Isi Petidin
Isi Petidin
PENDAHULUAN
penghilang rasa sakit golongan narkotik. Obat ini ditemukan pada tahun 1939,
oleh dua orang ilmuwan Jerman (Eisleb and Schaumann). Pada awal
kemunculannya obat ini juga digunakan untuk mengatasi otot yang kaku
(spasme). Tidak seperti morfin yang memang sudah ‘dibuat’ oleh alam,
dalam golongan obat yang hampir sama dengan metadon dan fentanil, dua jenis
penghilang nyeri yang sudah dikenal.1 Meperidine yang juga dikenal sebagai
(meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.3
usus. Meperidin menghasilkan suatu pola efek yang mirip tapi tidak identik
berat, delirium hiperpireksia (tidak sadar akibat panas tinggi), dan konvulsi.3
1
tekanan darah serta gangguan pada sistem saraf pusat yang ditimbulkannya juga
berperan mengakibatkan kematian. Hal ini yang mungkin terjadi pada bintang
Michael Jackson. Pada tahun 1984, terjadi kematian seorang pelajar di New York
perubahan pada sistem pendidikan kedokteran. Peristiwa ini menjadi satu contoh
mengakibatkan kematian.1
efek sampingnya tidak sehebat morfin. Saat ini tersedia dalam bentuk tablet,
injeksi bahkan dalam bentuk sirup. Namun obat ini beredar di Indonesia hanya
dalam bentuk injeksi saja.1 Cara kerja obat ini mirip dengan morfin, yaitu pada
yang berperan terhadap munculnya rasa nyeri. Hambatan tersebut dilakukan pada
saraf pusat dan saraf tepi sehingga rasa nyeri yang terjadi di tubuh tidak terasa.
Efek kerja meperidine dirasakan setelah 15 menit obat dimasukkan dan dapat
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.2 Opiod
yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek. Dibandingkan dengan
2
morfin, meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Meperidin mempunyai efek
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini yaitu sebagai salah satu syarat dalam
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
adalah morfin, petidin dan fentanil.5 Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat
sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek
klinik dan efek samping yang mendekati sama.3 Secara kimia petidin adalah etil-
menonjol, dan senyawa ini memberikan kerja farmakologis utamanya pada SSP
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
lebih ringan.
4
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
Morfin tidak.
2.2 Indikasi
pengobatan menggigil pasca bedah.4 Indikasinya juga sama dengan morfin yaitu
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
meperidin kurang cocok karena efek antitusifnya jauh lebih lemah daripada
morfin.2
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin. Tetapi
5
2.3 Farmakodinamik
dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ. Obat lain
dengan awitan yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek.
aktifnya, merupakan stimulan otak dan terutama diekresikan dalam urin. Pada
pemberian meperidin yang lama dapat terjadi akumulasi (<3 hari). ,eperidin
pada neonatus. Transfer plasenta maksimum dan depresi neonatus terjadi 2-3 jam
pelepasan substansia P dari serat C aferen nosiseptif. Tidak seperti opiat lain,
Meperidin tidak digunakan sebagai anestetik topikal karena adanya iritasi lokal.4
6
a. Susunan Saraf Pusat
1. Analgesia
analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai
puncak dalam 2 jam. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian
subkutan atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan
masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas meperidin 75-100 mg parenteral kurang lebih
sama dengan morfin 10 mg. Karena bioavailabilitas oral 40-60% maka efektivitas
sebagai analgesik bila diberikan per oral setengahnya daripada bila diberikan
parenteral.2
Pada dosis ekui-analgetik, sedasi yang terlihat sama dengan sedasi pada
morfin. Pemberian meperiden kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas,
dan konvulsi. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolitnya yaitu
serebrospinal.5
7
3. Saluran napas
kuat dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM.
Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan
mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pola pons. Berbeda
daripada perubahan tidal volume, sehingga, efek depresi napas oleh meperidin
tidak disadari. Depresi napas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalokson dan
tidak mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti morfin dan
dasar timbulnya mual, muntah, dan pusing pada mereka yang berobat jalan.
b. Sistem Kardiovaskular
8
tidak mengubah gambaran EKG. Pasien berobat jalan mungkin menderita sinkop
disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika pasien
menaikkan kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak
c. Otot Polos
1. Saluran cerna
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti
Meperidin lebih lemah daripada morfin, tetapi lebih kuat daripada kodein dalam
diare.2
2. Otot bronkus
otot bronkus normal. Dalam dosis dasar obat ini justru dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
9
3. Ureter
ini disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya ADH dan
4. Uterus
uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidin, dan pada uterus yang
oksitosin, obat ini tidak mengantagonis efek oksitosik. Dosis terapi meperidin
involusi uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan.2
2.4 Farmakokinetik
Akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar
puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai
sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar 50% obat
tercapai 1-2 jam. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma
menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung
dengan lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
10
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada manusia, meperidin
meningkat sampai 80% dan masa paruh meperidin dan normeperidin memanjang.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari
satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.2
30 menit.4
berulang dan pasien dengan gangguan ginjal/hati, mempotensiasi depresi SSP dan
11
digunakan pada nyeri berat, oral tidak dianjurkan, dan jangan digunakan pada
overdosis opiod.3
intramuskular.5
Reaksi parah dapat terjadi setelah pemberian meperidin pada pasien yang
juga mendapat pengobatan dengan inhibitor MAO. Dua tipe interaksi dasar dapat
diamati. Yang paling menonjol adalah reaksi eksitasi yang disertai dengan
yang sejenis tidak boleh digunakan pada pasien yang sedang menggunakan
dan harus dihindari pada pasien ini. Tramadol menghambat ambilan norepinefrin
dan serotonin dan tidak boleh digunakan secara bersamaan dengan inhibitor
MAO. Interaksi yang mirip dengan opiod yang lain yang saat ini digunakan belum
teramati secara klinis. Tipe interaksi lain, potensiasi efek opiod akibat
penghambatan enzim mikrosomal hepatik, dapat pula teramati pada pasien yang
12
Klorpromazin meningkatkan efek depresan pernapasan meperidin, seperti
bersamaan dengan obat lain seperti prometazin atau klorpromazin juga dapat
bersihan sistemik dan menurunkan ketersediaan hayati oral meperidin, ini terkait
efek analgesik meperidin dan senyawa yang sejenis, namun melawan efek
sedasinya.5
atau depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika analgesik opiod diberikan
depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika petidin diberikan bersama dengan
eksitasi atau depresi (hipertensi atau hipotensi) SSP jika analgesik opiod
13
risiko toksisitas SSP jika tramadol diberikan bersama dengan SSRI atau
plasma petidin diturunkan oleh ritonavir, tetapi kadar plasma toksik dari
plasma zidovudin.3
risiko toksisitas SSP jika petidin diberikan bersama dengan rasagilin (hindari
14
hiperpireksia dan toksisitas SSP dilaporkan saat petidin dipakai bersama
penggunan bersamaan).3
2.6 Pedoman/Peringatan
1. Penyebab dari reaksi berat dan kadang-kadang fatal pada pasien yang
3. Gunakan hati-hati pada pasien dengan asma, penyakit paru obstruktif kronis,
4. Kurangi dosis pada pasien manula, hipovolemik, dan pasien bedah berisiko
5. Nalokson antagonis narkotik merupakan suatu antidot spesifik (IV 0,2 – 0,4)
atau lebih tinggi). Reversi dari efek narkotik dapat menyebabkan awitan nyeri
15
resusitasi, sediakan nalokson.4 Fraksi obat yang terikat pada protein lebih
rendah pada janin, dengan demikian konsentrasi obat bebas dapat jauh lebih
lebih sedikit depresi pernapasan pada bayi baru lahir dibanding yang
7. Efek samping yang tidak diinginkan dari meperidin epidural, kaudal, atau
dosis tunggal), pruritus, mual, dan muntah, dan retensi urin. Nalokson (IV
0,2- 0, 4 mg prn atau infus 5-10 µg/kg/jam) efektif untuk profilaksis dan/atau
(10 mg IV setiap 6 jam) dapat digunakan dalam mengobati mual dan muntah.
menyebabkan koma pada gangguan hepar (turunkan dosis atau hindari, tetapi
turunkan dosis atau hindari pada gangguan ginjal, lansia dan gangguan
16
mengandung analgesik opiod tidak dianjurkan pada anak-anak dan sama
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Pada pasien berobat
jalan reaksi ini timbul lebih sering dan lebih berat. Obstipasi dan retensi urin tidak
begitu sering timbul sperti pada morfin tetapi efek sedasinya sebanding morfin.
Pasien yang mual dan muntah pada pemberian morfin mungkin tidak mengalami
hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidin, hal yang sebaliknya juga dapat
terjadi.2 Reaksi efek samping utama pada kardiovaskular yaitu hipotensi, henti
pada SSP yaitu euforia, disforia, kejang, ketergantungan psikis, pada GI ialah
dada, dan jika terjadi alegik maka timbul urtikaria dan pruritus.4
opoid lain.2
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena
terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu
dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain
penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor pemberian
17
Takar lajak meperidin dapat mengakibatkan timbulnya tremor dan
konvulsi bahkan juga depresi napas, koma dan kematian. Depresi napas oleh
meperidin dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada pecandu meperidin
yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidin dalam dosis besar dapat
gangguan fungsi ginjal atau anemia bulan sabit. Beratnya gejala perangsangan
SSP nampaknya sebanding baik dengan kadar absolut normeperidin maupun rasio
pasien yang mendapat dosis besar meperidin secara berulang. Bila terjadi gejala
perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opiod lain
2.8 Sediaan
1. Dosis
18
Analgesia terkontrol-pasien: IV ; bolus 5-30 mg (0,1-0,6 mg/kg/jam), infus
5-40 mg/jam (0,1-0,8 mg/kg/jam), interval lockout 5-15 menit. Epidural; bolus 5-
meperidin serum (normal, < 0,55 µg/ml) dan kadar normeperidin serum (normal,
< 0,5 µg/ml) pada dosis yang lebih tinggi harus di monitor.4
2. Kemasan
3. Penyimpanan
Suntikan: suhu kamar (15°-30° C). Lindungi dari cahaya. Tablet : suhu
kamar (15°-30° C). Larutan: suhu di bawah 40° C. Lindungi dari pembekuan.4
19
BAB 3
KESIMPULAN
penghilang rasa sakit golongan narkotik. Obat ini ditemukan pada tahun 1939,
oleh dua orang ilmuwan Jerman (Eisleb and Schaumann). Pada awal
kemunculannya obat ini juga digunakan untuk mengatasi otot yang kaku
(spasme). Tidak seperti morfin yang memang sudah ‘dibuat’ oleh alam,
dalam golongan obat yang hampir sama dengan metadon dan fentanil, dua jenis
penghilang nyeri yang sudah dikenal. Meperidine yang juga dikenal sebagai
(meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
(Morfin=1). Dosis 0,1-0,5 mg i.v (dewasa 10-5 mg). Efek maksimum dalam 15
menit setelah pemberian i.v. Lama kerja setelah pemberian bolus: 2-3 jam.
20
DAFTAR PUSTAKA
3. Sukandar, E. Y., Retnosari, A., Joseph, I.S., I Ketut, A., A. Adji, P. S.,
Kusnandar., 2008. ISO Farmakoterapi, Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
4. Omogui, sota., 2012. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia Ed. 2. Jakarta: EGC.
21