Anda di halaman 1dari 19

DIKJARTIH NTT

Rabu, 27 Januari 2016

KONSEP PENGEMBANGAN DESA TABLOLONG KECAMATAN KUPANG BARAT BERDASARKAN POTENSI


WILAYAH

Oleh:

Baswara Anindita

bazwara@gmail.com

Abstrak

Desa Tablolong adalah desa pesisir dengan luas wilayah 9,01 Km2, jumlah penduduk adalah 1195 jiwa
yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong
adalah 133 jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK. Komoditi unggulan Desa
Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk adalah Eucheuma
Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), dengan tingkat produksi kotoni pada tahun 2007 adalah
500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada
tahun 2009 kemampuan produksi menurun tercatat pada tahun 2014 hanya sejumlah 289 ton menurun
45% akibat efek pencemaran Laut Timor dari kilang Mokantara. Potensi wilayah yang dapat
dikembangkan adalah wisata pantai, wisata alam, wisata budaya, wisata pemancingan, wisata kuliner
dan industri kreatif. Walaupun kondisi eksisting saat ini untuk infrastruktur dasar pendukung pariwisata
dalam keadaan minim,rusak/hancur namun dapat dilakukan pengembangan dan perbaikan. Saat ini
sudah ada homestay dan Hotel yang telah dibangun walaupun masih diliputi permasalahan. Konsep
pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata ruang
yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah menjadikan
laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep
pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari
bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari
atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan
Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan
desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.

Kata Kunci: Potensi, Pengembangan, Water front, Eko wisata

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Definisi pembangunan ekonomi secara umum adalah proses dimana pendapatan perkapita suatu
negara/wilayah meningkat dalam kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk
yang hidup dibawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin
timpang.

Dalam pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan belum
dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat. Keadaan ini disebut sebagai adanya masalah dalam
pembangunan. Tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran, kemiskinan, dan
kesenjangan, baik kesenjangan antargolongan penduduk, antar sektor, maupun antar daerah. Ketiga
masalah tersebut saling berkaitan.

Kebijaksanaan pembangunan yang sistematis diperlukan untuk memperkecil kesenjangan. Berdasarkan


pengalaman empiris, strategi pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan terbukti
tidak mampu memecahkan masalah justru sebaliknya acapkali mempertajam kesenjangan,
keterbelakangan, dan ketertinggalan.

Kesenjangan atau disparitas pembangunan marak terjadi di berbagai negara bahkan di Indonesia
sekalipun. Kesenjangan pembangunan di Indonesia sangat dirasakan terutama adanya pembagian
wilayah barat dan timur Indonesia. Wilayah barat sangat maju sedangkan wilayah timur masih banyaj
yang tertinggal.

Sejalan dengan hal tersebut di Provinsi NTT khususnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang
merupakan wilayah terdekat dengan Provinsi juga mengalami kesenjangan pembangunan. Dengan laju
pertumbuhan Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi ternyata setelah 57 tahun sejak Provinsi NTT
terbentuk masih nampak nyata kesenjangan antara wilayah Kota Kupang dan wilayah hinterlandnya
dalamhal ini Kabupaten Kupang.

Untuk melihat sejauh mana kesenjangan yang terjadi dan potensi serta konsep pengembangan wilayah
hinterland maka observasi dilakukan di Desa Tablolong sebgai kawasan hinterland Kota Kupang.

1.2 Perumusan Masalah

Laju pertumbuhan Kota Kupang yang meningkat pesat tidak signifikan dengan laju pertumbuhan daerah
hinterland nya. Salah satu daerah hinterland Kota Kupang adalah Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang yang didalamnya termasuk Desa Tablolong. Walaupun dari segi potensi wilayah Desa Tablolong
memiliki keunggulan yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat namun hingga saat
ini, potensi tersebut belum mampu menjadikan Desa Tablolong sebagai Desa yang maju dan mandiri.
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

a. Potensi-potensi apa saja yang dimiliki Desa Tablolong?


b. Bagaimana konsep pengembangan wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah
yang ada?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui potensi-potensi yang berada/dimiliki oleh Desa Tablolong Kecamatan Kupang
Barat.

b. Mendesain konsep pengembangan wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah
yang ada.

II. Kajian Pustaka dan Metodologi

2.1 Kajian Pustaka

Dalam proses pembangunan ketimpangan pembangunan dapat saja terjadi. Ketimpangan yang terjadi
tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan
antar daerah di dalam wilayah suatu negara.

Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan
ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang.
Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan
pembangunan terkosentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan
signifikan.

Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan


pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar.
Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Urban Rural Income Disparities (Ketimpangan
pembangunan/pendapatan antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena
pembangunan yang lebih terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah
pedesaan.

Hal ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi
oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah
perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan
kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat
mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang
merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).

Faktor internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar dan
minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan wilayah pedesaan. Sebaran spasial
penduduk pedesaan yang terpencar-pencar menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa
publik secara efektif untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa
disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan non-pedesaan, menjadikan
masyarakat pedesaan tidak produktif.

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja,
dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan
ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik
suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor
ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar daerah
merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam
pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan
menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang
menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung
meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999 dalam
Pakpahan, 2009 : 26).

Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23) yaitu :

· Perbedaan kandungan sumber daya alam

· Perbedaan Kondisi Demografi

· Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

· Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah

· Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah

Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat.
Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah:

· Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan

· Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

· Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang


· Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa

· Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Untuk menyelesaikan permasalahan ketimbangan pembangunan maka daerah hinterland atau daerah
belakang perlu dikembangkan. Khusus untuk daerah hinterland pesisir pantai beberapa gagasan konsep
pembangunan dapat diterapkan.

Berdasarkan jenis pengembangan pesisir, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu konservasi,
pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).

a. Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan
menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.

b. Preservasi adalah waterfront yang harus dilestarikan, dilindungi, dipelihara dan dipugar sesuai
dengan bentuk aslinya tetapi tetap disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan fungsionalnya karena
merupakan kawasan atau mengandung bangunan dan/atau bangun-bangunan yang mempunyai nilai
sejarah, nilai seni dan budaya serta nilai arsitektur.

c. Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai
saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali
fasilitasfasilitas yang ada.

d. Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan
masa depan dengan cara mereklamasi pantai

Kriteria umum penataan dan pendesainan waterfront adalah :

· Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut,danau, sungai, dan sebagainya).

· Biasanya merupakan area pelabuhan,perdagangan, permukiman, dan pariwisata.

· Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan.

· Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.

· Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal.

Dalam perencanaan waterfront ada beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural,
aspek keteknikan, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek arsitektural berkaitan dengan pembentukan citra (image) dari kawasan waterfront dan
bagaimana menciptakan kawasan waterfront yang memenuhi nilai-nilai estetika.

b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan struktur dan teknologi konstruksi yang
dapat mengatasi kendala-kendala dalam mewujudkan rancangan waterfront, seperti stabilisasi perairan,
korosi, erosi,kondisi alam setempat; perencanaan infrastruktur yang berkaitan dengan drainase,
transportasi dan sebagainya.

c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar kawasan waterfront tersebut.

d. Aspek Peraturan berkaitan dengan tata aturan tentang pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn
tepi air.

Penataan kawasan waterfront di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:

a. Zona perumahan

Fungsi utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.

Kriteria pemanfaatan ruangnya adalah:

· Tersedia sumber air yang cukup;

· Tersedia sistem drainase yang baik;

· Tersedia sistem pengolahan sampah yang baik;

· Tersedia aksesibilitas yang baik ke pusat-pusat kegiatan maupun sarana publik;

· Bebas dari kebisingan serta bahaya dan gangguan setempat;

· Terhindar dari bahaya abrasi pantai;

· Lebar garis sempadan pantai 30-100 meter dari titik pasang tertinggi.

b. Zona pariwisata

Kawasan pariwisata merupakan kawasan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan
pariwisata, dengan kriteria pemanfaatan ruang :

· Tersedia sarana dan prasarana;

· Tersedia aksesibilitas yang tinggi ke pusat pelayanan niaga dan kesehatan;


· Memiliki obyek dan daya tarik wisata;

· Pemberlakuan lebar garis sempadan pantai (Perda atau hukum pengusahaan atau sistem pemilikan
pantai);

· Pengaturan pemakaian air tanah yang disesuaikan dengan kapasitas ketersediaan air tanah dan
waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kembali  Lebar garis sempadan pantai 100-300 meter dari titik
pasang tertinggi.

Hal penting dalam mengolah kawasan tepian air, adalah beberapa elemen menjadi fokus penataan
dengan memberikan solusi disain yang spesifik, yang membedakan dengan olahan zona lainnya yang
dapat memberikan kesan mendalam oleh pengungjungnya. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah:

a. Tepian Air

Kawasan tanah atau pesisir yang landai/datar dan langsung bertasan dengan air. Merupakan tempat
berjemur atau duduk-duduk dibawah keteduhan pohon (kelapa atau jenis pohon pantai lainnya) sambil
menikmati pemandangan perairan.

b. Promenade/Esplanade

Perkerasan di Kawasan tepian air untuk berjalan-jalan atau berkendara (sepeda atau kendaraan tidak
bermotor lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan. Bila permukaan perkerasan hanya sedikit di
atas permukaan air disebut promenade, sedangkan perkerasan yang diangkat jauh lebih tinggi dari
permukaan (sperti balkon) disebut esplanade. Pada beberapa tempat dari promenade dapat dibuat
tangga turun ke air, yang disebut "tangga pemandian" (baptismal steps).

c. Dermaga

Tempat bersandar kapal/perahu yang sekaligus berfungsi sebagai jalan di atas air untuk menghubungkan
daratan dengan kapal atau perahu. Pada masa kini dermaga dapat diolah sebagai elemen arsitektural
dalam penataan kawasan tepian air, dan diperluas fungsinya antara lain sebagai tempat berjemur.

d. Ruang tebuka (open space)

Berupa taman atau plaza yang dirangkaikan dalam satu jalinan ruang dengan kawasan tepian air.

g. Aktifitas

Guna mendukung penataan fisik yang ada, perlu dirancang kegiatan untuk meramaikan atau memberi
ciri khas pada kawasan pertemuan antara daratan dan perairan. "Floating market" misalnya, adalah
kegiatan tradisional yang dapat ditampilkan untuk menambah daya tarik suatu kawasan waterfront,
sedang festival market place adalah contoh paduan aktivitas (hiburan dan perbelanjaan) dengan tata
ruang waterfront (plaza atau urban space)
Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), dalam resolusinya
PBB pun telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human activity deserving the
praise and encouragement of all peoples and governments, wisata bahari khususnya di tahun 1993
secara global mampu menghasilkan devisa lebih dari US$ 3.5 triliun atau sekitar 6 –7% dari total
pendapatan kotor dunia (WTTC, 1993).

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis
pantai 81.000 km, ini berarti Indonesia mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat
besar, potensi ini meningkatkan kontribusi bidang wawasan dan wisata secara signifikan dari Rp. 3 triliun
di tahun 1990, menjadi Rp.33 triliun di tahun 1999, hal ini tentunya berimplikasi pada bidang usaha
wisata lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi, biro perjalanan, dan restoran yang terletak di kawasan
wisata.

Saat ini pariwisata bergerak menuju paradigma baru, yaitu merubah paradigma lama yang lebih
mengutamakan pariwisata masal yaitu wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang
seragam (Faulkner B., 1997), menjadi wisatawan yang lebih berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan
tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman
asli (Baldwin dan Brodess, 1993).

Konsep ini sejalan dengan Ekowisata yang lebih menekankan pada faktor daerah alami dan telah
dikembangkan sejak 1980 sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang
mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat (The Ecotourism Society,
1993), sementara Ecoturism Research Group (1996), yang membatasi tentang wisata bertumpu pada
lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan :

(1) mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan

(2) Meningkatkan kesadaran lingkungan

(3) Bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi

(3) Menyumbang langsung pada keberkelanjutan.

Konsep Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society pada tahun 1990,
pada prinsipnya ekowisata adalah perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan
mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Dasar
gagasan ekowisata ini karena adanya keinginan wisatawan ikut menjaga kekayaan alam dan budaya,
disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar objek wisata tersebut.

Berbeda dengan konsep wisata di tahun 80-90an yang banyak mengeksploitasi alam dengan
pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan besar-besaran, konsep ekowisata tidak melakukan
eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan.

Dalam perkembangannya, Ekowisata menjadi salah satu bentuk wisata yang banyak digemari wisatawan
dan pelaku wisata, karena apabila obyek wisata dikelola dengan pendekatan konservasi, maka
keberlangsungan pemanfaatan sumber daya alam akan terjaga di masa kini maupun masa mendatang,
sehingga potensi wisata alam di daerah tersebut otomatis berumur panjang.

Pemafaatan obyek wisata alam untuk ekowisata dilaksanakan dengan mempergunakan dua pendekatan,
pendekatan pertama menitikberatkan pada pelestarian, sementara pendekatan kedua berupa
keberpihakan kepada masyarakat setempat, agar mampu mempertahankan budaya lokal, di tengah
gempuran pengaruh budaya luar yang dibawa oleh wisatawan, sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya.

Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Pulau Komodo adalah dengan
membuat Model Desa Konservasi (MDK) yang didanai oleh kementrian Kehutanan, tujuan pembuatan
MDK adalah agar masyarakat yang hidup di dalam kawasan konservasi dapat meningkatkan
kesejahteraannya tanpa mengeksploitasi lingkungannya, masyarakat diberi pelatihan-pelatihan
kemandirian ekonomi misalnya membuat suvenir untuk dijual kepada wisatawan-wisatawan yang
berkunjung ke pulau Komodo.

Pengembangan Ekowisata pesisir, mau tidak mau harus dikaitkan dengan kepentingan mendasar di
kawasan obyek wisata tersebut, yaitu masyarakat setempat, masyarakat setempat terutama di daerah
pesisir harus diakui memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai potensi wisata di daerahnya, sehingga
perlu dilakukan pendekatan-pendekatan, agar dapat saling berbagi pengetahuan, maupun meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuan tentang bahari dan upaya konservasi bahari.

Menurut Ardika (2000) terdapat 3 Prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam pengelolaan wisata
bahari, sebagai berikut :

1. Kawasan wisata bahari adalah milik bersama, didalamnya ada hak-hak masyarakat, namun
perlindungan juga harus dilakukan bersama

2. Kepemilikan bersama mengharuskan, pengelolaan wilayah pesisir untuk dilakukan bersama-sama


seluruh komponen masyarakat dan stakeholder terkait

3. Keberadaan kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan
merupakan tujuan bersama

Ketiga prinsip tersebut wajib dilalaksanakan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat pesisir secara
aktif agar masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif terutama dalam upaya menjaga kelestarian alam
serta ekosistem yang ada didalam kawasan obyek wisata.
Ekowisata tidak setara dengan wisata alam karena tidak semua wisata alam akan dapat memberikan
sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang
memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.

Konsep wisata pesisir dan bahari di dasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem,
kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-
masing daerah, dengan demikian maka sangatlah beralasan bila Indonesia berupaya mengembangkan
wisata pesisir dan bahari ini, karena hampir seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan Tengah
memiliki pantai, ekosistem pesisir dan bahari memenuhi karakter 3S (sun, sand, sea).

Cakupan kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat
luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam, selain akomodasi dan resor, serta beberapa
komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut,
restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya.

2.2 Metodologi Penelitian

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan di Desa Tablolong pada hari
Sabtu tanggal 24 Oktober 2015

III. Pembahasan

3.1 Profil Desa Tablolong

Desa Tablolong memiliki luas wilayah 9,01 Km2, dengan batas wilayah desa sebelah barat dengan laut
Selat Rote pada bagian barat, sedangkan wilayah selatan dan timur berbatasan dengan desa Lifuleo,
wilayah utara dengan Desa Tesabela.

Wilayah Desa Tablolong terbagi menjadi 4 rukun warga (RW), 4 dusun dan 8 rukun tetangga (RT), dengan
jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa.
Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK)
sejumlah 283 KK dan jumlah rata-rata anggota keluarga per KK adalah 4 orang.

Mata pencarian terbanyak penduduk Desa Tablolong adalah nelayan sejumlah 277 orang, diikuti
wiraswasta 36 orang, secara lengkap disajikan pada grafik 1.

Keseluruhan nelayan 277 orang tergabung dalam 27 kelompok nelayan, dengan kegiatan utama adalah
budidaya rumput laut dan kegiatan penunjangnya adalah perikanan tangkap.

Dari aspek prasarana dasar pendidikan, di Desa Tablolong hanya memiliki 1 buah SD dengan jumlah
murid 219 siswa dan 1 buah PAUD, kondisi bangunan sekolah cukup baik namun sampah-sampah
bertebaran di halaman sekolah, sehingga sangat mempengaruhi higienitas sekolah, hal ini diperburuk
dengan kondisi pagar sekolah yang rusak sehingga hewan ternak penduduk Desa Tablolong yang
dibiarkan tidak terikat/tidak dikandang masuk ke halaman sekolah. Kondisi sekolah seperti gambar 1.
Kondisi sekolah

Sarana prasarana dasar kesehatan di wilayah Desa Tablolong masih sangat minim, hal ini ditunjukkan
dengan sarana kesahatan yang dimiliki hanyalah 1 unit puskesmas pembantu, dengan tenaga paramedik
1 orang bidan dibantu 1 dukun bayi, sedangkan pos pelayanan terpadu (Posyandu) sejumlah 3 unit
dengan kader aktif sejumlah 15 orang

Kristen protestan adalah agama mayoritas yang dianut penduduk Desa Tablolong diikuti agama islam
dan katolik, adapun rumah ibadah yang dimiliki adalah 2 unit gereja kristen protestan dan 1 unit masjid.
Secara lengkap jumlah penganut agama di Desa Tablolong seperti pada grafik 2.

Kondisi fisik bangunan rumah penduduk cukup baik sebagian besar adalah rumah permanen, rumah
darurat masih cukup banyak sejumlah 24 unit rumah. Kondisi fisikbangunan rumah secara lengkap
seperti pada grafik 3.

Lingkungan permukiman penduduk kondisinya masih kurang baik, pola permukiman terpusat di sekitar
kantor desa, dari 4 dusun yang ada 3 dusun (dusun 1, 2 dan 3) terpusat di sekitar kantor desa dan 1
dusun yaitu dusun 4 jaraknya cukup jauh dari kantor desa. Pola pemukiman yang terpusat ini
menyebabkan tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi di sekitar kantor desa sehingga terkesan
kumuh. Kesan kumuh ini ditunjukkan dengan arah hadap rumah yang tidak teratur dengan jarak antar
rumah yang sangat dekat 1-3 meter, ditambah lagi dengan letak makam dan kandang ternak peliharaan
yang juga sangat dekat dengan rumah.

Sanitasi lingkungan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan fasilitas jamban yang dimiliki oleh 258 KK
sisanya 25 KK mengakses jamban umum, namun kondisi jamban masih ada yang kondisinya adalah
jamban darurat dan letaknya sangat dekat dengan dapur dan kandang ternak.

Sumber air bersih penduduk diperoleh dari sumur bor yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh
PAMDES, tercatat 233 KK sebagai pelanggan PAMDES dan 6 KK menggunakan sumur gali sebagai sumber
air bakunya.

Kondisi jalan lingkungan cukup baik pada dusun 1, 2 dan 3 yang terdiri dari jalan aspal dan rabat beton,
diantara rumah juga telah dilengkapi dengan jalan setapak dari pasangan semen. Namun jalan utama
akses pada lokasi pariwisata pantai kondisinya rusak.

Aspek transportasi Desa Tablolong cukup baik, hal ini ditunjukkan dari jumlah moda transportasi yang
umum hanya tersedia 1 unit mikrolet, 10 buah pick up dan 3 unit truck serta ojek 4 unit. Selain
transportasi umum, sebagian besar masyarakat juga memiliki kendaraan pribadi sebagai alat
transportasinya yaitu mobil sejumlah 11 unit dan sepeda motor 212 unit

3.2 Potensi Desa Tablolong

Komoditi unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk
adalah Eucheuma Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), tingkat produksi rumput laut cukup
baik, tercatat produksi rumput laut jenis katoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480
ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 menyebabkan
pencemaran Laut Timor yang berdampak kelompok nelayan Desa Tablolong selama 3 tahun mengalami
gagal panen rumput laut karena mati terkena bahan kimia dan minyak dari Mokantara, saat ini
kemampuan produksi beranjak pulih dari gagal panen, saat ini telah mampu panen dengan total produksi
50% dari tahun-tahun sebelum terjadi pencemaran, perlahan perairan Tablolong mulai pulih dengan
kemampuan produksi pada tahun 2014 sejumlah 289 ton. Kegiatan sehari-hari masyarakat memelihara
rumput laut, panen dan menjemur rumput laut mewarnai kehidupan penduduk desa.

Kegiatan budidaya rumput laut oleh penduduk Desa Tablolong dalam pengamatan sebagian besar
dilakukan secara sederhana/minim teknologi, sejak tahapan pengikatan, pemeliharaan, panen maupun
tahapan pasca panen. Pada tahap pasca panen hanya dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari,
sehingga rumput laut yang dihasilkan dijual kepada pengepul dalam kondisi bahan mentah. Inovasi
dalam budidaya rumput laut sedikit nampak pada kegiatan penjemuran dimana telah disiapkan
bangunan khusus untuk penjemuran saat musim penghujan Diversifikasi kegiatan pasca panen seperti
mengolah rumput laut menjadi bahan setengah jadi dalam bentuk chips atau bahan jadi berupa olahan
makanan perlu dilakukan mengingat posisi strategis Desa Tablolong sebagai desa wisata yang
membutuhkan dukungan industri kreatif sebagai pemenuhan kebutuhan para wisatawan yang
berkunjung ke pantai Tablolong. Kelompok ekonomi produktif rumput laut sudah ada di Desa Tablolong
namun saat observasi dilakukan terkesan hanya papan nama karena tidak nampak kegiatan produksi dan
hasil produksi pada lokasi sentra produksi ekonomi produkstif rumput laut.

Desa Tablolong juga dikenal sebagai destinasi wisata Kabupaten Kupang, dengan daya tarik unggulannya
adalah wisata pemancingan laut dan wisata pantai. Bahkan Tablolong dikenal sebagai "Pusat Olahraga
Memancing ". Event Wisata Yang Sering Di Gelar Oleh Pemerintah Provinsi NTT di kawasan wisata
Tablolong ini adalah turnamen memancing berskala internasional. Turnamen ini telah beberapa kali
dilaksanakan, dengan tujuan mempromosikan obyek wisata yang ada di NTT terutama di Kabupaten
Kupang, khususnya wisata pantai Tablolong. Jenis ikan yang Banyak dijumpai diperairan kawasan pantai
Tablolong adalah ikan marlin, layaran, tenggiri, wahui, kuwe, barakuda, lemadang dan tuna.

Daya tarik wisata selain pemancingan adalah keindahan pantai pasir putih yang dihiasi oleh batu-batu
karang mati yang memiliki warna panel yg unik dan memukau, pantai Tablolong merupakan salah objek
pilihan masyarakat kota Kupang untuk berekreasi mengisi waktu libur. Pantai ini ramai dikunjungi oleh
pengunjung pada hari sabtu dan minggu, selain itu tidak jarang pengunjung yang datang habya untuk
menikmati mataharai terbenam di pantai ini. Namun sayang beberapa fasilitas pendukung yang telah
dibangun Pemerintah Kabupaten Kupang berupa lopo-lopo semacam bangunan terbuka dengan tempat
duduk dan atap bulat untuk bersantai tampat tidak terawat dan rusak sehingga memunculkan kesan
sudah lama tidak dipelihara dan dirawat. Jumlah keseluruhan bangunan lopo adalah 11 lopo, namun
hanya 4 yang masih baik, atapnya masih utuh. Sedangkan 7 lopo lainnya sudah rusak termakan usia atau
akibat tidak terawat. Disamping itu akses jalan masuk 500 meter dalam keadaan rusak, aspal jalan sudah
terkelupas. Sementara fasilitas lainnya pun amat memprihatinkan, seperti 2 unit water closet (WC) yang
terletak persis di areal wisata itu, tak berpintu lagi dan tidak ada akses air bersihnya serta dindingnya
terdapat banyak coretan, praktis WC tak bisa digunakan lagi.

Fasilitas wisata lain yang disiapkan pihak swasta juga tersedia berupa homestay dan hotel. Sekitar 200
meter dari pintu gerbang wisata pantai Tablolong akan dijumpai sebuah homestay "Kaki Ayam" yang
dibangun oleh warga negara Canada. Di homestay ini terdapat beberapa lopo yang unik, lopo ini bagian
bawah terbuka sehingga bisa untuk bersantai sedangkan jika kita naik tangga ke atas maka terdapat
tempat untuk beristirahat. Sayang tempat ini pun terkesan kurang terpelihara, fasilitas WC pun dalam
keadaan rusak, mungkin karena sudah sangat jarang wisatawan yang datang ke tempat ini. 400 meter ke
arah barat dari homestay “Kaki Ayam” akan dijumpai hotel yang cukup besar yang dibangun pihak
swasta, namun 2 tahun belakangan ini pembangunan hotel terhenti akibat perijinan AMDAL dan konflik
status tanah dengan masyarakat, sehingga bangunan hotel terkesan mangkrak tidak terurus.

Wisata diving/penyelaman juga menjadi daya tarik wisata Tablolong. Lokasi penyelaman favorit adalah
karang beatrix, karang dalam dan karang tabui. Keindahan bawah laut karang beatrix yang berjarak
sekitar 5 mil dari pantai sudah banyak dikenal oleh para penyelam manca negara. Karang beatrix
memiliki julukan sebagai ‘supermarket ikan’ karena semua jenis ikan dapat ditemukan di lokasi itu.
Sedangkan dua karang lainnya yang tak kalah menarik adalah karang Dalam dan karang Tabui. Di tiga
karang ini hidup jenis ikan yang sering dilombakan dalam berbagai turnamen memancing seperti jenis
Marlin, Layaran, Tenggiri, Wahui, Kuwe, Barakuda, Lemadang, dan Tuna.

Selain daya tarik wisata pantai, di Desa Tablolong juga ada daya tarik wisata alam dan budaya, dimana di
arah selatan obyek wisata Tablolong terdapat hutan belukar seluas 3 ha yang dihuni oleh satwa berupa
monyet dan kambing hutan, serta pemukiman Suku Panaf dengan jumlah Kepala Keluarga 18 KK, dengan
bahasanya adalah campuran bahasa Oekusi, Helong dan Rote (merupakan keunikan satu Dusun Panaf).

Jumlah kunjungan wisatawan di kawasan Tablolong pada tahun 2014 tercatat 11.507 wisatawan dengan
nilai retribusi perpengunjung Rp. 2000, bila dibandingkan dengan desa Oematnunu yang mampu
menghasilkan jumlah kunjungan lebih besar yaitu 13.311 dengan retribusi Rp. 5000 padahal obyek
wisata Desa Tablolong jauh lebih menarik. Kekurangan obyek wisata Tablolong adalah fasilitas dasar
seluruhnya dalam keadaan rusak, kotor dipenuhi sampah rumah tangga dan tidak ada industri kreatif
yang muncul sebagai pendukung pariwisata, bahkan produk ikan yang dijual masyarakat harganya sama
dengan harga pasar di Kota Kupang.
IV. Konsep Pengembangan

Konsep pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata
ruang yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah
menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep
pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari
bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari
atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan
Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan
desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.

Perubahan paradigma pemerintah dimana titik berat/fokus pembangunan diarahkan ke desa-desa dapat
dijadikan momentum perubahan di Desa Tablolong. Sejak tahun 2015 Desa Tablolong telah
mendapatkan alokasi dana desa (ADD) sebesar Rp. 100.000.000/tahun dan Dana Desa Rp. 200.000.000
(30% dari PAGU), artinya setiap tahun nantinya Desa Tablolong akan mendapatkan dana segar dari
pemerintah tidak kurang dari Rp. 800.000.000/tahun. Dengan dana yang cukup besar ini maka konsep
pengembangan dengan pendekatan Top Down dan Bottom Up sangat memungkinkan berhasil dalam
pelaksanaannya, karena dana tidak lagi menjadi alasan utama dalam pelaksanaan.

4.1 Konsep Water Front

Aspek tata ruang Desa Tablolong sangat cocok dikembangkan dengan pendekatan waterfront mengingat
persyaratan/kriteria minimalnya telah dipenuhi yaitu :

· Lokasi desa berada di tepi wilayah perairan laut.

· Merupakan daerah tujuan wisata.

· Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri kecil rumput laut

· Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan laut.

Desa Tablolong berdasarkan tipologi waterfront dapat diarahkan pada recreational waterfront yaitu
pengembangan waterfront dengan fungsi aktivitas rekreasi. Berbagai fasilitas pendukung yang perlu
disiapkan seperti: taman bermain, taman air, taman duduk, taman hiburan, area untuk memancing,
riverwalk, amphilhealre, diving, gardu pandang, fasilitas perkapalan, paviliun,fasililas olah raga, marina,
restoran, dan aquarium

Dalam perencanaan waterfront ada beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural,
aspek keteknikan, dan aspek sosial budaya.

a. Aspek arsitektural untuk menciptakan kawasan waterfront yang memenuhi nilai-nilai estetika maka
konsep hunian yang terpusat saat ini perlu dilakukan penataan kembali sehingga pola hunian menjadi
horisontal dengan pola hadap pemukiman ke arah laut. Rumah-rumah yang saat ini arah menghadapnya
sebagain besar tidak ke arah laut dirubah menghadap ke laut dengan pola penyebaran proposional
horisontal dengan bibir pantai secara merata ke arah utara dan selatan.

b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan struktur dan teknologi konstruksi yang
dapat mengatasi kendala-kendala dalam mewujudkan rancangan waterfront, seperti pembangunan
break water/bangunan pemecah gelombang dan turap pantai untuk mengatasi abrasi pantai perlu
dibangun ke arah utara dan selatan guna stabilisasi perairan. Disamping itu disain bangunan dan
pemilihan material yang mendukung penonjolan nilai etnik perlu dikembangkan sebagai daya tarik bagi
pengunjung. Tidak kalah pentingnya adalah perencanaan infrastruktur yang berkaitan dengan drainase,
transportasi dan persampahan yang menjadi masalah utama saat ini di Tablolong.

c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di
dalam dan di sekitar kawasan waterfront tersebut.

d. Aspek Peraturan berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah sebagai regulasi tentang
pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn perairan Tablolong.

Penataan kawasan waterfront di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:

a. Zona perumahan

Fungsi utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan.

b. Zona pariwisata

Zona pariwisata merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata dan
industri kreatif.

c. Zona budidaya

Zona budidaya merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan budidaya rumput
laut dan penangkapan ikan yang merupakan mata pencaharian pokok penduduk Desa Tablolong

d. Zona Lindung

Zona lindung merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan reservasi lingkungan,
sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu aktivitas manusia.

Elemen-elemen waterfront Tablolong yang perlu dikembangkant diantaranya adalah:

a. Tepian Air
Pantai Tablolong perlu ditata sedemikian rupa sehingga mampu membuat pengunjung pantai betah
berlama-lama. Bangunan-bangunan penunjang seperti lopo perlu ditambah serta bangunan yang telah
ada saat perlu diperbaiki.

b. Promenade/Esplanade

Pada titik akhir batas aspal masuk Desa Tablolong perlu disiapkan promenade ke arah utara dan selatan
sebagai baywalk jalan pantai menyusur bibir pantai, juga beberapa titik perlu disiapkan Esplanade
mengingat selisih kontur yang cukup curam antara pantai dan jalan.

c. Dermaga

Dermaga jetty ataupun dermaga kayu eksotik dapat dijadikan solusi bagi tambatan perahu yang dapat
dibangun di ujung jalan aspal Desa Tablolong, dermaga ini dapat berfungsi sebagai dermaga wisata
maupun dermaga pelabuhan rakyat.

d. Ruang tebuka (open space)

Pada pusat Desa Tablolong sepanjang bibir pantai dapat dikembangkan taman dan plaza mengikuti
promenade maupun esplanade yang dibangun nantinya.

g. Aktifitas

Atraksi budaya yang dapat ditampilkan untuk menambah daya tarik kawasan waterfront Tablolong perlu
disiapkan, disamping itu pengembangan ekonomi kreatif dengan menyiapkan pasar seni atau pasar
souvenir dengan tata ruang waterfront.

4.2 Konsep EcoTourism/Eko Wisata

Kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas dan
bisnis yang ditawarkannya sangat beragam. Beberapa infrastruktur dasar perlu disiapkan seperti
akomodasi berupa hotel maupun homestay dan pengembangan resor. Beberapa komponen pariwisata
lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi
pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya juga menjadi bagian penting
untuk disiapkan sebuah kawasan eko wisata.

Desa Tablolong dapat mengadopsi konsep eko wisata, karena potensi wilayah yang dimiliki sangat
mendukung dikembangkannya eko wisata. Penataan obyek wisata pantai praktis merupakan hal
mendasar yang perlu disiapkan, karena wisata pantai Tablolong adalah pusat daya tarik wisatawan.

Selain itu aspek sosial budaya masyarakat sebagai aktor-aktor utama penggerak eko wisata perlu
disiapkan dengan baik. Peningkatan kapasitas SDM seperti kemampuan menjadi guide lokal, sikap yang
ramah masyarakat, kemampuan berbicara dalam bahasa asing perlu ditingkatkan.
Potensi menarik lainnya yang dapat dikembangkan adalah wisata kuliner, yang saat ini belum nampak di
kawasan Tablolong. Penyiapan fasilitas kuliner dan sumberdaya pendukung menjadi hal penting untuk
diperhatikan. Beberapa industri kreatif kuliner seperti makanan dan minuman dari sumber rumput laut
yang potensinya sangat besar di Tablolong perlu digagas dan dilaksanakan. Selain itu kuliner dari olahan
ikan juga memungkinkan dikembangkan dengan konsep rumah makan/restoran ikan bakar dll.

Selain itu wisata budaya juga menjadi hal menarik di Tablolong dengan adanya dusun Panaf yang sangat
etnikal mudah dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya.

Wisata alam juga dapat dikembangkan mengingat Tablolong juga memiliki kawasan hutan bakau dan
hutan belukar yang dihuni monyet dan kambing hutan sebagai daya tariknya. Pemulihan ekosistem
mangrove merupakan hal yang penting mengingat saat ini luasan hutan mangrove semakin mengecil dan
tingkat abrasi pantai yang tinggi. Apabila kawasan hutan bakau mampu dipulihkan maka dapat pula
dikembangkan wisata pendidikan, dimana hutan bakau sebagai tempat pendidikan dan riste terkait
ekosistem pesisir.

V. Penutup

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil observasi lapangan di Desa Tablolong adalah sebagai berikut:

1. Desa Tablolong memiliki potensi yang menarik untuk dikembangkan lebih jauh menjadi Desa wisata.
Potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata pemancingan, wisata budaya,
wisata alam, ekonomi kreatif berupa olahan rumput laut dan ikan.

2. Pengembangan Desa Tablolong sebagai desa wisata dapat dilakukan dengan pendekatan water front
dan eko wisata

5.2 Saran

1. Potensi yang dimiliki Desa Tablolong perlu mendapat perhatian serius baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, sehingga potensi tersebut dapat mendatangkan nilai tambah bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pola pengembangan Top Down dan Bottom Up dapat dijadikan solusi bagi
penuntasan permasalah yang dialami oleh masyarakat Desa Tablolong saat ini.

2. Konsep pengembangan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata perlu dipayungi dengan produk hukum
sebagai aspek legalitas dalam pengembangan desa mengikuti konsep water front maupun eko wisata.

DAFTAR PUSTAKA
Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade

BPS, 2014, Kecamatan Kupang Barat Dalam Angka Tahun 2014

Damanik, dkk,2006, “Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi”. Yogyakarta: Penerbit Andi

Efendi, J. 2015. ”Elemen-elemen Pembentuk Kawasan Lingkungan Kota”, Materi Kuliah Perencanaan dan
Administrasi Lingkungan, Kupang, Februari 2015.

Effendi, J. dan Sudirman S, 2012. “Analisis Kesesuaian Prasyarat Kampung Sasaran Dengan Kampung
Terapan Terhadap Program Pola Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan Di Indonesia”, Jurnal Bumi
Lestari, Volume 12 No. 2, Agustus 2012, hlm. 201 – 210

Effendi, J. 2015. “Bahan Kuliah Tata Ruang dan Penataan Wilayah” Universitas Nusa Cendana Kupang

Latief Adam, 2010 ”Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi Perdagangan”, (makalah seminar
disampaikan di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, DPR-RI, tanggal 10 Agustus 2010)

Sjafrizal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional WilayahIndonesia Bagian Barat,”
Prisma, No. 3, 27-38

Tumenggung, Syafrudin A., 1997, “Paradigma Ekonomi Wilayah: Tinjauan Teori dan Praktis Ekonomi
Wilayah dan Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan,” dalam Tjahjati dan. Kusbiantoro (Penyunting),
Bunga Rampai: Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Pengelola di 18.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web


Tim DIKJARTIH

Pengelola

baswara anindita

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai