Referat LMA
Referat LMA
1. PENDAHULUAN
Tanggung jawab utama dari seorang ahli anestesi adalah menjamin respirasi
yang adekuat bagi pasien. Unsur vital dalam menyediakan fungsi respirasi adalah
jalan nafas. Tidak ada anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras untuk
memelihara jalan nafas yang lapang.
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan
otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya
penatalaksanaan jalan nafas pasien. Tujuan dari referat ini adalah mendiskusikan
penatalaksanaan anestesi dengan LMA.
2.1. Hidung
Jalan nafas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Udara lewat
melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu penghangatan dan melembabkan
(humidifikasi). Hidung adalah jalan utama pada pernafasan normal jika tidak ada
obstruksi oleh polip atau infeksi saluran nafas atas. Selama bernafas tenang , tahanan
aliran udara yang melewati hidung sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan
jalan nafas. Tahanan yang melalui hidung adalah hampir dua kali bila dibandingkan
melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa pernafasan mulut digunakan ketika aliran
udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas berat. ( 1 )
Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus trigeminal.
Nervus ethmoidalis anterior menginervasi pada septum anterior, dinding lateral,
1
sedangkan pada area posterior di inervasi oleh nervus nasopalatina dari ganglion
sphenopalatina. Anestesi lokal dengan topikal cukup efektif memblokade nervus
ethmoidalis anterior dan nervus maksila bilateral.
2.2. Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid berlanjut
sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring
dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Pinsip kesulitan udara melintas melalui
nasofaring kerena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah
sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan
muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan
selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.
2.3. Laring
Laring terbentang pada level Servikal 3 sampai 6 vertebra servikalis, melayani
organ fonasi dan katup yang melindung jalan nafas bawah dari isi traktus digestifus.
Strukturnya terdiri dari otot, ligamen dan kartilago. Ini termasuk tiroid, krikoid,
aritenoid, kornikulata dan epiglotis. Epiglotis, sebuah kartilago fibrosa, memiliki
lapisan membran mukus, merupakan lipatan glosoepiglotis pada permukaan faring
dan lidah. Pada bagian yang tertekan disebut velecula. Velecula ini adalah tempat
diletakkannya ujung blade laringokop Macinthos. Epiglotis menggantung pada bagian
dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas selama udema.
2
Panjang rata-rata pembukaan glotis sekitar 23 mm pada laki-laki 17 mm pada
wanita. Lebar glotik adalah 6-9 mm tapi dapat direntangkan sampai 12 mm.
Penampang melintang glotis sekitar 60 – 100 mm2
2.4. Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi Cervikal
6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian
posterior, panjang sekitar 10 – 15 cm, didukung oleh 16 – 20 tulang rawan yang
berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi bronkus
kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang melintang lebih
besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2.
Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan
kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding
posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga
3
menimbulkan dilatasi pada bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus.
Respon cepat resptor iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi
sebagai reseptor batuk dan mengandung reflek bronkokontriksi.
4
Gambar 1. Berbagai macam ukuran LMA
Dibawah ini tabel 3 dengan berbagai ukuran LMA dengan volume cuff yang berbeda
yang tersedia untuk pasien-pasien ukuran berbeda ( 3 )
5
3.2. Macam-macam LMA
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA
6
3.2.2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung
( diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle,
cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan
LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglottic ( 4 )
Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang
khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya
kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal
ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu
intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat
”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang menempel pada
mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral ( 5 )
Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang
dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm internal
diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus
bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada
ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi direkomendasikan untuk
memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih
sering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan
penting dalam managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk
pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama
resusitasi cardiopulmonal. ( 5 )
7
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi
konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA
dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral
atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok
untuk insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak ( 5 )
ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira 500 dollar America
dan dapat digunakan sampai 40 kali.
8
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan keuntungan
lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi tekanan positif.
Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan
rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara
saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube
yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube
orogastric untuk dekompresi lambung ( 4 )
9
Gambar 3. Proseal LMA ( 1 )
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka waktu
panjang ( 40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan kerusakan
mukosa hypopharing. Laporan terakhir, satu kasus injury nervus lingual telah
( 6 )
dilaporkan saat pemakaian ProSeal LMA . Sementara juga dilaporkan terjadi
( 6,7 )
hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA . Meskipun begitu
komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury pada nervus cranialis dapat
dikurangi dengan cara menghindari trauma saat dilakukan insersi, menggunakan
(6)
ukuran yang sesuai dan meminimalisir volume cuff . Disarankan untuk membatasi
tekanan jalan nafas kurang dari 20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk
menggunakan volume tidal yang kecil ( 6 – 10 ml/kgBB ).
10
3.2.4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube
terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang
memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan
pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan
THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan
darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan
pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan
lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran
fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway
tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah
ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
4.1. Indikasi ( 4 ) :
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
4.2. Kontraindikasi ( 4 ) :
11
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir
kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping
yang utama adalah aspirasi.
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan
mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi,
insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot.
Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian
pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang di
tumpulkan, atau mungkin malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan
dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan ( 9 )
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau
terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan
12
kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis
besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung ( 9 )
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan
penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi
mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau
alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan
menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing ( 9 )
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu
tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang
cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput
pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA
dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi
cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan
ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek
posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya
telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah
berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang
lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” ter-identifikasi ( 5 )
13
Gambar 4. Insersi LMA ( 1 )
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima tes
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA ( 5 ):
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
14
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat
perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada
tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam
cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan campuran gas
anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit
pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan
mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon ( 5 )
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging
dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan rendah
sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran
gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan
naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara
yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi
ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang besar
atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus
dipindahkan dan di insersi ulang.
( 10 )
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi . Untuk itu
diperlukan suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis dan penatalaksanaan
obstruksi jalan nafas dengan LMA :
15
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya
migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit tadi
tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran.
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang
dewasa sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O.
Tekanan diatas 20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan
kebocoran gas dari cLMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada
tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada tekanan
yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang akan meningkatkan
resiko regurgitasi dan aspirasi ( 5 )
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang
lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan
akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea.
Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-anak
secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan
nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa.
16
pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali ke sirkuit
anestesi dan periksa ulang jalan nafas ( 5 )
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun
dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas
telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak
diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas
seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat
ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi
tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan
sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi
jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA ditarik
dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan
hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya
laryngospasme ( 5 )
Pada penelitian Turan et all, LMA dibandingkan dengan beberapa alat yang
juga digunakan untuk menjaga patensi jalan nafas ( laryngeal tube dan perilaryngeal
airway ) dan dihasilkan ( Tabel 4 )
17
13
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %
dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 %
- 30 % ( Wakeling et al ), 28,5 % ( Dingley et al ) dan sampai 42 % ( 10 )
Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas
( 10)
yang lebih kecil dibandingkan dengan ET . Namun clasic LMA mempunyai
kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 – 20
( 11,12 )
cmH2O ) , sehingga jika dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan
menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada jalan nafas akan berhubungan
dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung ( 11 ). Lebih lanjut lagi, clasic
LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal
LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama
situasi emergensi pembiusan ( 12,13 )
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama
ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 %
dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi
kebocoran dari jalan nafas ( 10 ). Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan
meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung
jika hal ini terjadi ( 10 )
18
Kesimpulan :
2. Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk
ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15
cm H2O) tekanan positif
3. LMA dapat dibagi menjadi 3 : Clasic LMA, Fastrach LMA, Proseal LMA,
Flexible LMA dengan spesifikasinya masing-masing.
-oOo-
19
DAFTAR PUSTAKA
6. Cook TM, Lee G, Nolan JP. The ProSeal laryngeal mask airway ; a review of
the literature. Can j Anesth 2005 ; 52 : 739 – 760
7. Brimacombe J, Clarke G, Keller C. Lingual nerve injury associated with the
ProSeal laryngeal mask airway : a case report and review of the literature. Br
J Anaesth 2005 ; 95 : 420 – 423
8. Brimacombe J, Keller C, Kurian S, Myles J. Reliability of epigastric
auscultation to detect gastric insufflation. Br J Anaesth 2002 ; 88 ( 1 ) : 127 –
129
9. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask ( LMA ) and laryngeal tube
( LT ) with the new perilaryngeal airway ( CobraPLA ) in short surgical
procedures. EJA 2006 ; 23 : 234 – 238
10. Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask
: a meta analysis. Can J Anaest 1995 ; 42 : 1017 – 1023
11. Devitt JH, Wenstone R, Noel AG, O’Donnell MP. The laryngeal mask airway
and positive-pressure ventilation. Anesthesiology 1994 ; 80 : 550 – 555
20
13. Laxton CH, Kipling R. Lingual nerve paralysis following the use of the
laryngeal mask airway. Anaesthesia 1996 ; 51 ( 9 ) : 869 – 870
21