Anda di halaman 1dari 27

KOROSI BETON - 2

3. Reaksi kimia Portland semen


Sebelum adanya semen tipe PPC maka yang banyak digunakan di lapangan adalah
semen Tipe I atau yang dikenal pula dengan OPC (Ordinary Porland Cement). Secara
umum, komposisi kimia semen didominasi oleh 4 senyawa utama, yaitu Tricalsium
Silicate (C3S), Dicalsium Silicate(C2S), Tricalsium Aluminate(C3A) dan Tetracalsium
Aluminate Ferrit(C4AF). Di luar senyawa-senyawa tersebut terdapat beberapa senyawa
lain (senyawa minor) yang terdapat dalam semen dengan proporsi kandungan yang
terbatas, antara lain MgO, TiO2, Mn2O3, K2O dan Na2O.
Senyawa-senyawa silikat (C3S dan C2S) merupakan unsur terpenting dari semen
Portland karena berperan dalam pertumbuhan kekuatan semen melalui proses hidrasi.
Senyawa tersebut bukan merupakan senyawa murni, tetapi mengandung sedikit
senyawa-senyawa oksida. Keberadaan senyawa C3A dalam semen adalah guna
memfasilitasi penggabungan bahan kapur (lime) dan bahan silika dalam proses produksi
semen. Pada proses selanjutnya, senyawa ini sebetulnya tidak menguntungkan karena
tidak memiliki kontribusi apapun terhadap pertumbuhan kekuatan beton, bahkan
apabila struktur beton dibangun di daerah yang mengandung senyawa sulfat maka
senyawa C3A akan bereaksi membentuk ettringite (C3A.CS.H32) yang merugikan.
Senyawa C4AF, yang terkandung dalam semen dengan jumlah yang sangat terbatas,
tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku dan karakteristik hasil hidrasi semen, akan
tetapi senyawa ini akan bereaksi dengan gypsum untuk membentuk kalsium sulfoferit
yang dapat mempercepat hidrasi senyawa-senyawa silikat.
Dalam proses pencampuran butiran semen dan air terjadi reaksi hidrasi semen.
Senyawa-senyawa silikat, yaitu C3S dan C2S dengan cepat akan berhidrasi, dimana
senyawa C3S berhidrasi jauh lebih cepat dari senyawa C2S. Seiring dengan waktu kedua
senyawa akan membentuk pasta yang mengeras. Reaksi hidrasinya dapat dituliskan
sebagai berikut:
Untuk C3S: 2C3S  6H  C3S 2H3  3Ca(OH)2 (1)
(100) (24) (75) (49)
Untuk C2S: 2C2S  4H  C3S2H3  3Ca(OH)2 (2)
(100) (21) (99) (22)
Angka-angka di dalam kurung menunjukkan besarnya perbandingan masa senyawa.
Tampak pada persamaan kimia tersebut bahwa kedua senyawa silikat membutuhkan
jumlah air yang relatif sama untuk hidrasi, tetapi senyawa C3S menghasilkan senyawa
kalsium karbonat (Ca(OH)2) dua kali lebih banyak dari pada C2S. Kalsium karbonat inilah
yang berperan terhadap pengerasan pasta semen.
Reaksi C3A dengan air berlangsung sangat cepat dan dapat terjadi flash set atau
pengerasan mendadak. Guna mencegah terjadinya flash set pada semen ditambahkan
gypsum untuk memperlambat pengerasan.

4. Kerusakan Beton akibat serangan kimia


Secara umum kerusakan beton akibat serangan kimia dapat disebabkan oleh
beberapa peristiwa sebagai berikut:
 Karbonasi
 Klorida/Chloride
 Sulfat
 Leaching
 dekalsifikasi
 kualitas air

4.1. Karbonasi
Beton dapat mengalami dua tipe karbonasi yang berbeda, yaitu karbonasi
pelapukan (weathering carbonation) dan dini karbonasi (early age carbonation).
Karbonasi pelapukan terjadi pada beton keras yang telah berumur cukup lama
(hardened concrete) dan terjadi reaksi dengan karbon dioksida (CO2) di atmosfir.
Sedangkan karbonasi dini terjadi pada saat beton masih berusia sangat dini pada beton
segar. Karbonasi dini dapat terjadi sejak tahap pencampuran beton dan dapat berakhir
sebelum, atau bersama-sama dengan berakhirnya proses rawatan keras sekitar 48 jam
kemudian.

4.1.1. Karbonasi Pelapukan (Weathering Carbonation)


Karbonasi terjadi ketika karbon dioksida CO2 dari udara menembus beton dan
bereaksi dengan hidroksida, yaitu dari kalsium hidroksida dan kalsium silikat hidrat
untuk membentuk kalsit (CaCO3). Pertama terjadi reaksi antara CO2 dengan air (H2O)
yada ada di dalam pori beton membentuk kalsit atau asam carbon (H2CO3). Selanjutnya,
kalsit bereaksi dengan senyawa kalsium hasil reaksi hidrasi semen yang ada pada beton
keras, terutama senyawa kalsium hidroksida (kandungan sekitar 25-50% berat pasta
semen) dan membentuk kalsium karbonat (CaCO3).
Reaksi yang terjadi ditulis sebagai berikut:
Tahap pertama:
H2O + CO2  HCO3- + H+
HCO3-  H+ + CO32-

Tahap kedua:
Ca(OH)2 + 2H+ + CO32-  CaCO3 + 2H2O

Setelah Ca (OH) 2 telah terkarbonasi dan terurai dari pasta semen, kalsium-silikat-
hidrat gel (C-S-H) dapat mengalami dekalsifikasi (hilangannya senyawa garam kalsium)
sehingga memungkinkan pembebasan CaO untuk proses karbonat menurut reaksi kimia
berikut
H2CO3 + CaO  CaCO3 + H2O

Pelepasan senyawa kasium hidroksida menyebabkan PH larutan dalam pori beton


mengalami penurunan hingga lebih kecil dari 13. Apabila telah mengalami karbonasi
penuh maka PH larutan pori ini dapat mengalami penurunan hingga mencapai PH 8.
Beton bertulang menuntut tingkat PH yang tinggi untuk menjamin terjadi lapisan
pelindung pasif (passivisity layer) pada permukaan baja tulangan. Penurunan PH beton
akan menyebabkan terjadinya gangguan atau bahkan hilangnya lapisan pelindung pasif
yang menyebabkan baja tulangan rentan terhadap korosi. Hal ini menjadi permasalahan
serius apabila baja tulangan terekpos di lingkungan yang mengandung banyak senyawa
agresif, misalnya ion klorida. Apabila terjadi korosi, volume karat yang terbentuk
memiliki volume yang berlipat-lipat kali lebih besar dari volume reaktannya sehingga
menimbulkan gaya desak keluar yang dapat menyebabkan terjadinya retak-retak pada
selimut beton.
Kondisi lingkungan, terutama kelembaban udara, sangat berpengaruh terhadap
kedalaman lapisan terkabonasi dan jumlah CO2 yang terserap setiap waktu. Umumnya,
karbonasi hanya terjadi jika kelembaban udara relatif antara 40% - 90%. Apabila
kelembaban relative terlalu rendah maka jumlah air yang ada dalam pori beton tidak
mencukupi untuk terjadinya reaksi pelarutan CO2 membentuk kalsit (asam karbonat)
serta reaksinya dengan senyawa kalsium. Apabila kelembaban relative terlalu tinggi,
pori-pori beton terisi penuh air sehingga pelarutan CO2 dapat terjadi. Apabila
kelembaban udaranya sedang maka kondisi ini merupakan kondisi ideal yang mendukung
karbonasi ke lapisan yang lebih dalam dan juga serapan CO2 yang tinggi.
Ketika Ca(OH)2 terlepas dari pasta hasil hidrasi CSH maka CaO yang juga karbonat
juga akan terbebas. Proses karbonasi membutuhkan air karena CO2 larut dalam air
membentuk H2CO3. Jika beton terlalu kering (RH <40%), CO2 tidak dapat larut dan tidak
terjadi karbonasi. Demikian pula jika beton terlalu basah (RH> 90%), maka CO2 tidak
bisa masuk beton dan beton tidak akan karbonat. Kondisi yang optimal untuk terjadinya
karbonasi adalah pada saat beton pada RH 50% (antara 40-90%). Secara umum karbonasi
menyebabkan terjadinya penurunan porositas sehingga pasta beton yang mengalami
karbonasi menjadi lebih kuat. Oleh karena itu, disatu sisi karbonasi memberikan
keuntungan karena beton menjadi lebih kuat.Namun disisi lain, karbonasi dapat
menjadi kelemahan beton bertulang akibat penurunan PH beton, menjadi sekitar 7,
yang merupakan nilai PH di bawah ambang batas pasivasi baja.

Gambar 1b. Bagian beton warna


menunjukkan bahwa Ca(OH)2
Gambar 1a. Bagian beton yang tidak mengalami karbonasi.
mengalami karbonasi.

Karbonasi pada beton dapat diketahui dengan adanya zona berubah warna di
permukaan beton. Perubahan warna yang terjadi dapat bervariasi dari abu-abu terang
dan yang sulit untuk dikenali warnanya ke warna oranye yang kuat dan mudah dikenali.
Karbonasi dapat selidiki dengan menggunakan indikator fphenolphthalein (kertas
lakmus). Kertas lakmus dapat di tempelkan pada permukaan beton. Jika warna
indikator berubah ungu, maka pH beton di atas 8,6. Namun jika indikator tidak
mengalami perubahan warna, maka, pH betonnya di bawah 8,6, yang menunjukkan
telah terjadinya karbonasi (Gambar 1). Suatu pasta beton yang telah sepenuhnya
mengalami karbonasi memiliki pH sekitar 8,4. Secara mikroskopis, karbonasi dapat
dikenali dengan adanya kristal kalsit dan tidak adanya kalsium hidroksida, ettringite
dan butiran semen tak-terhidrasi. Secara umum, terjadinya karbonasi menyebabkan
penurunan sifat pasivitas beton dalam mencegah terjadinya korosi baja, sehingga baja
tulangan yang berada pada bagian beton yang mengalami karboasi terancam korosi.
Proses korosi baja tulangan akan menghasilkan ettringite yang dapat merusak matrik
beton karena spalling (Gambar 2).

Gambar 2. Korosi pada beton yang terjadi di permukaan bagian bawah lantai
dermaga. Korosi pada beton terjadi akibat terbentuknya ettringite akibat
reaksi kimia antara unsur kalsium di dalam beton dengan garam sulfat dari
luar. Sama seperti karat pada besi, ettringite yang terjadi menyebabkan
pengembangan volume beton sehingga menyebabkan massa beton terdesak
dan pecah.
4.1.2. Karbonasi dini (early age carbonation)
Karbonasi dini terjadi jika reaksi karbonasi terjadi bersamaan dengan terjadinya
reaksi hidrasi semen dimana campuran beton segar terekspos langsung ke CO2.
Karbonasi terjadi secara cepat dan berkontribusi pada kepadatn beton serta kekuatan
beton yang lebih tinggi. Hasil reaksi karbonasi akan mempengaruhi perkembangan
pertumbuhan kekuatan beton.
Mekanisme reaksi kimia karbonasi dini berbeda dengan karbonasi pelapukan.
Secara umum rekasi yang terjadi adalah antara karbon dioksida dan trikalsium silikat
serta dikalsium silikat dalam semen.
Setelah beberapa jam, satu atau paling lama dua hari, permukaan beton segar
akan bereaksi dengan CO2 dari udara. Secara bertahap, proses ini akan terjadi semakin
dalam di dalam beton dengan kecepatan sebanding dengan akar kuadrat dari waktu.
Setelah sekitar satu tahun atau lebih, kedalaman dapat mencapai sekitar 1 mm untuk
beton padat yang permeabilitasnya yang rendah dan dibuat dengan rasio air / semen
rendah, atau dapat mencapai sampai dengan 5 mm atau lebih untuk beton lebih porous
yang dibuat menggunakan rasio air semen yang tinggi.
Pasta semen mengandung persentase berat kalsium hidroksida (Ca(OH) 2) sekitar
25-50%. Larutan dalam pori beton normal terdiri dari kalsium hidroksida, natrium dan
kalium hidroksida memiliki pH sekitar 13-14. Beton dengan larutan pori pada pH 10-12
tergolong kurang alkali. PH pasta semen pada beton yang telah sepenuhnya mengalami
karbonasi dapat mencapai sekitar 7. Beton akan mengalami karbonasi jika CO 2 dari
udara atau dari air memasuki beton, reaksinya bersifat spontan dan eksotermik.

C3S + 3CO2 + H2O C-S-H +3CaCO3 + 347 kJ/mol


C2S + 2CO2 +H2O C-S-H + 2CaCO3 + 184 kJ/mol

Pengamatan lebih detil pada reaksi kimia karbonasi dini dari beton segar menunjukkan
adanya beberapa tahapan reaksi kimia sebagai berikut (ilustrasi Gambar 3):
1. Gas CO2 mengalir di udara dan mencapai beton.
2. Karbon dioksida menembus beton melalui pori-pori beton yang terisi air penuh.
3. Penguraian CO2 (g) menjadi CO2 (air) yang terjadi pada tahapan beton segar.
4. Hidrasi CO2 (cair) menjadi H2CO3 (reaksi yang lamban).
5. Ionisasi H2CO3 menjadi H+, HCO3-, CO32-

Keberadaan ion H+ menyebabkan PH pada bahan semen yang sedang berhidrasi


menurun. Namun PH ini akan meningkat seiring dengan kematangan pasta semen telah
matang (memenuhi umur yang direncanakan).
6. Pemadatan pasta semen C2S dan C3S yang berlangsung secara cepat dan bersifat
eksotermis. Butiran semen diselimuti oleh lapisan kalsium silikat hidrat dan
melepaskan ion-ion Ca2+ dan SiO44-.
7. CaCO3 menjadi stabil dan pembentukan gel-gel C-S-H
8. CaCO3 secara cepat mengeras sedangkan kalsit sebagai polimorf.
9. Reaksi karbonasi dini sekunder terjadi karena adanya reaksi berkelanjutan dari
CO2 dan pasta semen sehingga terbentuk gel CSH bersamaan dengan pelepasan
senyawa kalsium dan menghasilkan hilangnya kalsium dari senyawa silikat hidrat
dan pembentukan CaCO3.
Gambar 3. Proses terjadinya reaksi karbonasi.

Reaksi karbonasi dini dapat melibatkan kalsium, pada kondisi keseimbangan, akan
terhidrasi membentuk kalsium hidroksida dan berkontribusi pada pH tinggi. Namun,
karbonasi dini tidak menghambat pengembangan struktur mikro beton selanjutnya
hingga beton mencapai umur rencana. Oleh karena itu, kalsium hidroksida akan
berkembang selama proses hidrasi selanjutnya dan PH pori beton tetap normal hingga
proses karbonasi berakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses karbonasi dini
pengaruhnya sangat kecil (minor) terhadap PH cairan dalam pori beton dewasa (mature
concrete).

4.1.3. Identifikasi karbonasi


Proses terjadinya karbonasi dapat diselidiki dengan menggunakan cairan
fenolftalein. Fenolftalein ((Inggris) phenolphtalein) adalah pewarna yang berperan
sebagai indikator pH. Fenolftalein adalah senyawa kimia dengan rumus molekul C 20H14O4
dan sering disingkat dengan notasi HIn atau pp. Fenolftalein sering digunakan sebagai
indikator dalam titrasi asam–basa. Untuk aplikasi ini, fenolftalein berubah warna dari
tak berwarna dalam larutan asam menjadi merah muda dalam larutan basa.
Kepekaan fenolftalein terhadap pH dapat digunakan dalam identifikasi terjadinya
karbonasi beton. Beton secara alami memiliki pH tinggi karena pembentukan kalsium
hidroksida ketika semen Portland bereaksi dengan air. Oleh karena, apabila beton
bereaksi dengan karbon dioksida di atmosfer, maka pH turun menjadi 8,5-9. Jika larutan
1% fenolftalein diaplikasikan pada beton normal, ia akan berubah warna menjadi merah
muda. Hal ini menunjukkan bahwa beton memiliki PH yang tinggi, diatas 12. Namun
jika tak berwarna, ini menunjukkan bahwa beton telah mengalami karbonasi. Proses
penelitian dapat dilakukan dengan mengambil sampel beton inti dengan core drill pada
daerah beton yang ditengarai telah terjadi karbonasi. Selanjutnya pada permukaan
beton inti bekas pemboran tersebut disemprot dengan larutan fenolftalein dan diamati
terjadi perubahan warna pada permukaan core beton tersebut (Gambar 4). Kedalaman
karbonasi dapat ditentukan dengan melakukan pengukuran bagian yang mengalami
perubahan warna pada beton (Gambar 5).

Gambar 4. Pengambilan beton inti dan


disemprot dengan fenolftalein

Gambar 5. Menentukan kedalam bagian yang telah mengalami karbonasi.


Bagian berwarna pink adalah beton yang tidak mengalami karbonasi.

4.2. Klorida/Chloride
Klorida, terutama kalsium klorida, telah digunakan untuk mempersingkat waktu
seting time (pengerasan) beton. Namun, kalsium klorida dan (untuk tingkat yang lebih
rendah) natrium klorida telah terbukti melarutkan kalsium hidroksida dan menyebabkan
terjadinya perubahan kimia dalam semen Portland dan hilangannya kekuatan beton.
Senyawa klorida juga menyerang tulangan baja dalam beton. Serangan klorida adalah
salah satu aspek yang paling penting untuk dipertimbangkan yang berhubungan dengan
daya tahan beton/durabilitas. Serangan klorida menjadi sangat penting karena potensi
terhadap korosi tulangan. Statistik telah menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen dari
kegagalan struktur ini disebabkan korosi tulangan.
Karena alkalinitas tinggi maka pada permukaan beton terbentuk lapisan oksida
pelindung pada permukaan baja tulangan. Namun lapisan pasif pelindung ini dapat
hilang apabila beton mengalami karbonasi (Gambar 6). Lapisan pelindung ini juga dapat
hilang karena adanya klorida yang terlarut dalam air dan oksigen. Pada kenyataannya
serangan klorida yang dapat menyebabkan korosi tulangan lebih sering terjadi dan lebih
serius daripada kerusakan beton akibat alasan lain. Sekarang dapat dipahami bahwa
Sulfat menyerang beton sedangkan klorida menyerang baja tulangan.

Gambar 6. Serangan ion klorida pada baja tulangan terjadi


karena alkalinitas beton turun akibat karbonasi (CO2).

Gambar 7. Serangan klorida pada beton menyebabkan terjadinya korosi


pada baja tulangan pada struktur-struktur yang dibangun di
lingkungan yang memiliki intensitas klorida yang tinggi.
Klorida memasuki beton dapat melalui dari semen, air, dan agregat dan kadang-
kadang dari bahan tambah (admixtures). Sekarang ini pada umumnya admixtures
mengandung kuantitas klorida yang sangat kecil dan dapat diabaikan atau yang disebut
chloride free. Klorida dapat masuk dalam beton melalui proses difusi dari lingkungan.
Jumlah klorida yang dapat menyebabkan korosi juga tergantung dari pH air pori beton.
Pada nilai pH kurang dari 11,5 korosi dapat terjadi tanpa kehadiran klorida. Pada nilai
pH lebih dari 11,5 diperlukan jumlah klorida lebih banyak untuk menginisiasi korosi.
Batasan tentang kandungan senyawa klorida dalam beton telah diatur oleh ACI 318
seperti disajikan pada Tabel 4.4.1 ACI 318. Diksusi tentang serangan klorida akan
dibahas lebih lanjut pada korosi baja tulangan.

4.3. Sulfat
Ini adalah jenis kerusakan beton yang banyak terjadi di mana air yang mengandung
sulfat terlarut menembus beton keras. Sulfat yang terlarut dalam air bereaksi dengan
hasil hidrasi CSH pada beton atau pasta sehingga menjadi ettringite yang lunak. Reaksi
akibat sulfat dapat dengan mudah dikenali pada permukaan beton normal. Hal ini
terjadi karena komposisi dan struktur mikro dari beton mengalami perubahan.
Perubahan yang terjadi bervariasi dalam jenis atau tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
Struktur beton yang mengalami serangan sulfat terutama adalah untuk
bangunan-bangunan beton yang didirikan di daerah bertanah liat atau lempung yang
mengandung senyawa-senyawa sulfat ( SO42 ), seperti sodium (Sd), kalsium (Ca) atau
magnesium (Mg) sulfat. Beton yang mengalami serangan sulfat dalam matrik betonnya
akan terbentuk ettringite yang sangat ekspansif dimana volume ettringite mencapai
lebih dari 2 kali bahan pembentuknya.
Batas kandungan senyawa sulfat dalam beton telah diatur oleh ACI 3018 seperti
disajikan pada Tabel 4.3.1 ACI 318.
4.3.1. Proses terbentuknya Ettringite
Beton merupakan kumpulan agregat yang disatukan dengan kalsium karbonat
(Ca(OH)2) yang mengeras dan membentuk satu kesatuan masa yang kokoh. Keberadaan
senyawa sulfat dalam beton akan mampu melarutkan senyawa kalsium karbonat dan
membentuk kalsium sulfat (gypsum) dan kalsium sulfoaluminat (ettringite).

3Ca(OH)2  2SO 24   2 Al(OH)41  Ca 3 (SO 4 )2 ( Al(OH)4 )2  6OH1 (3)

Terbentuknya ettringite pada beton menyebabkan sifat beton yang keras akan menjadi
melunak sehingga hilang kekuatan tekannya. Disamping itu, sifat ekspansif ettringite
menyebabkan beton menjadi mengembang atau menggelembung.

Gambar 8. Permukaan beton yang menjadi lunak dan mengembang karena


pembentukan ettringite (kiri) dan apabila telah mengeras bagian yang lunak
akan mudah terkelupas (kanan).
Gambar 9. Beton yang terkena serangan sulfat permukaannya akan mudah
terkelupas dengan kerusakan yang menyebar.

Serangan sulfat pada beton dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu serangan
eksternal dan serangan internal. Serangan sulfat secara eksternal dimungkinkan oleh
beberapa hal berikut:
1) porositas beton yang relatif tinggi,
2) struktur beton berada pada lingkungan dengan kandungan sulfat yang tinggi,
serta
3) adanya media air.
Serangan sulfat secara internal terjadi karena terbentuknya ettringite pada beton
merupakan katalis terbentuknya semakin banyak ettringite pada beton tersebut
sehingga kerusakan beton akan semakin besar dan menyebar.
Senyawa sulfat dapat menyerang beton terhadap senyawa-senyawa
pembentuknya, yaitu: trikalsium silikat (C3S), dikalsium silikat (C2S) atau trikalsium
aluminat (C3A), tergantung senyawa yang paling dominan.
1) Serangan senyawa sulfat pada senyawa silikat hidrat (CSH) akan membentuk
gipsum (CaSO4.2H2O).
CH atau CSH + SO42- + H2O  CSH2 (Gipsum)

2) Serangan senyawa sulfat pada senyara silikat aluminat hidrat (CAH) akan
membentuk ettringite.
CAH + CSH2 + H2O  C3A.CS.H32 (ettringite)

3) Serangan sulfat pada senyawa-senyawa silikat hidrat dimana dalam reaksinya


terdapat ion-ion karbonat (SO42-, CO32-) akan membentuk thaumasite.
CH atau CSH + SO42- atau CO32- + H2O  CS.CS.CCH15 (thaumasite)

Pembentukan senyawa thaumasite pada beton bersamaan dengan terjadinya


kehilangan kekuatan dan lekatan beton sehingga beton yang semula keras menjadi
lunak seperti bubur. Serangan seperti ini terutama terjadi akibat serangan sulfat
yang terkandung pada senyawa garam-garaman dan pada kondisi lingkungan yang
lembab dengan temperatur yang rendah.
4) Serangan sulfat dari Magnisum Sulfat (MgSO4) pada senyawa silikat hidrat akan
membentuk gipsum dan gel-gel silika.
CH atau CSH + MgSO4 + H2O  CSH2 + Mg(OH)2 + SiO2.xH2O
gipsum brucite silika gel

Pada serangan ini meskipun tidak terbentuk ettringite namun telah menyebabkan
beton kehilangan kekuatan dan lekatan sehingga melunak.

5.3.2. Kerusakan beton akibat serangan sulfat


Struktur beton yang mendapatkan serangan sulfat ditandai dengan timbulnya
warna keputihan (whitish) di permukaannya. Warna ini merupakan indikasi
terbentuknya gypsum (kalsium sulfat (CaSO4)) dan kalsium sulphoaluminat (ettringite).
Ettringite yang terbentuk memiliki volume sekitar 2 kali lebih besar dari zat
pembentuknya. Akibatnya, pengembangan yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan
beton berupa retak-retak atau bahkan spalling. Sedangkan lapisan gypsum yang terjadi
pada beton akan melunakan kalsium karbonat (Ca(OH)2) sehingga beton menjadi lunak,
mudah terkelupas dan keropos.
Serangan sulfat yang berasal dari luar (external), tingkat kerusakan yang
ditimbulkan tergantung dari konsentrasi sulfat dalam larutan dan tingkat permeabilitas
beton. Apabila betonnya porous dan/atau adanya tekanan dari luar yang tinggi yang
memungkinkan terjadinya penetrasi senyawa sulfat ke dalam beton, maka senyawa
Ca(OH)2 akan dapat terlarut dan mengalir keluar dari lapisan beton. Di luar beton air
akan diuapkan meninggalkan endapan senyawa kalsium karbonat yang berwarna
keputihan (whitish) menempel pada dinding beton. Apabila kondisi ini berlangsung
terus menerus maka endapan putih yang menempel di dinding betonpun semakin lama
akan semakin menebal. Senyawa ini sebetulnya tidak membahayakan struktur, akan
tetapi apabila intensitas terjadinya cukup banyak akan menambah porositas dan bahkan
dapat menjadikan beton berlubang. Kondisi yang membahayakan untuk struktur
bangunan air dengan tekanan air yang tinggi. Tidak demikian halnya dengan terjadinya
ettringite pada beton, sekali senyawa ettringite terbentuk, senyawa ini memiliki
kemampuan untuk meprovokasi lapisan beton sekitarnya membentuk senyawa
ettringite serupa. Akibatnya kerusakan beton akan semakin besar dan meluas. Beton
akan kehilangan kekuatannya dan melunak dan bila dibiarkan tak tertangani
kerusakannya akan melebar dan struktur beton akan menjadi rapuh. Untuk struktur
beton bertualang kondisi ini tentu sangat membahayakan karena pelunakan beton akan
disertai dengan terjadinya korosi baja tulangan. Kerusakan yang terjadi pada beton dan
baja sekaligus tentu akan sangat membahayakan kestabilan struktur beton bertulang.

a) Proses Kimia
senyawa sulfat + hasil hidrasi kalsium alumina dan / atau komponen kalsium hidroksida
dari pasta semen yang mengeras + air = ettringite (kalsium sulphoaluminate hidrat)

C3A.Cs.H18 + 2CH + 2s + 12H = C3A.3Cs.H32

C3A.CH.H18 + 2CH + 3s + 11H = C3A.3Cs.H32


senyawa sulfat + hasil hidrasi kalsium alumina dan / atau komponen kalsium hidroksida
dari pasta semen yang mengeras + air = gypsum (kalsium sulfat hidrat)

Na2SO4 + Ca (OH) 2 + 2H2O = CaSO4.2H2O + 2NaOH

MgSO4 + Ca (OH) 2 + 2H2O = CaSO4.2H2O + Mg (OH) 2

Kedua bentuk reaksi kimia tersebut tergantung pada:


 Konsentrasi dan sumber senyawa sulfat
 Komposisi semen pasta pada beton

b). Proses Fisik.


 Proses fisika-kimia yang kompleks dari "serangan sulfat" saling berhubungan dengan
kondisi kerusakan yang dihasilkan.
 Terjadinya serangan sulfat secara fisik sering ditunjukkan dengan penggelembungan
(terbentuknya natrium sulfat Na2SO4 dan / atau Na2SO4.10H2O) pada permukaan
beton.
 Kerusakan akibat sulfat bukan hanya masalah kosmetik, tetapi itu menunjukkan
kemungkinan yang nyata adanya serangan kimia dan potensi perubahan senyawa
mikro dalam matriks beton.

Kedua fenomena kimia dan fisika yang diamati pada permukaan beton merupakan bukti
telah terjadinya serangan sulfat, dan keduanya tidak dapat saling dipisahkan (Gambar
10) dan Gambar 11).

Gambar 10. Kerusakan beton bertulang akibat serangan sulfat menyebkan


permukaan beton terkelupas (spalling) (kiri) dan terjadinya aliran air
tanah yang mengandung sulfat keatas memalui pori pasanga bata
Gambar 11. Kerusakan tumpukan gelagar beton (kiri) dana pilar jembatan akibat
serangan sulfat (kanan).

c). Kerusakan beton secara mikro.


Hasil scanning foto electron pada kerusakan beton akibat sulfat diperlihatkan
pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil foto electron pada permukaan beton yang mengalami serangan
sulfat.
5.3.3. Sumber-sumber senyawa sulfat
Sumber-sumber sulfat dapat dikelompokkan sebagai sumber internal dan
eksternal, sebagai berikut:
a) Sumber internal:
Kerusakan akibat sulfat dari sumber internal relative jarang terjadi. Sumber
sulfat internal berasal dari bahan susun beton, seperti semen hidrolik, fly ash,
agregat, dan proses pencampuran.
 Semen portland mungkinmengandung terlalu banyak sulfat.
 adanya gipsum alami dalam agregat.
 Bahan tambah (Admixtures) juga dapat mengandung sejumlah kecil sulfat.
b) Sumber Eksternal
Kerusakan beton akibat sulfat dari sumber eksternal lebih banyak terjadi dan
biasanya sulfat berasal dari tanah yang kandungan sulfatnya tinggi, dan air tanah
yang mengandung sulfat, atau sulfat hasil dari polusi udara di atmosfer atau
industri.
 Tanah dapat mengandung jumlah gypsum atau sulfat yang berlebihan
 air tanah mengalir melalui pori bton menuju ke pondasi, dinding penahan
tanah, dan struktur bawah lainnya.
 Hasil limbah industri.

Tabel 2. Tebal selimut beton minimum sesuai dengan ACI 318.

Untuk melindungi tulangan baja dalam beton, ACI 318 mengatur tentang batasan
minimum untuk tebal selimut beton (concrete cover). Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya serangan kimia, baik itu karbonasi atau serangan dapat mencapai
tulangan baja yang dapat berpotensi menyebabkan korosi baja tulangan. Batas
minimum selmut beton sesuai ACI 318 ditunjukkan pada Tabel 2.

5.3.4. Pencegahan terhadap serangan sulfat


Faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap terjadinya serangan sulfat, antara lain
adalah:
a). Jenis Semen dan konten:
Faktor mineralogi semen yang paling penting yang mempengaruhi intensitas
serangan sulfat adalah: C3A, perbandingan C3S/C2S dan C4AF. Gambar 9.5
menunjukkan pengaruh dari proporsi C3A dalam Portland cemen terhadap tingkat
kerusakan beton yang terekspos ke lingkungan sulfat.

b). Penambahan Fly Ash


Penambahan campuran pozzolan seperti fly ash akan dapat mengurangi kandungan
C3A dari semen.

Gambar 14. Pengembangan akibat


sulfat pada beton yang
mengandung fly ash dengan
kadar kalsium rendah pada
beberapa variasi komposisi.
3. Jenis Sulfat dan konsentrasi
Serangan sulfat cenderung meningkat dengan peningkatan konsentrasi larutan
sulfat sampai tingkat tertentu.

4. Ion Klorida
Faktor-faktor lain:
 Tingkat permukaan air dan variasi musiman
 Aliran air tanah dan porositas tanah
 Bentuk konstruksi
 Kualitas beton

Pengendalian serangan sulfat


1). Kualitas beton, khususnya permeabilitas yang rendah, adalah perlindungan terbaik
terhadap serangan sulfat.
 ketebalan beton yang memadai
 konten semen yang tinggi
 Rendah w / rasio c
 pemadatan yang tepat dan menyembuhkan

Pengaruh rasio w/c terhadap serangan sulfat

2). Penggunaan jenis semen yang tahan sulfat akan memberikan keamanan tambahan
terhadap serangan sulfat, misalnya semen Tipe II dan Tipe V.
konsentrasi konsentrasi
kondisi lingkungan senyawa sulfat senyawa sulfat
terhadap sulfat terlarut dalam terlarut dalam air
tanah (%) (ppm)
rendah < 0.1 < 150
sedang 0.1 - 0.2 150 - 1500
tinggi 0.2 - 2 1500 - 10000
sangat tinggi >2 > 10000

6. Pembentukan Ettringite tertunda (Delayed ettringite formation)


Tertunda pembentukan ettringite (DEF) adalah kasus khusus dari serangan sulfat
internal pada beton dan telah menjadi masalah yang signifikan di banyak negara. Hal
ini terjadi pada beton yang proses rawatan kerasnya dilakukan pada temperature
tinggi, misalnya menggunakan steam curing. Pada awalnya kasus ini diidentifikasi
terjadi pada bantalan rel kereta api yang di rawat dengan steam curing. Hal ini juga
dapat terjadi pada beton pencoran beton masa dimana panas hidrasi akan
menghasilkan suhu tinggi dalam beton. DEF menyebabkan beton mengembang karena
terbentuknya ettringite dalam pasta dan dapat menyebabkan kerusakan serius pada
struktur beton. DEF biasanya tidak disebabkan karena kelebihan senyawa sulfat di
semen, atau dari sumber selain semen dalam beton. Meskipun kelebihan sulfat dalam
semen akan cenderung meningkatkan pengembangan beton karena DEF, itu bisa terjadi
pada tingkat sulfat normal pada semen. Salah satu kunci dalam memahami DEF adalah
bahwa ettringite hancur pada pemanasan di atas sekitar 70 C.

6.1. Definisi pembentukan ettringite tertunda


DEF terjadi jika ettringite yang biasanya terbentuk selama hidrasi terurai, dan
selanjutnya terbentuk kembali dalam beton yang telah mengeras. Kerusakan beton
terjadi ketika kristal ettringite mengakumulasikan kekuatan ekspansif dalam beton
pada saat mereka berkembang. Akibat akumulasi gaya desak dari dalam beton, apabila
gaya desak yang terbentuk melebihi kekuatan Tarik beton maka akan terjadi retak-
retak pada permukaan beton (Gambar 13).
Pada beton normal, jumlah total ettringite yang terbentuk dibatasi oleh sulfat
disumbangkan oleh jumlah semen awal. Oleh karena itu jumlah ettringite yang
terbentuk relatif kecil. Kristal ettringite yang terbentuk tersebar secara luas di seluruh
pasta. Jika ekspansi menyebabkan retak, ettringite mungkin dapat terbentuk di retak-
retak beton namun ini tidak berarti bahwa ettringite di retak-retak tersebut telah
menyebabkan retak awal.
Kondisi yang dapat menyebabkan DEF
 suhu tinggi (sekitar > 65 - 70oC), biasanya selama proses curing, tetapi tidak selalu.
 Air: saturasi permanen setelah curing.
 Umumnya terkait dengan reaksi alkali-silika (ASR)
Gambar 13. Terjadinya retak-retak pada beton precast pada jembatan terutama
pada gelagar dan pilar akibat delayed ettringite formation.

Gambar 14. Mikrostruktur beton yang mengalami serangan ettringite


menyebabkan pengembangan dan retak pada matrik beton.
Dalam tes laboratorium, agregat kasar dari bahan kapur (limestone) diketahui dapat
mengurangi pengembangan. DEF biasanya terjadi pada beton yang dirawat pada suhu
tinggi (steam curing) atau yang mencapai suhu tinggi selama proses rawatan kerasnya
sebagai akibat dari reaksi eksotermis hidrasi semen. Ketika suhu curing beton
meningkat, pembentukan ettringite biasanya terjadi sampai sekitar 70 C. Di atas suhu
ini ettringite akan terurai. Pada beton keras, monosulfate biasanya merupakan sulfat
utama yang mengandung hasil hidrasi dan ini dapat berlanjut sampai sekitar 100oC. DEF
dapat terjadi pada beton yang mengalami panas eksternal tinggi, misalnya akibat
kebakaran. Molekul ettringite berisi 32 molekul air, oleh karena itu pembentukan
ettringite membutuhkan kondisi yang basah.

Pengaruh komposisi semen pada DEF belum dipahami dengan baik. Beberapa faktor
terlihat berkorelasi kuat akan tetapi penyebabnya tidak jelas. Dalam tes laboratorium,
ekspansi DEF telah terbukti berkorelasi positif dengan faktor yang berhubungan dengan
semen, termasuk:
a) kadar sulfat tinggi
b) kadar alkali yang tinggi
c) kadar MgO tinggi
d) kehalusan semen
e) kadar C3A tinggi
f) kadar C3S tinggi

6. Serangan akibat bakteri asam


Bakteri asam merupakan jenis anaerob yang biasa hidup di tempat dengan
kandungan oksigen rendah. Bakteri ini memiliki kemampuan mengubah senyawa sulfat
( SO 24  ) yang ada dalam air menjadi sulfit (S2-) yang selanjutnya apabila bereaksi dengan
hidrogen (H+) akan menghasilkan gas hydrogen sulfite (H2S). Jika terdapat suplai
oksigen yang cukup, dari air atau udara luar, maka senyawa hydrogen sulfite akan
bereaksi membentuk senyawa asam sulfat (H2SO4). Reaksi kimianya dapat dituliskan
sebagai berikut:
Bakteri organik + SO 24   S2   H2O  CO2 (4)
S 2   2H  H2S (5)
H2S  2O2  H2SO4 (6)
Senyawa asam sulfat yang terjadi bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan
senyawa kalsium yang ada pada beton (mis. Ca(OH) 2) dan menghasilkan kalsium sulfat
(CaSO4) dan air (H2O). Reaksi kimia yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut:
H2SO4  Ca(OH)2  CaSO4  H2O (7)
CaSO4  H2O   CaSO4 .2H2O (8)
Senyawa sulfat yang dihasilkan dari kalsium sulfat dan air (Persm. 8) adalah identik
dengan gypsum. Sebagaimana reaksi akibat sulfat, terbentuknya gypsum pada beton
akibat serangan bakteri asam tersebut akan menyebabkan beton melunak dan
mengancam integritas struktur dan bahkan dapat menyebabkan keruntuhan.
Kerusakan akibat bakteri banyak terjadi pada bangunan, antara lain: saluran air,
saluran sanitasi, pengolahan limbah, tangka air.
Gambar 16. Kerusakan beton akibat serangan bakteri asam dengan membentuk
kalsium sulfit yang membuat beton melunak dan mengembang.

Gambar 17. Kerusakan beton di saluran sanitasi limbah perkotaan yang sangat
akut, salah satunya akibat bakteri asam.
7. Efflorescence dan Leaching
Pengkristalan garam (Efflorescence) adalah terminology untuk deposit dari garam-
garaman, yang terbentuk di dekat atau di permukaan bahan yang berpori, sebagai
akibat dari penguapan air dari larutan dan meninggalkan garam-garaman tersebut di
permukaan bahan.

Pengkristalan dapat terjadi di batu bata


Pada proses efflorescence biasanya ditemukan sulfat magnesium, kalsium, sulfat
dan karbonat (dan kadang-kadang klorida dan nitrat). Garam-garam ini dapat ditelusuri
dari bata itu sendiri, pasir yang digunakan dalam konstruksi, tanah pondasi, air tanah,
air yang digunakan dalam konstruksi dengan pekerjaan bata. Batu bata dengan
kandungan magnesium sulfat yang lebih tinggi dari 0,05 % tidak boleh digunakan dalam
konstruksi. Kandungan garam larut dalam pasir (klorida dan sulfat bersama-sama) tidak
boleh melebihi 0,1 %.
Air, jika menemukan akses ke pasangan bata, akan mengalir sepanjang pori-pori
akibat gaya kapiler dan membawa serta garam-garam yang terlarut. Pada saat
mencapai permukaan bata, larutan tersebut menguap akibat sinar matahari,
meninggalkan lapisan garam-garaman di permukaan atau di lapisan tepat di bawahnya.
Kristal garam-garaman yang tertinggal di bagian dalam dekat permukaan bata akan
menimbulkan kekuatan mekanik yang mampu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau
pengelupasan permukaan bata. Magnesium sulfat, khususnya, mampu menghacurkan
batu bata dan mendesak plester keluar.

Gambar 18. Terjadinya endapan garam-garaman di permukaan pasangan bata

Efflorescence dan Leaching pada beton


Ketika air berinfiltrasi ke dalam beton yang memiliki tingkat kepadatan yang
buruk, sehingga betonnya porous, maka aliran air akan membawa pula senyawa kapur
yang terlarut dalam air. Setelah mencapai keluar permukaan maka air akan menguap
karena matahari sedangkan senyawa kapur akan mengendap dan tertinggal di
permukaan, yang dikenal sebagai pengkristalan. Ini terutama disebabkan oleh kalsium
hidroksida Ca (OH) yang merupakan salah satu produk hidrasi dan sedikit larut dalam
air, migrasi ke permukaan beton melalui sistem kapiler. Setelah penguapan, Ca padat
(OH) bereaksi dengan atmosfer karbon dioksida CO untuk membentuk kalsium karbonat
CaCO, deposit putih pada permukaan beton (Gambar 19 dan Gambar 20).
Gambar 19. Terjadinya efflorescence dan leaching pada beton yang menimbulkan
endapan kapur di permukaan.

Gambar 20. Titik-titik terjadinya leaching pada permukaan bervaiasi tergantung dari
kualitas beton dan gaya infiltasi air.

Pengkristalan awal dapat dihilangkan dengan sikat dan air. Deposito kapur yang
lebih berat mungkin memerlukan penggunaan senyawa asam pada permukaan beton.
Asam yang digunakan adalah HCl diencerkan dari bentuk terkonsentrasi dalam
perbandingan 1:20 atau 1:10. Reaksi pada penggunaan asam berhenti ketika telah
bereaksi dengan kapur, tapi beton harus dicuci untuk menghilangkan garam yang telah
terbentuk.
Efflorescence dan Leaching pada beton sangat berbahaya. Selain menodai dan
mebuat kondisi penampilan yang buruk, juga telah terjadi proses karbonasi beton yang
lebih cepat. Dalam beton bertulang, kemungkinan korosi baja meningkat karena
karbonasi dan permeabilitas yang lebih tinggi dari beton. Oleh karena itu perlu
pembuatan bahan beton harus berkualitas baik, mineral dan pencampuran bahan kimia
sebaiknya menggunakan proporsional yang benar (rencana campuran yang baik) yang
diperlukan untuk membuat beton yang durabilitasnya tinggi. Semua tahapan
pembuatan beton harus benar, baik menyangkut bahan, proses pencampuran,
pencoran, pemadatan serta rawatan keras.

8. Reaksi alkali silika


Dalam kebanyakan beton, agregat secara kimia lebih pasif atau kurang aktif
bereaksi. Namun, beberapa agregat dapat bereaksi dengan senyawa hidroksida alkali
dalam beton, yang dapat menyebabkan ekspansi dan retak dalam proses yang terjadi
selama bertahun-tahun. Reaksi alkali-agregat ini memiliki dua bentuk: alkali-silika
reaksi (ASR) dan reaksi alkali-karbonat (ACR).
Reaksi alkali-silika (ASR) merupakan proses kimia yang lebih menguatirkan karena
agregat yang mengandung bahan silika reaktif adalah sesuatu umum. Dalam ASR,
agregat mengandung bentuk-bentuk tertentu dari silika yang akan bereaksi dengan
alkali hidroksida dalam beton untuk membentuk gel yang volumenya membengkak
karena adsorbsi air dari pasta semen di sekitarnya atau lingkungan. Gel ini dapat
menyebabkan gaya desak dan memberikan tekanan yang cukup luas dan mapu untuk
merusak beton.
Indikasi terjadinya ASR adalah terjadinya pola retak yang tak beraturan pada
permukaan beton, dan pada kasus lanjut terjadi pengelupasan beton (spalling). Retak-
retak biasanya muncul di daerah-daerah dengan tingkat kelembaban tinggi, seperti
dekat dengan permukaan air di dermaga, dekat tanah di belakang dinding penahan,
dekat pertemuan elemen atau di dermaga atau kolom. Pemeriksaan dengan petrografi
dapat digunakan untuk mengidentifikasi ASR.

Gambar 21. Retak-retak dengan pola acak sebagai indikasi terjadinya ASR.
Gambar 22. Serangan ASR pada struktur jembatan (kiri) dan bendung (kanan).

Reaksi alkali-silika dapat dikontrol dengan menggunakan bahan semen pelengkap


tertentu. Dengan menggunakan proporsi yang benar, silika fume, fly ash, dan butiran
terak blast-furnace dapat secara signifikan mengurangi atau menghilangkan ekspansi
akibat reaksi alkali-silika. Selain itu, senyawa lithium juga telah digunakan untuk
mengurangi ASR. Meskipun agregat yang berpotensi reaktif alkali silica cukup banyak di
Indonesia, namun kerusakan akibat reaksi alkali-silika dalam beton dapat dikurangi
apabila dilakukan sistem pengawasan yang baik. Hal lain yang perlu dicata adalah
bahwa tidak semua gel dari reaksi ASR menghasilkan ekpansi yang destruktif.
Reaksi alkali karbonat (ACR) diamati terjadi pada batuan dolomit tertentu.
Dedolomitization, reaksi dengan dolomit, biasanya dikaitkan dengan ekspansi. Reaksi
ini dan yang dilanjutkan dengan kristalisasi brucite dapat menyebabkan terjadinya
ekspansi yang cukup besar. Kerusakan akibat oleh reaksi alkali-karbonat mirip dengan
kerusakan yang disebabkan oleh ASR; Namun, ACR relatif jarang terjadi karena agregat
yang rentan terhadap fenomena ini tidak banyak digunakan dan biasanya tidak cocok
untuk digunakan dalam beton karena alasan yang lain. Agregat yang rentan terhadap
ACR cenderung memiliki karakteristik tekstur yang dapat diidentifikasi oleh
petrographers. Tidak seperti reaksi alkali karbonat, penggunaan bahan tambahan
semen tidak dapat mencegah potensi ekspansi merusak akibat ACR. Disarankan bahwa
agregat rentan ACR tidak digunakan dalam beton.

Berikut ini adalah kategori jenis batuan utama yang dikelompokkan dalam jenis non-
reaktif dan reaktif.
Agregat diketahui non-reaktif dari pengalaman lapangan dan pengujian adalah:
 Greywacke
Salah satu tipe dari batu pasir yang 15% atau lebih komposisinya adalah matrix
yang terbuat dari lempung, sehingga menghasilkan sortasi yang jelek dan batuan
menjadi berwarna abu-abu gelap atau kehijauan.
 Sekis
Typical dari jenis batuan metamorf, batuan ini terbentuk pada saat batuan
sediment atau batuan beku yang terpendam pada tempat yang dalam mengalami
tekanan dan temperatur yang tinggi.
 Basalt <50% SiO2
batuan beku yang ekstrusif, terbentuk dari solidifikasi magma yang terjadi di
permukaan bumi. Biasanya basalt berwarna abu-abu atau hitam, karena
pembekuannya cepat di permukaan bumi.
 quartz Sands
 Phonolite
 apung rhyolitic
 Granit
 Perlite
 Vermiculite
 Batu kapur

Agregat atau mineral yang diketahui berpotensi reaktif baik dari pengalaman lapangan
atau pengujian laboratorium:
 Basalt > 50% SiO2
 Christobalite
 andesit
 tridimit
 dasit
 Kuarsit
 riolit
 Amorf dan Criptocrystalline silica (Termasuk Opal & Chalcedony)
 kaca vulkanik

Pengaruh ASR
Kualitas Beton
 Hilangnya kekuatan, kekakuan, impermeabilitas
 Mempengaruhi daya tahan beton dan penampilan
 Kegagalan Prematur struktur beton
Biaya Ekonomi
 Biaya pemeliharaan meningkat
 Kehidupan struktur beton berkurang
Hasil keseluruhan
 Tidak ada struktur beton telah runtuh akibat kerusakan ASR
 Beberapa struktur beton / anggota dihancurkan karena ASR

4.4. Kualitas Air


Banyak bangunan Teknik sipil yang berada di air, misalnya bendungan, dam,
dermaga, pilar dan abutment jembatan, pintu air. Kualitas air yang ada di sekitar
bangunan akan sangat mempengaruhi kestabilan bangunan beton yang ada. Secara
umum natural water, termasuk surface water, well water memiliki kualitas beraneka
ragam. Ini tergantung dari topografi keberadaan air tersebut (sumber air, daerah
sekitar sumber) dan juga sangat tergantung kegiatan manusia sepanjang / disekitar
aliran air tersebut. Pada umumnya untuk well water banyak mengandung mineral –
mineral alam dan agresivitas CO2 yang sangat tinggi, sedangkan untuk air permukaan
(air waduk, danau dan air sungai) keberadaan dari mineral itu sangat beragam, yang
pada umumnya ditentukan oleh sumber asal air (incoming water) dan kegiatan
pemukiman disekitar aliran air / waduk / sungai tersebut.
Salah satu aspek yang mempengaruhi kondisi bangunan di sekitar air adalah
kualitas air. Berbicara tentang kulaitas air, sangat terkait dengan kegunaan air tersebut
dan juga sangat terkait dengan lingkungan dimana air itu berada. Terdapat beberapa
parameter yg menentukan kualitas air. Parameter yg berpotensi untuk bersifat merusak
(deteriorate parameter), antara lain adalah :
 pH,
 SSA (salt strong acid = ion- ion negative yang berasal dari garam asam kuat )
misalnya Cl-1 (ion klorid),
 SO4-2 (ion sulfat) dan ion nitrat (NO3-1).
 Selain itu juga oksigen – oksigen terlarut dalam air.
Ion – ion ini bersifat sangat korosif terhadap logam. Keberadaan ion – ion ini
sangat tergantung dari sumber air / incoming water ataupun sebagai akibat
pencemaran kegiatan penduduk setempat.
 Alkalinitas air
M alk , yaitu merupakan kandungan total dari logam alkali yg ada dalam air,
mencakup logam alkalin Na , K da alkali tanah Ca+2 dan Mg+2. Logam – logam
ini pada umumnya di air alam berupa senyawa bicarbonate (HCO3), senyawa
karbonat (CO3) dan senyawa basa hidroksida (OH). Sebagai deteriorate
compound adalah keberadaan sebagai alkali bicarbonate  HCO3
 Kesadahan air
total hardness ditandai dengan terbentuknya senyawa karbonat dari CaCO3 dan
MgCO3, jika total alkalinitas ( M alk, lebih besar dibandingkan dengan total
kesadahan  maka dapat dikatakan sifat air itu “aggressive”  cenderung
untuk membentuk endapan CaCO3 pada permukaan bangunan air.
 SSA ( salt strong acid = ion- ion negative yang berasal dari garam asam kuat )
misalnya Cl-1 (ion klorid) , SO4-2 (ion sulfat ) dan ion nitrat (NO3-1). (salt strong
acid). Keberadaan ion – ion negative ini sangat aggressive terhadap mineral
dalan beton semen , terutama mineral Ca(OH)2 (portlandite)  sehingga
mengakibatkan concrete – corrosion tendency.
 Suhu air, yang akan menentukan kesetimbangan – kesetimbangan senyawa
bicarbonate, dan senyawa carbonate  releasing CO2 equilibrium 
tendencious for CaCO3 deposit along the surface.
 Free CO2, CO2 aggressive, keberadaan CO2 bebas ini sangat tergantung pada
kedalaman air, semakin dalam CO2 free aakan semakin besar. Untuk air dengan
M alk yang tinggi pada permukaan / air dangkalpun kemungkinan CO2 free /
CO2 aggressive ini bisa sangat tinggi. Free CO2 ini sebagai pemicu untuk
terjadinya kualitas air dengan pH yg rendah, karena dalam air free CO2 akan
terikat oleh air ementuk asam carbonate. CO2 + H2)  H2CO3  H+ +
HCO3 -1. Keberadaan H+ ini yg dapat mengakibatkan struktur bangunan beton
terkorosi karena dapat bereaksi dengan portlandite (CaOH2) ataupun dengan
besi tulangan (Fe).

Anda mungkin juga menyukai