan 0,5-1 ml/kg/BB/jam.

Penelitian menunjukkan pemberian nutrisi enteral dini dapat menurunkan


insidensi stress ulcer, mempertahankan integritas mukosa usus, meningkatkan
perfusi usus, meminimalkan pelepasan mediator inflamasi di usus, menurunkan
resiko translokasi bakteri di usus sehingga menurunkan resiko infeksi dan sepsis.
Selain itu, nutrisi enteral memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah, lebih
fisiologis, dan cukup dapat ditoleransi pada sebagian besar pasien luka bakar.

Metode yang digunakan untuk menentukan kebutuhan energi pada luka bakar
adalah menggunakan kalorimetri indirek, namun pada kondisi tidak tersedianya
alat tersebut, dapat digunakan beberapa rumus seperti Harris Benedict, Toronto,
Curreri, dan Xie. ESPEN merekomendasikan perhitungan kebutuhan kalori pada
pasien dewasa menggunakan Toronto, dan Schoffield untuk pasien anak.

Untuk pemberian protein sebesar 23-25% dari energi total dengan perbandingan
kalori non protein dan nitrogen sebesar 80 banding 1 atau sampai dengan 2,5-4gr
protein/kg/hari dalam bentuk protein dengan nilai biologis tinggi berguna untuk
meningkatkan sintesis protein endogen, mempertahankan balans nitrogen dan
meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh pada luka bakar berat.

Kebutuhan Kalori

Besarnya peningkatan kecepatan metabolisme karena luka bakar


berbanding lurus dengan luas luka bakar permukaan tubuh. Kebutuhan energy
total (total energy expenditure) dapat meningkat 15 – 100 % diatas kebutuhan
normal. Formula secara matematika dipakai untuk menghitung kebutuhan kalori
harian pada pasien – pasien luka bakar. Formula yang paling banyak dipakai
hampir diseluruh dunia adalah rumus Harris-Benedict.

28
Penentuan berkala dari kebutuhan energi istitrahat melalui kalorimetri lebih akurat
untuk menilai kalori yang tersimpan.Ekskresi nitrogen urin total (TUN/ total urine
nitrogen) mudah untuk diukur dan secara akurat mencerminkan besarnya
katabolisme yang terjadi. Nitogen urin total harus dimonitor secara regular,
dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan nitrogen agar tetap positif. Formula
yang dipakai secara luas adalah rumus Harris-Benedict, yang memperkirakan
kebutuhan energi basal (BEE) sesuai dengan jenis kelamin, umur, tinggi badan,
dan berat badan. Keterbatasan rumus Haris-Benedict adalah perkiraan kebutuhan
yang berlebihan pada pasien dengan luka bakar dibawah 40% TBSA. Formula
yang lebih spesifik untuk pasien dengan luka bakar adalah formula Curreri, yang
berdasarkan berat badan dan luas luka bakar. Formula ini mungkin akan
berlebihan perhitungan kebutuhan kalorinya pada pasien dengan luka bakar luas
dan oleh karena itu rumus ini palig baik untuk pasien dengan luas luka bakar
kurang dari 40 % TBSA.9,11,13 Evaluasi status metabolik yang berlanjut sangat
diperlukan untuk melihat perubahan ukuran luka dan kondisi klinis. Kebutuhan
metabolik menurun dengan penyembuhan luka bakar atau grafting, sementara
disisi lain, daerah donor menciptakan suatu luka baru, yang dapat meningkatkan
katabolisme. Perkembangan infeksi atau ARDS sangat meningkatkan katabolisme
dan dapat merubah kebutuhan kalori. Pengukuran sederhana dari kebutuhan
nitrogen dapat di nilai dengan total nitrogen urea 24 jam dari urin. Akan tetapi hal
tersebut tidak dapat mengukur kehilangan nitrogen pada luka bakar itu sendiri..

29
Transthyretin (prealbumin) berhubungan erat dengan status katabolik dan dapat
dipakai menghitung kebutuhan kalori. C-reaktive protein dapat dipakai sebagai
indikator status inflamasi, bila meningkat merupakan tanda peningkatan
katabolisme. Pada pasien terintubasi, kalorimetri indirek dapat bermanfaat dalam
mengukur kebutuhan kalori namun tidak seakurat formula Curreri. Nutrisi utama
yang perlu diperhatikan adalah karbohidrat, protein, lemak dan tak kalah
pentingnya juga adalah vitamin dan mineral

Karbohidrat

Karbohidrat dalam bentuk glukosa merupakan sumber kalori terbaik dari


golongan non-ptotein pada pasien dengan luka bakar. Cadangan glukosa yang
tersimpan dalam jaringan otot (otot skeletal) biasanya harus dikorbankan bila
kebutuhan nutrisi tidak adekeuat. Luka yang terjadi memakai jalur glikolisis
anaerob, menyebabkan produksi laktat dalam jumlah besar. Di dalam hepar laktat
diekstraksi dan dipakai untuk gluconeogenesis melalui siklus Cori. Alanin dan
asam-asam amino lainnya dapat menyebabkan meningktanya gluconeogenesis.
Meningkatnya ureogenesis, dengan urea yeng berasal dari pemecahan protein
cadangan tubuh, bersamaan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi
glukosa hepar. Karena pemakaian glukosa melalui jalur gluconeogenesis yang
menggunakan cadangan protein, maka akan terjadi deplesi protein sehingga
terjadi malfungsi dari glucose dependent energetic processes, dan terjadi skeletal
muscle wasting. Kontrol hiperglikemia yang agresif merupakan aspek yang
penting dalam perawatan pasien yang optimal. Bahkan pasien-pasien dengan
toleransi yang relatif normal membutuhkan kalori yang lebih terhadap
kemampuan tubuh untuk asimilasi glukosa dimana kira-kira kebutuhan kalorinya
7 gr/kgBB perhari (2240 kcal untuk laki-laki dengan BB 80 kg). Oksidasi glukosa
yang optimal selama terjadi hipermetabolisme pada pasien luka bakar terjadi pada
intake kira-kira 5mg/kgBB per menit. Insulin dapat diberikan untuk mengontrol
hiperglikemia dan sekarang dianjurkan pada pasien-pasien dengan luka bakar.

Protein

30
Kebutuhan protein 1,5 - 2 gr/kgBB per hari dengan fungsi ginjal yang
normal pada orang dewasa sedangkan pad anak – anak kebutuhan protein 3
gr/kgBB perhari. Kombinasi pemberian glukosa dengan protein akan memberikan
hasil yang lebih baik untuk memenuhi keseimbangan nitrogen daripada dengan
pemberian makanan yang terpisah. Pemberian protein akan memacu sintesis
protein visceral dan otot, tanpa mempengaruhi kecepatan katabolisme. Glukosa
eksogen akan memperlambat katabolisme, namun akan sedikit mempengaruhi
sintesis protein. Kedua mekanisme tersebut akan memperbaiki keseimbangan
nitrogen, dan pemberian glukosa yang cukup ( 7gr/kgBB perhari) dan protein (2
gr/kgBB per hari) harus diberikan pada pasien dengan luka bakar berat. Pada anak
– anak pemberian protein (23 % dari total kalori) dapat memperbaiki system
imunitas, menurunkan bacteremia, dan meningkatkan harapan hidup

Lemak

Peranan lemak sebagai sumber energi non-protein tergantung dari luasnya


luka bakar dan besarnya hipermetabolisme. Pemberian makanan rendah lemak
dapat menurunkan komplikasi infeksi, memperbaiki penyembuhan luka,
memperpendek rawat inap dan bahkan menurunkan mortalitas dibandingkan
dengan pasien kontrol dengan diet standar demikian juga dengan diet tinggi
lemak.Para ahli menyarankan pemberian lemak tidak lebih dari 30% dari
kebutuhan kalori non-protein atau sekitar 1gr/kgBB perhari melalui lemak
intravena dalam TPN. Komposisi merupakan hal yang utama dibandingkan
kuantitas lemak. Lemak seperti minyak ikan sangat baik dimetabolisme tanpa
harus melibatkan

Glutamine

Beberapa asam amino berperan penting dalam pelepasan energy karena


trauma. Alanin dan glutamin (GLU) adalah asam amino transport yang penting,
dibuat dalam jumlah besar dari otot skelet untuk menyuplai energi ke hepar dan
untuk penyembuhan luka. GLU juga berperan sebagai bahan bakar utama pada
enterocyte dan limfosit dan juga berperan dalam menjaga integritas usus halus,
menjaga fungsi imun saluran cerna, dan menurunkan permeabilitas intestinal

31
karena cedera akut. Glutamin juga dapat mencegah translokasi endotoksin dan
perluasan mediator inflamasi. Bahkan sebagai prekursor dari glutation, glutamin
berperan sebagai antioksidan dan juga memperbaiki perluasan heat shock protein
yang dapat melindungi sel dari stress dan trauma. Selama cedera berlangsung,
GLU dengan cepat dipakai dari serum dan otot, sehingga akan membatasi sintesis
protein visceral, oleh karena itu GLU merupakan “asam amino esensial” pada
luka bakar. Dosis pemberian GLU yang dianjurkan pada pasien luka bakar adalah
0,25 – 0,5 gr/kgBB perhari baik secara parenteral maupun enteral.

Arginin

Arginin juga berperan penting pada metabolism post luka bakar. Arginin
dapat menstimulasi T-lymphocyte, meningkatkan fungsi natural killer, dan
menstimulasi sintesis nitrit oksida yang berperan penting dalam resistensi infeksi.
Namun ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian ARG dengan
control tidak memberikan hasil yang bermakna sehingga ARG sekarang tidak
direkomendasikan.

Asam Amino Rantai Cabang

Asam amino rantai cabang seperti leusin, isoleusin, dan valin diketahui
sebagai katabolisme otot endogen melalui stmulasi sintesis protein dan sebagai
substrat energi. Dalam penelitian klinis pada pasien trauma maupun pasien di ICU
nutrisi yang diperkaya dengan asam amino rantai cabang dapat meningkatkan
balans nitrogen namun tidak mempengaruhi angka harapan hidup. Sedangkan
penelitian pada hewan dan uji klinis pada pasien dengan luka bakar nutrisi yang
diperkaya dengan asam amino rantai cabang tidak memperbaiki outcome pasien,
sintesis protein, maupun fungsi imun, jadi tidak direkomendasikan.

Vitamin dan Mineral Tambahan

Vitamin dan mineral seperti vitamin A, C, D, zinc, selenium, dan Fe juga


dapat membantu penyembuhan luka. Vitamin A berperan dalam penyembuhan
luka dan pertumbuhan epitel. Vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan dan
mencegah kerusakan akibat radikal bebaas. Vitamin C berperan sangat penting

32
dalam penyembuhan luka dan dianjurkan pemberian 1000 mg per hari. Pasien
dengan luka bakar ditandai dengan adanya hipoalbuminemia, rata – rata nilanya
1,7 gr/dl dan tidak pernah lebih dari 2,5 gr/dl pada luka bakar yang luas. Fe
penting sebagai protein pembawa oksigen dan juga sebagai kofaktor pada
berbagai enzim. Zinc dibutuhkan oleh banyak metalloenzyme. Dosis zinc yang
dianjurkan 220 mg/hari. Selenium berperan penting dalam fungsi limfosit dan
bahkan meningkatkan imunitas sel.

2.5.4 Komplikasi pada pasien luka bakar intrahospital


Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan luka bakar:
1. Keseimbangan cairan. Kejadian luka bakar menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan keluarnya plasma dan protein ke
jaringan yang akan terjadinya edema dan kehilangan cairan intravakuler.
Kehilangan cairan juga disebabkan karena evaporasi yang meningkat 4 –
15 kali evaporasi pada kulit normal. Peningkatan metabolisme juga dapat
menyebabkan kehilangan cairan melalui sistem pernapasan.
2. Cardiac. Fungsi jantung juga terpengaruh oleh luka bakar diataranya
penurunan kardiak output, yang disebabkan karena kehilangan cairan
plasma. Perubahan hematologi berat disebabkan kerusakan jaringan dan
prubahan pembuluh darah yang terjadi pada luka bakar yang luas.
Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan plasma pindah ke ruang
interstisial. Dalam 48 jam pertama setelah kejadian, perubahan cairan
menyebabkan hypovolemia dan jika tida di tanggulangi dapat
menyebabkan pasien jatuh pada shock hypovolemia. Kehilangan cairan
intravaskular menyebabkan peningkatan hematokrit dan kerusakan sel
darah merah. Luka bakar juga menyebabkan kerusakan pada fungsi dan
lama hidup platelet.
3. Metabolic. Kebutuhan metabolik sangat tinggi pada pasien dengan luka
bakar. Tingkat metabolik yang tinggi akan sesuai dengan luas luka bakar
sampai dengan luka bakar tersebut menutup. Hypermetabolisme juga
terjadi karena cidera itu sendiri, intervensi pembedahan, dan respon stress.
Katabolisme yang berat juga terjadi yang disebabkan karena
keseimbangan nitrogen yang negatif, kehilangan berat baddan, dan

33
penurunan penyembuhan luka. Peningkatan katekolamin (epinephrine,
norepinephrine) yang disebabkan karena respon terhadap stress. Ini
menyebabkan peningkatan kadar glukagon yang dapat menyebabkan
hyperglikemia.
4. Gastrointestinal. Masalah gastrointestinal yang mungkin terjadi adalah
pembengkakan lambung, ulkus peptkum, dan ileus paralitik. Respon ini
disebabkan karena kehilangan cairan, perpindahan cairan, imobilisasim,
penurunan motilitas lambung, dan respon terhadap stress.
5. Renal. Insufisiensi renal akut dapat terjadi yang disebabkan karena
hypovolemia dan penurunan kardiak output. Kehilangan cairan dan tidak
adekuatnnya pemberian cairan dapat menyebabkan penurunan aliran
darah ke ginjal dan glomerular filtration rate. Pada luka bakar yang
disebabkan karena listrik dapat meneybabkan kerusakan langsung atau
pembentukan myoglobin casts (karena kerusakan otot) yang dapat
menyebabkan nekrosis tubular rennal akut.
6. Pulmonary. Efek terhadap paru disebabkan karena menghisap asap.
Hyperventilasai biasanya berhubungan dengan luas luka bakar.
Peningkatkan ventilasi berhubungan dengan keadaan hypermetabolik,
takut, cemas, dan nyeri.
7. Imun. Dengan adanya kerusakan kulit menyebabkan kehilangan
mekansme pertahanan pertama terhadap infksi. Luka bakar luas dapat
menyebabkan penurunan IgA, IgG, dan IgM.

34
2.5.5 WOC

Suhu Tinggi/Termal Bahan Kimia Sengatan listrik Radiasi

Terpaparnya kulit dengan penyebab

Luka Bakar

Peningkatan permeabilitas kapiler Cedera jaringan kulit

Vasodilatasi pembuluh darah Kulit coklat kemerahan, hitam

Volume darah arteri ↓ Kerusakan pada dermis,


epidermis dan subkutan
Pengeluaran air, natrium
klorida, protein dalam sel
Kematian sel-sel Kerusakan
intregitas
Menurunnya cairan Oedem Nyeri kulit
intraseluler
Hipovolemia
Defisit volume cairan
↓aliran darah

↓ sirkulasi dan volume vaskuar

Kebutuhan O2 ↑

Takipnea, RR ↑

Pola napas tidak efektif

35
2.5.6 Asuhan keperawatan
Seorang pasien bernama Tn. A berusia 27 tahun dengan BB 60 kg datang ke
RSUA jam 11.00 pagi karena terkena ledakan tabung gas. Kejadian pasien terluka
bakar pada jam 08.00. Daerah luka bakar terjadi pada sebagian besar dada klien (
Nilai : 18%). Keluhan utama klien saat datang ke RSUA merintih kesakitan saat
di kaji skala nyeri 7. Klien juga mengeluhkan sesak, batuk-batuk, serta klien
merasa lemas. Pasien mendapatkan 500 cc cairan.

Resusitasi cairan
Rumus Baxter : (% luka bakar) x (BB) x (4 cc)
18 x 60 x 4 = 4320 ml/24 jam
8 jam pertama = 2160 ml-500ml = 1660 ml utk 5 jam berikutnya
16 jam berikutnya 2160 ml cairan

a. Pengkajian
Anamnesa
a. Nama : Tn. S
b. Jenis kelamin : Laki-Laki
c. Tanggal masuk : 31 Maret 2016
d. Usia : 27 tahun
e. Status perkawinan : Menikah
f. Suku bangsa : Jawa/Indonesia
g. Alamat : Surabaya
h. Agama : Islam
i. Pekerjaan : Pegawai swasta
j. Pendidikan : Tamat SMP

Pengkajian dan Pemeriksaan Fisik


a. Keluhan Utama: Klien merintih kesakitan karena luka bakar 3 jam
sebelum MRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang: 3 jam sebelum masuk RSUA, Tn. A
menderita luka bakar karena terkena ledakan tabung gas elpiji . Tn. S

36
tidak memiliki riwayat Diabetes dan hipertensi. Kesadaran
composmentis, TD: 100/70 mmHg, Nadi: 110x/mnt, S: 36,8oC, RR:
29x/menit, TB: 165 cm, BB: 60 kg
c. Riwayat Penyakit Dahulu: Tn.A mengatakan belum pernah mempunyai
riwayat masuk rumah sakit/operasi di RS sebelumnya. Riwayat Diabetes
Melitus tidak ada dan Hipertensi tidak ada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada riwayat DM, hipertensi, asma,
TBC
e. Pemeriksaan Fisik:
Status Generalis
KeadaanUmum : Tampak sakitberat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110x/mnt, reguler
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : 29x/menit
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 60 kg
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : tidak teraba
Leher : tidak teraba
Supraklavikula : tidak teraba
Ketiak : tidak teraba
Lipat paha : tidak teraba
Kepala
Ekspresi wajah : menyeringai, menahan sakit
Rambut : hitam
Simetri muka : simetris
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 2-5 cmH2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak taraba membesar

37
Dada
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Retraksi sela Iga : (-)
Perut
Inspeksi : datar, tidak ada ascites
Punggung
Terdapat luka bakar menyeluruh pada bagian dada (18%). Warnanya
merah, keabu-abuan, sedikit tampak cairan.

b. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1 DS: Klien merasa lemas Etiologi Defisit
DO: Volume
a. Turgor kulit kering Cairan
b. Mukosa kering
c. CVP abnormal
d. Intake Output tidak
seimbang
e. Kadar kalium, natrium
abnormal

2. DS: Pasien mengeluh Bahan Kimia Pola napas


sesak ↓ tidak efektif
Terpaparnya kulit dengan
DO:
penyebab
a. Tampak kesulitan ↓
bernafas/sesak Luka bakar

b. Gerakan dada tidak
Peningkatan
simetris permeabilitas kapiler
c. Pola napas cepat dan ↓
Vasodilatasi pembuluh
dangkal
darah

38
d. TTV : TD: 100/70 mmHg, ↓
Nadi: 110x/mnt, S: Volume darah arteri
menurun
36,8oC, RR: 29x/menit

Pengeluaran air, natrium
klorida, protein dalam sel

Menurunnya cairan
intraseluler

Defisit Volume Cairan
3 DS: klien mengeluh panas Bahan Kimia Nyeri akut
dan sakit ↓
Terpaparnya kulit dengan
DO:
penyebab
a. TD: 90/70 mmHg, Nadi: ↓
100x/mnt Luka bakar

b. Pasien nampak meringis
Peningkatan
kesakitan sambil permeabilitas kapiler
memegang dada yang ↓
Vasodilatasi pembuluh
sakit.
darah
P: trauma luka bakar ↓
Q : terasa panas Volume darah arteri
R : sisi trauma/cidera yang menurun

sakit Pengeluaran air, natrium
S : Skala nyeri 7 klorida, protein dalam sel
T: Hilang timbul dan ↓
Oedem
meningkat jika adanya

aktivitas Hipovolemia

Penurunan aliran darah

Penurunan sirkulasi dan
volume vaskular

Peningkatan kebutuhan
O2

39
Takipnea, RR meningkat

Pola napas tidak efektif
4 DS: pasien mengeluh Bahan Kimia Kerusakan
perih, sakit ↓ integritas
Terpaparnya kulit dengan
DO: kulit
penyebab
a. Terdapat edema ↓
b. Kulit kemerahan hingga Luka bakar

nekrosis
Cedera jaringan kulit
c. Kulit tidak utuh ↓
d. Akral dingin, lembab Kulit coklat kemerahan,
hitam

Kerusakan pada dermis,
epidermis dan sub kutan

Kematian sel-sel

Nyeri akut

Defisit Volume Cairan b.d menurunnya cairan intraseluler


NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan1. Kolaborasi pemberian cairan IV
selama 1x24 jam, defisit volume cairan2. Berikan selang nasogastrik sesuai
teratasi dengan kriteria hasil: dengan kebutuhan
Fluid Balance 3. Monitor status hidrasi (kelembaban
1. Mempertahankan urine output sesuai membran mukosa, nadi adekuat)
dengan usia dan BB, urine normal 4. Monitor hasil lab yang sesuai dengan
2. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, retensi cairan (BUN, albumin, total
elastisitas turgor kulit baik, membran protein)
mukosa lembab, tidak ada rasa haus 5. Monitor vital sign setiap 15 menit
yang berlebihan

Pola napas tidak efektif b.d


NOC NIC

40
Setelah dilakukan tindakan 1. Pasang oksigen sesuai kebutuhan
keperawatan selama 1x24 jam, pasien 2. Pertahankan jalan napas paten
menunjukkan keefektifan pola napas 3. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
dengan kriteria hasil: ventilasi
Respiratory status: ventilation 4. Monitor vital sign
1. Jalan napas paten (irama napas, 5. Monitor pola napas
frekuensi pernapasan dalam rentang
normal, tidak ada suara napas
abnormal)
2. Tanda tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, pernapasan)

Nyeri akut b.d kerusaka jaringan


NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
1. Berikan analgesik sesuai resep dokter
selama 2x24 jam, pasien mengalami 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
penurunan rasa nyeri dengan kriteria dosis dan frekuensi
hasil: 3. Ajarkan tentang teknik non
Pain control farmakologi: napas dalam, relaksasi
1. Mampu mengenali nyeri (skala, 4. Lakukan pengkajian nyeri secara
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) komprehensif termasuk lokasi,
2. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri karakteristik, durasi, frekuensi.
berkurang 5. Observasi reaksi nonverbal dari
3. Tanda vital dalam rentang normal ketidaknyamanan
6. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik

Kerusakan intregitas kulit


NOC NIC
Setelah dilakukan tidakan keperawatan3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
selama 3x24 jam, pasien menunjukkan dan kering
proses perbaikan kulit dengan kriteria 4. Membersihkan, memantau dan

41
hasil: meningkatkan proses penyembuhan
1. Intregitas kulit baik (sensasi, elastisitas, pada luka
hidrasi, pigmentasi) 5. Monitor tanda dan gejala infeksi
2. Perfusi jaringan baik 6. Ubah dan atur posisi pasien secara
sering

Tambahan Jika perlu


PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau
tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan
jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak
sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang
leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas? Pada kasus luka bakar kaji jalan pernafasan apakah
terdapat cilia pada saluran pernafasan mengalami kerusakan yang
disebabkan oleh asap atau inhalasi.
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1. Adanya snoring atau gurgling
2. Stridor atau suara napas tidak normal
3. Agitasi (hipoksia)
4. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5. Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1. Muntahan

42
2. Perdarahan
3. Gigi lepas atau hilang
4. Gigi palsu
5. Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
1. Chin lift/jaw thrust
2. Lakukan suction (jika tersedia)
3. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
4. Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax,closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
1. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut :cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan yanbg disebabkan karna
trauma inhalasi.
2. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
3. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.

43
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
1. Pemberian terapi oksigen
2. Bag-Valve Masker
3. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
4. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
3. Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1. Menentukan ada atau tidaknya
2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4. Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan

44
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa dimengerti
3. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
5. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki luka bakar yang mempunyai derajad luka yang tinggi,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika
melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien
hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah
selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi
pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis.

45
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kulit adalah organ kompleks yang memberikan pertahanan tubuh
pertama terhadap kemungkinan lingkungan yang merugikan. Kulit yang
melindungi tubuh dari infeksi, mencegah kehilangan cairan tubuh,
membantu mengontrol suhu tubuh, berfungsi sebagai organ eksretoridan
sensori, membantu dalam proses aktivasi vitamin D, dan mempengaruhi
citra tubuh.
Luka bakar adalah hal yang umum, namun merupakan bentuk
cedera kulit yang sebagian besar dapat dicegah. Luka bakar adalah
kerusakan atau keghilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi.
Luka Bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi.

3.2 Saran
Agar pembaca memahami dan mengerti tentang Luka bakar, tingkat
luka bakar, tindakan pada luka bakar agar dapat bermanfaat serta berguna
bagi pembaca dan masyarakat umum.

46
DAFTAR PUSTAKA

Moenadjat Y. 2003. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta : Salemba Medika

Nurarif, Amin Huda dan Kusuma Hardhy. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NOC-NIC. Yogyakarta : Media Action

Black & Hawk. 2009. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Buku 2. Singapore:
Elsevier

https://www1media.acehprov.go.id/uploads/PENANGANAN_LUKA_BAKAR.p
df

http://repository.unair.ac.id/53803/2/FF%2037%2016.pdf

http://perdici.org/wp-content/uploads/mkti/2012-02-02/mkti2012-0202079084.pdf
https://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/12/asuhan-keperawatan-pada-
klien-dengan-luka-bakar-combustio/ diakses pada 3 Maret 2018;13.43
http://spesialis1.bpre.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/kuliah-klasik-
luka-bakar.pdf diakses pada 3 Maret 2018
https://sukriserlinta.wordpress.com/2012/11/21/klasifikasi-luka-bakar/

https://tarzz.wordpress.com/2013/07/10/rumus-menghitung-derajat-luka-bakar/

https://www.pantirapih.or.id/index.php/artikel/umum/163-luka-bakar

https://www1-
media.acehprov.go.id/uploads/PENANGANAN_LUKA_BAKAR.pdf

47

Anda mungkin juga menyukai